Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#4 Gagal

Chapter terakhir sebelum hiatus :3

I'll be back guys!

Hope you enjoy this one!

Happy reading!

.

.

.

.

.


"Jadi, kami baru menerima laporan mengenai hasil penjualan kamu di bulan ini.."

Voltra kini tengah berada di ruangan boss-nya. Sang Boss tau-tau saja memanggilnya ke ruangannya untuk berbicara empat mata.

Meneguk ludahnya, kata-kata sang boss yang sangat serius itu membuatnya gugup. Takut jika apa yang akan disampaikan sang boss adalah berita buruk.

"Mengenai laporan kamu.." kata-kata boss itu terhenti, kemudian ia tersenyum.

"Laporannya sangat baik. Penjualan kamu melebihi target dan kamu menjadi salah satu orang di divisi marketing yang terbaik dalam beberapa bulan ini"

Ucapan sang boss barusan membuat Voltra tersenyum lega. Ia sedikit membungkukan tubuhnya dan mengucapkan terima kasih.

"Kebetulan, perusahaan kami sedang mencari Supervisor untuk divisi marketing. Apakah pria muda sepertimu tertarik?"

Seakan tak percaya, senyum Voltra mengembang tanpa sadar.

"Saya tertarik, pak" ia menjawab tanpa ragu.

"Tapi kamu akan ditempatkan di kantor cabang di kota hilir"

Waktu serasa berhenti. Voltra tidak bisa berkata apa apa setelah itu.

"Saya tau, memang jauh. Tapi ini adalah kesempatan yang baik untuk pria muda sepertimu. Kesempatan seperti ini tidak selalu datang dua kali.." ujar sang boss.

"tidak apa, kamu bisa memikirkannya dulu. Setelah mendapat jawabannya, kamu bisa memberitahu saya"

Mengangguk canggung , Voltra hanya tersenyum tipis dan membungkuk sekali lagi sebelum meninggalkan ruangan sang boss dengan berbagai hal berkecamuk dalam pikirannya.






***






Jrengg~

Di kamar , Solar tengah belajar memetik gitarnya. Selembar kertas berisi not ia letakan pada meja didepannya. Sedari tadi, ia tengah berusaha menghafal kunci dari lagu yang disiapkannya itu.

Sudah satu jam berlatih, ia rasanya hampir putus asa. Lagu yang ia siapkan itu sama sekali tidak familiar baginya. Namun itu adalah lagu kesukaan Halilintar dari band favoritnya.

.

.

.

.

"Oke- kau mau belajar main gitar? Untuk surprise ultah Hali?"

Solar mengangguk semangat.

"Oh ya, kak Gem! Kak Hali pasti punya lagu dan band favorit kan? Boleh beritahu aku?"

"Hmm... aku jarang melihat Hali mendengar lagu dari satu band saja sih.. Tapi kalau band favorit, sepertinya ada beberapa yang pernah ia bicarakan.."

Mata Solar berbinar mendengarnya "beritahu aku kak!"

"Desktop error.."

"Kakak ngomongin band atau komputer?"

"Sunshine, daisy dan butter cupcakes"

"Hah?"

"Lalu yang paling ia sukai.. sepertinya Scrubb"

"Membersihkan punggung?"

"Ish! Bukan..itu nama band kesukaan Halilintar!"

"Lagu kesukaannya itu berjudul 'everything' "

"Everything..ya.." Solar manggut manggut kemudian mulai mencari lagu Everything yang disebutkan Gempa.

"Kalau mau aku bisa memberikan kuncinya. Kau bisa latihan sama Nana, dia cukup mahir untuk mengajarimu"

"Terima kasih banyak kak! Aku berhutang padamu!"

"Yaa kau bisa meneraktirku hotpot kalau rencanamu sukses"

"Hahaha siap kak!"

.

.

.

.

"Aih.. Lagunya sulit sekali.. apa aku bisa hafal sebelum ultahnya tiba ya.." Solar mendesah kasar.

Namun bukan Solar Light namanya kalau ia menyerah. Mengingat bahwa itu ia lakukan untuk orang yang ia cintai, Ia terus mempelajari lagu dan kunci-kunci not itu hingga jarinya penuh luka.

Tapi pembelajarannya harus terhenti ketika ia mendengar pintu depan terbuka. Ia langsung buru buru menutup kertas not itu dan meletakan gitarnya.

Halilintar pun melangkah masuk. Sebelah alisnya terangkat saat melihat Solar tengah duduk di depan meja belajarnya menghadap kearahnya.

"Kamu ngapain?" tanyanya.

Solar menggeleng "nggak- lagi nungguin kakak pulang aja.." senyumnya. 

"tumben?" 

"ish- aku selalu nungguin tau. Kakak lagian malem banget baliknya, aku kan kangen" 

Halilintar tersenyum simpul kemudian menggeleng. Setelah ia meletakan barang-barangnya di kursi, ia pun berjalan mendekati Solar. 

"hee.. kangen ya, manis sekali.." 

Berjalan kian mendekat, Halilintar kemudian menepuk pundak Solar. 

"pacar yang manis..harus diberi hadiah" 

Halilintar mendekatkan wajahnya dan detik itu juga Solar menutup kedua matanya. Seringai tipis pun muncul di wajah sang gledek merah, alih-alih mencium, Halilintar malah mendekatkan bibirnya pada telinga Solar dan berbisik.

"jadi.. beberapa hari ini kau latihan gitar dengan Nana.. buat apa?" 

Netra silver itu membelalak mendengarnya. Menolehkan wajahnya, ia malah melihat Halilintar yang menatap tajam kearahnya. 

"menyenangkan ya? berlatih berduaan dengan perempuan? kau pikir aku nggak tau?" 

Tubuh Solar langsung menegang. Ia tidak tau harus menjawab apa kala itu, apalagi Halilintar terlihat cukup kesal. Sebenarnya pacarnya itu bukan tipe pria pecemburu, namun beberapa waktu ini entah kenapa ia lebih sering kesal dan curigaan. Entah karena apa. 

"itu..nggak seperti yang kamu pikirkan kok.." Solar menjawab lirih. 

"oh ya? memang menurutmu aku mikirin apa?" Halilintar menyahut cepat. Sang pacar pun membisu dibuatnya.

"aku cuma nanya, kamu tumben tumbenan belajar gitar padahal biasanya megang gitar aja ogah. Ada apa?" 

Selama ini, Solar hampir tidak pernah berbohong pada pacarnya. Lebih tepatnya..tidak bisa. Karena Halilintar akan selalu mengetahui jika Solar berbohong padanya. 

Melihat Solar yang hanya diam, Halilintar akhirnya mengangkat dirinya. Ia berbalik tanpa berkata apa apa. Menyambar handuk dan berjalan ke kamar mandi. 

Solar tersentak melihat sekelibat tatapan kecewa yang dipancarkan netra ruby itu. Padahal ia berniat untuk memberi hadiah yang membuatnya bahagia, namun kini ia malah membuatnya kecewa. 

"k-kak Hali!" 

Suara panggilan Solar menghentikan langkah Halilintar. Lantas ia berbalik dan kembali bertemu pandang dengan Solar. 

"a-aku sebenarnya!" 

Sebelah alis Halilintar terangkat "sebenarnya?" 

Solar mengulum bibirnya, kemudian mengambil gitar yang tergeletak di tanah. 

"aku ingin memberimu hadiah.." ia berucap lesu karena rencana yang telah ia susun kini hancur berkeping keping.

"hadiah?" 

Solar mengangguk "hadiah untuk ulang tahunmu.. aku ingin belajar bermain lagu Scrubb agar bisa menghadiahkannya padamu saat ulang tahunmu nanti.." 

Memang dasar Solar Light nggak bisa bohong. Ia kesal dengan dirinya sendiri. Namun ia tidak ingin membuat Halilintar salah paham. 

"kok kamu tau aku suka band itu?" 

"kak Gempa yang kasih tau.." 

Mendengar pengakuan jujur dari sang pacar, Halilintar tidak tahan untuk tidak tersenyum. Ia lalu kembali dan menyentuh tangan Solar, menatapnya lembut. 

"maaf..aku tadi mencurigaimu.. pikiranku hanya kacau akhir akhir ini.." ucapnya "jadi.. sudah sampai mana kau mempelajarinya?" 

"s-setengah lagu.." jawab Solar. 

"hee.." Halilintar mengangguk angguk "kerja bagus, sayang. Aku bangga denganmu" 

Solar terkekeh saat Halilintar mengelus sebelah pipinya. 

"kalau begitu! kau mau mendengarku memainkan lagu Scrubb?? aku bisa memainkannya sekarang!"

Halilintar menggeleng pelan.

"um.. kurasa nggak sekarang.. aku lelah sekali, mau mandi.." 

Raut wajah Solar langsung berubah kecewa "t-tapi.. aku latihan lagu ini untukmu loh kak.." 

"yah..pilih saja.." 

Halilintar melenggang santai menuju kamar mandi, lalu berbalik menatap Solar. 

"kamu mau main lagu Scrubb , atau kamu mau Scrub tubuhku" 

(scrub = menggosok) 

Netra Solar seakan hendak keluar dari lubang matanya saat mendengar kalimat terakhir Halilintar. Melihat Halilintar yang sudah masuk kamar mandi, Solar langsung meletakan gitarnya kemudian menyambar handuknya dan ikut masuk ke kamar mandi dengan terburu buru. 

"Lucky~" Solar menggumam girang.










*** 












Bagi pasangan berdarah panas dan berdarah dingin ini, setiap hari adalah saat terbaik untuk menyalurkan hasrat masing-masing. 

Seperti halnya hari ini.

Mereka baru saja sampai rumah setelah menjalani hari yang panjang. Baru saja ransel diletakan di meja, tau-tau Blaze mendorong tubuh Ice hingga terjatuh di sofa dan menindihnya.

Ice bahkan tak sempat berkata kata dan Blaze langsung menyambar bibir yang sudah menjadi candunya itu dalam sebuah lumatan kasar.

Sembari mereka larut dalam sesi ciuman panas itu, Blaze yang tak sabaran pun langsung menelanjangi Ice dengan terburu buru. Mulai dari jaket, kemeja, bahkan kaus armless biru yang dijadikan Ice sebagai dalam an pun ditarik lepas.

Ice benar benar kewalahan menghadapi Blaze saat ia sedang dalam masa 'ingin' . Padahal baru kemarin mereka melakukannya, namun pemuda berdarah panas ini benar benar tak kenal ampun.

Mungkin jika pasangan lain menyalurkan rasa sayang dengan bermesraan, pergi kencan, atau sekedar mengobrol. Pasangan satu ini menyalurkannya dengan seks.

"Huwahh! B-blaze! S-sebentar.. Mmng~"

Ice melenguh nikmat begitu Blaze mengganti sasarannya menjadi leher putih jenjang yang merupakan hak miliknya itu. Wajahnya sudah merah tak karuan terlebih saat Blaze mulai menghiasi kulit leher Ice dengan berbagai kissmark.

"B-Bukankah kita harusnya mandi..dulu?" lenguh Ice tertahan.

"Mandi? Dan membiarkan aroma khas tubuhmu terbilas sabun? Tidak dalam sejuta tahun, sayang.."

Setelah puas menjelajahi leher mulus sang kekasih, cumbuan Blaze mulai menggerayangi dada dan perut Ice yang cukup terlatih. Dan dalam sekali tarik, celana panjang yang Ice gunakan pun sudah menghilang entah kemana dan hanya menyisakan boxer nya saja.

"Jangan harap aku akan membiarkanmu kabur seperti kemarin Ice.." Blaze berbisik rendah, tangannya dengan cepat masuk melalui celah boxer Ice dan merangsang milik kekasihku itu.

Ice merinding hebat begitu merasakan miliknya mulai tegang karena ulah Blaze. Menutupi wajahnya sendiri dengan tangan, Ice mulai mendesah dan berkeringat dingin membayangkan ia akan menjadi mainan Blaze semalaman.

"Matilah aku..."








***










Taufan tengah melihat lihat website belanja online favoritnya saat pintu depan dibuka dan menampilkan Voltra yang baru pulang kerja.

Voltra tersenyum, seperti biasanya kemudian menyempatkan diri untuk mengelus kepala sang pacar setelah ia meletakan barang-barangnya.

"Kok kakak tumben pulang cepet?" Taufan bertanya bingung. Ia menutup laptopnya kemudian menghampiri Voltra dan membantunya melepas dasi yang tengah dipakainya.

"Tadi atasanku pulang awal..makanya semuanya boleh pulang lebih awal.." jawab Voltra. Walaupun ia terlihat lelah, namun ia masih memberikan senyum terbaiknya pada sang kekasih.

"Kakak mandi dulu ya, fan.. Capek banget rasanya.."

Melihat Voltra yang berjalan ke kamar mandi, entah kenapa Taufan merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan Voltra hari itu.

Ia paham betul bahwa pacarnya itu lelah setelah bekerja seharian, namun ia tak pernah terlihat lesu seperti tadi. Sikap Voltra barusan membuat Taufan bertanya tanya.




Di kamar mandi, Voltra berdiam diri dibawah shower yang membasahi kepalanya.

Dalam diamnya, ia kembali teringat dengan kata-kata boss nya tadi siang.

Kesempatan yang mungkin tak akan datang dua kali.. ia sudah lama sekali mengimpikannya sejak masuk ke perusahaan.

Mendapatkan jabatan lebih tinggi..menjadi pemuda yang jauh lebih pantas untuk Taufan.

Namun rasanya sulit sekali. Mau tak mau harus ada satu yang ia korbankan mengingat ia akan ditempatkan pada kantor yang terletak di kota sebelah.

Ia tidak ingin meninggalkan Taufan. Ia tau bagaimana sulitnya hubungan LDR itu karena mereka telah menjalaninya. Ia akhirnya mencapai impiannya untuk tinggal bersama Taufan, ia tak ingin meninggalkannya untuk yang kedua kalinya.

Larut dalam pemikirannya, ia bahkan tak sadar ketika pintu kamar mandi terbuka. Taufan masuk ke dalam kamar mandi dengan keadaan tak berbeda dari Voltra, memeluk sosok itu dari belakang hingga membuatnya terkejut.

"Loh..Taufan? Sejak kapan kamu masuk..?" Voltra bertanya lembut, kemudian membalikan tubuhnya dan merengkuh tubuh mungil itu.

"Kakak kenapa? Dari tadi aku liat kakak seperti banyak pikiran.." Taufan bertanya balik, kali ini membuat Voltra tertegun.

Ternyata kekasih mungilnya ini mencemaskannya..

"Kakak gak papa, fan.. Kamu terlalu banyak mikir ah..kakak cuma agak capek aja.." Voltra menjawab tenang.

Taufan mengangkat kepalanya, lalu menyipitkan matanya dan menatap Voltra dengan tatapan menyelidik.

"Yakin?"

Voltra mengangguk mantap, kemudian tersenyum lebar.

"Ayo sini, kakak gosokin punggungmu"

Mengalihkan pembicaraan, Voltra pun melepaskan pelukan Taufan dan membawa tubuhnya ke bawah shower.

"Pelan pelan ya kak"

"Aku selalu pelan pelan denganmu, Taufan .."

Setelah ia mengambil sabun dan bola jaring , Voltra pun menuangkan sabun dan mulai menggosok punggung kekasihnya.

"Kalau kulit Hali itu cerah.. Kulit kamu jauh lebih cerah" ujar Voltra. Taufan terkekeh dibuatnya.

"Kakak bisa aja.."

Satu dua kali usapan pada punggung Taufan, Voltra pun melingkarkan lengannya pada tubuh kekasihnya. Memeluknya begitu erat.

"Apa nih? Kakak bilang mau gosokin punggungku?" Taufan tersengih, kemudian mengusap lembut lengan Voltra yang melingkar di tubuhnya.

"Kakak sayangg banget sama Taufan.. Sayang banget banget!"

"Ish kakak.." wajah Taufan memerah padam, dibasahi oleh shower yang mengucur diatasnya membuat pelukan Voltra terasa lebih hangat.

Membalikan tubuh Taufan, Voltra perlahan mulai menutup jarak diantara mereka. Tubuh Taufan didorong hingga bersender pada dinding kamar mandi begitu mereka larut dalam cumbuan manis yang memabukan.

Voltra benar benar tidak ingin kehilangan momen seperti ini. Tidak untuk yang kedua kalinya..




***




Pagi yang cerah diawali Halilintar dengan minum segelas susu sebagai sarapannya.

Ia telah duduk di depan meja sedari tadi, melamun sembari menyampurkan bubuk susu itu ke air panas kemudian mengaduknya hingga tercampur rata.

Solar yang baru keluar mandi pun dibuat heran dengan tingkah Halilintar. Ia lantas meletakan handuk yang dipakainya dan duduk di sebelah pacarnya itu.

"Kamu mau aduk susu itu sampe dia menguap, hm?"

Halilintar mendengus "ngga gitu.."

Solar tersenyum, lalu merapikan poni Halilintar yang sedikit berantakan.

"Lalu? Kamu mikirin apa?" tanyanya.

Halilintar menghela panjang.

"Hari ini hari pertama aku menjabat jadi presiden club musik.. Dan ada event penerimaan anggota baru juga.. Aku gugup tau.." ujarnya.

"Aih? Pacarku ini bisa gugup ternyata?" goda Solar.

"Habisnya- biasanya kita selalu bareng bareng.. Ini pertama kalinya, aku memimpin sendirian tanpa kamu.." ia menghela nafas lagi, wajahnya terlihat gelisah. Terlihat dari caranya memainkan sendok yang tercelup di gelas sedari tadi.

Tingkah Halilintar begitu menggemaskan di mata Solar. Mengingat bahwa hingga setahun lalu Halilintar masih merupakan ketua himpunan yang dingin dan super galak hingga ditakuti oleh hampir semua anak tingkat pertama. 

"kak.. sini" 

Panggilan Solar membuat Halilintar menoleh "kenapa?" 

"dekatkan kepalamu.." 

Halilintar mengernyit "apa sih.." 

Menggeser kursinya lebih mendekat, Solar menangkup kedua pipi Halilintar. Ia membawa wajah Halilintar mendekat padanya. 

"sim salabim abra cadabra! kuharap, pacarku yang imut ini akan melakukan yang terbaik dalam tugasnya~ dicintai semua orang dan dihormati oleh semua anggotanya.. fuhh!" 

Tiupan Solar pada dahi Halilintar sebagai penutup membingungkan sang pacar. Namun setelahnya, sebuah kecupan yang diberikan Solar pada pipinya membuat senyumnya terkembang. 

"kulit kamu halus banget sih~" puji Solar sembari mencubit lembut pipi Halilintar. 

"yah.. aku sih nggak perlu skin care biar kulitku halus.." Halilintar melirik kekasihnya itu kemudian tertawa melihat reaksinya. 

"s-skincare itu untuk menjaga kulit!" protes Solar. 

"hahaha! iya iya aku bercanda kok~ ayo berangkat!" 














Setelah kelas berakhir, Solar kini tengah menunggu Halilintar di depan gedung utama dimana puluhan club yang ada di Universitas itu terletak. 

Dari kejauhan, ia sudah melihat pacarnya itu setengah berlari kearahnya. Begitu tiba, Halilintar langsung merapikan kemeja yang dipakainya kemudian bertanya pada Solar. 

"apa aku udah cukup tampan?? apa aku udah kelihatan berwibawa?" 

Solar terkekeh melihat sang pacar yang masih terlihat gugup. Mengusap lembut rambut Halilintar, Solar pun mengangguk. 

"kamu keliatan cakep kok seperti biasanya~ ayo pergi" 

Usai merangkul sang pacar, keduanya pun berjalan masuk kedalam gedung yang tidak terlalu ramai di hari itu. 

Menaiki lift yang hanya cukup untuk empat orang itu , keduanya pun tiba di lantai 5. Halilintar kini tengah menelpon seniornya untuk memastikan letak ruangan club yang baru-baru ini pindah. 

"halo kak- aku udah di lantai 5 nih.. ruangannya yang mana?" tanya Halilintar melalui telepon. Tak lupa ia melambai pada Solar yang pergi ke arah yang berlawanan. 

"ruangan nomor 15? yang ada stiker pororo ? astaga kak- napa pororo sih??" Halilintar menggeleng geleng sementara sang senior dibalik telepon malah mengoceh dan mengomel karena Halilintar menanyakan pilihannya. 


Sementara itu.. 

"lah kak? ruangan club kita dipindah? ah..soal AC .. dipindah ke ruangan berapa?" 

Solar yang sedang dalam perjalanan ke ruangannya pun ditelepon oleh seniornya yang menginformasikan pemindahan ruangan club pemandu sorak karena kerusakan pada pendingin ruangan. 

"ruangan kedua ujung.. nomor 14? yang ada gambar keropi di pintunya?" 

"oke oke aku lagi jalan nih- see you" 

Kedua insan itu menutup telepon secara bersamaan dan sampai detik ini mereka belum sadar akan hal ini. Ketika keduanya berbelok di belokan terakhir sebelum sampai ke ruangan club, pasangan ini sama-sama terkejut begitu menyadari bahwa ruangan club mereka terletak bersebelahan satu sama lain. 

"lah..loh??" 

Solar dan Halilintar saling menunjuk heran kemudian menoleh pada ruangan club masing-masing. 

"ya ampun.. kupikir..kita bakal terpisah jauh, ternyata sebelahan ya.." Solar terkekeh "bagus deh kalo begitu..aku bisa sering sering main" 

🎶DUM DUM TESSS!!!

JRENGG DUG DUG DEBUMM!!

ENTAH APAAA YANG MERASUKIMUUU!!!

SAMBALA SAMBALA SAMBALADOOO!!🎶




Kedua insan itu tersentak dengan suara super keras yang datang dari kedua ruangan club itu. Suara tabuhan drum dan gitar elektrik dari ruangan club musik, dan suara speaker bass elektrik dari ruangan club pemandu sorak. 

"err.. a-apa kau yakin ini ide yang bagus?" Halilintar bertanya ragu. Keduanya mengernyit karena saking kerasnya suara itu hingga menusuk pendengaran mereka. 

"um..haha.." Solar hanya bisa tertawa canggung , melirik pada kedua ruangan club kemudian pada kekasihnya. 

"kurasa..tidak" 





*** 







"Baiklah- peserta terakhir..silahkan perkenalkan dirimu"

Seorang laki laki muda bangkit dari kursinya begitu mendengar namanya dipanggil. Ia pun maju ke baris terdepan dan berdiri di sebelah Halilintar.

"Perkenalkan dirimu..dan beritahu kami kenapa kamu mengikuti club musik"

"Selamat siang! Saya Fendy dari tahun pertama. Saat saya di SMA, saya mengikuti club musik sebagai seorang gitaris. Karena itu saya ingin mengemban tugas yang sama di perkuliahan"

Perkenalan singkat itu disambut oleh tepuk tangan dari semua anggota termasuk Halilintar. Saat pemuda itu dipersilahkan duduk, Halilintar pun mulai memperkenalkan diri.

"Saya Halilintar, presiden club musik tahun ini. Mohon kerjasamanya!" Halilintar merunduk.

"Oke- sekarang kita akan mempelajari not dasar dari-"





🎶DUNG DUNG DUNG!!!

DIMANAA DIMANA DIMANAAAA!!!

ONE TWO OH YEAH ONE TWO THREE!!!🎶






Suara lagu yang kerasnya tak main main itu memotong perkataan Halilintar. Menghela nafas panjang , ia pun melanjutkan kata katanya setelah lagu berhenti.

"Jadi not dasar yang pertama akan kita pelajari adalah-"





🎶TAREKKK BANGG DURIANN!!

CINTAKU BUKAN DI ATAS KERTAS!!!

SATU DUA AYO!!! MENARI LEBIH KERAS!!🎶





Halilintar mendesis kesal, berusaha menahan emosi dengan mengepalkan kedua tangannya. Ia menarik nafas, masih mempertahankan senyumnya.

"not dasar yang akan kita pelajari adalah--"

🎶TENENENENENENENENEETT TET TEET TERETTT~ 🎶




Oke cukup.

"Sebentar ya.."

Halilintar pun kehilangan kesabarannya dan akhirnya permisi untuk pergi ke ruangan sebelah.

Suara musik itu masih terus menggema dengan kencang bahkan ketika Halilintar membuka pintu. Solar, sang presiden tengah asik menari bersama beberapa anggota ditengah alunan musik yang begitu keras hingga Solar tak mendengar saat Halilintar memanggilnya.

"SOLAR LIGHT!!!"

Solar menengok begitu mendengar teriakan Halilintar. Ia buru buru mengecilkan speaker yang dipasangnya lalu menghampiri kekasihnya itu.

"Katanya kau akan mengurangi suaranya!" kesal Halilintar.

"Hei! Kalau aku hanya bersama junior- aku bisa melakukannya! Tapi coba lihat!" Solar berkata setengah berbisik sambil menunjuk ke belakang punggungnya, kearah seseorang yang tengah duduk santai di atas speaker itu.

"Kak Sai??"

Solar mengangguk angguk lalu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Kak sai masih cari pekerjaan, makanya dia selalu dateng kesini.." ujarnya.

Cklek.

Pintu ruang club tau-tau terbuka dan menampilkan Gempa dan Thorn yang masuk kedalam ruangan. Entah apa yang mereka lakukan, namun mereka langsung menyapa Halilintar dan Solar yang ada disana.

"Eh kak Hali~ kakak ngapain disini?" tanya Thorn ceria.

"Kamu sendiri? Ngapain disini?" Halilintar bertanya balik.

"Ohh! Mulai hari ini aku bakal bantu bantu di club pemandu sorak~ buat ngurusin anak anak baru aja sih.." kekehnya.

"Kukira kakak ada latihan sama kak Gem?" 

"Ah.. aku datang untuk bicara soal suara.. Mereka setel speaker terlalu keras, club ku sama sekali nggak bisa latihan.." jawab Halilintar.

"Aku udah ngomong ke kak Sai, tapi dia bilang itu masalah kalian.. karena kita juga butuh speaker buat latihan kan.." Solar menghela nafas.

Gempa merotasikan bola matanya , kemudian pandangannya beralih pada Sai yang tengah duduk santai memainkan ponselnya.

"Kak Sai?? Kamu ngapain disini dan gangguin juniormu, hm?"

Sai langsung meletakan ponselnya dan bangkit dari duduknya.

"Jaga bicaramu! Siapa yang menganggu siapa, hm?"

"S-suara speaker kita terlalu keras kak.. club sebelah jadi terganggu.." ucap Solar takut takut.

"Heh- ini adalah club pemandu sorak! Lalu kau mau aku meditasi atau apa, hah? Atau aku harus mulai baca mantra sekarang??" Sai membalas sengit.

"Ooohhh what an ass! Bisakah kau jadi senior yang sedikit bermartabat, kak?"

"Apa maksudmu?!"

"Kau harus ingat kalau bangunan ini bukan hanya milikmu, sialan! Ini fasilitas umum dan kau berbagi tempat dengan orang lain!"

Halilintar turut mengangguki perkataan Gempa barusan.

"T-tapi.. club cheerleader memang membutuhkan suara yang keras kak..untuk membangkitkan motivasi para anggota.." Thorn tau-tau menimpali.

Gempa menoleh cepat kearah Thorn dan menatapnya tajam.

"Thorn?! Kamu ada di pihak siapa?! Heh??"

"A-aku-"

Thorn menatap Gempa takut-takut, kemudian beralih menatap Solar yang kebingungan dan Sai yang penuh emosi.

"Thornn.." Solar memanggil sendu.

"Thorn!" Gempa meninggikan suaranya hingga Thorn tersentak dibuatnya.

"Ah- sial! Aku lebih suka berada di pihak yang tidak suka memaksa sepertimu! Kau selalu memaksa orang, kak!" kesal Thorn kemudian berpindah sisi ke sebelah Solar.

"K-kau!" Gempa yang tak terima langsung menunjuk Thorn dengan stik drum yang dibawanya. Halilintar di sebelahnya pun langsung menurunkan tangan Gempa dan berusaha menenangkannya.

"Oh tenanglah kalian! Aku disini cuma mau minta kalian mengecilkan suara kalian..kenapa malah berantem sih?" lerai Halilintar mengusap usap kepalanya sendiri. Padahal ia datang untuk mengurangi kebisingan, namun sekarang kepalanya malah sakit luar biasa karena pertengkaran didepannya. 

"cih! dengar ya! kami selama ini memasang speaker yang sama dan cuma kalian yang protes! kalau gak suka, keluar aja sana!" Sai menatap tajam Gempa dan Halilintar kemudian menunjuk pintu keluar dengan emosi. 

"finee!! aku keluar! gak perlu memberitahuku begitu! dan kau, Thorn--" Gempa menunjuk Thorn yang malah bersembunyi di belakang tubuh Solar "jangan harap masalah kita selesai disini aja!" 

Thorn yang mendengar itu pun ikut terpancing emosi. Ia tidak suka saat seseorang menunjuk-nunjuknya dan memarahinya. Mencengkram sebelah bahu Solar, Thorn mendorong Solar ke belakang dan maju mendekati Gempa. 

"oke!! terserah! kakak pikir aku takut dengan ancamanmu?!!" 

Gempa hendak maju menantang Thorn namun Halilintar langsung menghalanginya. Demikian juga dengan Thorn yang langsung dipegangi oleh Solar, kalau tidak pasti mereka berdua sudah baku hantam ditempat. 

Seakan ada petir menyambar diantara mereka, Gempa dan Thorn masih saling bertukar pandangan membunuh. Sedangkan Halilintar dan Solar hanya mendengus bingung. Terutama Halilintar. Ia tak membayangkan bahwa yang terjadi malah seperti ini. 

"Solar!" Sai tau tau berkata, kedua lengannya terlipat di dada. 

"kau presiden club nya, dan kau mengemban tanggung jawab semua orang. Beritahu pacarmu dan sahabatnya yang nggak tau diri ini, apa kita perlu mengecilkan suara demi mereka?" sinisnya, kemudian mendorong tubuh Solar maju hingga bertemu pandang dengan sang kekasih.

Solar ragu menjawab, ia menoleh pada Sai, kemudian kembali menatap Halilintar. Di sana, Halilintar mengangguk pelan, berharap bahwa Solar dapat berbelas kasih dan memberinya sedikit kesempatan. 

"katakan, Solar! haruskah kita mengecilkan suara kita??" 

Solar menghela nafas panjang , kemudian menggeleng. 

"tidak kak.." 

.

.

.

.

.

"duhh..maafin aku sayangg!" 

Di rumah, Solar mati-matian berusaha meminta maaf pada pacarnya itu. Halilintar yang tengah berbaring di kasurnya itu hanya menggumam, tak merespon permintaan maaf Solar sejak tadi. 

"jangan marah yaa?? aku beneran minta maaf loh.." 

Halilintar menghela nafas "ngga marah.." 

Solar berbaring di sebelah kekasihnya, kemudian memeluknya dari belakang. Ia mengedus leher Halilintar dan Halilintar langsung mendorongnya karena merasa geli.

"aku capek.. aku harus teriak teriak hanya untuk bicara lebih keras dari suara speakermu" helanya. 

"huhuhu.. kan aku udah minta maaf kak..kakak kan tau, aku harus berdiri di depan anggota club yang lain.. aku harus nunjukin sisi yang berwibawa.."  Solar merengek sembari mengguncang pelan tubuh Halilintar. 

"lalu kau pikir aku gak perlu mengurus anggotaku juga? kau bukan satu satunya presiden club disini.." dengus Halilintar.

"maaf yaa kak, aku janji bakal ngomong ke kak Sai deh besok.." bersender pada punggung kekasihnya, Solar pun berinisiatif untuk memijat bahu Halilintar.

Alih-alih menikmati, Halilintar malah menyikut tubuhnya kemudian membalut dirinya sendiri dengan selimut. 

"gak perlu.. aku mau tidur.. besok aku harus latihan untuk acara" 

Solar mendesah panjang. Ia mengangkat tubuhnya dan memandangi pacarnya yang mulai terlelap itu. Sepertinya dia memang selelah itu. 

Mengelus lembut kepala Halilintar, Solar memberi kecupan pada pucuk kepalanya sebelum akhirnya mematikan lampu dan ikut berbaring di sebelah Halilintar. 

Awalnya ia berpikir bahwa bekerja di dua club yang berbeda mungkin akan lebih baik.. namun ternyata yang terjadi malah sebaliknya. 




*** 





"kak, aku boleh pinjam laptop buat ngirim tugas? link di laptop ku agak error nih.." 

Voltra yang baru selesai dengan pekerjaannya pun mengangguk. Ia meninggalkan laptopnya yang baru selesai ia gunakan dan membawa dokumen-dokumen yang telah dikerjakannya ke kamar.

Taufan memekik girang kemudian bergegas membawa laptop Voltra ke meja belajarnya. Setelah ia menancapkan USB miliknya, ia pun membuka tugasnya yang hendak ia kirimkan pada dosen. 

Di saat yang bersamaan, sebuah email tiba-tiba muncul di pojok kanan laptopnya. Taufan mengernyit ketika menyadari Voltra lupa me log-out emailnya. Dilanda rasa iseng dan penasaran, Taufan akhirnya memutuskan untuk mengecek sebentar akun email kekasihnya itu. 

"apa ini.. detail mengenai Supervisor divisi Marketing di kantor cabang Kota Hilir... tuan Voltra Thunderstorm.. dimohon untuk memberikan konfirmasi segera mengenai promosi jabatan di kantor cabang Kota Hilir?" 

Tersadar dengan apa yang terjadi, Taufan perlahan melirik Voltra yang masih sibuk menyimpan dokumen-dokumennya. Raut wajahnya langsung berubah sendu, ia kembali teringat saat beberapa hari lalu dimana Voltra terlihat berbeda. 


"Kakak kenapa? Dari tadi aku liat kakak seperti banyak pikiran.."

"Kakak gak papa, fan.. Kamu terlalu banyak mikir ah..kakak cuma agak capek aja.." 



'Ternyata.. kau memang menyembunyikan sesuatu dariku ya, kak..' 




To be continued.


See you after lebaran !!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro