RUMPUT LIAR
"Alesha, gue bakalan kangen banget sama lo. Sayang banget lo nggak ambil beasiswanya, padahal pasti bakal seru banget deh kita bakal satu kampus."
"Gue juga maunya begitu, Liv. Tapi apa boleh buat, gue nggak bisa ngambil kesempatan itu. beasiswa yang ditawarkan hanya sebatas semester 1 sampai 4 sedangkan sisanya gue nggak tahu nanti bakal bisa bayar atau nggak. Sayang kan, kalau ternyata gue nggak bisa bayar dan akhirnya gue berhenti di tengah jalan."
"Sudah dong mellow-mellownya, di mana pun kampusnya, toh kita bisa ketemu lagi kan ...? Nggak bakal kiamat juga kok kalau kita nggak satu kampus," ucap Kenzo menghamburkan diri di tengah-tengah Alesha dan Olivia.
"Iya, iya, bawel!" desis Olivia mengerucutkan bibirnya, yang segera disambut oleh kuncupan tangan Kenzo.
Melihat pemandangan dua sejoli di sampingnya, membuat Alesha menjadi tidak nyaman, "Aduh, kalian bisa nggak kalau mau mesra-mesraan nanti saja, kalau nggak ada gue? Gue udah berasa setan tau nggak ...?" pekik gadis itu sembari beranjak menjauh dari Olivia dan Kenzo. Sementara dua sejoli itu hanya tertawa menanggapi ucapan Alesha.
"Nggak kerasa ya, tiga tahun kita sekelas, dua tahun satu asrama. Hari ini, saat kelulusan, kita benar-benar harus berpisah satu sama lain," ujar Alesha sembari merebahkan diri ke rumput, memandang hamparan langit biru dengan sederet awan putih yang menghias di atas sana. Mata gadis itu terpejam, menikmati udara yang berembus di sela-sela cuaca cerah.
Olivia dan Kenzo mengambil tempat di sebelah Alesha, mengikuti jejak gadis itu, berbaring di bawah naungan pohon besar menikmati hari terakhir mereka di Bridge School. samar-samar ketiganya mendengar suara derap sepatu yang bersinggungan dengan rumput, mendekat.
"Kalian hobi banget ya nongkrong di sini?" Suara milik Jesslyn terdengar di telinga.
Tidak ada yang menyahut dari ketiganya.
"Gue join ya?" timpal Jesslyn, lalu mengambil poisi duduk di samping Alesha. Sebab dia tidak mungkin mengambil tempat di sebelah Kenzo, yang ada nanti dia bakal beradu cakar dengan Olivia.
"Lander, sini!" teriak gadis itu pada seorang laki-laki tampan yang baru saja muncul dengan menjinjing kantong plastik di tangan kiri dan kanannya. Laki-laki itu menyimpan kantong plastik berisi minuman boba, di batang pohon yang daun-daunnya tengah berjasa sebagai payung bagi teman-temannya.
Laki-laki itu mengambil posisi tepat di samping Jesslyn, "Lo nggak rebahan, Jess?" tanya Lander saat mendapati tubuh Jesslyn meringkuk memeluk lututnya.
Gadis itu menggeleng, "Gue nggak terlalu nyaman rebahan di rumput," sahutnya.
"Kalian nggak haus apa? Gue bawa boba nih!"
Serta-merta ucapan Lander membuat ketiga orang yang tengah berbaring beralaskan rumput Bridge School itu terjaga bersamaan. Lander dan Jesslyn tertawa, "Gila ya, kalian bertiga kompak banget! Sampai-sampai urusan makanan juga kalian kompak, heran gue!" ujar Jesslyn.
Berlima mereka menikmati dinginnya boba yang seolah menyapu dahaga mereka, menikmati pemandangan Bridge School dari tengah-tengah lapangan dinaungi pohon besar yang terus saja berisik saat ranting dan daun-daunnya tertiup angin. Setiap semilir angin berderu memberikan sensasi sejuk pada tubuh mereka yang berteduh.
"Gue bakal kangen tempat ini," ujar Alesha, pandangannya menjelajah mengitari sekolah yang selama tiga tahun telah memberikannya kenangan di masa remajanya.
Banyak hal telah dilewati, yang pada akhirnya menjadi sebuah kenangan. Bridge School adalah tempat di mana dirinya harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari sang kakek, tempat di mana dirinya harus merasakan dipanggil dengan sebutan babu oleh seorang laki-laki yang tiba-tiba raib dari hidupnya, setelah laki-laki itu sukses mencuri ciuman pertamanya, sukses membuat rindu bergelayut tanpa henti di relung hatinya, laki-laki yang namanya masih terpatri dalam ingatan, begitu menyebalkan tetapi juga sangat Alesha rindukan. Bridge School, tempat di mana dia mendapatkan teman dan segudang kenangan di dalamnya.
"Gue bakal kangen kalian semua!" seru Alesha, memandangi wajah temannya satu persatu, lalu dia mendapati sosok Lander, "Oh, kecuali lo, Lander!" tambahnya yang segera disahuti tawa dari teman-temannya.
"Lo pasti bosan ya, kan? Setiap hari harus bertemu dengan Lander," ucap Olivia, setelah mengakhiri tawanya yang sempat pecah saat Alesha mengatakan Lander adalah pengecualian.
"Well, gue harus balik, nyokap gue sudah jemput gue," kata Kenzo setelah melihat layar ponselnya. Dia beranjak dari tempatnya, mengulurkan tangan kepada Olivia, "Kamu ikut, kan?" tanya laki-laki itu kepada gadisnya. Olivia mengiakan dengan anggukan.
"Kita duluan ya! Sampai ketemu lagi, semuanya!" ujar Olivia, mengikuti langkah Kenzo. Sebelum langkah mereka menjauh, Oliva menarik tangan pacarnya, menahannya untuk beberapa saat, "Foto dulu, yuk!" ajak gadis itu pada Kenzo.
"Teman-teman, di mana pun kampusnya, kalau kita tidak sibuk, bisakah kita bertemu?" tanya Olivia berjalan mendekati ketiga temannya yang terlihat asik menyeruput boba. Ketiganya mengangguk setuju.
"Sebelum kita berpisah, sebelum kita sibuk dengan aktivitas kita masing-masing, kita foto dulu, yuk!" sambung Olivia, menarik tangan Alesha dan Jesslyn bersamaan.
Berlima mereka berfoto, mengabadikan hari terakhir mereka mengenakan seragam kebanggaan Bridge School. Setelah itu, Jesslyn mengusulkan untuk membuat grup chat yang anggotanya terdiri dari mereka berlima. Setelah grup chat terbentuk, mereka berdiaspora meninggalkan Bridge School sebagai mahasiswa.
*****
Lander dan keluarganya mengundang Alesha dan Anne ke rumah mereka bukan untuk bekerja, melainkan untuk hadir di pesta perayaan kelulusan putra sematawayang mereka dari Bridge School. Serta Lander juga diterima di salah satu kampus terkemuka di Bali untuk program S1 Jurusan Manajemen. Sementara Alesha, tidak bisa jauh-jauh dari ibunya di ibukota, gadis itu diterima di salah satu kampus swasta di Jakarta program studi Bisnis dan Manajemen Internasional.
"Lo berangkat kapan ke Bali?" tanya Alesha sembari menikmati pemandangan di taman rumah Lander.
"Lusa. Lo nggak apa kan, gue tinggalin di sini?"
"Lah, memangnya gue harus meraung-raung gitu?"
Mendengar ucapan Alesha, laki-laki itu tertawa.
"Lo jangan nakal ya kalau di sini nggak ada gue."
"Dih, apaan!"
Gadis itu merasa sikap laki-laki itu aneh, tidak seperti biasanya. Laki-laki itu menatap kedua matanya lekat, sementara Alesha memalingkan pandangannya. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, tetapi belum sempat menjauh, laki-laki itu berhasil menangkap tangannya. Gadis itu berbalik, "Lo kenapa sih?" tanya gadis itu.
"Alesha, sebelumnya gue mau mengaku satu hal."
"Apaan?"
Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Jadi, sebelum Igni pergi, dia sempat ngirim gue pesan buat lo, Sha." Laki-laki itu menunjukkan ponsel berisi pesan dari Igni.
Mata Alesha nampak membulat mendengar perkataan Lander, dia terkejut bukan main. Ditatapnya mata laki-laki itu dengan gusar, dia lalu mengambil ponsel milik Lander. Seolah tidak sabaran, segera dia membaca isi pesan pada kolom chat.
Igni: Lander, gue titip Alesha. Tolong jaga dia buat gue. Apapun yang terjadi, lo harus selau berada di dekatnya, jangan biarkan dia berjuang sendirian. Gue tahu, gue pengecut karena pergi tanpa pamit. Tapi, gue nggak bisa bilang ke dia langsung. Gue takut, gue nggak akan bisa pergi. Untuk itu gue memilih bungkam. Tolong bantu gue, jaga dia. Lo yang terbaik, Bro. Thanks!
"Di luar permintaan Igni, gue tulus bantu lo, Sha. Tapi ... setelah hari ini, gue bakal pergi ke Bali. Gue nggak mungkin bisa ada di sisi lo buat jaga lo," tutur Lander.
"Gue nggak butuh dijaga-jaga, gue bukan orang penting yang harus dijaga setiap waktu, nggak bakal tewas terbunuh juga kalau nggak lo jagain. Lagipula dia konyol banget sih ngirim pesan kayak gitu ke lo. Kekanakan!"
Entah sejak kapan butiran bening menetes tanpa henti membasahi kedua pipi Alesha. Melihat gadis di hadapannya menangis, segera Lander merangkum wajah gadis itu dengan kedua telapak tangannya, "Sssttt, sudah jangan nangis, Sha." Laki-laki itu mengusap air mata yang menggenang di sana.
"Lander," panggil Alesha.
"Lo nggak berniat nyium gue dari posisi ini kan?"
"HAH?"
Melihat wajah bingung laki-laki itu membuat tawa Alesha pecah. Gadis itu menghalau kedua tangan Lander di wajahnya, "Sudah ah! Gue geli tahu, kalau lo tiba-tiba berlaku aneh, dengan perhatian lo yang berlebihan itu!" ucap Alesha menjauhkan dirinya.
"Alesha, lo gila ya! Pede banget sumpah!" kata Lander, sembari menggelengkan kepalanya, "Takjub gue dengan sikap lo yang super pede ini, Sha! Gue jadi yakin, lo nggak akan kenapa-napa meskipun nggak ada gue di sisi lo," tambahnya.
Gadis itu manggut-manggut, "Terima kasih atas segalanya, Lander. Gue berhutang banyak! Lo sudah baik banget ke gue dan nyokap gue. Padahal status gue hanya seorang anak pemban—" gadis itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat jari telunjuk milik lawan bicaranya mendarat di bibir.
"Jangan pernah lo merendahkan diri lo, Alesha!"
"Alesha! Kamu di mana, Nak ...?" Suara Anne terdengar cukup nyaring di telinga ke duanya.
Gadis itu menepis tangan Lander dari bibirnya, "Iya, Bu!" sahutnya.
Segera Alesha meninggalkan Lander, berlari menuju sumber suara Anne yang memanggilnya. Ia menghentikan langkahnya saat mendapati sosok ibunya yang tengah celangak-celinguk mencari dirinya. Sekali lagi gadis itu mendengar ibunya memanggil namanya.
"Ibu!" Alesha berseru dari belakang ibunya.
"Ya Tuhan ... dari mana saja kamu, Nak? Pestanya sudah selesai, ayo kita pulang!" ajak Anne, sembari menggandeng lengan putrinya.
*****
Alesha baru saja sampai di rumah, ia segera menuju kamarnya, mengetikkan pesan kepada Lander.
Alesha: Terima kasih, Lander. Gue di sini akan baik-baik saja. Sebab, dulu pernah ada seorang laki-laki yang bilang ke gue, katanya gue itu ibarat tumbuhan. Gue itu seperti rumput liar, yang akan selalu hidup meski terus diinjak-injak.
Jadi, lo nggak usah khawatir, gue bisa jaga diri gue. Terima kasih karena selama ini lo selalu ada buat gue, lo selalu nolongin gue di saat gue butuh bantuan. Gue nggak tahu lagi harus ngomong berapa kali ucapan terima kasih atas segalanya.
Gue nggak akan bisa membalas semuanya. Tapi gue bisa berdoa, supaya lo dan keluarga lo selalu diberikan kesehatan dan dilindungi Tuhan. Terima kasih.
Tidak lama setelah Alesha mengirimkan pesan itu, seseorang yang menjadi lawan chat-nya membalas pesannya.
Lander: Gue tahu lo kuat, Sha. Maafin gue, karena seperti yang sudah nyokap gue bilang, kalau nyokap kemungkinan akan ikut gue ke Bali. Jadi, untuk sementara yang bakal tinggal di rumah gue itu adalah adik nyokap gue.
Alesha: Iya, Lander. Gue tahu kok, orang yang akan jadi majikan gue selanjutnya itu adalah Tante Utari, tante lo, adik nyokap lo.
Lander: Lo yang betah ya sama dia, Sha.
Lander: Tenang, gue bakal balik kok kalau liburan. Nanti gue bawain lo oleh-oleh.
Membaca pesan terakhir yang dikirimkan oleh Lander membuat senyumnya mengembang. Setelah menyimpan ponselnya. Alesha mendoa supaya hari esok dapat lebih baik,matanya lalu terpejam.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro