Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DAHAYU GARINI

Igni baru saja ke luar dari ruangan kerjanya. Matanya bergerak mengitari setiap penjuru ruangan berusaha menemukan sosok cantik yang selalu berhasil membuatnya tergila-gila. Sosok gadis itu begitu sempurna di mata Igni—dengan segala kekurangan yang melekat padanya, terlepas dari status mereka yang berbeda, bagai bumi dan langit—seorang gadis yang begitu sayang kepada ibu dan keluarganya, Alesha.

"Mega, kamu melihat di mana Alesha?" tanya Igni kepada salah satu karyawan yang sudah lama mengabdi bersama dengan Windia di Perusahaan Venus milik keluarganya.

"Oh, Alesha sedang ke kafe di seberang jalan, Pak," jawab Mega.

"Ah, begitu, pantas saja dia tidak kelihatan," kata Igni mendapatkan jawaban mengenai keberadaan gadis itu.

"Bapak membutuhkan sesuatu?" tanya Mega.

Igni menggeleng, "Tidak, nanti saja saat Alesha sudah kembali. Ini adalah tugasnya. Terima kasih," jawab laki-laki itu.

Mega tersenyum maklum, "Baik, Pak. Sama-sama. Jika Bapak membutuhkan saya, katakan saja."

Igni tersenyum membalasnya. Laki-laki itu mengambil ponsel yang ia simpan di saku jasnya, segera dia menghubungi nomor Alesha, setelah sepasang mata hazel itu tidak menemukannya.

Panggilan itu tersambung, "Alesha," kata Igni kepada lawan bicaranya.

"Iya, halo. Ada apa?"

Setelah mendengar suara gadis itu, Igni tidak membuang waktu dan segera mengutarakan apa yang ada di benaknya. "Kamu dimana? Ada berkas-berkas yang harus kamu tinjau lebih lanjut." Tentu saja ucapannya adalah sebuah basa-basi, dia bahkan sudah tahu keberadaan lawan bicaranya itu.

Igni bahkan berencana mau menemui gadis itu. Gerakan kakinya kekiri dan kanan menuju pintu lift. Segera dia menjejalkan diri ke dalam lift menekan tombol turun. Sinyalnya buruk saat dia berada di dalam lift untuk beberapa saat sampai benda ajaib dengan teknologi yang mampu menampung lebih dari 6 orang dewasa itu berhasil membawanya sampai ke lantai dasar.

"Serahkan dompet dan juga ponselmu!"

Suara asing dari seberang telepon itu berhasil membuat Igni menegakkan teliga, membuat hatinya merasa tidak tentram.

"Alesha, ada apa? Siapa itu?" tanya bertubi dilontarkan Igni tetapi Alesha tidak kunjung memberikan jawaban. Secepat membalikan tangan, Igni berlari menuju tempat di mana gadis itu berada.

"Aa—aku akan menyerahkan dompet dan juga ponselku. Tapi to—tolong, singkirkan pisau itu dariku."

Suara Alesha terdengar lagi, tetapi kali ini suara yang menyeruak masuk ke telinga Igni justru semakin membuat laki-laki itu gelisah bukan main. Kedua pasang kakinya masih terus bergerak dengan tidak mengurangi kecepatan, sementara matanya menjelajah mencari. Cukup jauh berlari, dia mengurut dadanya membiarkan udara masuk, ia hirup dalam-dalam udara yang masuk lalu mengeluarkannya perlahan.

"ALESHA!"

Suara Igni dengan lantang menyerukan nama Alesha saat matanya menangkap siluet milik gadis itu sedang bersama dengan seorang laki-laki berwajah tampak tidak bersahabat, dengan tato naga yang terlihat dari baju kaus lengan pendek yang dikenakan oleh orang itu, membuat Igni semakin mempercepat ritme kakinya. Tanpa aba-aba rasa takut bersemayam di hatinya saat melihat orang asing itu tunggang-langgang setelah merampas dompet milik Alesha.

Sementara mata gadis itu terlihat terbelalak. Igni melihat dengan jelas ketika Alesha menatap telapak tangannya tengah bermandikan cairan anyir berwarna merah, tidak lama setelah itu tubuh Alesha mengantuk aspal.

"ALESHA!"

Sekali lagi Igni berteriak menyebut nama gadis itu. Buru-buru dia menghampiri tubuh Alesha yang sudah ambruk dengan darah yang terus mengalir. Orang-orang berhamburan, sebagian sibuk sebagai penonton, sebagian sibuk berbisik berisik, untungnya dari sekian banyak orang yang membuat kerumunan kecil di situ masih ada yang cukup waras dan segera menghubungi nomor darurat untuk kepolisian dan rumah sakit.

"Alesha, dengar aku, Sha! Kamu nggak boleh terlelap, Sha! Kamu harus tetap di sini bersamaku." Igni panik, dia terus menerus mengguncang tubuh Alesha, menepuk pipi gadis itu.

Sigap Igni melepas jasnya, menekan perut sobek gadis itu. "ALESHAAAAAA ...!" Sekali lagi Igni memekik.

Tidak membutuhkan waktu lama, mobil ambulan datang. Alesha segera mendapatkan pertolongan pertama selagi mobil terus meluncur menuju rumah sakit. Tanpa henti, Igni memanggil nama Alesha, sambil terus menggenggam tangannya yang dingin. Gadis itu banyak kehilangan darah.

*****

Anne kembali lagi menjejakan kaki pada salah satu bangunan berbau medis yang menyeruak memenuhi hidung. Rasanya berat untuk melangkah sehingga tidak dapat ia menumpu berat badannya dengan baik, dengan suash payang akhirnya Anne tiba di sebuah ruang Intensive Care Unit (ICU), sebuah ruangan khusus yang disediakan rumah sakit untuk merawat pasien dengan keadaan yang membutuhkan pengawasan ketat, lengkap dengan peralatan medis khusus.

"Igni ...." Panggil Anne kepada seorang laki-laki yang tengah berada tidak jauh dari ruang ICU.

Suara Anne terdengar bergetar, wajahnya yang dipenuhi keriput halus itu lembab, bahkan butiran bening dari netranya masih saja mengalir tanpa henti. Lejar, satu kata yang menggelayut di tubuh wanita itu, bukan tubuhnya, tetapi hatinya. Sudah terlalu banyak hal buruk yang menimpa keluarganya, terutama kepada putri sematawayangnya. Kali kedua Alesha masuk ke rumah sakit dan harus masuk ruang operasi.

Wanita itu hanya tidak habis pikir dengan rencana Tuhan, begitu tidak dapat ditebak. Hanya satu keyakinan yang masih hidup di dalam hatinya, sebuah titik binar tentang keyakinan. Anne tahu, putrinya adalah seorang gadis yang tanggung menghadapi cobaan hidup. Anne hanya harus terus meminta dalam setiap bait doa, kepada Tuhan untuk keselamatan putrinya. Sebab, Tuhan adalah segalanya, takdir Tuhan adalah mutlak.

Aku mohon Ya Tuhan, selamatkanlah gadisku. Satu kalimat doa yang tiada putus dipanjatkan Anne dalam diamnya.

Igni menghampiri Anne dan memapah tubuh lemah wanita itu, membiarkannya duduk pada kursi yang sudah disediakan di dekat ruangan ICU. Menurut penuturan dokter yang bertanggungjawab kepada Alesha, dokter mengatakan bahwa gadis itu sedang dalam keadaan tidak sadar dan tidak merespon. Selama tim medis mengatasi penyebab dari koma, sirkulasi darah dan pernapasan pasien harus selalu dalam pengawasan yang ketat. Bahkan, kebutuhan pasien lain seperti cairan infus dan darah harus selalu tersedia.

Sekali lagi air bening terjun dengan bebas dan membasahi pipi Anne bersamaan. Wanita itu tidak tahan melihat wajah pucat putrinya, juga semua alat medis yang terpasang di tubuh gadis itu. Di ruangan dengan banyak alat medis mulai dari monitor yang menampilkan grafis kinerja organ tubuh, ventilator yang terpasang di tubuh Alesha, Defibrilator atau alat kejut jantung, selang makanan, infus, serta kateter yang dimasukan lewat lubangkencing untuk membuang urinedari dalam tubuh. Semua alat medis itu dibutuhkan untuk menunjang gadis itu agar tetap bertahan hidup. Selama 24 jam, Alesha berada dalam pengawasan tim medis.

Ruangan ICU dijaga supaya selalu steril untuk mengurangi terjadinya infeksi. Sehingga, jam kunjung dan jumlah pengunjung ke ruang ICU sangat terbatas. Pengunjung yang masuk ke ruangan ICU harus steril.

Igni merengkuh tubuh Anne yang terlihat terhuyung saat menatap Alesha dari kejauhan. "Masuklah, Tante."

"Alesha membutuhkan Tante di sisinya, tolong beritahu dia kalau jangan terlalu lama tidurnya, kalau dia tidur terlalu lama aku akan memecatnya," ucap Igni berusaha untuk menyampaikan kalimat banyolan.

Berhasil, seutas senyum simpul diperlihatkan oleh Anne, meskipun tidak bertahan lama dan segera memudar dari wajahnya.

*****

Batavia 1830

Sebagai Gubernur Jendral di Hindia-Belanda, Johannes van den Bosch menerapkan kebijakan Cultuurstelsel*1)yang mewajibkan setiap desa menyisihkan tanahnya sebesar 20% untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh dan nila. Teknik untuk praktik Cultuurstelsel baik aturan maupun pelaksanaannya diberikan kepada kepala desa.

"Dahayu, bangun, Nak ... bangun," ucap seorang wanita berusia sekitar kepala empat, tengah berusaha membuat seorang gadis yang ada di atas kasur terjaga.

"Nak, ayo bangun, Nduk*2)." Sekali lagi wanita itu mengguncang tubuh anak gadisnya.

Usaha memang tidak pernah mengkhianati hasil. Setelah sekian lama Rahmini berusaha untuk membangunkan Dahayu, putri sematawayangnya, akhirnya gadis itu membuka netranya. Perlahan Dahayu bangkit dari posisi rebah ke posisi duduk, gadis itu mengucek matanya berulang.

"Nduk, ayo segera bergegas, Nduk ... kita harus ke rumah Tuan Adipati," kata wanita itu menjelaskan maksud diri membangunkan Dahayu.

Mata gadis itu mengerjap, pandangannya berkeliling menyusuri setiap sudut sebuah tempat yang rasanya sangat asing baginya. Tempat itu jelas menyerupai sebuah kamar, ada tempat tidur, meja dan kursi, sebuah cermin yang terpatri disebelah lemari kayu, selebihnya semua yang ada di sana terlihat sangat kuno. Belum lagi wajah seorang wanita yang sedari tadi memangilnya dengan sebutan Nduk itu tidak lain adalah ibunya. Tetapi, yang tidak habis dipikir adalah pakaian yang dikenakan oleh sang Ibu sangatlah aneh, Alesha yakin kalau selama 21 tahun hidupnya dia tidak pernah melihat ibunya memiliki sepasang pakaian lusuh berupa kain yang dibelit menyerupai rok lilit, sementara atasannya lebih seperti kemeja polos berwarna putih tetapi karena banyak bercak kecokelatan di sana, baju itu terkesan semakin kumal.

"Bu, kita ada di mana ...?" tanya Alesha merasa dirinya tidak mengerti apa yang sudah terjadi. Sebab, dalam benaknya yang ia ingat adalah hari hujan di malam saat dirinya menjadi sebuah korban perampokan seorang pria, lalu saat itu dia ditusuk.

Buru-buru dia menarik baju yang melekat di tubuhnya ke atas, tetapi tidak ada darah yang ke luar dari perut sebelah kirinya, tidak juga ada goresan atau luka di sana. "Kenapa tidak ada luka di sini? Bagaimana bisa ...?" tanya gadis itu bertubi.

"Ada apa, Nduk ...?" Wanita yang sedari tadi duduk di dekat tempat tidur gadis itu beratnya bingung melihat kelakuan anak gadisnya setelah bangun tidur.

Alesha beranjak dari tempat tidurnya menuju satu-satunya cermin yang ada di tempat itu. Dia memeriksa sekali lagi kondisi perutnya, tetapi seperti beberapa waktu lalu, di sana tidak ada apa-apa selain perut mulus putih bersih miliknya. Mata Alesha membulat penuh saat mendapati penampilan dirinya yang terpandul di dalam cermin. Gadis itu yakin, kalau seorang yang dia lihat di dalam sana adalah dirinya.

"Nduk, ayo. Kita sudah terlambat ini, Nduk. Kita sudah ditunggu oleh Tuan Adipati." Wanita itu menarik tangan Alesha ke luar ruangan.

"Tuan Adipati siapa, Bu?" Di sela-sela bingung yang bersinggah sana di kepalanya, gadis itu bertanya sembari berjalan mengikuti langkah sang Ibu.

"Tuan Adipati Baruna Maheswara, tentu saja, Nduk. Beliau majikan kita ... Duh, kamu ini piye*3)...."

Sekali lagi Alesha tidak mengerti dengan perubahan drastis yang dialaminya. Bukan hanya luka tusuk yang secara ajaib hilang begitu saja dari perutnya. Tiba-tiba terbangun pada sebuah tempat, mirip sebuah kamar dengan interior lawas yang ada di sana, juga saat dia berjalan dengan tergesa mengikuti ibunya menuju sebuah tempat yang menurut penuturan sang Ibu adalah rumah kediaman seorang Adipati bernama Baruna Maheswara.

Banyak hal yang membuatnya bertanya-tanya, tetapi sejauh ini benaknya telah membuat sebuah hipotesis bahwa, dia sudah pasti selamat dari penusukan malam itu, dia sedang berada di sebuah tempat antah berantah yang seperti sebuah desa dengan orang-orang berpakaian serba sederhana—serba kuno—rasanya banyak benda asing yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, semua hal yang ia jumpai setelah dia terjaga, semuanya serba lawas, sangat berbeda dengan semua hal serba canggih sebelumnya.

"Dahayu Garini, kamu tahu kan kalau kamu terlambat," ucap seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi, tegap dan gagah, dengan mengenakan beskap berwarna hitam dengan kain sebagai bawahannya.

Tunggu dulu, apakah ini dejavu? Pertanyaan itu terlintas dalam benak Alesha saat mendapati sosok laki-laki yang sudah jelas adalah CEO Pandora, tetapi semua hal yang melekat pada tubuhnya sangat berbeda dengan setelan jas necis yang selau dikenakan oleh Igni.

"Dahayu Garini ...?" Alesha bertanya kepada laki-laki itu.

Alesha dihujam pandangan seperti layaknya makhluk dari luar planet bumi. "Jangan bilang kamu hilang ingatan gara-gara terjatuh kemarin ya, Yu?" Sekali lagi laki-laki itu bertanya, bukan menjawab ucapannya.

Mulut Alesha terbuka lebar, satu hal lagi yang masuk ke dalam list hipotesisnya, yaitu Dahayu Garini adalah namanya.

Baiklah, aku tidak akan berlaku atau berkata hal yang dapat membuat orang-orang di sini memandangiku dengan tatapan menyebalkan atau menganggap aku aneh. Aku anggap ini adalah mimpi yang akan hilang saat aku terbangun dari tidurku. Selama itu, aku hanya akan mengikuti alurnya saja. Ucap Alesha dalam hati.


Terima kasih banyak sudah mampir ^^ LOVE YOU ^^


Cultuurstelsel*1) : Sistem "Tanam Paksa" yang diberlakukan Belanda di Indonesia pada tahun 1830dengan tujuan untuk menyelamatkan Belanda dari krisisi ekonomi .

Nduk*2) : Panggilan kepada anak perempuan pada masyarakat Jawa.

piye*3) : Bagaimana dama Bahasa Jawa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro