κεφάλαιο 10
“Aurora, sungguh aku sama sekali tidak bermaksud begitu.” Deo, yang akhirnya mengaku, sudah meminta maaf kepadaku selama tiga hari penuh. Bukannya aku bermaksud untuk menjauhinya, tapi aku butuh waktu untuk mencerna semuanya.
Pada nyatanya, Triton mengetahui kalau itu adalah Deo, seperti yang sering dia katakan kalau Cheiodis lain bisa merasakan satu sama lain. Alasan dia menatap Deo dalam bentuk anjing agar membuatnya menunjukkan wujud aslinya. Namun tentu saja, Deo dengan sifatnya yang jahil menolak Triton. Karena itulah, Triton menunjukkan ketidaksukaannya pada anjing Deo. Awalnya Triton memang tidak menyangka kalau itu adalah Deo, tapi dia tau ada yang aneh ketika anjing tersebut menatapku, terlebih menggonggong ketika Triton menarikku dengan kasar.
Tindakan Deo sama sekali tidak terpuji, bukan karena dia yang merubah diri tapi karena yang diam-diam masuk ke dalam radar seseorang. Jika Triton tidak menyadarinya, mungkin saja kini semua pembicaraan yang harus aku dengarkan juga diketahui oleh Deo. Karena itulah Triton lebih marah daripada aku. Sedangkan aku sendiri bukan marah, melainkan merasa kesal karena mendapat imbas. Ocehan Triton tidak ada habisnya. Sehari setelah Deo mengungkapkan dirinya, Triton mengajakku untuk bertemu kembali, katanya dia akan melatihku untuk bela diri. Selama pelatihan tersebut, aku terus mendengar omelannya, entah itu karena aku yang tidak belajar dengan baik atau juga karena aku yang terlalu percaya kepada hal-hal kecil.
Karena omelan Triton tersebut mood-ku justru bertambah buruk dan aku berusaha untuk menenangkan diri dengan menyendiri. Nyatanya, usahaku sia-sia karena Deo tidak mau menjauh dariku. Dia terus memohon kepadaku untuk berbicara dengannya dan memaafkannya. Bukannya aku tidak memaafkannya, justru aku merasa tindakannya itu lucu—jika tidak dilakukan di depan Triton—sayangnya aku masih butuh waktu agar memperbaiki mood yang sudah hancur. Aku sendiri tau jika mulai berbicara dengan Deo, perasaanku juga tidak akan membaik. Justru aku akan merasa semakin lelah karena berurusan dengan anak itu.
“Deo, tolong tinggalkan aku sendiri.”
“Tidak!” tolak Deo yang langsung menggenggam tanganku. Dia mengikutiku dari kelas hingga ke kafetaria, berhasil menarik perhatian anak-anak lain. “Sampai kau belum memaafkanku, aku tidak akan meninggalkan sisimu.”
Sifatnya yang kekanakan berhasil membuat kepalaku terasa pening. Inilah yang dirasakan oleh Icarus. “Siapa yang bilang aku tidak memaafkanmu, Deo? Aku hanya butuh waktu untuk sendiri, oke? Sekarang pergilah dan lakukan pekerjaanmu sendiri. Jangan ganggu aku lagi. Mengerti?”
“Sampai kapan?” tanya Deo dengan bibir yang dimajukan. Melihatnya begitu membuatku menepuk jidat karena lelah dan kesal.
“Sampai aku berhasil membuat perasaanku lebih baik. Semakin cepat kau meninggalkanku, semakin cepat pula mood-ku membaik, oke?”
Deo mengangguk penuh semangat sebelum berlari meninggalkanku, tidak lupa dia mengacak-acak rambutku dan memberi sebuah wink. Dalam perjalanannya, entah dia ke mana, dia menyapa anak-anak lain dengan senyuman yang lebar. Tanpa melihatnya aku sudah bisa tau dari reaksi anak-anak yang disapa itu. Untuk membuatnya bahagia sungguh mudah, sampai terkadang aku lupa, kalau dia juga bisa merasa sedih dan terasing. Melihat punggungnya yang semakin mengecil kini membuatku ingat akan hari tersebut. Deo yang menatap makanannya seperti itu adalah hal yang paling menyakitinya, untuk memakan semua menu tersebut.
Pandangannya yang kosong, senyuman yang hilang dari bibirnya, tergantikan oleh kerutan di kening. Bagaimana tangannya akan mengepal ketika mendengar orang lain berbicara seperti itu menyakiti telinganya. Semua masa tersebut sudah dilewati oleh Deo. Mungkin dia akan merasa seperti itu ketika hari peringatan sudah dekat, ketika hari tersebut sudah lewat, dia akan berpura-pura seperti tidak ada yang terjadi. Aku merasa yakin kalau kerabatnya, masih dalam keluarga Lenore, sering mengungkit tentang kembarannya. Tapi dia selalu menutupinya dan mencurahkan semua kesedihannya pada satu hari tersebut, agar dia tidak mengkhawatirkan orang lain.
Karena terlalu banyak berpikir, hanya memikirkan tentang Deo dan sifatnya, beserta Triton dan omelannya, rasa untuk makan langsung menghilang dari tubuhku. Melihat menu yang seharusnya menggiurkan justru membuat perutku terasa dikocok, memualkan. Sungguh aku tidak bermaksud memasang ekspresi jijik, tapi sepertinya itu tidak bisa kutahan karena tiba-tiba saja orang di sampingku langsung mencubit pipiku dengan keras. Aku mengangkat kepalaku, menatap siapa yang berani melakukannya untuk bertemu pandang dengan Icarus. Ekspresi horor langsung tergambar begitu sadar itu adalah Icarus. Aku tidak akan bisa mengelak darinya atau memarahinya.
“Tidak perlu terkejut begitu. Kau harus makan, meski kau tidak merasa ingin makan.” Sebuah helaan justru keluar sebagai balasan. Semenjak bertemu dengan mereka semua, hidupku benar-benar tidak akan tenang. Untuk bisa sendirian selama sehari penuh saja terasa sulit untuk dilakukan. “Kau tidak senang ada aku di sini, ya?”
Sadar akan pertanyaan tersebut, aku buru-buru menggelengkan kepala. “Bukan, bukan. Aku hanya terlalu banyak berpikir sehingga kepalaku terasa sakit,” bohongku mulus. Meski berucap bohong, aku yakin kalau Icarus menyadarinya, menyadari kalau aku sedang berbohong. “Kau sudah memesan?”
“Belum, menunggu seseorang melakukannya.” Awalnya aku terdiam, mencerna ucapan Icarus. Setelah sadar kalau yang dia maksud adalah aku, mataku langsung membelalak.
“Maksudmu aku?!” Icarus hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan anggukkan tenang. “Kenapa?”
Dengan mudahnya, Icarus menolak menjawab pertanyaanku tersebut dan justru berjalan untuk memesan makanan. Bukan hanya satu porsi yang dia pesan, tapi justru dua. Tidak perlu dipertanyakan ke mana porsi ke dua akan pergi karena dia langsung menarik tanganku yang tidak memegang nampan. Piring kedua, anehnya itu makanan yang setidaknya tidak akan kutolak, diletakkan di atas nampan. Icarus tidak bertanya apakah aku ingin yang lain atau tidak dan justru langsung memberikanku sepiring cheese cake dan juga segelas float cokelat. Bahkan pada saat seperti ini aku yakin kalau Icarus menyadari kerutan di keningku.
Meski Icarus tidak mengajakku untuk makan bersama, rasanya aku tidak bisa menahan diri untuk duduk bersama dengannya. Anak-anak lain, yang sudah memperhatikanku sejak Deo berbincang sedikit denganku, mulai kembali berbisik-bisik seperti ini adalah hal terhebat yang pernah mereka lihat. Mungkin tidak ada yang pernah melihat Icarus berbincang dengan anak lain, terlebih adik kelas. Tentu saja mereka akan melihat ini sebagai sesuatu yang menakjubkan. Tapi pandangan yang mereka berikan jelas berhasil menggangguku dan waktu tenangku. Aku yang sudah berusaha untuk tidak menarik perhatian justru membuat semua perhatian tertuju kepadaku.
“Jangan pedulikan. Semakin kau memerhatikan mereka, semakin tidak bisa diam mereka.” Komen Icarus berhasil membuatku menatap ke arahnya. “Cepat kau makan, sebelum float-mu mencair.”
“Tapi aku ....” Protesku dibalas dengan tatapan tajam oleh Icarus sehingga aku langsung menyuap dengan perlahan. Memang lebih baik menuruti semua perintah jika sudah berbicara dengan Icarus.
Tidak ada dari kami yang berbicara lagi, melihat float-ku yang perlahan mencair membuatku merasa lebih bersemangat untuk menghabiskan makananku. Mungkin Icarus melakukan sesuatu, apapun itu aku sungguh merasa senang dengannya. Seketika nafsu makanku kembali meningkat sehingga aku tidak sadar kalau Icarus mengarahkan ponselnya kepadaku. Sadar kalau sedang dipotret, aku berusaha menggapai ponsel tersebut, jelas usaha yang tidak berguna. Bukan hanya tubuhnya yang besar dan juga tinggi, namun tangannya yang panjang juga mejadi penghambat bagiku meraih ke arahnya. Dari jarak yang cukup jauh, dia menunjukkan foto yang berhasil dia jepret lalu mengirimkannya kepada Deo.
Untuk marah saja aku sudah tidak ada tenaga sehingga aku kembali duduk dengan lemas. Tidak ada gunanya untuk melawan anak seperti Icarus. Selain dia tidak akan kelelahan, dia juga tidak akan menyerah. Memiliki kekuatan berlebih karena anak judo juga tidak akan membantu. Lebih baik aku menghabiskan makanku dalam diam, menikmati semuanya. Satu-satunya harapan adalah foto tersebut tidak akan tersebar ke mana-mana. Aku memercayakan fotoku kepada Deo dan juga Icarus. Mereka adalah orang-orang yang bisa dipercayai, kan? Aku tidak akan tau harus apa jika sampai fotoku tersebar luas.
Belum aku bisa melanjutkan makanku, seketika aku—pastinya yang lain—mendengar suara dentuman yang besar dari luar. Semua orang langsung memandang keluar. Apa yang kulihat bukan sesuatu yang bisa kujelaskan, tapi jelas apapun hal tersebut berhasil membuat Icarus menjatuhkan gelas yang sudah habis itu. Dari tempatku duduk, aku bisa melihat tangan Icarus yang gemetar cukup hebat. Dia langsung bangkit berdiri di hadapanku, seperti berusaha untuk menutupi pandanganku dari apa pun yang ada di luar. Beberapa yang ada di dalam ruangan juga memiliki ekspresi sama seperti Icarus dan yang lainnya hanya bisa menjerit. Hanya dari interaksi kecil seperti ini membuatku sadar. Hanya mereka, Cheiodis atau Elementary, yang bisa melihat kejadian sebenarnya.
“Icarus ....”
“Jangan bicara. Tetap di belakangku.” Icarus yang berdiri langsung menarik tanganku agar aku ikut berdiri dan berada tepat di belakangnya. Tanganku dengan begitu saja melingkar di pinggangnya, memegang sisi bajunya kuat-kuat. “Mereka ... pasti menyadari Deo.”
“Eh?” Awalnya aku pikir dia akan berkata kalau orang-orang di luar, kalau mereka bisa dikatakan sebagai orang, menyadari tentang keberadaanku. Namun kini aku mengerti maksudnya. Keluarga Lenore, mereka berhasil mendeteksi keluarga Lenore dan siap untuk melakukan tes lagi. “Apa Deo akan baik-baik saja?”
Icarus mengangguk mantap. Punggungnya yang bidang berhasil membuatku merasa lebih tenang. “Dia bisa melindungi diri. Tapi kita harus mengusir mereka. Nyawa yang lainnya bisa terancam.”
Sebagian dari diriku masih memproses ucapan Icarus namun sisa dariku merasa sudah mengerti apa yang dia bicarakan. Jika tidak bisa mendapatkan keluarga Lenore, tentunya Cheiodis lainnya akan menjadi target atau sasaran empuk. Mereka tidak akan segan untuk mengambil seorang Cheiodis hanya supaya meneruskan penelitian tersebut. Menyetarakan semua orang agar memiliki kekuatan yang sama. Icarus pasti merasa bertanggung jawab, bukan hanya karena nama Lenore yang tercantum di dalam dirinya, melainkan dia yang memiliki kekuatan dan bisa melindungi orang-orang tersebut. Tidak peduli apakah mereka menghinanya dulu. Keselamatan mereka menjadi yang terpenting sekarang.
“Aurora, apa kau pikir bisa memegangku cukup erat?”
“Eh? Maksudmu?”
“Aku akan terbang kembali, seperti dulu. Aku juga akan menggunakan kekuatanku untuk menahan gravitasi di sekitar mereka. Jika mereka tidak sekuat itu ... pastinya tidak akan mudah untuk keluar dari tarikanku.”
“Kenapa tidak kau biarkan saja aku di bawah kalau begitu?” protesku yang langsung dipotong oleh Icarus.
“Tidak ada waktu! Pegangan yang kuat!”
Teriakan Icarus dibarengi dengan dentuman keras lainnya. Kepanikanku kini terbagi menjadi dua, antara bangunan yang siap akan roboh dan juga Icarus yang sudah membawaku terbang bersamanya. Para Cheiodis lain juga mulai menggunakan kekuatan mereka untuk bisa kabur dari situasi sekarang. Mereka dengan sendirinya membentuk grup, berkelompok dan bergerumbul untuk membuat sesuatu seperti barrier. Di tengah-tengah mereka terdapat para Elementary yang ketakutan. Dari atas memang semua terlihat lebih jelas. Dari posisi ini juga membuatku sadar, mereka yang menjadi Elementary tidak sepenuhnya ingin. Mungkin tidak semua, tapi kebanyakan adalah korban uji coba yang berhasil.
Pemikiranku terputus ketika mendengar suara erangan Icarus. Ketika aku menatap ke arah tangannya, aku menyadari ada seorang anak, sepertinya dia di bawahku, yang berada di pojok ruangan dengan runtuhan yang hampir menjatuhinya. Jelas sekali kalau Icarus menahan runtuhan tersebut dengan kekuatan gravitasinya, menolak benda tersebut untuk jatuh dan justru melemparkannya ke arah berlawanan. Awalnya kupikir kekuatan gravitasi sama sekali tidak berguna, namun setelah melihat bagaimana Icarus menggunakannya, rasa iri mulai muncul di dalam diriku. Namun aku tidak bisa berlama-lama mengaggumi Icarus karena aku bisa melihat dengan jelas orang yang menyerang.
Tubuhnya memiliki sisik seperti ikan, namun kakinya jelas seperti kuda. Sisa tubuhnya yang lain seperti manusia biasa, kecuali mata mereka. Bukan hanya satu, namun mereka ada sekitar lima puluh. Ekspresi horor kini tergambar di wajahku. Dengan mereka semua, meski tidak terlihat sulit dikalahkan, akan sulit untuk diatasi. Hanya melihat mata mereka aku bisa yakin kalau mereka itu bukan manusia biasa. Mereka buatan, seperti robot. Apalagi yang lebih menguntungkan selain pasukan robot yang memiliki kekuatan para Cheiodis, bukan? Meski terkesan klise, ini adalah alternatif paling baik yang bisa ditemukan. Pasukan robot meski mudah dihancurkan tidak akan habisnya, memakan banyak waktu dan tenaga untuk mengalahkannya.
“Aurora,” panggil Icarus yang berhasil menarik perhatianku dari mahkluk yang siap masuk ke dalam kafetaria. “Tutup matamu.”
“Kenapa?” Tidak perlu menjawab pertanyaanku, seketika langit berubah menjadi gelap. Aku yang awalnya berada tepat di belakang Icarus kini berada cukup jauh dengannya. Awalnya aku pikir akan terjatuh karena sudah tidak bersama dengannya, namun kenyataan aku masih terbang di atas menenangkanku kembali. Kini aku menatap langit yang perlahan menggelap, Icarus yang ada di depanku merentangkan tangannya ke langit tersebut. “Icarus?”
“Dasar bedebah tidak tau diri! Bisa-bisanya kalian masih mengancam keluargaku.” Mataku menangkap sesuatu yang bersinar mengenai tangan Icarus. Ketika aku sadar itu adalah sengatan listrik, aku langsung menutup mataku, di saat yang tepat bunyi gemercik mulai kedengaran. Angin yang berhembus kencang berhasil membuatku tidak stabil selama beberapa saat dan ketika aku membuka mata, tangan kanan Icarus terlihat berasap sebelum dia hampir terjatuh bersamaan denganku.
“Icarus!” Panggilanku berhasil menyadarkannya sehingga dia langsung menuju ke arahku. Begitu tangan kami bersentuhan, cahaya terang menyelimuti kedua tangan kami. Icarus yang semula terlihat sedikit kelelahan berhasil mengontrol kekuatannya sehingga kami turun secara perlahan.
“Yang barusan itu ....”
💉🧬💉
(4/12/2021)
Halo semuanya~ maafkan baru sempat update lagi. Kerjaan dan RL sungguh membuat diri ini tidak kuasa. But aside from that, semoga puas dgn update kali ini. Kira2 apa ya alasan pasukan tersebut nyerang kafetaria Aurora? 🌚
Jgn lupa tinggalkan vomments kalian! Share ke temen kalian dan masukkan ke reading list. Follow author juga sangat diapresiasi!
See you next week~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro