Ratu Drama
Pertemuannya dengan Arka dan Berlian menghancurkan suasana hati Dilara, seperti sebuah palu gada yang menggempur tembok beton, menggempur dinding hatinya. Selama ia menghirup napas dan menghelanya teratur, hanya dua nama itu yang merangsek dalam pikirannya. Tak ingin enyah, kendati ia ingin menyingkirkan bayangan dua orang yang amat sangat ia benci.
"Gimana bisnis fashion kamu? Banyak orderan dari artis Hollywood ya katanya?" Arka menyeruput minumannya, menatap Dilara sambil menyelipkan senyuman.
"Ah, cuma dari langganan biasa. Angelina Jolie, Taylor Momsen, Lucy Hale... ya... cuma produk yang pengen dirancang khusus dari tanganku dan hanya diproduksi dalam satu model. Limited edition." Dilara begitu menikmati perannya di antara mereka. Semua hasil yang berhasil ia capai mati-matian pada akhirnya dapat menjadi senjata pamungkas, amunisi yang sudah lama ia simpan di dalam senapannya untuk diletuskan.
Arka memang terlihat sangat antusias, namun tidak dengan Lian, yang menatap Dilara penuh kedengkian. Ia menyingkirkan ekspresi jengahnya mendengar kesuksesan wanita itu dengan secangkir latte.
"Masih minum kopi? Bukannya kamu menjaga tubuh kamu, ya? Kopi nggak bagus loh buat gigi. Mau dibleaching lagi? Kebanyakan bleaching malah merapuhkan gigi loh."
Spontan, Lian berhenti menyeruput, meletakkan lattenya di atas leper dan menelan sumpah serapah untuk wanita yang tak bisa ia yakini merupakan orang yang sama.
"Oh, maaf. Aku nggak bisa lama-lama ngobrol sama kalian. Ada banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan."
"Oke, kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya." Senyum penuh makna Arka menampar pipi Lian. Sudut bibir model kenamaan itu berkedut. "Boleh minta nomor kamu? Mumpung kita ketemu di sini."
"Boleh dong." Dengan gerakan anggun, Dilara mengeluarkan mencatat nomornya pada secarik sticky notes yang dikeluarkannya dari dalam tas, menyodorkan kertas kuning tersebut pada Arka yang disambut pria tersebut senang. "Bye." Sebelum melenggangkan kaki jenjangnya, ia mencium pipi Lian, menyamarkan kebenciannya dengan senyum hiperbolis. Sebelum perutnya makin bergolak dan membuat ia muntah, Dilara melambai, memamerkan jemarinya yang panjang dan lentik pada pasangan di meja tersebut.
"Dasar manusia muna."
Ia mengenakan kacamata hitamnya angkuh.
*
Para eksekutif dari berbagai perusahaan yang baru menyelesaikan rapat besar tersebut saling bertukar obrolan seputar bisnis, pendidikan anak-anak mereka di luar negeri, dan lainnya yang membuat Dilara muak dan memilih menghindar dengan sopan. Ia perlu melayangkan senyum kecil, berpamitan untuk menyapa temannya di meja lain.
"Teman lain apanya," desisnya. Langkah kakinya terhenti di samping meja panjang yang agak jauh dari kerumunan para parlente tersebut. Diraihnya segelas koktail dan menikmatinya seorang diri sembari menelisik pemandangan membosankan di depan matanya.
Jika rapat besar yang dihadirinya tidak memiliki keuntungan bagi perusahaan modenya, Dilara sudah pasti menolak mentah-mentah undangan yang ia terima dan memilih menghabiskan waktu di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan menumpuknya. Kini ia terjebak bersama para mesin penghasil uang yang cekakak-cekikik memamerkan barang-barang mewah, aset, dan sebagainya.
"Bosan dengan suasana monoton?" suara berat lelaki di sampingnya seketika mengalihkan perhatian Dilara. Wanita itu menoleh, mengamati seseorang yang sempat memperkenalkan dirinya sebagai perwakilan Tunggadewa Group yang berambisi merebut tanah keluarganya.
"Kehadiran Anda juga tidak membantu sama sekali."
"Ouch." Erlangga membalas tatapan sarkastis Dilara. "Kenapa kita tidak memulai dengan cara yang lebih manis dan hangat? Dengan secangkir teh atau kopi, misalnya."
Tawa pendek menjadi respon Dilara. Ia meletakkan gelas koktailnya dan mengusap tangan. "Anda bukanlah seseorang yang pandai merangkai kalimat basa-basi."
"Saya sudah mengatakannya to the point, Nona Dilara. Saya rasa Anda juga tidak senang dengan kalimat to the point saya."
Dilara mengerucutkan bibirnya miring. Poni di pinggir dahinya ia singkirkan dengan telunjuk. Badannya diputar, sehingga kini ia dapat berhadap-hadapan langsung dengan lelaki di depannya yang bersikeras membujuknya.
"Jawaban saya tetap sama: tidak. Anda memahami makna tidak? Atau saya perlu membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dan membantu Anda mencari definisi kata 'tidak'?"
Mereka saling berdiaman satu sama lain bagai bidak catur yang siap bertarung. Saling beradu pandang dengan ekspresi berbeda. Erlangga kehabisan kata-kata menghadapi perempuan kelas kepala itu. Ia gagal berdiplomasi dengannya.
"Saya tidak akan berhenti menghantui Anda."
"Oh..." Dilara tertawa lagi, lebih panjang dan sarkastis. "Coba lakukan apa saja yang membuat Anda senang, Tuan Erlangga. Saya tidak begitu tertarik menanggapi ancaman basi dari para pebisnis yang suka mengambil cara kotor macam kalian."
"Cara kotor?" nada Erlangga naik. Ia berkacak pinggang. "Maaf, saya tidak pernah mengambil cara kotor."
"Hm. Kalau begitu, nikmati saja usaha yang sia-sia itu. Have a good day, Sir."
Dan ditinggalkannya Erlangga seorang diri, yang mengamatinya tanpa bisa berkata apa-apa lantaran perempuan tersebut telah meninju tepat di dadanya. Sungguh memalukan. Ia tak pernah gagal bernegosiasi dengan perempuan manapun. Erlangga mengusap wajahnya frustrasi.
*
Bunyi ketak-ketik jemari Lani yang tangkas terdengar cukup keras di ruangan sepi Dilara. Selama Lani mengetik pada komputer dan menerima panggilan, selama itu pula Dilara memijit pelipisnya, menatap kosong pada kertas sketnya. Ia menggambar garis mengikuti lekuk tubuh model perempuan yang digambar, lantas mencoretnya lagi.
"Sialan," desahnya kesal. Pensil di tangannya menjadi korban amukan, terlempar di udara dan jatuh tepat di atas kepala Lani, membuat gadis itu mengaduh. Dilara bahkan tak mengucap maaf pada korbannya yang mengusap-usap kepala kesakitan.
"Lagi kesal, Mbak?" Lani bertanya hati-hati.
"Warna yang kucampurkan kemarin di beberapa model baju yang udah aku bikin, itu udah sempurna!"
"Ya udah, tinggal salin lagi, kan?"
"Salin lagi?" Dilara tertawa pendek. "Menggambar itu nggak semudah nulis status di facebook."
Rasanya ada yang menonjok perut Lani. Ia mengatupkan bibir, merasa tersinggung disindir bosnya. Orang sekantor pun tahu kebiasaannya yang suka menumpahkan curahan hatinya di facebook satu jam sekali, rutin setiap hari.
"Ada soul yang ikut tergambar. Seorang seniman nggak akan gampang menemukan ruh serupa dalam objek berbeda, meskipun modelnya sama." Kedua belah tangan Dilara ditangkupkan. Pucuk-pucuk jarinya didekatkan pada bibir. Matanya terpejam. "Tanpa gambar, para penjahit nggak akan bisa bekerja cepat. Dan aku nggak punya banyak waktu buat redraw. Waktu produksinya mepet. Paham?"
Kalau bosnya sudah membuka mulut mengeluarkan sabda, Lani mengangguk mengikuti. Daripada ia kena amukan Dilara, ia melanjutkan pekerjaannya, bertepatan dengan bunyi dering telepon yang langsung diterimanya.
Kliping mode kemarin masih Dilara simpan, meski terkena tumpahan noda kopi. Ia mengambil kliping salah seorang desainer dan menggeleng-geleng mengingat kecerobohan Binar.
"Di mana Binar?"
Lani mengangkat wajahnya dari ponselnya. "Kan udah dipecat?"
Sekali lagi Dilara mendesah kesal. Kadang ia menyesali keputusannya memberhentikan karyawan-karyawan yang dianggap tidak becus bekerja. Ia berpendapat karya Binar sangat receh, namun di sisi lain menganggap bahwa Binar memiliki semangat kerja luar biasa yang dapat menyelesaikan karya dalam waktu singkat. Kendati Dilara amat sangat membenci karya-karya Binar yang dianggap tidak masuk akal, ia memilih beberapa model yang dibuat Binar untuk diperagakan dalam peragaan busana bertema unik. Sayangnya, ia tak membutuhkan tema itu untuk produk terbarunya, sejak penjualannya menurun lantaran model buatan Binar tak ada yang laku.
"Aku kepikiran ngangkat dia jadi asisten pribadiku."
Spontan Lani yang asyik meneguk kopinya tersedak mendengar penuturan Dilara. "Asisten pribadi??"
Asisten pribadi Dilara Niranjana. Siapa yang tak menginginkan posisi tersebut demi mendapatkan ilmu mode gratis dan mendapatkan labeling prestisius? Meski cukup bekerja sebagai asisten di kantor saja, Lani bahkan mengadakan syukuran mengundang warga sekampung.
"Kenapa? Keberatan?"
"Bukan keberatan, Mbak. Tapi... saya kan bisa jadi asisten pribadi Mbak Di."
"Tugasmu udah berat di sini. Aku nggak mau bebanin kamu." Dilara mengangkat kliping mode pilihannya untuk segera diserahkan pada kepala staf penjahit di lantai bawah. "Hubungi Binar, suruh ke kantorku sekarang."
Punggung Dilara lenyap di balik pintu. Masih dengan wajah kecewa, Lani mengangkat gagang telepon, menekan nomor Binar.
"Hai. Iya, ini Mbak Lani. Kamu dipanggil Mbak Di. Ada kerjaan baru tuh." Mendengar teriakan senang di seberang sana, Lani menghela napas panjang. "Buruan ke sini. Oke." Gagang telepon ia letakkan perlahan. Ya... bagaimana juga, Binar berhak mendapatkan kesempatan kedua bekerja di Stilettale, meski sebagai kacung. Status yang dianggap seluruh penggila mode setara dengan menteri di parlemen.
*
"Saya dikembalikan jadi desainer di sini lagi, Mbak?" Belum-belum Binar memberondong dengan pertanyaan tersebut setibanya di kantor Dilara dan menghadap wanita itu.
Dilara yang hari itu tak begitu memerhatikan suasana hatinya hanya mengamati Binar tanpa kata. Pandangannya beralih menuju Lani meminta penjelasan. Perempuan tersebut mengatupkan telapak tangannya meminta maaf, lupa memberi tahu bahwa pekerjaan yang menanti Binar adalah kacung pribadi Dilara.
"Begini, karena aku nggak butuh lagi idemu yang receh, aku pikir kamu bisa mendapatkan kesempatan kedua."
Binar mengernyitkan dahi. "Ya... lalu, saya mendesain apa, Mbak? Sepatu? Tas?"
"Kamu jadi asisten pribadi saya."
Sederet kata dalam satu kalimat yang diucapkan dalam sekali helaan napas, namun mampu membuat mulut Binar ternganga sangat lebar. Tidak... ia tidak sama seperti kebanyakan gadis yang mengincar posisi tersebut agar bisa 'mencuri' ilmu Dilara. Binar cukup waras menganggap posisinya saat ini turun drastis, seperti dijatuhkan dari atas langit menuju bumi. Lebih menyakitkannya, ia dijatuhkan tepat di atas comberan.
"Tapi... kenapa asisten?"
"Oh, kamu nggak mau jadi asisten pribadi seorang perancang busana hebat sepertiku? Ya... nggak masalah. Masih banyak kok perempuan yang mau dibimbing jadi desainer terkenal."
Binar menelan ludah. Peduli setan soal bimbing-membimbing. Binar tidak membutuhkan bimbingan, sebab ia sadar bahwa ia dan Dilara berbeda idealisme. Rancangannya memang dianggap aneh, namun ia yakin busananya bisa menembus pasar dunia, seperti rancangan Dilara sendiri.
"Tapi, Mbak—"
"Ini kesempatan terakhir kami bergabung dengan Stilettale, Binar. Kalau kamu bekerja dengan ceroboh, sedikit saja... aku akan lempar kamu ke jalanan dan menutup pintu rumah mode manapun biar nggak nerima kamu."
"Tapi—"
"Bahkan saat kamu menolaknya, perusahaan manapun nggak bakal mau memakai kamu jadi desainer mereka."
Wah sungguh sial. Binar salah memijakkan kakinya di atas lantai gedung Stilettale setahun silam. Kalau tahu nasibnya jadi seperti ini, ia peduli setan kata orang dan memilih menjadi desainer rumah mode lain. Nasi telah menjadi bubur. Penyesalan datangnya memang tidak pernah tepat waktu.
*
Ini benar-benar di luar perkiraan. Sungguh sia-sia membawa sertifikat Esmod asli Prancis jika berakhiran menjadi asisten pribadi seorang desainer. Binar tidak menyangka nasibnya bisa setragis ini. Sekarang ia tidak lagi memegang buku sket dan pensil. Yang ia pegang adalah buku catatan, pena, dan barang-barang Dilara yang ia bawakan tiap kali wanita itu bepergian.
Meski demikian, Dilara memberinya iming-iming dengan memperkerjakan ia kembali menjadi desainer Stilettale jika ia melihat perkembangan gadis tersebut. Tentunya dengan aturan Dilara, bukan Binar. Karya yang dianggap Dilara receh, tak akan pernah lagi menyentuh rumah modenya.
Dan ini pertama kalinya pula Binar duduk di sebelah Dilara, semeja dengan pengusaha mode beserta desainer terkenal, diperkenalkan sebagai 'asisten pribadi'. Binar mengira ini bentuk penghinaan sosial. Tetapi ia tidak banyak komentar, hanya mendengarkan obrolan di meja dengan jemu, sesekali menjatuhkan perhatian ke seantero restoran berharap mendapatkan pemandangan yang lebih menarik. Justin Timberlake, misalnya. Atau Syahrini tersandung gaunnya sendiri, jatuh, dan akhirnya menjadi headline di media massa.
"Loh, loh, bukannya Binar ini pernah jadi desainer kamu, ya?" salah seorang wanita berjaket bulu-bulu menelisik Binar dengan saksama.
"Hm... sudah tidak. Dia tidak cocok menjadi desainer." Dilara mendekatkan bibirnya pada pinggiran gelas.
Bola mata Binar terputar ke atas. Yang bener aja woy. Gue lulusan Esmod!
"Mukanya kayak nggak asing. Mirip... anu... siapa ya... aduh..." Wanita lain mencoba mengingat wajah Binar.
"Mirip Audrey Hepburn?" Binar buru-buru mengambil alih. Ia tak bermaksud sangat percaya diri menyamakan dirinya dengan aktris melegenda tersebut. Memang pada kenyataannya, banyak yang menganggapnya mirip dengan Audrey Hepburn. Sebisanya ia mengarahkan pembicaraan pada yang lain dan menghindari obrolan mereka soal latar belakang keluarganya. Sampai sekarang tak ada yang tahu bahwa ia adalah salah satu anak Presiden Group Tunggadewa. Alasannya cukup sederhana, ia ingin berkarya dengan namanya, bukan karena ia anak konglomerat. Bayangkan saja bila ia membawa-bawa nama keluarganya, semua rumah mode akan berebutan menjadikannya desainer demi keuntungan mereka sendiri. Binar tidak pernah menyukai cara seperti itu untuk berkarya.
"Iya, iya, kalau dilihat-lihat sekilas mirip Audrey Hepburn. Cantik sekali," salah satu desainer di meja tersebut menimpali. Tawa mereka menggelegak, menyingkirkan kekhawatiran Binar yang mendesah lega.
Dilara tersenyum kecil, melirik Binar yang menghela napas panjang dan mereguk minumannya, ikut menelan dusta yang ia mainkan di meja tersebut.
Pertemuan berakhir tak berselang lama. Beberapa dari mereka berpamitan, saling mencium pipi, dan melambaikan tangan. Tak terkecuali Dilara yang mengembalikan lagi ekspresinya menjadi datar dan jengah. Telunjuknya menyapu poninya ke sisi kepala. Banyak orang yang mengenalnya lama paham makna gestur-gesturnya. Gerakan tersebut, misalnya, tanda bahwa ia muak.
"Rumah kamu di mana?"
"Saya tinggal di apartemen, Mbak." Bagian itu memang benar. Binar hanya memberikan alamat apartemennya daripada alamat rumahnya yang malah mengundang kecurigaan. Kendati ia jarang menempati apartemen tersebut. "Kenapa?"
"Aku pengen tahu aja tempat tinggal asisten pribadiku, nggak boleh?
Binar mengatupkan rahang tak membalas.
Mereka melangkah anggun dibalut sorotan lekat yang berasal dari mata berbeda, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka berdua ibarat sepasang bidadari yang dijatuhkan ke bumi dengan misi berbeda. Bidadari dengan kepribadian tak sama.
"Ah... Nona Dilara. Saya tidak menyangka kita bertemu lagi..." suara lelaki yang kini menjadi suara paling Dilara benci menghentikan langkah dua bidadari tersebut secara tiba-tiba.
Melihat kakaknya menghampiri, Binar membelalak. Erlangga menangkap kode dari adik perempuannya yang memang tak senang mengumbar statusnya pada siapapun. Tatapannya beralih menuju Dilara yang bertolak pinggang dipertemukan lagi dengan lelaki itu.
"Wow. Kebetulan yang tidak terduga. Kecuali bila itu direncanakan," sinisnya.
Sebelah alis Erlangga ditarik ke atas. "Wah, kejam sekali Anda menuduh saya menguntit. Kebetulan saja saya dinner bersama kolega di restoran ini. Ini yang namanya takdir, Nona Dilara. Takdir bahwa Anda harus menjalani kesepakatan dengan saya untuk menukarkan tanah keluarga Anda dengan sebuah mimpi besar. Prestisius." Erlangga memperagakan tangannya, tersenyum hiperbolis.
Dilara menepis poninya dengan telunjuk. "Demi sebuah mimpi? Sebesar itukah yang harus dikorbankan demi sebuah mimpi yang prestisius? Saya membangun bisnis saya tanpa mengorbankan orang lain."
Erlangga terbahak. "Bullshit. Anda memang tidak mengorbankan orang lain, tapi Anda menyiksa ribuan gadis di luar sana, Nona Dilara."
"Menyiksa?" Dilara melipat tangan tidak terima. "Perempuan manapun rela sujud di kaki saya demi bisa bergabung di Stilettale. Ini salah satunya." Dilara menunjuk Binar dengan dagunya. Merasa terhina, Binar mengernyit dan mencebik. "Tidak ada perempuan yang tidak ingin dilahirkan rupawan. Semua wanita ingin terlihat cantik dan sempurna. Saya hanya menjembatani keinginan mereka. Anda seorang maskulin dan bagian dari kaum patriarki yang hanya menilai wanita dari penampilan fisiknya. Kaum Anda yang menyebabkan hal ini terjadi. Sekarang, siapa yang menyiksa perempuan, Tuan Erlangga Tunggadewa? Saya atau kaum Anda?"
"Tidak semua lelaki seperti yang Anda perkirakan," Erlangga paling tidak menyukai perdebatan seksis macam ini.
"Ya. Memang tidak semua. Ada sebagian pria yang tidak menjadikan penampilan wanita sebagai ukuran nilai. Yaitu kaum homoseksual. Bila Anda menyangkal bahwa Anda tidak tergiur melihat kemolekan tubuh wanita, artinya Anda seorang gay. Selamat malam." Sebelum berpamitan pergi, Dilara menyelipkan senyum miring, melenggang anggun penuh ketukan meninggalkan Erlangga yang bergeming di tempatnya.
"Surprised, Brother?" Binar tertawa melihat raut wajah kakaknya. Ia melimbai pergi mengekori Dilara sebelum wanita itu mengaum seperti singa kehilangan anaknya.
Erlangga mendesis kesal. Sungguh tak pernah disangka, lawannya saat ini adalah seorang wanita bermulut racun yang berhasil membolak-balikkan kalimatnya. Ia sering bertemu bongkahan Barbie di sekitarnya, segelintir perempuan cantik dan dangkal yang mudah dibodohi. Meski demikian, bukan Erlangga namanya bila ia tidak berhasil mendapatkan keinginannya.
Senyum miringnya terkembang lagi.
"Game on, Dilara."
i
*
Tatjana Saphira for Binar?
Saya tak sangka cerita absurd ini bisa mencapai 700 votes untuk dua bab lol. Maaf baru update, tolong pengertiannya ya gaes, kasihanilah mahasiswi akhir macam saya yang ditolak terus obyek skripsinya. Ini lebih menyakitkan daripada ditolak gebetan. Plis.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro