#3 Audisi
Suasana di ruangan club pemandu sorak ramai seperti biasanya.
Hari ini merupakan hari pertama kegiatan club resmi dimulai setelah audisi yang diadakan beberapa waktu lalu.
Karena banyaknya murid yang mendaftar, maka club pemandu sorak mengadakan audisi untuk menyaring member baru. Hal ini dikarenakan club pemandu sorak setiap tahunnya hanya menerima kurang dari 40 anggota saja.
Di ruangan itu, Emma selaku salah satu senior yang terlibat dalam pengurusan club terlihat sedang berbicara di depan para anggota baru.
"Aku ngucapin selamat buat kalian semua yang berhasil masuk! Kalian semuanya berbakat dan aku berharap kita semua bisa menunjukan prestasi!"
Ia berkata dengan semangat mengebu ngebu, senyumnya pun ia lemparkan kepada para anggota itu. Ia juga mengatakan untuk tidak usah terlalu serius dan menjalani kegiatan club dengan santai saja.
"Sebelumnya ruangan club kita bukan disini- tapi karena sedang di renovasi, makanya kita pindah ke ruangan ini. Memang sedikit lebih kecil , tapi cukup kok untuk latihan"
Kemudian pandangan Emma pun tertuju pada Solar dan Halilintar yang berdiri tak jauh dari sana, ia pun tersenyum simpul.
"Dan tahun ini kita juga punya presiden dan sekretaris baru loh! Mau ketemu nggak??"
Para anggota baru pun bersorak sorai dan bertepuk tangan.
"Ayo pak presiden dan sekretaris! Silahkan!"
Solar dan Halilintar pun maju menggantikan tempat Emma begitu namanya dipanggil.
Halilintar sempat ragu, namun Solar memegang tangannya dan meyakinkannya untuk lebih percaya diri.
Melempar senyum pada para anggota baru, Solar pun berkata.
"boleh nggak aku gak ngenalin diri? Biar kalian penasaran"
Jeritan para anggota baru yang dominan wanita itu langsung memenuhi ruangan. Pesona sang presiden sekaligus pangeran kampus itu memang tidak main main.
Melihat reaksi para wanita itu, membuat Halilintar semakin ragu untuk berbicara. Ia merasa disini bukanlah tempatnya.
Solar menoleh ke arah sang kekasih dan mengangguk begitu bertemu pandang dengannya.
Mengumpulkan keberaniannya, Halilintar pun buka mulut.
"Aku..Halilintar. Sekretaris club.."
Saat Halilintar memperkenalkan diri , suasana di ruangan itu langsung berubah 180 derajat.
Mereka yang tadinya menjerit, kini saling berbisik dengan teman sebelahnya sambil melirik Halilintar dengan sinis. Mereka yang tadinya bertepuk tangan, kini hanya diam seolah tidak ingin melihat keberadaan Halilintar.
Ingatan tentang komentar-komentar buruk yang ada di forum mahasiswa langsung kembali ke pikiran Halilintar. Ia hanya bisa tertunduk, tubuhnya mulai gemetaran.
Solar yang sadar akan hal itu pun jadi salah tingkah. Ia terus melihat kearah Halilintar, khawatir dengan keadaannya. Namun sebagai presiden club, tentunya ia juga harus memberi perhatian pada para anggotanya.
"B-baik semua- hari ini kita akan--"
"Kalian mungkin berpikir, kalau aku bisa masuk ke club ini karena koneksi.." Halilintar tau-tau memotong perkataan Solar, menatap para anggota yang nampak tak acuh itu satu per satu.
"Dan itu memang benar" ujarnya.
Reaksi para anggota sudah dapat ditebak. Sebagian besar dari mereka tersenyum sinis terhadap teman mereka karena merasa menang.
Sedangkan Solar, ia berusaha menghentikan kekasihnya itu dengan memegangi tangannya. Ketika mereka bertemu pandang, Solar menggeleng. Mengisyaratkan agar Halilintar tak melanjutkan kata-katanya.
Namun Halilintar tak peduli, ia kembali melanjutkan ucapannya.
"Aku memang masuk ke sini bukan karena kemauanku. Aku bahkan gak ikut audisi, aku gak bisa menari, aku masuk karena presiden club membantuku.."
Halilintar menatap Solar dengan serius, kemudian kembali menatap para anggota baru itu.
"Karena itu, aku berpikir.. kalau nggak adil buat kalian kalau aku jadi sekretaris.." ia menghela nafas.
"Jadi yang mau kubilang disini adalah.. " Halilintar menjeda perkataannya. Netra ruby itu menyapu seluruh anggota satu per satu.
"satu minggu latihan menari.. dan aku akan mengikuti audisi untuk club ini"
"Hah?!"
Solar yang disampingnya langsung menatapnya bingung , demikian juga dengan para senior lainnya.
Sedangkan Halilintar malah memasang wajah sumringah, ia tersenyum menatap Solar dan semua orang disana.
"dan saat itu, kalian yang akan menilai pantas atau tidaknya aku berada di club ini.. Jadi, mohon bantuannya!"
Halilintar merunduk dan membungkukan tubuhnya 90 derajat kepada para anggota baru yang kini hanya saling menatap kebingungan satu sama lain.
Ia lalu tersenyum lebar penuh keyakinan pada Solar, sang presiden club yang masih loss dengan keadaan saat itu.
"Aku pasti lolos audisi dan jadi sekretaris yang pantas untukmu!" senyumnya.
***
Kantor Voltra libur hari ini.
Ini adalah kesempatan sekali dalam beberapa minggu yang selalu dinanti nanti kakak gledek merah itu.
Ia bisa bangun siang, bersantai seharian tanpa memikirkan pekerjaan yang seringkali membuatnya stress.
Namun hari ini, entah kenapa rasanya bosan sekali.
Alasannya simple.
Karena Taufan sudah pergi untuk kelas sejak pagi , dan ia ada kegiatan club seharian untuk mempersiapkan event seni yang akan datang.
Oh ya, sebagai informasi. Club robot milik Taufan juga termasuk sebagai club seni, yang artinya club mereka juga akan berpartisipasi sebagai salah satu peserta dalam lomba bergengsi itu.
Sudah sebulan lebih Taufan mengerjakan proyek robotnya itu, yang entah apa namanya. Voltra tidak mengerti sama sekali. Yang jelas, proyek itu selalu membuat Taufan pulang lambat dan itu membuat sang kekasih resah.
Padahal ia sudah mendambakan hari libur bersama pacarnya itu.
Karena saking bosannya Voltra menunggu dirumah, ia akhirnya memutuskan untuk mendatangi Universitas. Jalan-jalan sekaligus menengok sang pacar, dan adiknya yang juga ada kegiatan club.
Dengan motor ninja andalannya, ia melesat ke universitas yang jaraknya sangat dekat itu. Setelah memarkir kendaraannya, petualangannya menelusuri Universitas Taufan pun dimulai.
Ia sengaja tidak menelepon Taufan karena ia ingin memberikan surprise. Yah, ala ala pasangan di sosial media gitu.. Ia sudah membayangkan reaksi Taufan yang pasti kesenangan karena diberi kejutan.
Voltra bahkan sengaja membeli minuman coklat yang sangat disukai Taufan sebagai tanda cinta. Dirinya senyum senyum sendiri membayangkan Taufan yang akan tersenyum imut saat menerima minuman itu.
Memang dasar bucinnya sudah tak terkontrol.
Menelusuri lorong-lorong di Universitas itu, ia berusaha mengingat ingat letak ruangan club robot. Sudah lama sekali ia tidak ke Universitas dan ingatannya mulai memudar.
Sekian lama mencari, ia malah tiba di ruangan club lain. Namun beruntungnya ternyata club itu adalah club pemandu sorak dan Solar terlihat sedang berada disana bersama beberapa senior lain.
Voltra pun memberanikan diri untuk mengetuk ruangan itu. Wajahnya langsung berbinar saat Solar berjalan kearahnya dan membukakan pintu.
"Loh? Kak Voltra? kakak kok disini?" tanyanya bingung.
Voltra nyengir "aku sebenernya lagi nyari club nya Taufan, tapi aku lupa dimana.." ujarnya.
"Ohh, club robotik ya? Itu ada di lantai empat, kakak tinggal naik aja dua kali, ruangannya di paling ujung" jelas Solar.
"Eh tapi..seingatku Taufan bilang dia gak akan ada di club hari ini.." Solar berusaha mengingat sesuatu "kayaknya..dia mau pergi kemana..gitu.."
Netra ruby itu membelalak "p-pergi kemana?!! Kok dia gak bilang aku?!"
Solar terkekeh "mungkin dipikirnya kakak sibuk kali.. lagipula paling dia pergi sama temen club nya, Taufan kan punya temen lain juga, kak"
"Aku tau..kok.." dengus Voltra.
"Yah..kalau kakak mau ketemu, kenapa nggak telfon aja?"
"Aku mau kasih surprise.."
Solar tertawa mendengarnya "yah udah, coba aja ke ruangan club nya. Siapa tau dia ada disana"
Voltra mengangguk semangat "okelah! Aku pergi dulu, Sol! Makasih informasinya!"
Setelah melambai pada Solar, Voltra pun dengan semangat berlari naik menuju ruangan club Taufan. Berharap bahwa kekasihnya itu berada disana. Ia sangat ingin menemuinya.
***
"Satu dua satu dua- aduh!"
Halilintar tengah berlatih menari seorang diri di ruang latihan, mengikuti irama lagu dan langkah langkah yang sempat diajarkan Solar.
Namun sangat disayangkan, tubuhnya yang kaku itu sangat kesulitan untuk mengikuti gerakan gerakan tarian yang termasuk rumit. Sudah berpuluh puluh kali ia mencoba melakukannya dan selalu tersandung oleh langkahnya sendiri.
Halilintar menghela kasar. Kemudian membaringkan tubuhnya pada permukaan lantai yang dingin. Selain berusaha mengingat ingat gerakan yang tengah dipelajarinya, pikirannya malah melayang layang turut memikirkan hal lainnya.
'aku harus bisa belajar dengan cepat.. pokoknya aku harus lulus audisi itu..' batinnya.
Tak pernah ia bayangkan bahwa mempelajari gerakan tari itu ternyata sulit. Diam diam, ia mengagumi kekasihnya itu yang bukan hanya mahir dalam menari, namun juga bernyanyi. Ia betul-betul Mr.Perfect serba bisa. Pantas banyak orang mengidolakannya... dan pasti banyak yang mengincarnya..
"Haah.."
Halilintar menggeleng begitu sadar ia sudah berpikir terlalu jauh. Padahal ia begitu percaya dengan kekasihnya itu, dan ia yakin kalau Solar tidak akan mengkhianatinya.
Ia hendak mengangkat tubuhnya bangun ketika Gempa dan Thorn tau-tau masuk ke ruangan itu. Mereka membawa beberapa kantung yang sepertinya adalah makanan, dan Gempa juga membawa segelas susu stoberi kesukaan Halilintar.
"Hali.. hentikanlah" komentar Gempa, khawatir melihat Halilintar yang terlihat kelelahan.
"kak Hali jangan memaksakan diri begini" sambung Thorn.
Halilintar merotasikan bola matanya.
"apa? Solar nyuruh kalian ngomong ke aku?"
"nggak!" Gempa dan Thorn menjawab bersamaan, kemudian saling menatap satu sama lain dengan tatapan bingung.
"b-beneran!" mereka berkata bersamaan dengan nada meninggi, lagi. Halilintar hanya menghela mendengarnya.
"aih..iya iya! Solar memang nyuruh kita ngomong sama kamu.." ujar Gempa akhirnya "dia itu khawatir banget tau, sampe gak konsentrasi di club nya. Kamu nggak kasian apa?"
"oh, jadi dia pikir aku ga bakal lolos audisi?"
Gempa menggeleng "bukan gitu.. dia cuma gak mau kamu terlalu mikirin tentang komentar-komentar negatif itu.." ujarnya.
"bener kak, mereka itu cuma iri aja sama kakak.. komentar-komentar semacam itu.. gak usah dipeduliin. Nanti juga reda sendiri.." lanjut Thorn, mengangguki ucapan Gempa barusan.
Halilintar menghela panjang , ia kemudian bangkit dari duduknya.
"aku bukannya peduli sama komentar itu, tapi aku peduli sama Solar.." desahnya.
"aku cuma gak mau orang-orang ngomong di belakangnya , kalau presiden club itu nggak adil"
Mendengarnya, Gempa dan Thorn tak dapat berkomentar lebih lanjut. Apa yang dikatakan Halilintar itu benar adanya, dan ia melakukannya semata mata karena ia juga mencemaskan reputasi dari kekasihnya itu.
Akhirnya, Gempa dan Thorn memilih untuk meninggalkan Halilintar yang mulai berusaha untuk berlatih lagi, sendirian dan hanya bisa mendukungnya dari jauh.
***
Setelah perjalanan yang cukup jauh dilaluinya, Voltra akhirnya tiba di depan ruangan club Taufan.
Suasana di sekitar ruangan itu terlihat sepi. Deretan ruangan club yang ada di sana pun gelap seperti tidak ada orang. Ia mulai bertanya tanya jangan-jangan benar apa yang dikatakan Solar itu, bahwa Taufan tidak ada di ruangan club hari ini.
Sebenarnya ia tak pernah mempermasalahkan kehidupan Taufan. Walaupun berstatus sebagai kekasih, tentu saja Taufan juga punya kehidupan sendiri. Ia mempunyai banyak teman dan senior yang mendukungnya, dan Voltra memilih untuk tidak mencampurinya.
Namun yang membuatnya kesal, Taufan berjanji untuk meluangkan waktu dengannya di hari liburnya. Karena tuntutan pekerjaan, Voltra hanya mendapat jatah libur sehari dalam beberapa minggu. Dan ia sangat ingin menghabiskan hari liburnya bersama orang yang ia sukai.
Ia paham betul bahwa Taufan juga ada kelas dan club, tapi hanya sehari saja tidak mengikuti club.. apakah sesulit itu? Padahal kegiatan club itu terhitung tidak wajib.
Voltra akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk ruangan club Taufan. Seperti dugaannya, sepertinya tidak ada orang di dalam ruangan saat itu. Akhirnya ia memilih untuk mencoba masuk dan mengintip kedalam ruangan yang pintunya tidak terkunci itu.
Gelap.
Lampu tak dinyalakan, bahkan tak ada siapapun yang berada di ruangan saat itu. Ternyata benar apa yang dikatakan Solar.
Tapi sekarang apa? Kalau Taufan tak ada di ruangan club.. lalu dimana? Kelasnya bahkan sudah lama selesai..
Voltra mulai kehabisan akal, ia akhirnya memutuskan untuk mengambil ponselnya dan berniat menanyakan langsung. Ia tidak ingin berputar putar sendirian bahkan tanpa tau jelas keberadaan pacarnya itu.
Baru saja ia menyalakan ponsel, ia dikejutkan dengan banyak pesan yang dikirimkan oleh Taufan. Ternyata ia mematikan nada dering ponselnya sehingga pesan dari Taufan tidak terbaca olehnya. Padahal pesan itu dikirimkan hampir setengah jam yang lalu.
Taufan <3
Kak Voltra~
Kak~
Kaak~
Kegiatan club dibatalin nih
Kakak kok gak dirumah?
Kak~
aku udah dirumah nih
Kakak dimana sih ish!
Kalo gak jawab aku kabur nih!
Padahal-
aku-
baru nyoba baju kucing yang kemarin kakak beliin 😏
Netra ruby itu membelalak begitu membaca pesan terakhir dari Taufan. Pikirannya melayang pada beberapa hari lalu, ketika ia tak sengaja melewati pameran baju cosplay sepulang kerja.
Ia iseng membeli sepasang baju nekomimi berwarna biru yang senada dengan warna Taufan dengan harapan kekasihnya itu mau mencobanya.
Namun sayangnya, alih-alih mencoba, Voltra malah mendapat geplakan mentah karena dianggap berlebihan. Ia tau kalau kekasihnya itu benci hal-hal imut semacam itu, tapi tak disangka ia akan semarah itu.
Ia pun kembali membaca pesan itu untuk memastikan ia tidak salah lihat. Begitu tersadar, kedua matanya telah berubah menjadi bentuk hati dan mulutnya menganga persis seperti pria mesum.
Voltra langsung berbalik dan pergi dari sana. Tak pernah ia berlari secepat itu dalam hidupnya. Pikirannya sekarang hanyalah untuk pulang secepat mungkin dan mengambil jatahnya.
"Aku datanggg kucing maniskuu!" gumamnya kegirangan.
***
Solar dan Halilintar memang tinggal dalam 1 rumah, namun mereka tidak selalu pulang bersama.
Hal ini dikarenakan keduanya memiliki jadwal kelas yang berbeda dan jadwal club yang berbeda juga, sehingga tak jarang mereka akan pulang sendiri sendiri seperti hari ini.
Halilintar pulang lebih dulu karena ia tidak ada kegiatan club, dan kini ia tengah bersantai di ruang tengah sembari menonton sesuatu di ponselnya.
Saat ia tengah asik menonton, tau-tau pintu depan terbuka dan menampilkan Solar yang masuk kedalam rumah dengan membawa gitar di punggungnya.
"Nonton apa? Porno ya?" Solar menyeletuk.
Halilintar menjauhkan ponselnya lalu merotasikan bola matanya "aku ga mesum kayak kamu ya.."
Solar tersengih. Setelah ia menaruh barang-barangnya, ia pun berjalan menghampiri Halilintar kemudian memeluknya dari belakang.
"Ih! Kamu bau! Keringetan tau!" keluh Halilintar begitu merasakan leher Solar yang basah oleh keringat menempel padanya. Padahal ia baru saja selesai mandi.
"Aku cape nih~ butuh recharge tenaga" Solar berucap manja.
"Mandi dulu dih! Aku baru abis mandi malah ditempelin kamu yang keringetan!" geram Halilintar sembari mendorong dorong tubuh Solar agar menjauh darinya.
"Tapi aku kan kangen-"
"Mandi!"
"Huff! Iya iyaa deh!"
Solar akhirnya menyeret tubuhnya ke kamar mandi setelah dimarahi sang pacar.
Namun, baru saja setengah perjalanan, ia dikejutkan dengan ponselnya yang berbunyi. Saat ia melihatmu, netra nya mendadak berubah riang dan ia segera berbalik arah.
"Kak Hali! Aku ada urusan sebentar! Aku pergi ya??"
Halilintar mengernyit heran "loh? Baru pulang udah mau pergi lagi? Kemana?"
"Janjian sama temenku!" Solar tersengih "aku pergi dulu ya! gak usah buatin makan malam!"
Solar pun menyambar gitarnya, tak lupa ia mengecup dahi Halilintar sebelum pergi.
Halilintar menghela nafas, kemudian menggeleng dan menatap punggung Solar hingga ia menghilang dari balik pintu.
Padahal ia merindukan kekasihnya itu..
Beberapa hari ini Solar sepertinya sibuk sekali. Ia hampir selalu pulang larut dengan alasan janjian dengan temannya.
Ia tidak ingin berpikiran buruk, namun ia tidak dapat memungkiri bahwa sang kekasih memiliki banyak penggemar dan mungkin saja..
Menjalin hubungan dengan Solar artinya ia harus siap dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi.
Termasuk jika Solar akan berpaling darinya suatu hari nanti..
***
Di pojokan sebuah cafe, terlihat sepasang anak laki laki bernuansa merah dan biru tengah duduk berhadap hadapan.
Sebuah model rumah tergeletak di meja yang memisahkan keduanya. Nampaknya mereka tengah sibuk membangun model rumah itu sejak satu jam yang lalu.
"Ice.."
"Hm?"
Anak yang bernuansa merah itu duduk dengan lengan menumpu dagunya, ia menatap lurus kearah Ice dengan mata yang berbinar kagum.
"Dari semua model rumah yang telah kita bangun.. Aku paling suka yang ini.." ujarnya.
Ice tersenyum manis "tentu saja.."
Tangannya kemudian terulur dan menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah Blaze.
"Karena aku membelinya, sesuai dengan seleramu.. ini adalah rumah kita"
Kemudian pandangan mereka pun bertemu. Netra merah api yang membara bertemu dengan netra biru yang sedingin es. Keduanya terkunci dalam sebuah tatapan intens.
.
.
.
.
.
"Blaze?"
"Blaze???"
"Blaze!!!"
Blaze tersadar dari lamunannya saat Ice menjentikan jarinya berkali kali tepat didepan wajahnya. Ternyata ia melamun sedari tadi.
"Kok bengong sih??" tanya Ice gemas.
"Hehe- m-maaf-" Blaze terkekeh, ia menggaruk kepalannya yang tak gatal.
'Sial.. kenapa Ice hari ini manis banget sih..' batin Blaze.
"Aku bilang ini pintunya kegedean! Makanya gak bisa masuk! Kita harus ganti sama yang lebih kecil!"
"Ah..oh..i-iya.." Blaze mengangguk kemudian berusaha mencari ukuran pintu yang lebih kecil dari set yang tengah mereka mainkan.
"Umm..kayaknya ga ada deh Ice, mungkin kita coba aja potong dirumah.." ujar Blaze. Ice manggut manggut setuju.
"Kamu kenapa sih bengong aja? Aku ajakin ngomong dari tadi ga konsen.." Ice berucap sebal "kamu mikirin siapa? Mikirin cewek?"
"C-cewek apaan?!" Blaze menyahut cepat "lagian ngapain aku mikirin cewek , kalo ada kamu yang jauh lebih manis didepanku!"
Blush!
Ucapan spontan Blaze barusan sukses membuat si dingin Ice merona seketika. Bahkan orang sedingin dan secuek dia pun bisa malu juga saat dipuji oleh kekasih hati.
"cheesy!" dengus Ice.
"cepet selesaiin bangunannya!"
"ih- kan pintunya belom dipotong!"
"oh iya.."
Blaze tersengih, ia kemudian mencolek lembut sebelah pipi Ice yang memerah.
"yaudah, yuk pulang..kita bisa selesaiin dirumah"
Ice mengangguk pelan, lalu mulai membereskan pecahan-pecahan bangunan yang tersisa dan keduanya pun beranjak pergi dari sana.
***
Dua insan yang baru saja menikmati momen intim bersama pun kini tengah berbaring di kasur mereka.
Masih bertelanjang dada, keduanya berbaring dengan posisi saling memeluk satu sama lain. Taufan bersender pada dada Voltra dan Voltra mengelus elus rambut Taufan dengan penuh sayang. Sesekali ia akan mengecup kepala sang kekasih dan mengendus aroma shampoo khas yang ada disana.
"kak.."
Voltra menggumam sebagai balasan.
"gabisa tidur?"
Voltra tersengih "sepertinya.."
"kakak ga capek?"
"capek sih.." kekehnya "tapi kayaknya kamu lebih capek deh.. masih sakit?"
Taufan menggeleng.
"kamu kenapa hari ini tiba-tiba begitu, hm? Jangan jangan ada sesuatu ya?"
"aih.. gak ada kak, kenapa sih curigaan?" Taufan memajukan bibirnya, cemberut "aku cuma kangen aja loh sama kakak.."
"pfft- iya iya deh.." Voltra kembali menepuk kepala Taufan "ngomong ngomong.. aku laper nih..kita ngelewatin makan malem, aku mau makan ya?"
Taufan dengan cepat menggeleng lalu menepuk dada Voltra cukup keras hingga sang empu meringis.
"gak boleh! makan malem bikin gendut! tunggu besok pagi aja!" ujarnya.
"ehhh?? t-tapi..aku laper banget nih.. telur rebus aja deh, boleh yaa?"
Namun Taufan tetap menggeleng.
"ngga! udah tidur aja! biar lapernya kebawa tidur!"
"telur rebus??" Voltra masih berusaha membujuk.
"kak- udah tidur! aku besok ada presentasi nih" Taufan mendorong pelan tubuh Voltra kemudian ia berbalik arah dan memunggungi Voltra.
"selamat malam!"
Voltra mendengus pelan, lalu ikut berbalik ke arah yang sebelahnya.
"selamat malam.."
Saat tengah malam, Voltra pun terbangun dari tidurnya. Ia tak bisa tidur nyenyak karena perutnya terus keroncongan sejak tadi.
Ia merenggangkan lengannya, dan langsung terbangun saat menyadari Taufan tidak ada disampingnya. Lalu ia semakin terheran saat mendengar suara datang dari luar kamar dan akhirnya memutuskan untuk menghampirinya.
Di dapur, Taufan sudah berpakaian selembar kaus yang ia ambil di sembarang tempat. Berusaha setenang mungkin saat ia menyalakan kompor dan mengambil sebungkus mi yang disimpan di lemari.
Baru saja ia hendak menggunting bungkus mi tersebut, ia dikejutkan dengan Voltra yang tau-tau udah berdiri didepannya. Ia memasang senyum canggung saat bertemu mata dengan si pemilik netra ruby itu.
"ngapain, hm?"
Taufan terkekeh canggung "m-makan..hehe.. aku laper.."
"hmp- ketawa aja kak! aku tau kakak pasti mau ngetawain aku kan!"
Voltra tersenyum melihat pacarnya itu yang entah kenapa terlihat imut.
"nggak kok.. cuma gemes aja, liat kamu akhirnya makan ludah sendiri" kekehnya "menggemaskan.."
"kakak gak omelin aku?"
Voltra menaikan sebelah alisnya "well- nggak kalau kamu bagi aku sedikit"
"oke" Taufan menjawab tanpa pikir panjang "tunggu ya- aku masak dulu"
Voltra mengangguk kemudian menunggu di ruang tengah sementara Taufan memasak mi instan itu. Diam-diam, ia melirik kearah sang pacar dan tersenyum melihat bagaimana imutnya dia saat memasak. Ia merasa begitu beruntung bisa mendapatkannya.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya Taufan kembali bersama sepiring mie instan. Entah mengapa mie instan hari itu terlihat jauh lebih enak dan menggoda. Tak tau karena mereka yang terlalu lapar, atau.. karena dimasak dengan cinta. Segenap cinta Taufan ceunah.
"nah- ayo kita makan!" ujar Taufan sembari menyodorkan sepasang sumpit pada Voltra. Dilanda rasa lapar yang teramat sangat, mereka langsung menyantap makanan itu dan memekik karena kelezatannya.
"suapin dong!" Voltra merengek manja.
Taufan merotasikan bola matanya "aku udah masakin kakak, sekarang minta disuapin pula? aih.."
Walaupun ia berkata begitu, namun akhirnya ia tetap menyuapi pacarnya itu. Mereka saling terkekeh melihat wajah masing-masing. Malam itu juga, dilalui pasangan itu dengan baik baik saja.
Rasanya tidak ada yang lebih indah dari menghabiskan waktu bersama dengan orang yang kau sukai.
Bukan?
***
"one two three four five- hup!"
Brugh!
Untuk yang kesekian kalinya, Halilintar terjatuh karena tersandung langkahnya sendiri saat ia tengah berlatih untuk audisi. Audisinya akan diadakan dua hari lagi dan bahkan ia belum bisa menghafal seluruh gerakan untuk satu lagu penuh.
Ia berlatih begitu keras dan tidak menunjukan peningkatan yang signifikan. Jika melihat dirinya sendiri di cermin, rasanya kemungkinan dirinya akan lulus audisi kurang dari 40%.
Ditengah lamunannya itu, ia malah teringat akan sesuatu yang pernah dikatakan seniornya padanya saat ia akan perform di lomba musik untuk yang pertama kalinya.
.
.
.
.
.
"Saat kamu gugup, bayangkan saja kalau dirimu adalah sebuah tokoh protagonis dalam suatu film.."
"kau adalah performer yang sangat hebat, dan kamu akan tampil didepan banyak orang. Mereka menggilaimu, semuanya berteriak untukmu"
"Seperti sebuah akhir film yang bahagia.. happy ending, kau tau?"
Memikirkannya membuat Halilintar tersenyum, kemudian pikirannya kembali mengingat sesuatu yang lain.
Sesuatu yang tidak pernah ia lupakan setiap detiknya.
"Jika ini adalah sebuah film tentang kita.. Maka kita bisa memilih, untuk mengakhirinya dengan tragedi, atau berakhir dengan bahagia. Jika bisa memilih, aku ingin mengakhirinya dengan bahagia bersamamu"
Senyuman Halilintar semakin melebar. Ia kemudian mengangkat dirinya bangun dan membersihkan pakaiannya dari debu yang menempel.
Ia mulai menyetel kembali lagu itu dan kali ini ia mengikuti gerakan demi gerakan dan menyanyi dengan lebih bersemangat.
🎶Kamu bukanlah orang yang ada dalam mimpiku
Namun kau tau apa?
It must be you.
Hanya kamu, itu yang kubutuhkan.
Aku tak butuh yang lainnya.
Aku hanya ingin kamu. 🎶
Hingga hari audisi pun tiba, Halilintar telah mempersiapkan segalanya.
Ia menari dan menyanyi di depan seluruh pengurus dan para anggota. Solar pun juga berada disana bersama Taufan, Blaze dan Ice yang entah kenapa berada disana.
🎶Kau tidak perlu menjadi orang yang ada di mimpiku.
Hanya menjadi kamu saja sudah cukup.
Orang yang selalu berada disampingku dan berjalan bersamaku.
Dan aku menyukaimu karena itu kamu.
Di hadapannya, Solar tengah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Menatap sang kekasih dengan puas dan tanpa kehilangan senyumnya. Ia turut bernyanyi bersamanya.
Walaupun aku bisa memutar balik waktu
Aku pasti akan tetap memilihmu.
Jika kamu bertanya siapa orang yang sesuai denganku.
Maka aku akan menjawab.. itu kamu🎶
"Jadi, kau lebih menyukai balet atau akrobatik?" salah satu senior Solar bertanya.
"Akrobatik" Halilintar menjawab mantap.
"Lalu.. jenis jenis tarian apalagi yang kau tau?"
"Balet, tradisional, modern dance, akrobatik, senam"
Solar tersengih, kemudian menyenggol tiga temannya.
"Itu pacarku" kekehnya.
"Apa ada sesuatu yang kau nggak tau?" Senior itu menatap Halilintar dengan sumringah.
"Hum.." Halilintar melirik Solar , kemudian tersenyum simpul.
"Aku tidak tau caranya menjadi sekretaris club.." ujarnya.
Kata kata Halilintar mengundang seluruh anggota dan senior bertepuk tangan puas.
.
.
.
.
.
"Lihat, kakimu lebam lebam begini loh"
Solar mendengus sembari memijat kaki Halilintar, mengelus permukaan kulit putih yang dihiasi dengan beberapa luka yang membiru.
"Harusnya kamu biarkan aku mengajarimu!"
Halilintar terkekeh, ia hanya memandangi Solar yang dengan telaten mengoleskan salep pada lebam-lebam itu.
"Tapi aku melakukannya dengan baik kan?" kekehnya.
"Nggak"
"Aku menari dengan baik kan?"
"Akan lebih baik kalau aku yang mengajarimu!" cetus Solar.
"Tapi orang orang bertepuk tangan untukku~" Halilintar berucap senang.
Solar melirik kekasihnya sebelum akhirnya ikut tersenyum. Tidak biasanya Halilintar terlihat begitu bahagia, wajah tersenyumnya itu terlihat jauh lebih imut.
"Iya sayang iyaa! Kamu melakukannya dengan baik!" Solar menangkup kedua pipi Halilintar dan menatapnya lekat. Keduanya tertawa saat bertukar pandang.
"Hehe~ aku sudah tau.."
Halilintar tanpa kehilangan senyumnya memandangi Solar yang masih sibuk mengolesi salep pada luka-lukanya. Tertegun dengan ketampanan dari sang kekasih, padahal ia melihat wajah itu setiap hari.
Saat Solar menempelkan sebuah plester luka pada jari Halilintar yang terkilir, ia tau-tau mengangkat wajahnya.
"Menikahlah denganku.."
Ucapan random Solar membuat Halilintar tertawa, kedua pipinya memerah malu.
"Aih..aku sudah jadi sekretarismu..gak cukup kah?"
Solar menggeleng.
"Aku mau kamu jadi istriku"
Keduanya tersengih, dan Solar pun mengelus lembut kepala Halilintar. Wajahnya yang merona pun ia sembunyikan dengan menundukan kepalanya.
"Banyak orang bilang.. sebaiknya jangan bekerja bersama sama dengan orang yang kau cintai. Karena tugas dan kesibukan bisa saja membuat kita menjauh.."
"...tapi aku ingin mencobanya. Aku yakin, saat kita menghadapi berbagai hal bersama sama..itu akan membuat kami semakin mengerti satu sama lain"
"Dan yang paling penting.. nggak ada yang bisa menghadapi presiden club ini selain aku"
Tepuk tangan riuh sekali lagi menghiasi ruangan club pemandu sorak. Jawaban terakhir Halilintar membuat semua orang puas dan kini Halilintar pun resmi menjadi anggota dari club pemandu sorak.
Solar dari kursi penonton menatap bangga pada kekasihnya itu. Saat keduanya bertukar pandang, Solar mengancungkan jempolnya dan detik itu juga langsung dibalas oleh sang kekasih.
Kemudian jarinya bertukar menjadi mini heart, dan jari Halilintar pun juga membentuk sebuah mini heart yang ditujukan kepada Solar.
"Karena kalau kita bersama. Kita bisa menghadapi segalanya"
"Kan?"
To be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro