💗4💗
"Ooom ... ," Meti berteriak sambil melambaikan tangan, ia bergegas menemui Steve yang duduk sambil menikmati es krim coklat dengan wajah datar. Meti juga tak mengerti ada apa tiba-tiba Steve meneleponnya dan memintanya menemuinya di mall tempat mereka bertemu tak sengaja dulu.
Meti mengempaskan bokongnya dan senyumnya hilang setelah melihat Steve menikmati es krim dengan wajah tak seperti biasanya, terlihat menahan marah.
"Ooom, Om pasti tengkar sama pacar kan? Ih sudah tua masih tengkar aja, makanya Om nikah aja, bilang sana tuh pacar Om, kalo dah tua lebih aman segera nikah, punya anak, hidup tenang, gak punya anak juga gak papa, adopsi aja toh membesarkan anak kayak gitu juga akan bikin bahagia asal keduanya sepakat, kan apa-apa kalo dah berumah tangga harus sepakat dan sepaket, sepaket keputusannya, sepaket bahagianya dan ... "
"Sepaket sama cerewet, bawel dan jelek kayak kamu." Steve mencubit ujung hidung Meti dan Meti jadi cemberut.
"Ih masa Meti jelek sih Om."
"Jelek kalo cerewet kayak tadi, sekarang diem, temenin Om duduk di sini."
"Iya deh, eh aku cuman disuru diem aja ini nemenin Om? Gak disuru makan, minum ato apa? Jauh-jauh aku disuru ke sini masa cuman di suru lihat orang jutek?" Steve tertawa dan menyuruh Meti memesan apa saja. Dengan riang Meti memesan apa ia inginkan. Dari jauh Steve melihat Meti yang bergerak dengan lincah. Perlahan senyum Steve hilang lagi tapi paling tidak, ia tidak semarah sebelum Meti datang.
Mengingat apa yang terjadi pada dirinya tadi rasanya Steve ingin memukuli apa saja dan siapa saja yang ada di hadapannya, saat papa Laksmi dan tiga orang dokter senior di rumah sakit milik keluarga Laksmi telah mendudukkan mereka berdua di ruang meeting rumah sakit, menanyakan kebenaran rumor yang beredar bahwa mereka punya hubungan terselubung. Jawaban Laksmi sungguh tak pernah ia duga, Laksmi mengatakan jika Steve hanya masa lalu baginya. Saat ini tak ada ikatan apapun atau hubungan apapun.
Dan pertanyaan kedua dari papa Laksmi yang benar-benar membuat Steve dan Laksmi tidak berkutik adalah benar tidaknya mereka melakukan perbuatan tak senonoh di ruang kerja Laksmi. Dan yang tak terduga Laksmi langsung mengiyakan, wajah papa Laksmi memerah karena marah. Menggebrak meja dan mengatakan jika saat itu juga Steve dan Laksmi tidak diijinkan berpraktik di rumah sakit itu lagi demi menjaga kehormatan rumah sakit, posisi Steve juga akan segera dibicarakan untuk diganti. Laksmi memeluk papanya saat itu dan mengatakan bahwa ia dan Steve melakukan karena suka sama suka tak ada ikatan apapun, Laksmi megatakan jika ia tak pernah tertarik pada Steve selain hanya sebagain teman tidur, sekali lagi Steve merasa terhina dan terbuang. Sampai papa Laksmi dan tiga orang dokter senior itu pergi, Steve masih mematung di tempat duduknya, mendengar raungan Laksmi di sampingnya membuat Steve secepatnya ingin pergi. Tak akan ada gunanya ia berusaha meraih cintanya lagi, bahkan harapan Steve agar Laksmi mau mengakui dirinya sebagai laki-laki yang dekat dengannya di depan papanya pupus sudah. Steve beranjak pergi dan ia mendengar Laksmi memanggilnya.
"Steve ... "
"Kita bukan siapa-siapa lagi."
Kata-kata wanita yang sangat ia cintai tak pernah terbayang akan menusuk hatinya hingga berdarah meski tak terlihat. Bertahun-tahun ia menanti dengan sabar, meski hanya dijadikan tempat pelampiasan napsu ia masih saja bersabar, saat wanita yang ia cintai memilih menikah dengan laki-laki lain. Saat tahu suami Laksmi meninggal dunia Steve berharap banyak ia akan bisa meraih cintanya lagi, tapi ternyata harapan hanya tinggal harapan. Penantian panjangnya ternyata berakhir luka.
"Oooom ih ngelamun ajaaa, tuh es krimnya cair, punyaku dah habis, Om masih ngelamun aja." Steve tersadar dari lamunannya dan berdiri. Meti mendongak menatap tubuh jangkung di hadapannya.
"Ikut Om, yuk."
"Kemana?"
"Ikut aja."
"Tapi jangan ke tempat sepi loh."
"Nggaak ah, ngapain bawa bocah ke tempat sepi." Steve meraih tangan Meti dan Meti setengah berlari mengimbangi langkah Steve.
"Ooom ... mau ke mana ini?" tanya Meti lagi saat mobil Steve telah melaju di jalan.
"Ke tempat kerja kamu."
Dan mata Meti bersinar cerah.
.
.
.
"Nah ini tempat kerjamu di sini, bagian stokis memang ada di belakang, Mbak Sari awal-awal kerja kasi tau Meti ya, dia harus ngapain."
Wanita yang dipanggil Sari mengangguk dan menatap Meti sambil tersenyum.
"Om, tempatnya agak nyeremin juga ya?!" ujar Meti melihat sekeliling ruangan yang penuh dengan susunan obat yang rapi berjajar.
"Apanya yang serem? Tempatnya rapi kayak gini? Takut beneran?" tanya Steve menahan tawa. Sari juga tak bisa menahan tawa saat gadis belia di hadapannya terlihat seperti anak kecil yang baru sampai di tempat menakutkan.
"Masa aku ada diantara obat yang banyak ini?"
"Ya elah, ini cuman obat bukan area pekuburan," sahut Steve.
"Iyaaa tapi kan aku cuman berdua sama Mbak Sari, mana Mbak Sari kan gak di sini ya?" tanya Meti lagi.
"Tetep di sini kok Dik, hanya Mbak ada di bagian sana tuh, Dik Meti bisa lihat Mbak kok, lagian di depan rame karyawan yang lain, ruko sekitar sini rame loh Dik, ada salon, sanggar senam dekat-dekat sini ini, emang kenapa?"
"Trauma aja, dulu pas SMP kan Meti hampir dilecehkan seseorang di gudang kantor tempat Bapak kerja, untung ada yang lihat dan nolong Meti, tempatnya kayak gini, banyak tumpukan gini." Suara pelan Meti membuat Steve iba, ia bergerak pelan mendekati Meti dan mengusap kepalanya.
"Kalo takut nggak papa nggak usah kerja di sini, aku carikan tempat lain."
"Ah nggak kok Om, Meti harus belajar berani, kalo takut terus jadinya gak ilang-ilang pengalaman buruk itu."
"Ok, mulai besok kamu kerja di sini, jamnya kamu konsultasikan sama Mbak Sari enaknya gimana, aku tunggu di ruanganku ya, kalo selesai langsung aja ke sana."
"Baik Om."
"Dik Meti kenal Pak Steve di mana?" tanya Sari sesaat setelah Steve meninggalkan keduanya.
"Nggak sengaja kok Mbak, di mall, Om Steve nabrak aku, trus ya ketemu lagi pas motorku mogok, yaudah keterusan ketemuan dan udah kayak Om ku sendiri aja, kali karena di rumah gak ada makhluk laki-laki jadinya nyaman aja sama Om Steve, emang kenapa Mbak?"
"Nggak papa, kalian kayak udah deket banget, Pak Steve itu jadi sulit senyum sejak dia gak jadi nikah, pacarnya nikah sama orang lain apa gimana gitu trus sampe sekarang Pak Steve gak deket sama siapa-siapa, gitu sih gosip yang aku dengar dari karyawan yang lain." Mata Meti membulat mendengar cerita Sari.
"Masa sih orang ganteng gak pacaran? Rugi dia, enak pacarnya dah nikah, si Om meratapi kesedihannya, deuh deuuh ... udah ah Mbak, ayo aku ajarin gimana? Malah gosipin si Om." Keduanya tertawa dan Sari menepuk pundak Meti.
"Lah aku pikir Dik Meti pacar baru Pak Steve."
"Ih nggak lah, masa aku pacaran sama om-om." Keduanya kembali tertawa dan Sari mulai memberi tahu Meti apa yang harus ia lakukan.
"Naaah gitu Dik Meti, ngerti ya, kalo nggak ngerti tanya." Sari merasa puas karena Meti cepat paham pada apa yang dijelaskannya.
"Iya Mbak Sari, ok deh aku mau ke tempat Om, di mana sih ruangannya?"
"Itu loh Dik pintu bercat putih, eh tapi ngapain ke sana? Kok nggak di sini aja nanti ... "
"Iiiiih Mbak Sari yaaa mikir yang nggak-nggak, aku kan nggak akan ngapa-ngapain."
"Tapi kalo kamu diapa-apain gimana? Hayo?"
"Nggak akan, Om Steve nggak akan berani ngapa-ngapain aku, lihat aja."
Sari menggeleng sambil tersenyum menatap wanita belia nan enerjik yang sepertinya ia akan punya teman mengasikkan, melangkah lebar menuju ruang kerja bosnya.
💗💗💗
27 Oktober 2020 (11.25)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro