Chapter 11
"Kalau cemburu, bilang. Aku bukan cenayang yang bisa dengan mudah membaca pikiran orang."
***
"Jangan pernah ganggu dia."
Setelah menepis tangan Melody, Reynald langsung membawa Kayla keluar dari kantin. Sedangkan di meja pojok sana, Rangga terdiam kaku. Ia menghela napas lega, untung saja Rey dengan sigap menyelamatkan Kayla dari tamparan Melody. Karena kalau telat sedikit saja, ia tidak akan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Rey dengan sigap melepas jaket yang dikenakannya dan memakaikannya pada gadis itu. Ia langsung membawa Kayla ke rooftop dan menuntun Kayla untuk duduk di sampingnya.
Rey menatap Kayla dalam-dalam lalu mengembuskan napas gusar. "Kamu nggak apa-apa, 'kan? Apa aja yang nenek lampir itu lakuin ke kamu?" tanyanya dengan raut wajah khawatir.
Kayla mencoba menenangkan Reynald, ia tahu Rey sangat mengkhawatirkan dirinya. "Aku nggak apa-apa. Kak Melody belum ngelakuin apa pun selain hampir nampar aku."
"Jauh-jauh dari cewek itu. Aku paling nggak suka kamu terluka, dan kamu tau itu, La," ucap Rey tulus.
"Yee ... aku juga nggak mau kali dekat-dekat sama dia. Dasar dianya aja yang ngefans sama aku. Secara kan aku cantik, pasti dia iri," sahut Kayla berusaha meyakinkan cowok di sampingnya itu.
"La, jangan bercanda."
"Ck! Iya-iya aku nggak akan dekat-dekat sama dia."
"Good Girl," ucap Rey sambil mengajak rambut Kayla. Dan Kayla tidak menolak, karena itu sudah jadi kebiasaan Rey dari jaman mereka masih SD.
"La."
"Hmm?"
"Apakah masih sama?"
"Apanya yang sama?"
"Perasaan kamu. Apakah perasaan kamu ke aku masih sama seperti dulu?"
Kayla diam. Ia juga tidak tahu apakah perasaanya masih sama atau sudah benar-benar berpaling. "Rey, a-aku ... aku ...."
Rey menempelkan jari telunjuknya ke depan bibir Kayla.
"Nggak usah dijawab. Aku cuma pengen kamu denger ini," Rey mengubah posisinya menghadap Kayla, "aku masih sangat sayang dan cinta sama kamu. Bahkan, saat aku ninggalin kamu ke Itali hingga saat ini, aku selalu menganggap kamu masih milik aku. Maaf atas sikap aku yang egois."
Kayla terdiam. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Entah ia harus senang atau bagaimana. Kayla masih tak menyangka bahwa Rey masih menganggap ia sebagai miliknya. Jujur, Kayla nyaman bersama Rey, ia selalu merasa dilindungi setiap ada Rey di sisinya. Hatinya selalu berdesir saat menerima perhatian dari Rey. Yang beda hanyalah detak jantungnya tidak begitu kencang seperti dulu saat berdekatan dengan Rey.
"Lala bingung."
"Bingung kenapa?"
"Lala bingung. Lala nggak tau perasaan Lala ke Rey masih sama atau enggak seperti dulu."
"Kan tadi Rey udah bilang jangan dijawab, Lala sayang."
Hati Kayla berdesir saat Rey memanggilnya "sayang". Namun, ia juga bingung. Bagaimana dengan Rangga? Kayla juga menyukai Rangga. Meski sifatnya beda jauh dengan Rey, namun Rangga berhasil membuat jantung Kayla selalu berdetak tak karuan saat berdekatan.
"Masuk yuk Rey, udah bel tuh," ajak Kayla.
"Yuk."
Keduanya berjalan berdampingan dengan jemari yang saling bertautan. Sesekali Kayla tertawa mendengar celotehan receh dari Rey.
Saat mereka melewati kelas XI IPA 1, di sana terlihat Rangga dkk sedang mengobrol di depan kelas. Dan saat itulah tatapan Rangga dan Kayla bertemu. Hanya beberapa detik sampai Rangga yang memutuskan kontak mata mereka lebih dulu. Kayla dapat merasakan tatapan Rangga yang berbeda. Tatapannya kembali datar dan menusuk.
"Lo kenapa, Ga?" tanya Ken yang sejak tadi memerhatikan raut wajah Rangga yang tiba-tiba berubah.
"Kenapa apanya? Biasa aja kok."
"Oh, kirain kenapa. Abisnya gue lihat-lihat lo kayak lesu gitu."
"Gue tau, pasti si Rangga lagi kebelet boker. Makanya raut mukanya kayak lagi menahan sesuatu," celetuk Fikri sambil mencomot makanan ringan dari tangan Iqbal.
Pletak!
"Aduh! Apaan sih lo, main jitak-jitak aja. Udah di fitrahin emak gue nih, jangan sembarangan," sungut Fikri sambil mengusap kepalanya.
"Mulut lo tuh perlu disaring. Gue jadi nggak nafsu makan kan," protes Ken. Roti yang sudah ada di depan mulutnya tidak jadi ia makan.
"Gue tau Rangga kenapa," ucap Iqbal tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Kenapa-kenapa?"
"Coba deh lihat belakang."
Spontan ketiga cowok itu, kecuali Rangga menoleh ke belakang. Ketiganya sibuk mengamati dua manusia berlawan jenis sedang berjalan sambil bergandengan mesra. Dari sana terlihat Kayla yang terus memamerkan tawanya, padahal baru sekitar lima belas menit yang lalu ia dibully.
"Omegat! Itu dedek manis? Ngapain tuh dia jalan sama bule nyasar?" pekik Fikri dengan ekspresi lebaynya.
Sedangkan Ken mengangguk sambil melirik ke arah Rangga yang tetap diam di posisinya. Sekarang ia paham, sepertinya Rangga cemburu melihat kedekatan Kayla dengan Reynald.
"Jadi, lo cembukur nih? Eh, maksudnya cemburu?" tebak Ken sambil menelisik raut wajah Rangga.
Rangga memalingkan wajahnya. "Apaan sih, nggak usah ngarang deh. Ngapain juga gue cemburu. Nggak penting," elaknya.
Kayla dan Rey telah sampai di hadapan Rangga dkk. Dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya, Kayla dengan semangat menyapa mereka semua.
"Hay Kak Rangga, Kak Ken, Kak Iqbal sama Kak Fikri."
"Hai juga, Kay," balas Ken.
"Hai juga dedek manisQ," sahut Iqbal.
"Holla dedek manisnya Abang."
Sedangkan Rangga hanya diam dan memilih beranjak masuk ke kelasnya.
"Itu Kak Rangga kenapa, ya?" tanya Kayla.
"Nggak tau tuh, lagi pms kali," celetuk Iqbal.
"Ih, Kak Iqbal. Mana ada cowok pms," ucap Kayla polos.
Hal itu membuat keempat cowok itu semakin gemas. Fikri yang memang duduk di dekat Kayla, tanpa sungkan langsung mencubit kedua pipi Kayla dengan gemas.
"Lo tuh gemesin banget sih. Jadi pengen gue bawa pulang," ucap Fikri sambil terkekeh.
"Aw! Sakit Kak Fikri!"
Sedangkan ketiga lainnya hanya menonton sambil menertawakan ekspresi memelas Kayla tanpa mau menolong.
Setelah puas, barulah Fikri menjauhkan tangannya dari pipi Kayla.
"Ya udah deh, Kak Rangganya nggak ada di sini. Kayla pergi dulu ya. Bye ...," pamit Kayla. "Yuk, Rey," lanjutnya.
"Kamu deket banget ya La sama mereka?" tanya Rey saat telah menjauh dari mereka.
Kayla tampak bepikir sejenak. "Hmm ... lumayan. Mereka itu udah aku anggap seperti kakak aku sendiri."
"Termasuk Rangga?"
Kayla gelagapan, ia bingung harus menjawab apa. "Em, Rey ayo cepet jalannya. Pasti Pak Taufik udah masuk." Tanpa menunggu jawaban Rey, Kayla langsung berlari meninggalkannya.
Rey tersenyum kecut. "Tanpa kamu jawab pun aku udah tau, La," gumamnya.
🌂🌂🌂
"La, pulang bareng, nggak?" tanya Rey sambil memasukkan semua alat tulisnya ke dalam ransel hitam miliknya.
"Emm ... nggak bisa, Rey. Lala tadi berangkatnya sama kak Rangga. Nanti kalau pulangnya sama Rey, kak Rangga marah," ucap Kayla tak enak.
"Oh, ya udah. Aku duluan, ya."
Tyas dan Elsa sudah pulang lebih dulu. Tadi Tyas dihubungi oleh papanya untuk pulang lebih cepat. Sedangkan Elsa harus les piano.
Sekolah sudah sepi, begitu pun tempat parkir. Bola matanya mencari-cari di mana mobil Rangga. Padahal, seingatnya mobil Rangga di parkir di dekat pohon besar itu.
"Kak Rangga ke mana, ya? Apa dia pulang duluan?" gumamnya.
Kayla berbalik arah mencoba mencari Rangga di kelasnya. Mungkin saja Rangga masih di kelas.
Setelah melihat ke setiap sudut ruangan, ternyata nihil. Rangga tidak ada di sana.
Kayla menunduk lesu. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke keluar gerbang dan duduk di halte.
Pukul empat sore. Itu artinya, sangat sulit mencari angkutan umum ataupun taksi. Saat hendak memesan ojek online, ia mengumpat kesal. Ponselnya malah mati. Bagaimana mungkin nasibnya apes sekali hari ini. Ia menyesal karena menolak ajakan Rey untuk pulang bersama.
Jadilah ia hanya duduk terdiam menopang dagu sambil berharap akan ada seseorang yang ia kenal mau menawarkan tebengan padanya.
Satu jam telah ia lewati, nyatanya tidak ada satu pun orang yang ia kenal lewat sini. Jalanan sudah mulai sepi, membuat Kayla menggigit bibirnya takut. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Apakah ia harus berjalan agar cepat sampai rumah? Ah, sepertinya itu pilihan bagus.
Dengan perasaan takut, Kayla tetap melangkahkan kakinya. Huft, andai saja kakinya panjang. Mungkin itu akan mempermudah ia untuk sampai lebih cepat ke rumahnya.
Baru dua puluh menit, dan Kayla sudah merasakan lelah di kakinya.
Matanya mulai berkaca-kaca. "Bunda, Lala takut."
Karena hari yang sudah semakin gelap, Kayla memutuskan untuk berlari saja. Sampai ia mendengar ada yang memanggilnya dari belakang. Ia berharap itu bukanlah suara hantu atau pun orang jahat.
"Kayla."
"Kay."
"Dedek manis."
Mendengar panggilan terakhir itu, barulah Kayla menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Fikri yang bertengger di motornya. Setelah itu, turun dan menghampiri Kayla.
"Lo ngapain masih di sini? Ini udah hampir magrib dan lo masih pakai seragam," ucap Fikri.
Setitik air mata jatuh membasahi pipinya. Kayla menangis. "Kayla pikir tadi jak Rangga nungguin Kayla di parkiran. Nggak taunya kak Rangga pulang duluan. Terus ponsel Kayla juga lowbat jadi nggak bisa telpon rumah untuk jemput," adunya.
Fikri mengusap wajahnya kasar, bisa-bisanya Rangga meninggalkan gadis mungil ini sendirian. "Ya udah, ayo naik. Gue antar lo pulang."
Senyum sumringah langsung terpancar di wajah Kayla. "Beneran?"
Fikri tersenyum, ia mengacak rambut Kayla dengan gemas. "Iya, beneran. Masa bohongan."
Kalau ada yang bertanya kenapa Fikri sangat perhatian pada Kayla. Apakah Fikri menyimpan rasa pada Kayla? Itu salah, karena Fikri sudah menganggap Kayla seperti adiknya sendiri. Karena beberapa tahun yang lalu adik kandung Fikri meninggal dan sifatnya yang sangat mirip dengan Kayla. Nggak tau deh kalau besok. Perasaan kan bisa berubah-ubah.
Kalau udah sampai bawah, jangan lupa tekan 'vote' dan 'komentar'😊
To Be Continue➡
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro