🐬 Part 02 🐬
Still Love Him
Part 02
🐬🐬🐬🐬🐬🌷🌷🌷🐬🐬🐬🐬🐬
Dias tengah asyik menikmati makan siangnya saat Alvie tengah mempersiapkan bahan pembuatan kuenya. Sesekali melihat Dias yang makan di meja makan, Alvie mulai membuat kuenya.
Membuat kue adalah hal biasa bagi Alvie. Sehingga jika suami, putranya dan keluarganya yang lain berulang tahun, Alvie tidak takut jika ia lupa memesan sebuah kue.
Sebuah langkah kaki kecil mendekatinya, terlihat Dias dengan piring kotor di tangannya. Anak kecil itu meraih sebuah kursi yang memang disediakan untuknya.
"Perlu bantuan Mama?"
"Tidak perlu, Ma," jawabnya. Dias mulai menaiki kursi itu perlahan dan berdiri di sana. Mulai mencuci piring bekas makan siangnya.
Alvie tersenyum melihat kemandirian putranya. Saat semua orang berpikir bahwa orang tua tega membiarkan anaknya melakukan hal ini, Alvie lebih mengambil sisi positifnya. Di mana seorang anak bisa terbiasa dengan kemandirian sejak dini.
"Sekarang, apa Mama memerlukan bantuan?" tanya Dias yang sudah menyelesaikan cuci piringnya. Ia berdiri di samping Alvie dan mendongak.
Alvie menoleh pada putranya, ia sedikit menunduk lalu berkata, "Kau ingin membantu Mama atau memakan buah setrowberinya?" Dias hanya tersenyum menampakkan cengiran kudanya.
Alvie hanya menggeleng melihat kelakuan putranya. Ia meraih sebuah mangkuk dan ia berikan pada Dias. "Mama sudah buatkan kamu salad buah." Dias menerima dengan tatapan takjupnya.
"Dias makan saja sambil nonton tivi sana!" titahnya. Dias mengangguk. Setelah mengucapkan terima kasih pada mamanya, Dias pun berlalu dari dapur.
Alvie melanjutkan kegiatannya dalam membuat kue. Kue untuk ulang tahun untuk suaminya. Sedangkan Dias, ia tengah asyik menikmati salad buah dengan menonton tivi di atas karpet bulu yang empuk.
🌷🌷🌷
Seorang laki-laki tampan tengah termenung di balkon apartemennya, dengan tangan ia masukkan ke dalam saku celana bahannya ia menatap kosong pada padatnya jalanan surabaya di malam hari. Ia adalah Diaz, Diaz Fahreza.
Hari ini, merupakan hari yang mengejutkan baginya. Hari di mana tidak pernah ia duga sebelumnya. Di mana ia, bertemu dengan seseorang yang selama ini ia cari keberadaannya. Tujuh tahun ia mencarinya namun tak mendapati kabar apa pun tentang dia. Akan tetapi, siapa sangka? Dengan tidak terduga, ia bisa bertemu dengan wanita itu.
Jangan lupakan tentang satu hal yang membuatnya terkejut. Suatu fakta yang ... jujur belum dapat ia terima.
Ia mendongak, menatap gelapnya langit malam kota surabaya. Berharap adanya bintang yang menggambarkan wajah seseorang.
Saat ia memejamkan mata, saat itulah kilasan-kilasan kejadian tujuh tahun lalu tergambar di benaknya. Kejadian yang membuatnya merutuki kebodohannya.
Sekumpulan pemuda memakai seragam putih abu-abu tengah berkumpul di pelataran kelas 12. Hari itu adalah hari terakhir mereka berada di sekolah setelah mendapat pengumuman kelulusan mereka. Diaz, adalah salah satu dari mereka.
"Kita pamit, yuk. Ke guru-guru. Yang lain udah pada ke ruang guru tuh," tunjuk salah satu dari mereka pada sekumpulan murid lain yang terlihat keluar dari ruangan para guru.
Semuanya tampak menoleh, dan semuanya pun setuju. Mereka beranjak untuk menemui para guru. Secara bergilir, mereka menemui satu persatu guru yang ada. Berpamitan dan meminta maaf atas kelakuan nakal mereka selama bersekolah.
Seorang guru laki-laki yang memiliki tubuh tambun dan sifat bersahajanya menyapa mereka. Ia adalah Pak Gito, guru dari mapel Bahasa Indonesia. Guru dengan yang memiliki kulit hitam manis ini memeluk mereka satu persatu, sedikit memberi tepukan pada pundak mereka. Merasa terharu akan perpisahan yang mereka jalani.
"Selamat, ya. Kalian sudah lulus semua," ucapnya, "rubah sifat nakal kalian. Sudah waktunya kalian serius." Semuanya tampak mengangguk.
"Bu Endah ada di ruangannya, Pak?" tanya salah satu dari mereka yang bernama Yanuar.
"Oh. Ada. Sepertinya juga ada beberapa murid di ruangannya. Kalian langsung ke sana saja. Toh mereka juga pasti sedang berpamitan pada Bu Endah."
"Kalau begitu, kami ke ruangan beliau dulu, Pak." Pak gito mengangguk.
Sekumpulan pemuda itu pun mendekati ruangan Bu Endah yang merupakan guru BP di sekolah ini. Namun, saat salah satu dari mereka ingin mengetuk pintu, suara seseorang di dalamnya membuat ia urung.
Diaz, menggantungkan tangannya di udara kala mendengar percakapan di dalam ruangan BK itu. "Diaz? Memangnya kenapa dengan Diaz, Bu?" Diaz mengenal betul suara siapa itu. Itu adalah suara Alvie. Lalu, kenapa namanya dibawa-bawa? Yang lain, hanya menatap Diaz tanpa kata. Semua tahu, akan kemana arah pembicaraan beberapa orang di dalam.
"Apa kamu tidak ingin mengatakan pada Diaz? Sudah tiga tahun, Vie." Itu adalah suara guru BP mereka.
Terdengar tarikan napas dalam dari Alvie. "Pertanyaan yang sama, Bu. Saya sudah mendengar pertanyaan itu beberapa kali. Bahkan saya saja baru mendapat pertanyaan dari mereka. Dan jawaban saya tetap sama. Tidak."
"Kenapa? ini hari terakhir, Vie kalian bisa bertemu."
"Justru itu, Bu. Saya pun sudah menjelaskan kepada yang lain. Di hari terakhir ini, saya hanya ingin melihat tawa bahagianya. Untuk saya jadikan kenang-kenangan yang manis. Bukan sebuah senyuman kasihan yang dia berikan akibat pengakuan saya nantinya." Diaz masih berdiri di tempat yang sama. Mencerna baik-baik obrolan yang masih ia dengarkan.
"Kamu yakin, Vie? Tidak akan mengatakan pada Diaz mengenai perasaan kamu?"
"Yakin, Bu. Biar perasaan cinta ini saya simpan." Mata Diaz membulat. Tangan yang sedari tadi menggantung di udara tampak turun. Ia memundurkan langkahnya lalu pergi menjauhi ruangan guru BP itu.
Suara teman-temannya yang memanggilnya tidak ia hiraukan sama sekali. Ia hanya berlari, pergi menuju kelasnya yang memang letaknya berada di ujung koridor.
Ia berdiri menyandarkan tubuhnya dengan napas memburu. Ia usap wajahnya dengan kasar. Kilasan-kilasan perkataan sahabatnya tentang Alvie yang mencintainya tergambar jelas darinya. Semua sahabatnya sudah memberi tahunya sejak tiga tahun yang lalu. Tepatnya sejak mereka masih sama-sama kelas 10.
Ia menunduk, menumpukkan berat badannya pada lutut. Hingga satu tepukan membuatnya menoleh. "Yanuar?" panggilnya.
"Kenapa?"
Diaz menarik napasnya dalam. "Jadi ... semua itu benar?" tanya Diaz Ragu.
Yanuar, yang tak lain adalah sahabat Diaz hanya tersenyum menatap wajah frustasi Diaz. "Aku sudah pernah mengatakannya, Diz."
"Tapi kenapa?" tanya Diaz lirih.
"Kenapa bagaimana?"
"Kenapa dia hanya diam? Kenapa tidak coba berbicara?" Yanuar tertawa.
"Alvie perempuan, Diz. Kamu tahu sendiri adat kita bagaimana. Jika ada seorang perempuan yang mengatakan cinta pada laki-laki, itu tidak patut."
"Bagaimana bisa dia memendamnya selama ini?"
"Entahlah. Bisa bayangkan bagaimana tersiksanya dia?" Diaz kembali menarik napas dalam.
Suara langkah kaki yang terdengar lebih dari satu orang membuat keduanya menoleh. Terlihat beberapa orang mendekati Diaz dan Yanuar.
"Diz," panggil salah satunya. "Alvie, Diz."
"Alvie? Kenapa?"
"Katanya mau pindah hari ini," jelasnya. Mata Diaz membulat. Tidak, dia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Ia berlari untuk menemui Alvie. Namun sayang, ia terlambat menyusulnya. Rasa penyesalan itu selalu Diaz rasakan setiap harinya.
Sejak saat itulah, Diaz mencari ke mana keberadaan Alvie. Bertanya kepada semua teman dekat Alvie pun, tidak ada yang tahu ke mana pindahnya Alvie.
Hingga hari ini secara tidak sengaja ia dipertemukan dengan Alvie. Ditambah lagi akan satu fakta yang ia dapati. Alvie, telah mempunyai dunianya sendiri.
"Sedang apa kau berada di luar?" Suara Yanuar yang terdengar membuat Diaz tersadar dari lamunannya. Ia beranjak dari tempatnya berdiri lalu duduk pada kursi yang ada.
Yanuar turut mendudukkan dirinya di seberang Diaz. Ia menatap wajah sahabatnya yang terlihat sekali tengah menyimpan suatu hal. "Ada apa memanggilku kemari di jam seperti ini?" tanya Yanuar.
"Mengganggu tidurku saja," gerutu Yanuar kemudian. Membuat Diaz mendengus kesal.
Yanuar berdecak. Ia menatap Diaz lamat-lamat. "Katakan! Ada apa?"
Diaz menyatukan tangannya di atas meja. "Tadi siang, aku tidak sengaja bertabrakan dengan anak kecil di mall. Dia bocah laki-laki, dia tampan, lucu, menggemaskan, dan sepertinya dia anak yang cerdas," jelas Diaz sembari membayangkan wajah Dias kecil.
"Wait, wait, wait. Jangan bilang kalau kau mau mengadopsi seorang anak."
Diaz memutar bola matanya. "Diamlah dulu! Dengarkan ceritaku sampai selesai." Yanuar hanya mengangkat tangannya.
"Kamu tahu, War? Nama anak itu sama dengan namaku. Diaz," ucap Diaz yang sudah menampakkan wajah bahagianya.
"Lalu kalau nama kalian sama kenapa? Mau diadopsi. Nama sama itu hal biasa. Banyak di dunia ini orang memiliki nama yang sama. Bah-"
"Muhammad Al Dias Syahreza," ucap Diaz yang memotong ucapan Yanuar. Membuat Yanuar diam dengan tatapan tidak percayanya.
"It-itu nama dia?" Diaz mengangguk dengan senyuman. "Kenapa bisa semirip itu? Kebetulan yang tidak bisa diduga." Yanuar menggeleng masih dengan ketidak percayaannya.
"Bagaimana kalau aku mengatakan itu disengaja?" tanya Diaz pada Yanuar. Tentu saja hal itu membuat Yanuar merasa bingung.
"Maksudnya?"
"Ya. Aku mengira kalau mamanya sengaja memberikan nama itu pada putranya. Karena ingin mengenang diriku ... mungkin." Diaz menjawab dengan yakin.
Yanuar, ia hanya menatap Diaz dengan mengedipkan mata beberapa kali. Tidak lama kemudian, Yanuar tergelak dengan sendirinya. Membuat Diaz menatapnya aneh.
"Kenapa tertawa?"
"Kau sungguh lucu, Diz. Percaya diri sekali akan hal itu." Yanuar masih tertawa.
Diaz yang merasa jengkel hanya mendengus melihatnya. "Kau pasti akan diam jika aku mengatakan siapa mamanya."
"Siapa mamanya?" tanya Yanuar di sela tawanya.
Tawa Yanuar yang semakin keras membuat Diaz semakin kesal pula. Tanpa banyak ucap, Diaz pun berkata, "Alvie. Dia putra Alvie."
Benar saja, tawa Yanuar yang sebelumnya kencang, kini tak terdengar lagi. Keadaan hening seketika. Mengacuhkan Yanuar yang memandangnya tanpa kedip, Diaz hanya menatap langit malam yang pekat.
"Sebentar, Diz. Maksudmu ... Alvie teman kita dulu? Atau seseorang yang mempunyai nama sama dengan teman kita?"
Diaz melirik Yanuar tajam. "Menurutmu?"
Yanuar yang mendengar nada tanpa candaan Diaz mulai merasa tidak enak hati. Ia berdehem sebentar untuk menetralkan suasana. "Dengan kata lain ... hari ini kau bertemu dengan Alvie dan putranya?" tanya Yanuar yang diangguki Diaz.
"Dan Alvie. Dia sudah ... bersuami?" tanya Yanuar lagi.
Mendengar ucapan Yanuar, membuat Diaz menarik napas dalam. Ia kembali mengangguk dengan lemah.
"So, apa yang akan kau lakukan?" Diaz hanya menggeleng.
Yanuar mulai menyadari, pembicaraan ini mulai serius dan sedikit sensitif bagi Diaz. "Diz, ini sudah tujuh tahun berlalu. Dan hampir memasuki tahun ke delapan. Mungkin saja perasaan Alvie padamu sudah berubah," ucap Yanuar hati-hati.
"Entahlah. Ku hanya merasa ... dia masih memiliki ras itu," ucapnya sedikit ragu.
"Setidaknya, kau sudah bertemu dengannya. Mengetahui keadaannya seperti apa. Jadi ... melihat dia yang sudah bersuami, aku rasa semuanya telah berubah."
"Apakah aku salah jika menyesali pertemuan tadi siang?"
"Kurasa kau tidak perlu menyesalinya. Dengan kalian bertemu, kau tidak harus lagi mencari-cari keberadaan Alvie. Dan itu bisa membuatmu memutuskan suatu hal."
Diaz menatap Yanuar tidak mengerti. "Maksudmu?"
Yanuar menarik napas dalam. Ok. Ini masalah yang sedikit rumit. "Alvie sudah bersuami. Itu artinya, kau harus melanjutkan hidupmu. Mungkin ... dengan mencari seorang kekasih," ucap Yanuar sedikit ragu.
Diaz hanya memandang kosong ke depan. Yanuar tahu ini sedikit berat. Ia tahu perjalanan Diaz dalam mencari keberadaan Alvie. Karena dialah saksinya bagaimana Diaz dengan susah payah mencari keberadaan Alvie. Namun, nyatanya saat keduanya dipertemukan, sesuatu merubah segalanya.
Diaz yang sengaja mencari Alvie, ingin mengganti kesakitan cinta dalam diam Alvie kepadanya. Namun, jalan tuhan tidak ada yang tahu. Nyatanya, Alvie saat ini telah memiliki sebuah ikatan.
Yanuar menepuk pundak Diaz yang tengah melamun. "Aku tahu kau orang yang mengerti, Diz," ucapnya yang tidak mendapat tanggapan apa pun dari Diaz. Hanya pandangan kosong yang menatap Yanuar dalam.
"Aku harus pulang. Cia sudah menungguku di rumah." Yanuar mulai melangkah meninggalkan Diaz yang masih duduk termenung.
Namun, sebelum melewati pintu, Yanuar berhenti sejenak. "Dia sudah bersuami, Diz." Setelahnya, Yanuar benar-benar pergi. Meninggalkan Diaz yang masih meresapi ucapan Yanuar.
🐬🐬🐬🐬🐬🌷🌷🌷🐬🐬🐬🐬🐬
Ok. Up lagi. Mood sedang baik.
Vote dan komen mohon diberikan 😁😁
Spam, ya kalau ada typo. 👌👌😘😘😘
🐬Salam🐬
🌷 EdhaStory🌷
💘💘💘💘💘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro