KEJUTAN
"AKU?" tanya Alesha sembari mendelik menatap mata laki-laki di depannya, "Nggak salah denger nih, kuping gue?" Sekali lagi gadis itu melontarkan pertanyaan kepada Igni. Angin malam berembus, serta-merta mengusik tubuh keduanya yang masih basah setelah ke luar dari kolam renang.
Kedua pasang mata itu bertemu pandang, "Kasih tau gue, dimana pintu keluarnya? Heran gue, rumah keluarga lo gede banget sih, sampai-sampai gue nyasar nyari pintu ke luar, mana ada bayak pintu yang sama lagi!" kata Alesha sembari mengalihkan pandangannya dari Igni. Gadis itu kesal karena rasanya percuma saja membuang energinya, laki-laki yang menjadi lawan bicaranya nampak tidak bergeming.
"Alesha, dengar," suara Igni terdengar begitu pelan, nyaris seperti berbisik.
"Apaan?" sahut gadis itu ketus.
Igni mengembuskan napas sambil lalu, menatap gadis di depannya, "Gue nggak mau lo sakit," ucap laki-laki itu pada akhirnya. Igni menyeka kepala Alesha yang basah dengan handuk. "Lo tahu kan, apa alasannya?" tanya laki-laki itu.
"Ah ... akhirnya sosok lo yang sesungguhnya balik lagi. Gue pikir lo kesambet setan apa di jalan sampai-sampai cara bicara lo berubah tadi," kata Alesha menanggapi ucapan Igni.
Tanpa dikomando, Alesha mengambil alih handuk dari tangan Igni, lalu dia mengelap sendiri sisa air kolam yang masih menempel di tubuhnya. Alesha sempat mengira laki-laki itu perhatian kepadanya, tetapi ternyata karena dia tidak ingin repot saat gadis itu sakit.
"Seperti kata gue, kita balik ke sekolah besok pagi." ucap Igni menggandeng tangan Alesha, gadis itu menatapnya dengan pandangan tidak percaya.
Seolah mengetahui apa yang ada dalam otak gadis itu, Igni menatap gadis itu, "Gue cuma nggak mau ada orang nyasar di sini," tandas Igni kembali melanjutkan jalannya.
Alesha pasrah mengikutinya dari belakang. Laki-laki itu benar. Tadi dia sudah berada di sebuah pintu yang terbuka, yang menyuguhkan pemandangan sebuah taman penuh bunga mawar warna warni. Sayangnya, gadis itu bingung harus ke pintu yang mana untuk mencapai jalan ke luar dari rumah Igni. Karena ada banyak pintu di sana, dan hanya ada satu pintu yang terbuka, maka di sanalah dia berada sembari celingukan, lalu ditarik Igni.
Aku tidak percaya, dia memperlakukanku seperti anak kecil! Pekik Alesha dalam hati. Alesha menatap punggung Igni, laki-laki itu masih bertelanjang dada saat mengejar dirinya. Setidaknya dari sekian hal yang dapat dipandangnya, tubuh laki-laki itu berhasil mencuri perhatian gadis itu, bagus juga tubuhnya, punggungnya bidang. Ucap Alesha memuji Igni tanpa suara.
"Lo nggak dingin apa?" tanya Alesha saat lagi-lagi angin malam berembus membuat tubuhnya bergetar. Tidak ada jawaban. Laki-laki jangkung itu terus berjalan tanpa menengok ke arah Alesha. Masih menggenggam tangan gadis itu. Setelah melewati beberapa ruangan, langkah Igni berhenti saat tiba di ruang tamu.
"Duduklah dulu," kata Igni saat tiba di ruang tamu. Gadis itu menuruti.
"Bik, tolong siapkan baju ganti untuk Alesha," perintah Igni kepada seorang pelayannya, sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Baik, Tuan."
Segera pelayan itu pergi melaksanakan perintah dari Tuannya. Alesha melihat ke sembarang arah saat laki-laki itu berganti tanpa memedulikan sosoknya yang juga ada di situ, "Kenapa lo buang muka? Gue kan cuma pakai baju. Lagian dari tadi pas gue nggak pakai baju lo cuek-cuek aja," kata Igni.
"Ya lalu, gue harus dengan terang-terangan ngeliat lo gitu?" ucap Alesha seraya melayangkan pandangannya ke sosok Igni, saat yang tidak tepat, saat dimana laki-laki itu baru saja akan menanggalkan celana jeans-nya.
"Oh, NO!" teriak Alesha sembari membalikkan badan.
"Lo gila apa! Kenapa lo sampai lepas celana juga sih? Emangnya di rumah lo yang sebesar istana ini nggak ada kamar mandi atau tempat ganti baju gitu?" hardik gadis itu dengan wajah yang memerah. Dikatai seperti itu, Igni hanya tertawa terbahak-bahak. Tanpa diminta dua kali, segera Igni pergi untuk mengganti celananya yang basah.
Tidak lama setelah menghilangnya Igni ke dalam salah satu ruangan, seorang wanita paruh baya datang membawakan Alesha sebuah gaun one piece warna putih tulang berbahan sutra. Wanita itu mengajak Alesha ke sebuah tempat untuk mengganti bajunya. Tidak lama, ia diantar oleh wanita itu menuju ruang keluarga. Di sana sudah ada Igni, laki-laki itu terlihat sedang menerima telepon dari seseorang.
"Baik, tidak masalah." Setelah mengucapkan kata itu, Igni mematikan ponselnya. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Apa mungkin, aku bisa melakukannya?" tanya laki-laki itu kepada dirinya sendiri.
Ia tampak sibuk dengan pikirannya, yang entah apa, sampai-sampai ia tidak menyadari keberadaan Alesha di situ. Igni terkejut bukan main, dengan cepat ia mengurut dadanya, "Ya Tuhan, Alesha ... kemunculan lo bisa lebih normal lagi nggak sih? Untung gue nggak kena serangan jantung!" ujar Igni masih memegangi dadanya.
"Apaan sih, lebay banget! Gue udah dari tadi ada di sini, gue udah manggil-manggil tapi lo-nya terlalu asik sendiri. Mana horor banget lagi, lo ngomong sendiri," ucap gadis itu dengan wajah takut yang dibuat-buat. Melihat tingkah gadis itu, membuat Igni merasa gemas sendiri, dia mendekati gadis itu lalu mencubit pucuk hidung mancung gadis itu.
"AW! Sakit tau!" Alesha protes.
Entah sejak kapan tepatnya, mencubit hidung telah menjadi rutinitas laki-laki itu padanya, padahal posisi Alesha saat itu sedang marah. Tetapi dengan seenaknya, laki-laki itu melakukan itu, mencubit ujung hidungnya. Dasar menyebalkan! Maki gadis itu dalam hati, sembari menyusap pelan ujung hidungnya yang merah.
Igni mengempaskan tubuhnya ke sofa, memejamkan matanya, "It doesn't feel like time is going so fast ... only half a year is left I can go easy on you."
Jeda.
Alesha tidak mengerti ada apa dengan laki-laki itu hari ini, dia tampak tidak seperti biasanya. Alesha bahkan sempat mengira kalau ada kata rindu yang tersirat dari kalimat panjang yang dilontarkan Igni barusan. Ah, mustahil! Kata gadis itu dalam hati. Dia lalu mendekat menuju sofa tempat laki-laki itu memejamkan matanya dengan santai. Alesha berdiri di belakang Igni.
"Actually, I'm relieved that I'll be free from you," ujar Alesha.
Di tempatnya berdiri, ia pandangi wajah Igni, laki-laki itu masih terpejam. Alisnya tebal, bulu matanya lentik, wangi sampo semerbak, sepertinya dia baru saja keramas. Well, aku juga tadi keramas sih. Alesha sibuk berucap dalam hati, dia lalu cekikikan sendiri mengingat dengan kentara sekali dia mendetail bagian dari wajah Igni.
Helai rambut milik gadis itu lolos dari ikatan, terjun bebas mengenai wajah Igni, membuat laki-laki itu terkesiap, dan dengan sengaja dia tetap memejamkan matanya. Gadis itu masih pada posisinya memandangi wajah Igni, gemas rasanya melihat sesuatu berwarna putih menempel di bibir bawah laki-laki itu.
"Apa ini odol?" ucap Alesha, secara spontan mengelap bibir bawah Igni dengan ibu jarinya.
Laki-laki itu serta-merta membuka matanya, membuat gadis itu terkejut bukan main. Segera Alesha menjauhkan diri dari wajah Igni, laki-laki itu beranjak dengan cepat menghadap ke belakang. Bukannya menjauh, jarak diantara mereka kini justru semakin dekat, saat laki-laki itu menggapai kepalanya. Pada detik berikutnya, Alesha merasakan sentuhan bibir laki-laki itu di bibirnya.
Alesha mendorong tubuh Igni menjauh, "Gue anggap, perjanjian kita selesai sampai di sini. Malam ini juga, gue mau kembali ke sekolah," ucap Alesha tanpa menatap wajah lawan bicaranya.
Jeda.
"Tunggu sebentar," kata Igni, lalu segera ia menuju kamarnya yang terletak di lantai dua, mengambil kunci mobilnya.
Baik Igni dan juga Alesha, dua-duanya tidak berbicara satu katapun, bahkan sampai mereka tiba di sekolah. Buru-buru Alesha ke luar dari mobil Igni, berlari secepat yang ia bisa menuju asrama putri. Dia mahkan tidka menghiraukan saat teman-teman di asrama yang menyapanya. Gadis itu hanya ingin segera sampai di kamarnya. Itu saja.
*****
Kamar nomor 15, Alesha membuka pintu, lalu menghamburkan dirinya ke dalam. Cepat-cepat ia menuju kamar mandi, mengambil sikat gigi, "Lancang sekali dia! Dia pikir dia siapa, seenaknya menciumku!" Berulang kali kalimat itu meluncur dari mulutnya, berulang kali juga gadis itu membasuh mulutnya.
Alesha menatap bayangan dirinya di cermin, bibirnya merah karena ia gosok sekuat tenaga, ada rasa perih yang tertinggal di sana, "Kenapa harus dia sih?! Itukan ciuman pertamaku! UH! Tuan muda berengsek!" Alesha memaki, lalu sekali lagi dia menyikat gigi dan membasuh mulutnya.
Gadis itu mengganti pakaiannya, bergegas membaringkan diri untuk lelap, dengan harapan saat fajar menyingsing memaksanya untuk terjaga, kejadian menyebalkan yang dialaminya bersama Igni dapat menghilang ditelan malam. Namun nyatanya, gadis itu sama sekali tidak dapat terpejam. Alesha mengacak rambutnya kesal. Dia membuka laci meja, dan mengabil tablet miliknya, buku hariannya.
Rasanya seperti disengat lebah, walapun aku bahkan tidak tahu bagaimana saat lebah harus kehilangan nyawanya setelah menyengat. Entahlah, aku hanya merasa kalau samar-samar tercium aroma min yang beriringan dengan tembakau, saat bibir miliknya mendarat di bibirku.
Uh! Aku benar-benar kesal saat harus teringat kejadian itu.
Sebenarnya apa sih maunya?
Sampai saat ini, aku masih belum mengerti, alasan laki-laki itu mengikatku dengan perjanjian antara Tuan dan pesuruhnya. Kecuali, kalau dia memang sebenci itu kepadaku. Sampai-sampai, dia tega mencium orang yang dibencinya, supaya aku tersiksa, begitu?
"Ah, jadi benar begitu ya?" tanya Alesha pada dirinya sendiri. Gadis itu hanyut dalam spekulasi yang menggema dalam benaknya.
"Memang sih, rasanya sangat menyebalkan, berciuman dengan orang yang kita benci. Tapi memangnya, apa sih salahku, sampai dia begitu padaku?" tanya gadis itu tidak habis pikir.
Asrama putra.
Laki-laki itu baru saja melemparkan diri ke kasur, sampai suar aponselnya memecah keheningan malam di kamarnya. Dengan malas, Igni menjawab panggilan telepon dan menyalakan loudspeaker.
"Ada apa, Kek?" tanyanya sembari melawan kantuk.
"Ibumu pingsan, Nak."
"Apa? Kenapa? Bukannya Ibu sedang bersama dengan koleganya?" tanya Igni bertubi pada Dann.
"Dengar, Nak. Kakek berharap kau dapat menjadi pribadi yang kuat, jangan lemah hanya karena hal yang akan kakek sampaikan kepadamu, Nak," ucap Dann, dengan hati-hati berusaha memilih kalimat yang tidak akan membuat pemuda itu sampai pingsan layaknya ibunya.
"Ayahmu sudah beristirahat dengan tenang, Nak," tambah Dann dengan suara bergetar, menahan air matanya.
"Apa kakek sedang bercanda denganku, hm?" ucap Igni, tengah berbicara kepala lawan bicaranya di seberang telepon.
"Ini serius, Igni. Ayahmu kecelakaan saat dalam perjalanan pulang. pesawat yang dikendarainya leyap bersama dengan ledakan di udara. Nyalakan TV sekarang," ucap Dann, yang merupakan lawan bicara Igni.
Igni segera menyalakan TV, kebetulan saat itu tayangan yang sedang diputar di layar TV adalah berita terkini siaran langsung yang memperlihatkan rekaman amatir seseorang saat langit di Negeri Menara Eiffel berubah merah dengan bunyi menggelegar. Sebuah pesawat pribadi milik Keluarga Bazyli meledak di udara. Akibat kecelakaan itu telah merenggut enam nyawa, pilot, kopilot, dua pramugari, sekretaris Perusahaan Venus, dan CEO dari perusahaan tersebut.
"Pulanglah, Nak. Kau tahu bukan, apa yang harus kau lakukan, Nak?" tanya Dann kepada cucunya.
Terima kasih ya sudah mampir, jangan lupa berikan komentar dan juga vote bintangnya ya ^^
Terima kasih banyak-banyak ... Semoga kalian suka ceritanya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro