Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BERSAMA HUJAN

"Di mana mobilmu?" tanya Alesha mencari-cari keberadaan luxury car dengan tipe transmisi matic berwarna hitam milik bosnya itu, tetapi tidak ada.

"Repot membawa si hitam. Aku tidak bisa menggunakannya dengan maksimal di sini," jawab Igni.

Gadis di sampingnya mengangguk, jelas mobil itu tidak akan mampu bergerak bebas mengingat jalanan padat merayap Kota Jakarta. 

"Jadi?" Alesha kembali bertanya kepada Igni.

"Ikut aku!" Ajak Pak Bos menginstruksikan dengan gerakan tangannya. Gadis itu mengekor tepat di belakang Igni.

"Kita naik ini," ucap Igni, menghentikan langkahnya di depan sebuah motor gede berwarna dominan hitam asal negeri Paman Sam yang desainnya perpaduan antara gaya balap dan motor kustom yang membuatnya terlihat unik.

Alesha selalu dibuat melongo bersamaan dengan kepala yang menggeleng dengan semua benda yang dimiliki Igni. Alesha berdecak kagum dalam hati, pantas saja dia memintaku menyimpan baju untuk pesta di dalam tas ransel.

Motor berbodi gagah itu melaju membawa serta dua anak Adam di atasnya. Begitu gesit melewati mobil-mobil dan kendaraan lain yang menghadang jalan mereka. Igni menghentikan motornya di sebuah restoran. Alesha tahu betul mengapa bosnya sampai berhenti di sana.

"Kamu mau makan apa, Sha?" Igni bertanya, matanya bergerak menyusuri tulisan yang tertera di buku menu.

"Terserah, apa saja," jawab Alesha tanpa melihat isi menu. Gadis itu bukan orang yang rewel tentang makanan atau pakaian, semua yang dirasa enak di lidah, semua yang menawan memikat mata, semuanya gadis itu suka.

Igni terkikik. "Menu makan kamu nggak berubah ya dari dulu, selalu terserah." Dia mengangkat satu tangannya ke udara, tidak lama seorang pelayan datang sebagai bentuk respon atas panggilan pelanggannya.

Setelah sarapan, Igni kembali mengajak gadis itu ke suatu tempat. Kali ini ke sebuah butik, lagi. butik yang sama yang menjadi langganan dari CEO Pandora. Igni memilih beberapa potong baju yang sebelumnya dicoba oleh Alesha. Gadis itu memegangi lututnya yang terasa lelah, kesana-kemari mencari baju-baju perempuan, dan diminta untuk tetap berada di dalam ruang ganti selama baju-baju di troli belum selesai dicoba semua.

Semua baju-baju itu langsung dibayar di muka dan Igni minta untuk diantarkan ke alamat yang ia tuliskan kepada pelayan toko. Dia sudah membayar penuh beserta jasa antar ke alamat tujuan dari semua baju-baju itu.

Keduanya telah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya, menyusuri setiap jalan dan setiap tempat di Jakarta. Igni berdalih kalau dia sangat merindukan tempat itu selama kata sibuk belum memberikannya celah. Tidak ada waktu untuk menghirup udara kotor bekas industri, atau sekedar mampir mengunjungi tempat-tempat pusat perbelanjaan seperti saat ini, bersama dengan Alesha. Sementara matahari tengah tersenyum cerah menguarkan berkas cahayanya yang khas dengan iklim tropis gaya ibu kota.

Kali kedua Igni menjejalkan kaki memasuki restoran bersama dengan Alesha. Saat ini sudah masuk jam makan siang. Setelah selesai dengan hidangan santap siangnya, mata hazelnya menatap jam tangan, di sana sudah menunjukkan pukul 14:00 WIB.

"Kamu capek? Mau istirahat sebentar?" tanya Igni, yang segera disambut gelengan ke kiri dan kanan oleh Alesha.

"Sudah mau sore, kita lanjut saja yuk! Lagipula perjalanan kan lumayan jauh," ujar Alesha.

"Oke." 

Semua hal yang ia lalui bersama dengan Alesha adalah sebuah dalih yang sengaja ia ciptakan untuk dapat menghabiskan waktu berdua. Laki-laki itu pasalnya kesal saat di kantor, Alesha ternyata lebih dekat dengan Lander. Jadi, apa yang ia lakukan dengan Alesha saat ini adalah sebuah misi balas dendam yang manis untuk dirinya. Hal itu juga yang membuatnya tidak ingin menggunakan mobil kecenya itu.

Sayangnya, keputusan Igni mengunakan motor hari itu ternyata didukung oleh semesta, yang seolah memberi mereka kesempatan untuk menghabiskan waktu sedikit lebih lama berdua. Awan di atas sana dengan cepat menampakan warna kelabu yang disambut oleh tumpahan air yang terjun bebas di atas sana. Igni mencari tempat untuk berteduh, dia mematikan motornya tepat di sebuah tempat serupa dangau yang berada di tepi jalan.

Alesha membuka benda bulat yang sedari tadi berada di kepalanya, menyugar beberapa rambutnya yang saling menempel karena tertimpa air hujan. Setiap gerak yang dilakukan oleh gadis itu sukses membuat kedua pasang mata milik Igni terpukau. Refleks tangan kanannya menyentuh pipi gadis itu, dengan ibujarinya dia menepis sejumput rambut yang melintang pada pipi yang segera menampakan rona merah.

Mata Alesha mengerjap, bertemu sapa dengan sepasang mata Igni. Percikan hangat menjalar dari pipi yang disentuh oleh laki-laki itu sampai pada ufuk hatinya. Sekuat tekad Alesha  menolak rasa yang dengan lancang menyerbu hatinya, sekuat itu pula rasa itu terpatri di sana. Kebodohan bersinggah sejurus kemudian, netra dengan bulu mata lentik yang menghias itu terpejam, merasakan setiap belaian lembut dari jari-jari milik Igni.

Titik-titik air yang berjatuhan dari udara semakin bergerak dengan cepat. Lalulalang kendaraan, suara derap hujan yang menyentuh bumi, menguarkan bau hara yang begitu khas di kala hujan menyapu permukaan tanah. Letak dangau persis di pinggir sawah membuat para penghuninya ikut berkoar, menjadi orkestra yang memeriahkan suasana sore itu.

"Kenapa kamu memejamkan matamu?"

Pertanyaan tiba-tiba Igni membuat netra gadis itu terbuka.

Air wajah Alesha tampak redup, dia ternyata benar-benar sudah terjerat oleh sosok Igni. "Aku pikir kamu mau menciumku. Ternyata tidak ya?"

"Kamu menginginkannya?" 

Entah setan apa yang sudah menggelayuti Alesha sore itu, hanya anggukan pelan yang ia lakukan sebagai bentuk jawaban atas tanya dari Igni. Gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara sebagai bentuk rasa senang yang membuncah di dadanya terbit, laksana mentari hari itu. Satu tangan Igni masih bertengger di pipi Alesha, senentara tangannya yang lain bergerak bebas menyusuri rambut Alesha, lalu dengan satu hentakan kasar yang Igni tujukan pada kepala belakang gadis itu, saat itulah kedua bibir Insan berbeda jenis itu saling bertegur sapa dalam rasa.

*****

Pesta hari itu berlangsung meriah. Rasanya semua orang yang ada di Pandora masih belum dapat move on, pesta itu masih saja menjadi buah bibir yang menggema di seluruh penjuru Pandora. Sayang, euforia itu tidak berlangsung lama bagi Alesha. Sudah sejak pagi Alesha  diminta melakukan banyak hal oleh Igni. Dia bahkan diminta untuk lembur di hari pertamanya sebagai seorang karyawan resmi Pandora.

Alesha baru saja mengabarkan ibunya kalau dia akan pulang larut. Untungnya di kantor di atidak sendirian. Alesha berlari kecil sampai ke sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari kantornya. Dia baru saja dimintai tolong oleh Mega yang rekan kerjanya untuk membelikan kopi dan kudapan yang bisa dinikmati bersama-sama sebagai teman lembur. Sebenarnya, Mega ingin meminta tolong OB tetapi dia bilang kalau dia sama sekali tidak menemukan batang hidungnya. Maka, di sinilah Alesha sekarang, berada di sebuah jalan di seberang kantor Pandora.

Suara dering mengalihkan pandangannya dari toko, segera dia menerima panggilan dari Igni.

"Iya, halo. Ada apa?" tanya Alesha.

Dia masih sibuk menerima panggilan dari Igni. Alesha tidak sadar, bahwa dari tadi ada sepasang mata yang tengah mengamatinya.

"Serahkan dompet dan juga ponselmu!" Suara berat terdengar dari arah belakang, membuat gadis itu menjadi bergidik.

Tangan dengan urat yang tampak di segala sisi, lengkap dengan bulu-bulu lebat yang tumbuh di sana, tengah melingkar di perut Alesha. Gadis itu merasakan sesuatu menekan perut sebelah kirinya. Alesha melihat sepintas benda dingin yang sudah dalam posisi siap menghujam di sana.

"Aa—aku akan menyerahkan dompet dan juga ponselku. Tapi to—tolong, singkirkan pisau itu dariku." Alesha meminta dengan suara terbata dan nyaris seperti bisikan. Seluruh tubuhnya bergetar hebat, sementara butiran bening tidak henti-hentinya ke luar dari kedua mata Alesha.

"ALESHA!"

Suara dengan nada rendah yang dalam dan serak—suara yang sangat dikenalnya—suara itu meneriaki namanya dari ujung telepon. Belum sempat membuka mulutnya, tiba-tiba saja Alesha merasakan sebuah hujaman keras mendarat tepat di perutnya. Pada detik berikutnya, dompetnya raib bersama dengan derapan langkah menjauh dari Alesha.

Alesha masih berdiri di tempatnya, di depan pintu masuk sebuah toko. Tepat saat seseorang ke luar dari dalam toko dan berteriak, tubuh Alesha. Dia merasakan butiran-butiran bening mendarat kasar di tubuhnya, bersamaan dengan cairan hangat berwarna merah yang terus saja ke luar tanpa henti. Suara panik, dan kata tolong terus-menerus terdengar. Suara teriakan itu kini sudah tidak lagi terdengar di telinga Alesha. Netra gadis itu terpicing.

"ALESHA!"

Sekali lagi dengan samar gadis itu mendengar seseorang melaungkan namanya bersama deras hujan yang turun saat lagit gelap merajai malam dingin tanpa binar bintang juga bulan. Alesha merasakan tubuhnya melayang, saat sebelumnya suara familiar sekali lagi melafalkan namanya.

"Alesha, dengar aku, Sha! Kamu nggak boleh terlelap, Sha! Kamu harus tetap di sini bersamaku," kata orang yang sama yang beberapa waktu lalu terus meneriakan namanya, meminta gadis itu untuk segera terjaga dan bertahan dari luka tusuk yang didapatnya.

"Sha, ini nggak lucu! Alesha, BANGUN! ALESHAAAAAA ...!"  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro