Chapter 35
"Saat rasa benci dan sayang sama besarnya, lantas aku harus bagaimana? Akankah aku harus menikammu saat itu juga atau justru memelukmu dengan tangis yang tak kunjung reda?"
***
Tiga hari setelah meninggalnya Sarah, Kayla mengurung dirinya di kamar sang bunda. Beberapa temannya sempat mampir untuk sekadar mengucapkan bela sungkawa padanya. Namun, kehadiran mereka tak juga membuat Kayla keluar dari kamarnya.
Seperti saat ini, tubuhnya masih berbalut selimut tebal dengan sebuah boneka panda yang setia berada dalam pelukannya. Boneka itu adalah salah satu kado dari Sarah saat ia berulang tahun yang ke tujuh tahun. Kalung pemberian Sarah pun masih setia ia pakai ke mana pun gadis itu pergi.
Ketukan dari pintu kamarnya sama sekali tak diindahkannya.
"Sayang, bangun. Ini ada Rangga sama teman-teman kamu," panggil Mega sambil terus mengetuk pintu.
Dengan terpaksa, Kayla bangun dan membuka pintu.
Mega cukup terhenyak dengan penampilan Kayla saat ini. Raut wajah tanpa ekspresi itu justru membuatnya semakin tak tega. Ia lantas menuntun Kayla sebab takut gadis itu terjatuh.
Dengan langkah lunglai, Kayla berjalan menuruni anak tangga. Sampai pada anak tangga terakhir, langkahnya terhenti begitu melihat Tyas berdiri di hadapannya. Kayla hanya diam, tak berniat membuka suara sedikit pun. Juga tak berniat melihat wajah Tyas yang bisa saja membuatnya lepas kontrol.
Mega yang mengerti kondisi lantas memilih pergi ke dapur untuk memasak.
"Kayla, gue ...."
Belum sempat Tyas menyelesaikan ucapannya, Kayla sudah lebih dulu menyelanya. "Mau ngapain lagi ke sini?"
"G-gue ... gue mau minta maaf, Kay."
Tyas sama sekali tak berani menatap Kayla.
"Sekarang siapa lagi yang mau Lo bunuh? Ayah, tante Mega atau gue?"
Elsa yang berdiri tepat di samping Rangga terus merapalkan doa semoga tak terjadi apa-apa pada kedua sahabatnya. Bagaimanapun, Tyas juga sahabatnya. Ia hanya takut Kayla lepas kendali dan membahayakan keduanya.
"Lo iblis, Tyas."
Tyas memejamkan matanya ketika tangan Kayla terangkat, hendak menamparnya. Akan tetapi, sudah satu menit ia tidak merasakan apa pun. Hanya isak tangis yang terdengar begitu menyayat hati. Perlahan, ia membuka matanya dan melihat sahabatnya menangis tersedu. Rambut berantakan, mata sayu dan sembab, hidung memerah. Ya Tuhan, begitu dalam luka yang ia torehkan pada Kayla.
"Maaf, Kay."
Kayla tertawa di sela tangisnya, ia memandang sahabatnya tidak percaya. Ia merasa, yang di depannya bukanlah sabahatnya. Tyas yang ia kenal adalah Tyas yang baik, penyayang, dan bijak. Namun, kali ini, ia tidak melihat itu semua. Entah ke mana perginya sifat itu.
"Gue nggak ngerti, kenapa seorang Tyas bisa sebejat ini?"
Tyas diam. Ia tidak marah sama sekali. Yang dikatakan Kayla memang benar. Ia tidak layak disebut sebagai sahabat. Ia pun tak menyangka, karena keegoisannya, satu per satu orang terdekatnya mulai membencinya. Seakan tak ada kata maaf.
"Lo benci sama gue, Yas. Lantas, kenapa harus bunda yang lo racunin? Kenapa nggak gue aja?"
Kini, pandangannya tertuju pada sebuah pisau yang tergeletak di dekat parsel buah. Tanpa bisa dicegah, ia ambil pisau itu. Diraihnya tangan Tyas, dan diletakkannya pisau tajam itu pada tangan Tyas.
"Bunuh gue."
Elsa, Rangga, dan yang lainnya seketika membeliakkan kedua mata mereka masing-masing. Rangga hendak mencegahnya. Dengan sigap, Elsa menahannya. Ia mencoba meyakinkan Rangga bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Sekarang, bunuh gue. Dengan begitu, gue nggak akan ganggu kehidupan lo lagi."
Tyas menangis sejadi-jadinya. "Maaf, Kay, maaf. Gue juga nggak ngerti kenapa gue bisa begini. Tampar gue, Kay, tampar. Tampar sepuas lo," sesal Tyas. Ia menarik tangan Kayla dan menampar ke pipinya sendiri.
Nyatanya, tidak terjadi apa-apa. Ia justru terkejut saat Kayla mendekapnya begitu erat sambil terisak. "Gue nggak tau harus apa, Yas. Gue benci sama elo. Gue pengen nampar elo. Gue pengen bunuh elo. Tapi, nggak bisa. Gue sayang sama lo. Gue bingung sama diri gue sendiri."
Rangga terdiam merasakan desiran hangat pada hatinya. Betapa mulianya hati gadis itu. Ia tetap sayang pada orang yang sudah jelas telah merampas separuh hidupnya. Di sampingnya, Elsa menangis terharu. Gadis itu langsung menghampiri keduanya dan mereka saling berpelukan.
Tiba-tiba saja Kayla jatuh tak sadarkan diri membuat Elsa dan Tyas sama-sama terkejut. Untung saja ada Rangga yang dengan sigap menahannya. Ia bergegas membawa Kayla ke kamar.
"Kasih tau tante Mega, cepetan," ujar Rangga pada Elsa. Gadis itu langsung beranjak ke dapur untuk memanggil Mega. Meninggalkan Tyas dengan segala rasa sesalnya.
🌂🌂🌂
Rangga panik saat dirinya tak mendapati Kayla di kasurnya. Ia langsung bergegas menghampiri Mega yang tengah sibuk membereskan dapur sisa memasak tadi.
"Tan, Kayla di mana, ya? Aku cari di kamar kok nggak ada?" tanya Rangga.
"Loh, bukannya masih tidur?"
Rangga menggeleng lemah. "Nggak ada, Tan," sahutnya dengan raut khawatir.
"Coba cari di taman belakang. Siapa tau di sana," saran Mega. Ia sudah hafal dengan kebiasaan Kayla. Gadis kecil itu selalu menyendiri di taman belakang setiap kali ada masalah yang menimpanya.
Rangga menghela napas lega setelah mendapati Kayla yang tengah duduk melamun di ayunan. Dengan langkah pelan, ia menghampiri Kayla dan berjongkok di depannya.
"Kepalanya masih pusing?" tanya Rangga.
Kayla hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Kamu tunggu sini, ya. Aku mau ke dalam sebentar."
Tak lama, Rangga kembali datang sambil membawa sisir serta ikat rambut. Ia juga membawa nampan berisikan makanan serta air putih dan obat. Dengan telaten, ia sisir rambut gadis itu, lalu ia ikat agar lebih rapi.
Setelah itu, Rangga beralih pada piring yang tadi ia bawa. "Ayo, buka mulutnya," titahnya seraya menyodorkan sesendok nasi beserta lauknya di depan mulut Kayla.
"Kayla nggak lapar," tandas Kayla seraya memalingkan wajahnya dari Rangga.
"Sedikit aja, biar perutnya keisi," bujuk Rangga. Ia tidak bisa membiarkan perut kekasihnya kosong seharian. Gadis itu harus makan. Sebab kalau tidak, kondisinya akan semakin drop.
Akhirnya, dengan segala bujuk rayunya, Kayla mau makan. Bahkan, kini piring itu telah bersih tak bersisa. Selanjutnya, ia membantu gadis itu itu meminum obatnya.
"Kayla pengen ke makam bunda," seru Kayla setelah meneguk segelas air putih hingga tandas.
"Besok aja, ya. Kamu kan masih kurang fit," jawab Rangga.
"Sekarang," tandas Kayla dengan tatapan kosongnya.
"Tapi—"
"Kalau Kak Rangga nggak mau antar, Kayla bisa sendiri." Gadis itu langsung bangkit, namun buru-buru Rangga mencegahnya.
"Oke-oke, kita ke sana. Sekarang kamu mandi dulu. Aku mau izin sama tante Mega," putusnya.
Dua puluh menit berlalu, Kayla muncul dari kamarnya dengan mengenakan baju terusan selutut berlengan pendek. Rambut lurusnya tergerai indah dengan hiasan bandana pita berwarna biru. Sederhana, namun tampak cantik.
Usai pamit dengan Mega, keduanya langsung berangkat. Sayangnya, kali ini berbeda. Biasanya, saat jalan berdua begini Kayla begitu banyak bicara. Perjalanan nampak menyenangkan jika bersama gadis itu. Sekarang, jangankan mengonbrol, gadis itu justru lebih sibuk menatap ke luar jendela dengan pandangan kosong.
Sampai mereka tiba di TPU, Kayla langsung keluar lebih dulu. Berjalan sendirian lantas duduk termenung di samping makam bundanya. Bahkan, bunga-bunga yang bertaburan di atasnya masih segar. Gadis itu sama sekali tak mengeluarkan suara. Ia hanya diam sambil memeluk nisan bundanya. Seolah menyalurkan kerinduan.
Rangga yang ada di belakangnya hanya bisa sabar menunggu. Ia berharap, esok takkan ada lagi isak tangis yang mengalun di telinganya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro