Prolog
"Cowok kalau lagi marah damage-nya gila parah. Ini mata jadi susah bedain mana manusia, mana pangeran."
Kayla
***
Libur panjang telah berakhir. Dan semester baru akan segera dimulai. Kini, koridor SMA Jaya Bakti telah dipenuhi oleh hiruk-pikuk siswa baru maupun lama. Seorang cowok dengan hoodie putih berjalan santai menuju ruang TU. Alunan musik dari earphone yang terpasang di telinganya menjadi obat penenang di tengah rasa lelah yang menghampirinya. Cowok itu Rangga. Sudah tiga hari ini ia kehilangan jam tidurnya disebabkan harus mengurus keperluan MOS. Sebagai Ketua OSIS, tentu menjadi beban tersendiri jika segala sesuatunya tidak dipersiapkan dengan matang.
Langkahnya terhenti. Sebelah alisnya terangkat saat netranya menangkap sebuah kalung dengan liontin berbentuk huruf K tergeletak begitu saja di lantai. Pandangannya beralih pada seorang gadis dengan bandana biru yang berjalan santai di saat MOS akan segera dimulai. Sejenak, ia berpikir. Apa mungkin kalung itu miliknya?
"Oy!" serunya.
Tu anak tuli kali, ya. Tak kunjung mendapat respon, Rangga kembali bersuara. "Eh, lo yang pakai tas warna biru," panggilnya lebih keras.
Berhasil. Gadis itu menghentikan langkahnya. Matanya melirik ke sembarang arah, lantas terpaku pada sosok cowok tampan dengan tubuh menjulang tinggi di depannya. "Kakak panggil Kayla?" tanyanya tak yakin.
Bunda, cogannya minta dibungkus! batin Kayla berteriak histeris.
"Ini kalung lo, bukan?" Tangan Rangga terulur ke depan.
Spontan, Kayla merebut kalung itu dari Rangga. Bukannya apa-apa. Bisa gawat kalau sampai kalung itu menghilang. Belum sempat dirinya berterima kasih, cowok itu sudah lenyap dari hadapannya. Entah ke mana cowok itu, cepat sekali perginya.
"Cepet banget ngilangnya."
***
Seluruh siswa/siswi kelas sepuluh telah berkumpul di aula. Rombongan anggota OSIS masuk satu per satu. Rangga selaku Ketua OSIS langsung maju ke depan untuk pembukaan kegiatan hari ini. Ditemani oleh beberapa rekannya, termasuk Ken.
Dengan tubuh menjulang tinggi, rahang pipi yang kokoh, hidung mancung, dan jangan lupakan alisnya yang tebal itu. Tentu saja mampu menarik perhatian semua yang ada di dalam aula. Beberapa siswi tampak saling berbisik memuji ketampanan Rangga. Di sisi lain, Ken menyunggingkan senyum ramahnya membuat seisi ruangan memekik menahan bibirnya agar tidak berteriak histeris. Bagi mereka, senyum Ken sangat manis. Apalagi disertai lesung pipi yang menghiasi wajah tampannya.
"Oke, adik-adik. Jadi, untuk hari ini kita akan mengadakan games—" Ucapan Rangga terhenti. Tatapannya langsung jatuh pada tiga gadis di pojok belakang.
"Kalian tu tega tahu, nggak? Kayla hampir aja kehilangan kalung itu karena kalian," seru gadis dengan bandana berwarna biru.
"Ya maaf, Kay. Kita beneran lupa, suwer deh," ucap Tyas dengan mengacungkan kedua jarinya membentuk huruf V. Mereka tidak sadar kalau sedang jadi pusat perhatian.
"Sahabat macam apa yang ngelupain temennya sendiri," cibir Kayla.
"Ayolah, Kay. Jangan ribut di sini. Nanti kita kena amuk, gimana?" bujuk Tyas.
"Lagian, lo lemot banget sih jalannya. Jadi males kita nunggunya," seloroh Elsa dengan polosnya.
"Ih, Elsa—"
"Itu yang di pojok bisa diam, nggak?!" seru Rangga dengan lantang membuat seisi ruangan menjadi hening.
Jantung Kayla rasanya mau copot saat sang Ketua OSIS menatap tajam ke arahnya. Di depan sana, Rangga memegang sebuah rotan. Kayla tak sanggup membayangkan jika dirinya terkena sabetan dari rotan itu. Pasti sangat sakit, pikirnya. Beberapa anggota OSIS yang menyaksikan ikut memandangnya dengan sinis.
"Gara-gara lo, nih. Dibilang nanti aja marahnya," bisik Tyas.
"Kok jadi Kayla, sih?" Kayla tak terima. Ia bahkan tidak sadar telah meninggikan suaranya.
"Diam dulu," cicit Tyas seraya mencubit lengan Kayla dengan kesal.
Sedangkan Elsa tampak pura-pura tidak bersalah.
"Itu yang pakai bandana warna biru maju ke depan, sekarang!" seru Rangga dengan penuh penekanan.
"Yang dimaksud Kak Rangga, bukan Kayla, kan?" Kayla meneguk ludahnya dengan susah payah. Tatapan Rangga seolah hendak mengulitinya hidup-hidup.
"Astaga, Kayla! Buruan maju sebelum Kak Rangga ngamuk." Tyas terus menggerutu seraya mendorong bahu Kayla agar segera berdiri.
Cowok kalau lagi marah damage-nya gila parah. Ini mata jadi susah bedain mana manusia, mana pangeran, batin Kayla.
Sekarang, Kayla telah berdiri di hadapan Rangga. Tepatnya di hadapan seluruh siswa/siswi yang menatap aneh ke arahnya.
"Kamu itu masih kelas sepuluh, setidaknya hargai kami yang sedang berbicara di depan. Jangan malah asyik ngobrol sendiri," ucap Rangga dengan tegas.
Kayla mati kutu, tak berani bersuara sedikit pun.
"Peringatan ini nggak cuma berlaku untuk dia. Tapi, untuk kalian semua. Kalian pikir, tampil di depan itu mudah? Bukannya kami gila hormat, kami hanya ingin dihargai. "
Rangga terdiam sebentar, lalu mengalihkan pandangannya ke Kayla yang menunduk takut.
"Dan kamu," tunjuk Rangga tepat didepan wajah Kayla. "Setelah kegiatan ini selesai, temui saya di ruang OSIS." Setelah mengucapkan itu, Rangga langsung pergi.
Kayla memandang kepergian Rangga dengan lesu. Apakah kesalahannya begitu fatal sampai Rangga langsung pergi begitu saja? Bahkan sekarang semua orang menatapnya kesal.
Sebuah tepukan halus mengejutkan Kayla dari lamunannya. "Tenang aja, nggak usah takut. Rangga memang begitu kalau lagi badmood," ucap Ken dengan seulas senyum.
"I-iya, Kak," sahut Kayla gugup.
"Ya udah, duduk gih. Emang nggak capek berdiri terus?" ucap Ken.
Kayla mengangguk. "Terima kasih ya, Kak."
***
Jam istirahat seharusnya bisa jadi waktu yang pas bagi Kayla untuk makan sepuas-puasnya di kantin. Sayang sekali, itu hanya ekspektasinya saja. Sedangkan pada kenyataannya ia harus pasrah menerima hukuman dari si Ketua OSIS.
Langkahnya pelan tapi pasti. Sedangkan netranya bergerak lincah memperhatikan setiap sudut tempat. Sesekali langkahnya terhenti untuk melihat aksi permainan basket oleh kakak-kakak kelasnya. Riuh tepuk tangan menggema seiring pertandingan basket antar kelas itu dilaksanakan.
Tak terasa, Kayla telah sampai di depan pintu ruang OSIS. Tangannya terangkat hendak mengetuk pintu tersebut. Sampai akhirnya sebuah suara menginterupsinya untuk masuk.
Cklek!
"Siapa?" tanya Rangga. Pasalnya, ia tidak terlalu memperhatikan wajah Kayla.
Yes, Kak Rangga lupa. Bisa kabur nih, batin Kayla.
"Eh, anu Kak saya salah masuk. Ya udah saya permisi ya, Kak." Dengan cepat, Kayla segera melangkah keluar.
"Stop! Lo mau ngibulin gue?" seru Rangga setelah sadar.
Sedangkan Kayla hanya diam saja, tak berani memutar tubuhnya menghadap Rangga.
"Tadinya gue nggak mau hukum lo yang berat-berat. Tapi, karena lo udah nyoba ngibulin gue, hukuman lo bertambah."
"Tugas lo sekarang adalah bersihin ruang OSIS dan perpustakaan. Disapu dan di-pel. Awas aja kalau nggak bersih," ancam Rangga.
Kayla menganga setelah mendengar kalimat perintah yang dilontarkan Rangga. Tujuan ia ke sekolah ini untuk menuntut ilmu, bukan untuk jadi cleaning service. "Nggak, nggak. Kayla nggak mau. Masa cantik-cantik begini disuruh jadi babu. Ganti dong Kak hukumannya," protes Kayla berusaha merayu Rangga untuk meringankan hukumannya.
Amat disayangkan karena Rangga sama sekali tidak mendengarkannya. Kayla hanya bisa menahan rasa dongkol karena Rangga dengan sengaja mengeraskan volume musik di ponselnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro