🐬 Part 6 🐬
Still Love Him
Part 6
🐬🐬🐬🐬🐬🌷🌷🌷🐬🐬🐬🐬🐬
Seorang pemuda dengan seragam putih abu-abunya memandang taman belakang sekolah dengan teliti, ia meraih ponsel dan membuka aplikasi kamera ketika melihat sesuatu yang menariknya. Segera mengarahkan ponselnya pada sesuatu itu dan mengambil gambarnya. Hal itu ia lakukan beberapa kali hingga ia mendapat banyak gambar. Dan kegiatan pemuda itu, tidak luput dari perhatian seorang perempuan yang sedari tadi bersembunyi di balik dinding.
"Kenapa sembunyi-sembunyi?" ucap si pemuda tanpa mengalihkan pandangannya, ia tetap melakukan aktifitasnya yang sedari tadi ia lakukan. Ucapan pemuda itu sedikit membuat si perempuan terkejut, Perempuan itu tidak menyangka jika pemuda itu tahu keberadaannya.
Dengan ragu, perempuan itu mendekati si pemuda, merasa malu karena ketahuan mengintip. Tidak ada yang bersuara dari keduanya, hanya ada keheningan yang menghiasi. Si pemuda yang sibuk dengan ponselnya, sedangkan si perempuan masih berdiri di sampingnya sembari menatap kagum.
Wanita itu kembali terkejut kala si pemuda menoleh, cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya. Ia gugup, ia menjadi salah tingkah. Tangannya pun terangkat untuk mengusap lehernya yang terasa hangat. Ia semakin merasa tidak nyaman saat si pemuda tidak mengalihkan pandangannya sama sekali darinya. Ia pun juga tidak mungkin terus menghindari tatapan itu.
Dengan ragu, ia memberanikan diri untuk menatap pemuda itu. "Ka-kamu sedang apa?" tanyanya terbata, masih merasa gugup saat berhadapan dengan pemuda di depannya.
Tidak ada jawaban dari seseorang yang masih menatapnya, menjadikan ia salah tingkah kembali. Ia menggigit bibir bawahnya sedikit kuat. "Jangan digigit." Akhirnya, pemuda itu mengeluarkan suaranya. Dengan spontan pula, si wanita melepaskan gigitannya.
Ia melirik sedikit pada pemuda di sampingnya. Ternyata, pemuda itu sudah mengalihkan pandangannya. "Aku hanya mengambil beberapa gambar. Menurutku, pemandangan di sini cukup bagus untuk diabadikan." perempuan itu menatap si pemuda dalam.
"Kamu suka foto?" tanyanya lagi. Entah keberanian dari mana ia mengucapkan pertanyaan itu. Benar saja, sesaat kemudian ia merutuki ucapannya.
Terdengar kekehan dari si pemuda. "Lumayan," jawab pemuda itu kemudian.
"Apa kamu ingin jadi seorang fotografer?" Pemuda yang sebelumnya tengah membidik objek dengan ponselnya kini menatap si perempuan, membuat perempuan itu melotot dan kembali merutuki mulutnya yang tidak bisa mengontrol untuk tidak berbicara.
Si pemuda mengedikan kedua bahunya. "Entahlah!" Setelahnya, pemuda itu pergi dari sana. Meninggalkan si wanita tanpa menoleh sedikit pun.
"Vie, Alvie." Sebuah suara membuyarkan lamunan Alvie. Alvie menoleh dan mendapati keberadaan Diaz di sampingnya. Memejamkan mata sejenak dan menarik napas dalam. Ternyata, berdekatan dengan Diaz membuat ingatannya benar-benar terlempar pada masa lalu.
Alvie kembali menatap Diaz, lalu melirik putranya yang duduk di kursi belakang. Terlihat jelas wajah bingung dari keduanya. "Sudah sampai." Lagi-lagi, suara itu menyadarkannya. Kali ini, secara penuh.
Ia menatap ke arah luar mobil. Meski keadaan luar sudah gelap, Alvie jelas tahu jika saat ini mereka berada di depan rumah Alvie. Mereka pulang terlambat, semua ini dikarenakan Diaz dan putranya yang kepincut dengan arena bermain di Mall yang mereka kunjungi tadi. Ah, bukan Diaz. Lebih tepatnya Dias putranya yang kepincut. Ia merengek pada Alvie yang mana malah Diaz yang menuruti rengekan Dias kecil.
Alvie sedikit memberikan senyuman pada Diaz. "Terima kasih untuk tumpangannya. Dan maaf soal Dias yang merepotkan kamu," ucap Alvie yang merasa tidak enak.
"Sama-sama. Tidak masalah, wajar untuk anak seumuran dia." Keduanya melempar senyum. Alvie mengalihkan pandangannya pada sang putra yang duduk di belakang.
"Say something to uncle." Alvi memberi arahan pada Dias.
Dias mengangguk, ia mengalihkan pandangannya pada laki-laki dewasa yang memiliki nama yang sama dengan dirinya. "Terima kasih, Om. Lain kali ajak Dias main lagi di sana, ya," ucap Dias dengan cengirannya.
Ucapan itu, sontak saja membuat Alvie melotot seketika. Berbeda dengan Alvie, Diaz malah tertawa melihat tingkah dari Dias. Anak kecil ini, benar-benar membuatnya merasa gemas.
Alvie dan Dias segera turun, lalu kembali mengucapkan terima kasih. Setelah mobil Diaz melaju, Alvie dan putranya segera memasuki rumah. Alvie merasa gelisah secara tiba-tiba saat ia melihat mobil Rakka sudah terparkir di halaman rumah.
"Ma. Papa sudah pulang?" Alvie menatap Dias lalu mengangguk. Keduanya kembali melanjutkan langkah mereka. Baru saja keduanya memasuki rumah, mereka sudah dikejutkan dengan keberadaan Rakka yang berdiri dengan tangan menyilang di depan dada.
Melihat raut muka Rakka, Alvie tahu jika suaminya saat ini sedang marah. Ia beralih menatap Dias dan memberikan senyum pada putranya. "Dias ke kamar dulu, ya. Mandi dulu." Dias menatap mamanya khawatir, ia merasa ragu untuk meninggalkan Alvie di sini. Ia takut, kejadian malam itu kembali terulang lagi. Ia takut papanya akan menyakiti mamanya lagi.
"Kok diam? Ayo mandi dulu. Biar mama siapin makan buat kamu sama papa." Dengan ragu, Dias mengangguk. Dias menyempatkan menatap papa yang bermuka datar sekejap. Setelahnya ia pun beranjak menaiki tangga. Menyisakan Alvie dan Rakka di mana Rakka menatap Alvie tajam. Kali ini, raut kemarahan itu tak lagi Rakka tutupi.
Alvie semakin merasa gelisah kala Rakka berjalan mendekatinya. Bahkan ia sempat memundurkan langkahnya sedikit. Tiba-tiba saja, dagu Alvie terangkat paksa karena Rakka yang mencengkeramnya dengan kuat. "Istri macam apa yang tidak ada di rumah saat suaminya pulang?" desis Rakka tajam.
Cengkeraman kuat dari Rakka membuat Alvie merintih, cengkeraman itu sangat menyakitinya. "Ta-tadi aku menemani Dias main, Mas. Aku juga tidak tahu kalau kamu akan pulang secepat ini," ucap Alvie terbata. Ia sedikit kesusahan dalam berucap karena cengkeraman Rakka pada dagunya.
Senyum menakutkan Rakka yang tidak pernah Alvie lihat kini tercetak di wajah suaminya. "Oh. Jadi jika aku pulang malam, kau pun akan pulang malam karena keluyuran dulu?" Alvie menggeleng dalam ringisnya. Baru saja ia akan menjawab, tiba-tiba saja tubuhnya terhempas kala Rakka melepaskan cengkeramannya secara kasar.
"Cepat buatkan aku makan. Setelah itu bereskan bajuku karena aku harus keluar kota besok." Rakka pergi begitu saja menaiki tangga, tak memedulikan Alvie yang masih tersungkur di lantai. Bahkan, Rakka saja sepertinya tidak tahu jika Alvie saat ini sudah menangis. Bukan sakit di tubuhnya yang membuat ia menangis. Akan tetapi sakit di hatinya karena Rakka mulai menggunakan fisik terhadapnya.
"Mama!" Suara kecil terdengar oleh Alvie. Segera ia mengusap air matanya agar putranya tidak melihat ia yang sedang menangis. "Mama kenapa duduk di bawah?"
Alvie mendongak memberikan senyuman pada Dias, ia membelai kepala putranya sayang. Sekuat tenaga ia menghalau air matanya turun kembali. Tidak, ia tidak ingin putranya melihat ia menangis. Hal terakhir yang Alvie ingin adalah terlihat lemah di depan putranya.
"Mama tadi terpleset." Alvie tetap berusaha terlihat baik-baik saja. "Kamu duduk dulu, ya. Mama mau masak dulu." Alvie bangkit dan menuntun Dias duduk di meja makan. Lalu ia pergi ke dapur untuk mempersiapkan makan malam.
Sedangkan Dias, ia menatap ibunya sedih. Dia menatap punggung sang ibu yang terlihat jelas rapuhnya. Tidak, Dias tidak bodoh. Dias tentu saja tahu apa yang mamanya alami. Kekhawatiran Dias membuatnya tidak menuruti mamanya untuk mandi. Ia memilih berdiri di ujung tangga atas dan melihat semuanya. Bagaimana papanya bersikap kasar pada mamanya. Bahkan, ia sempat memekik dan menangis tertahan saat papanya menghempaskan mamanya.
Hanya saja, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Akhirnya, ia hanya bisa berlari memasuki kamarnya saat sang papa menaiki tangga.
🌷🌷🌷
Diaz menyandarkan tubuhnya pada dinding lift, sedari tadi senyum tak pernah pudar dari wajahnya. Diaz segera keluar dari lift dan menyusuri lorong apartemennya dengan bersenandung. Diaz merasa, hari ini adalah hari membahagiakan baginya.
Kening Diaz melipat saat ia mendapati pintu apartemennya tidak terkunci. Dugaannya benar saat ia memasuki apartment dan mendapati keberadaan Yanuar yang tengah duduk menatapnya. "Sudah lama? " tanya Diaz.
Mendengar pertanyaan temannya, Yanuar mendengus. Ia mengamati Diaz yang mengambil minuman di dapur. Tatapannya tak pernah teralihkan dari pergerakan Diaz, hingga kini Diaz yang duduk di sampingnya. "Dari mana?" tanya Yanuar.
"Jalan-jalan dong!" jawab Diaz. Terlihat jelas wajah bahagia dari Diaz.
"Jalan-jalan ke mana?" Yanuar kembali bertanya. Ia menatap Diaz yang menenggak minumannya hingga tandas.
"Ke mall. Main di time zone." Jawaban Diaz membuat Yanuar menatapnya aneh. Bahkan, Yanuar sampai bergidik menatap Diaz.
"Kau tidak gila, kan, Diz gara-gara tahu Alvie sudah menikah? Sampai kau stres dan jiwamu berubah menjadi anak-anak," ucap Yanuar tak yakin. Akibat ucapannya itu, ia mendapat tatapan tajam dari Diaz.
"Sialan!" umpat Diaz. Ia melempari Yanuar dengan bantal sofa. Namun sayang, semua lemparannya tidak ada satu pun yang mengenai Yanuar. Diaz mendengus. "Aku bermain sama Dias."
Yanuar melotot. Ia duduk semakin dekat pada Diaz. "Maksudnya? Dias anaknya Alvie?" Diaz mengangguk. "Bagaimana bisa?" tanya Yanuar penasaran.
"Tadi kami tidak sengaja bertemu di jalan. Dias baru saja pulang sekolah dan mereka sedang nunggu taxi. Aku tawari mereka tumpangan. Tapi, aku harus mampir dulu ke mall untuk mengambil lensa pesananku." Diaz menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa.
Sedangkan Yanuar, ia menatap dalam sahabatnya. "Diz. Kau tahu bukan kalau Alvie sudah memiliki suami?" Mendengar pertanyaan dari Yanuar, Diaz menegakkan tubuhnya. Ia menatap sahabatnya dengan satu alis terangkat.
"Tahu. Lalu?" Yanuar kembali menghela napas. Entah Diaz ini benar-benar tidak mengerti apa yang ia maksud atau hanya Pura-pura tidak mengerti.
"Jaga jarak, Diz dengan Alvie. Kalian tidak seharusnya melakukan hal seperti hari ini." Yanuar. Sahabat Diaz yang tahu benar bagaimana seorang Diaz, apalagi setelah tujuh tahun ini.
Diaz menatap Yanuar, ia merasa tak suka dengan ucapan sahabatnya. "Kami hanya jalan-jalan. Kami tidak berselingkuh. Kam-"
"Siapa yang mengatakan kalian berselingkuh?" Pertanyaan Yanuar kali ini mampu membuat Diaz terdiam. "Sebagai sahabat-"
"Sudah, cukup. Hari ini aku lelah. Bisa kau tinggalkan aku agar aku bisa istirahat?" Benar. Hari ini memang Diaz merasa lelah. Dia ingin istirahat, bukan ceramah dari sahabatnya. Yanuar hanya mengedikkan bahunya acuh. Ia pun bangkit dan keluar dari aparttement Diaz.
🐬🐬🐬🐬🐬🌷🌷🌷🐬🐬🐬🐬🐬
Pagi up
☺️☺️☺️☺️
Vote jangan lupa
Komen jangan lupa
Typo spam, ya.
Jangan lupa, yang belum baca cerita Mom yang lain, baca juga, ya😁😁😁😁
Jangan lupa follow WP dan Ig Mom, ya
😘😘😘😘😘
🐬Salam🐬
🌷 EdhaStory🌷
💘💘💘💘💘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro