Chapter 8
"Tak ada yang lebih kurindukan selain senyum dari seorang bidadari tak bersayap yang telah melahirkanku."
***
Rangga terlihat mengaduk-aduk jus mangganya tanpa minat. Bahkan, bakso yang sudah dia pesan sejak tadi sama sekali belum tersentuh.
Pikirannya melayang pada kejadian pagi tadi. Apa benar yang dikatakan Fikri tadi? Apa benar dia sudah keterlaluan? Sekarang, Rangga merasa begitu bersalah.
Iqbal yang sejak tadi memperhatikan keanehan Rangga pun semakin bingung. Cowok itu menoleh ke arah Fikri seolah bertanya 'Tu anak kenapa?'
Fikri hanya mengangkat bahu tak acuh. Sebenarnya, dia tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Rangga. Namun, menurutnya biarlah Rangga sadar sendiri dengan apa yang dilakukannya.
"Lo kenapa sih, Ga?" tanya Iqbal pada akhirnya.
Rangga menggeleng pelan seraya menyahut dengan malas, "Nggak apa-apa."
Iqbal menatap Rangga tidak yakin. Pasti ada sesuatu.
"Gue cabut." Setelah mengucapkan itu, Rangga langsung melenggang pergi begitu saja.
"Fik, itu si Rangga kenapa, sih?"
Fikri mendengus, "Mana gue tau."
Rangga berjalan tanpa arah. Entahlah, dia juga bingung akan ke mana. Kejadian tadi pagi terus berputar di kepalanya. Ingin minta maaf, tetapi dia tidak tahu harus memulai dari mana. Terlalu banyak melamun, Rangga tidak sengaja menabrak bahu seseorang.
"Eh, sori-sori. Gue nggak sengaja," ucap Rangga tak enak.
Seseorang yang ditabrak tampak sedikit meringis. "Iya, nggak apa-apa."
Kayla?
Kayla mendongak sekilas kemudian memalingkan wajahnya. Dia sama sekali tak menghiraukan keberadaan Rangga yang jelas-jelas berada di depannya.
Samar-samar Rangga mendengar percakapan mereka.
"Kok tumben, Kay, nggak antusias ketemu Kak Rangga?" Tyas bertanya sambil melirik sekilas pada Rangga yang masih diam di posisi yang sama.
"Lagi nggak pengin," jawab Kayla singkat.
"Hah? Sejak kapan seorang Kayla nggak pengin deket Kak Rangga?" timpal Elsa dengan wajah cengonya.
"Sejak sekarang sampai seterusnya, maybe," sahut Kayla santai. Dia sadar, Rangga masih berdiri di belakangnya.
"Yakin? Emang sanggup?" tanya Tyas tak yakin.
"Sanggup-sanggup aja. Kayla bukan cewek ganjen," jawab Kayla sambil menekankan kata 'ganjen' agar Rangga menyadari kesalahannya.
Tyas dan Elsa langsung terdiam. Sepertinya, Kayla sedang ada masalah dengan Rangga, begitu pikir mereka.
Rangga menatap punggung Kayla yang kian menjauh dengan tatapan nanar. Baiklah, setelah pulang sekolah nanti dia akan menemui Kayla dan meminta maaf padanya.
🌂🌂🌂
Cklek!
Kayla mengukir senyum tipis saat mendapati sang bunda yang sedang terlelap. Tadi, suster sempat mengatakan bahwa sejam yang lalu Sarah kembali mengamuk.
Gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya itu berjalan mendekati ranjang tempat bundanya tertidur. Tangannya dia arahkan ke pipi Sarah dan membelainya dengan lembut. Kayla dapat melihat dengan jelas gurat lelah pada wajah itu. Badannya mulai kurus. Lingkar bawah matanya tampak menghitam. Dan surai hitamnya tak diikat dengan rapi. Membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa iba.
"Bunda apa kabar?" tanya Kayla pelan.
"Bunda, Lala mau curhat, nih. Dengerin, ya?"
Kayla menghela napas sejenak, kemudian mulai bercerita, "Bun, tadi pagi ada ngatain Lala ganjen dan murahan. Apa iya ya, Bun, kalau Lala itu ganjen? Kalau emang bener, maaf ya, Bunda. Lala janji nggak akan ganjen lagi. Kalau Bunda tau Lala ganjen, pasti Bunda marah. Lala nggak mau lihat Bunda marah."
Hening.
Kayla tersenyum kecut, bolehkah dia berharap Sarah mau meresponsnya?
"Oh iya, Bun, tadi Lala dapat nilai seratus lho di mata pelajaran matematika. Lala udah turutin kata Bunda supaya rajin belajar. Tapi, Bunda nggak mau turutin maunya Lala." Tanpa dikomando, bulir air mata Kayla mengalir begitu saja. Dengan cepat, Kayla menyeka air matanya. Ia tidak ingin Sarah melihatnya menangis.
"Lala cuma mau Bunda cepet sembuh. Udah, itu aja."
Kayla melirik jam dinding di depannya. "Udah sore, Bun. Lala pulang, ya. Bunda baik-baik di sini. Cepet sembuh, ya. Lala sayang Bunda."
Sebelum pergi, Kayla menyempatkan diri untuk mengecup kening sang bunda agak lama.
Di lain tempat, Rangga tampak gelisah di kasurnya. Sepulang sekolah tadi, dia sengaja menunggu Kayla di halte untuk meminta maaf. Namun, sudah hampir sejam Kayla tak juga menampakkan dirinya. Saat itu pula dia bertemu Tyas dan menanyakan apakah Kayla masih di kelas atau tidak. Dan nyatanya, Kayla sudah pulang sejak bel pulang sekolah berbunyi.
"Gimana cara minta maafnya, ya?" gumam Rangga.
"Apa harus bawa bunga sama cokelat? Ih, alay."
"Gimana kalau gue ajak makan di kafe aja? Lah, jadi macam kencan dong, bukan gue banget."
Rangga mengacak rambutnya frustrasi. "Kenapa sih susah banget mau minta maaf doang."
Rangga terus berpikir keras. Apa harus dia meminta pendapat pada Iqbal? Di antara sahabatnya, memang Iqbal-lah yang paling berpengalaman soal perempuan.
Rangga menggeleng cepat, "Nggak, nggak. Yang ada nanti gue diledekin. Ck, udahlah tidur enak."
🌂🌂🌂
Bel istirahat telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Namun, Kayla tak berniat sama sekali ke kantin. Teman-temannya pun sudah mengajaknya tadi, akan tetapi Kayla menolak dengan alasan tidak lapar. Padahal, sebenarnya cacing-cacing di perutnya sudah berdemo minta diisi. Entahlah, akhir-akhir ini Kayla malas untuk ke kantin.
Di dalam kelas ini hanya ada dirinya. Jadi, dia akan memanfaatkan waktunya untuk tidur. Kebetulan sekali Kayla kurang tidur semalam.
Gadis itu hampir saja terjun ke alam bawah sadarnya saat tiba-tiba ada yang duduk di depannya sambil berdeham kuat.
"Ehem."
Kayla hanya bergumam dalam tidurnya. Mungkin Rey, pikirnya.
"Apa sih, Rey, jangan ganggu deh. Aku ngantuk nih," racaunya dengan suara parau.
Rangga menaikkan sebelah alisnya bingung. Rey?
"Ini sekolah, bukan tempat tidur."
Kayla terkejut mendengar suara itu. Jelas bukan suara Rey.
"Kak Rangga?" Kayla mendongak. Dia mengerjapkan kelopak matanya tak percaya. Apakah Kayla sedang bermimpi?
"Kak, coba cubit aku," ucap Kayla seraya memajukan wajahnya.
Diam-diam, Rangga tersenyum geli. Lucu, pikirnya.
Sesuai permintaan Kayla, dengan senang hati tangannya terulur ke arah pipi Kayla dan mencubitnya tanpa ragu.
Kayla memekik kaget. "Aw! Jangan keras-keras. Jahat banget, sih," protesnya sambil mengusap-usap pipinya.
"Katanya suruh nyubit," sahut Rangga kelewat santai.
"Ya tapi nggak sampai segitunya juga dong. Anak orang nih," dengus Kayla dengan nada sinis.
"Biarin."
"Eh, berarti ini beneran Kak Rangga? Bukan mimpi, kan?"
"Ya liat aja sendiri."
Kayla dibuat terpaku dengan seulas senyum itu. Dia bisa merasakan kedua pipinya memanas saat ini.
Huwaa, Bunda, Lala nggak kuat lihat senyumnya.
Lihat, padahal sebelumnya Kayla sudah bertekad untuk menghindari Rangga. Lah ini, baru disenyumin sudah baper.
Beberapa saat terjadi keheningan di antara keduanya.
Rangga yang sudah tak tahan dengan situasi ini akhirnya berujar, "Maaf, ya."
Kayla mengeryitkan dahinya tak mengerti. "Untuk apa?" Dia pikir Rangga meminta maaf karena telah mencubit pipinya tadi. Padahal kan dia sendiri yang menyuruh.
"Untuk yang kemarin."
Kayla mengangguk paham. "Oh, iya nggak apa-apa. Lupain aja."
Senyum tipis terbit dari bibir cowok berhidung mancung itu, "Thanks."
"Tapi ada syaratnya."
"Apa?"
"Jangan galak-galak lagi, Kak Rangga serem kalau lagi marah."
"Oh ya? Bukannya lo sering bilang gue ganteng, ya?" tanya Rangga dengan menaik turunkan alisnya di depan Kayla.
Skakmat.
"Ish, nggak tau ah. Kayla mau ke toilet."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro