Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Putri Salju di Kota Apel

Sampai mentari hampir tenggelam di balik awan jingga, Erlangga masih menekuri taman bermain. Lebih tepatnya, menekuri seorang anak kecil yang tengah bermain bersama kawan-kawannya. Ia tak tahu setan mana yang merasukinya hingga menuntunnya pergi ke tempat tersebut setelah mengikuti laju sebuah mobil yang keluar dari rumah seseorang. Ia berdecak, membatin betapa bodohnya dirinya sekarang. Jemarinya tersuruk di helaian rambutnya diikuti dengusan sebal. Sepintas, bocah perempuan berusia tujuh tahun tersebut memandang ke arahnya bersamaan ketika bola yang ia pegang menggelinding menghampiri Erlangga. Sontak, Erlangga menangguhkan sejenak langkahnya dan memungut bola tersebut. Dilihatnya bocah perempuan tersebut berlarian kecil menghampirinya dan menengadahkan kepala mungilnya.

"Om, itu bola punyaku," tukasnya dengan suara gemerincing menggemaskan. Gadis kecil itu mengulurkan tangan.

"Oh, ini punya kamu?" Erlangga membungkuk dan menyerahkan bola kecil tersebut pada si bocah. "Nih."

Bocah perempuan itu menerima, memeluknya erat seakan tak ingin direbut oleh siapapun, dan menggumamkan terima kasih.

"Nama kamu siapa?"

"Sakura."

"Bagus banget." Erlangga mengusap-usap puncak kepala Sakura. "Orangtua kamu mana, Cantik?"

Gadis kecil itu menggelengkan kepala. Tak berselang lama, seorang perempuan dalam seragam babysitter berlari menghampiri seraya meneriakkan nama pendek si bocah.

"Caca! Ya ampun, Mbak cariin ada di sini ternyata." Si babysitter menggendong Sakura dan tersenyum khidmat pada Erlangga.

"Kamu babysitternya?"

"Iya, Mas."

"Kalau jagain anak tuh yang bener dan waspada. Banyak penculik berkeliaran."

"Maaf." Si babysitter mengangguk penuh penyesalan. Ia mengucapkan terima kasih sebelum melangkah pergi.

Dalam gendongan babysitternya, Sakura menoleh sekali lagi ke belakang, pada Erlangga. Dan melambaikan tangan diikuti senyum sumringah polos khas anak kecil. Di tempatnya, Erlangga mengamati bocah perempuan tersebut tak berkedip, bahkan sampai hilang di pandangannya. Seandainya ponselnya tidak berdering, mungkin kesadaran dan akal sehatnya tak akan kembali. Ia merogoh saku memungut ponsel, mengangkat panggilan, seraya melimbai pergi meninggalkan taman bermain.

*

"Lebih suka motret pemandangan ya?" Dilara mengangguk-angguk mengamati buklet berisi sekumpulan hasil karya Ares yang ditunjukkan padanya.

"Mostly."

"Kalau perempuan?"

Menanggapi pertanyaan tersebut, Ares menyembunyikan tawanya dengan menunduk. Sebelah alis Dilara terangkat skeptis.

"Reaksi kamu sudah menjawab pertanyaanku." Sudut-sudut bibir Dilara tertekuk ke bawah membentuk cebikan. Ia menutup buklet di tangannya dan mengangsurkan kembali ke pemiliknya. Dipandanginya pemandangan kota metropolitan yang padat oleh gedung-gedung tinggi dengan kerlap-kerlip lampu dan bising kendaraan melalui rooftop sebuah restoran. "Hasil-hasil potretan kamu bagus. Ada rahasianya?"

Ares menarik bukletnya, mencermati Dilara dengan saksama. Tanpa meminta ijin, ia mengambil gambar Dilara dalam sekedip mata melalui kamera profesionalnya. Sadar kamera, Dilara praktis menoleh cepat. Dahinya mengernyit dalam.

"Rahasianya, aku mengambil objek secara impulsif. Jika objeknya manusia, aku mengambil saat dia lengah," lelaki tersebut membalas dalam intonasi rendah. Diamatinya hasil jepretan kilat tersebut dan tersenyum pada dirinya sendiri. "Jadinya lebih natural. Dan cantik."

Sudut bibir Dilara kini tertarik ke atas. Bola matanya terputar jengah. "Mulut kamu manis juga ya."

"Say it from my deepest heart."

Dilara tertawa pendek. "Kenapa di buklet tadi nggak ada sample foto perempuan? Kan jadi penasaran."

"Entahlah, kalau perempuan aku nggak terlalu suka mengumbar hasilnya pada orang lain."

"Kenapa?" Dilara meraih gelasnya. Bibirnya bersinggungan dengan tepi gelas, menyesap wine tersebut sekilas. "Bukannya kecantikan perempuan sudah sepatutnya diekspos di depan publik?"

Ares menggeleng. "I don't think so. Justru karena cantik, rasanya sayang kalau terlalu diekspos. Akan banyak pemburu yang menodongkan senjata dan menebar jala. Being beautiful is dangerous."

Dilara tersenyum simpul. Ia tak menyangka, separuh harinya dihabiskan dengan seseorang yang mengaku sebagai kakak orang yang dinikahinya, namun tak pernah diceritakan padanya secuil pun. Setidaknya dengan obrolan tersebut, rasa penasarannya sedikit terhapus, meskipun benaknya masih menuntut untuk melemparkan pertanyaan yang lebih mendalam terkait hubungan persaudaraan antara keduanya. Mengapa Erlangga—dan keluarga Tunggadewa—seakan-akan tak menganggapnya sebagai anggota keluarga? Oh atau barangkali Ares sama halnya seperti Binar, tidak suka diekspos dengan membawa nama keluarganya, begitu yang dipikirkan Dilara.

Tidak banyak publik mengetahui kehidupan pribadi keluarga besar tersebut kecuali hanya mengenal nama Indra, Nadhira, dan Erlangga. Banyak desas-desus berhembusan, semisal jumlah anggota keluarga yang tidak terekspos. Ada yang mengatakan Indra hanya memiliki satu anak, ada yang mengatakan dua, adapula yang mengatakan banyak. Meski demikian, hanya nama Erlangga yang terdengar di telinga para pebisnis dan orang awam.

"Aku banyak mengenal lelaki sepanjang karirku, tapi nggak ada yang semisterius kamu." Kedua mata Dilara terpicing. Ia menggigit sudut bibir. "Kalau kamu merasa nggak mau dikenal publik dengan nama keluargamu—seperti Binar—lantas nama apa yang kamu pakai untuk pameran dan semacamnya?"

"Rasa keingintahuanmu besar juga ya." Ares menggeleng-geleng. Ia meraih cangkir kopinya hendak menyeruput, namun pandangan membidik Dilara yang tajam seolah berteriak memintanya menjawab segera. "Mars." Ia tak jadi menyeruput kopi tersebut, alih-alih meletakkannya ke atas leper lagi. Ia membuka salah satu halaman bukletnya dan menunjuk pada watermark yang tertera pada fotonya. "Nama lain dewa Ares dalam mitologi Romawi. Dari dulu aku nggak suka orang-orang mengenal nama panjangku. Mungkin terdengar aneh, tapi aku nggak nyaman orang asing mengetahui namaku."

"Kamu cukup introvert ya?"

Ares menggeleng. "Nggak juga. Mungkin." Bahunya terkedik. "Kadang."

Bibir Dilara mengerucut ke samping dalam senyuman renyah. Matanya bertubrukan dengan mata Ares selama sepersekian detik. Ia tak akan bertanya lebih panjang, sebab menurutnya hal tersebut sudah memasuki ranah privasi yang tidak boleh diloncati oleh siapapun, lebih-lebih dirinya yang merupakan orang asing. Maka alih-alih menanggapi lebih dalam, ia memutus obrolan.

"Kayaknya kita terlalu larut dalam obrolan ini. Aku harus balik. Sebelum Budhemu yang kayak KBBI berjalan itu mengomel dan menyebutku istri durhaka."

"Budhe Kanthi?" Ares tertawa pendek tak bersuara. "Dia di rumah Erlangga ya?"

"Kamu sudah mampir? Budhe kamu pasti senang kalau melihat kamu datang. Kok nggak disapa?"

Ares terdiam cukup lama. Ia menyimpan senyum kecil dan melenyapkannya dengan satu seruputan terakhir sebelum mengalungkan kamera di leher dan memungut bukletnya.

"Aku antar kamu pulang."

"Nggak usah. Aku akan menghubungi sopir."

"Aku nggak bisa melepaskan perempuan yang kuajak pergi sampai jam delapan malam tanpa kuantar pulang."

Helaan napas Dilara dihela pendek di udara dingin. "Justru aku nggak suka diantar pulang oleh pria. Aku nggak terbiasa." Dan mungkin Erlangga satu-satunya pria yang pernah mengajaknya keluar serta mengantarnya pulang. Hal itu semata-mata dilakukan demi sandiwara mereka, tidak lebih.

"Baiklah. Kita turun dan keluar bersama-sama. Aku tunggu kamu sampai sopir menjemput."

Dilara mengangguk setuju. Mereka berdua beranjak dan melenggang bersama-sama. Dilara mengenakan lagi kacamatanya, sedikit was-was bila ada wartawan yang diam-diam mengikutinya dan menebarkan gosip murahan. Entah apa yang dilakukannya bila keesokan hari ia terbangun dengan berita miring di televisi atas tuduhan perselingkuhan. Itu konyol.

Di beranda, keduanya berdiri berdampingan menunggu sopir Dilara menjemput. Mereka tak terlibat obrolan selama beberapa saat. Dilara melabuhkan perhatian lurus ke depan, menuju lalu-lalang kendaraan. Sementara Ares tertarik mengamati perempuan di sampingnya. Sadar diamati, Dilara menyelipkan rambut ke belakang telinga. Eksresinya monoton. Tanpa menggerakkan mata maupun kepala, perempuan tersebut berkata,

"Kok ngelihatinnya gitu amat?" tanyanya, kendati sudah terbiasa diamati oleh lelaki yang kerap bertemu dengannya.

"Sepertinya kamu jengah ya diperhatikan pria terlalu lama?"

Dilara tersenyum kecut. Tangannya terlipat di depan dada. "Aku nggak suka dijadikan bahan tontonan. Aku nggak tahu apa isi otak orang-orang saat melihatku melintas di depan mata mereka."

"Seperti yang aku katakan. Being beautiful is dangerous. Dan itu sudah menjadi pilihan kamu kan, Lara?"

Dahi Dilara mengerut. Ia praktis menoleh ke samping, mempertanyakan maksud kalimat terakhir yang baru dilempar Ares. Bibirnya terbuka hendak memberikan pertanyaan balasan, namun bunyi klakson mobil yang berhenti di depan mereka mengunci kalimat tersebut. Dilara menoleh menuju mobil jemputannya.

"Sopir kamu sudah menunggu. Lebih baik kamu cepat pulang."

Dilara memandang ke arah Ares. "Semoga kita bisa bertemu lagi."

"Aku yakin kita akan bertemu lagi."

Melangkah pergi, Dilara mendekati mobil membawa serta pertanyaan tadi. Sebelum menenggelamkan diri ke dalam mobil, dipandangnya Ares untuk kali terakhir. Lelaki tersebut melambaikan tangan. Dilara lenyap dari pandangannya dan meminta Pak Soleh lekas melajukan mobil pergi.

"Erlangga sudah pulang, Pak?" tanyanya.

"Belum, Non."

Perempuan itu mendesah lega. Ia menyempatkan diri menoleh ke belakang. Ares masih berdiri di tempatnya tanpa melepaskan perhatian menuju mobil yang membawa perempuan itu. Turun ke jalan, Dilara menghempaskan punggung pada sandaran jok. Ia memutar lagi kalimat terakhir Ares. Semakin dipikirkan, semakin membuatnya keheranan.

*

Asumsi Dilara benar. Sesampainya di rumah, Budhe Kanthi mengomelinya sambil mondar-mandir dengan tangan terlipat di belakang punggung. Melihat wanita tua itu melenggang bagaikan penggosok pakaian, Dilara menyentuh kepala pening. Didengarnya kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Budhe Kanthi tanpa jeda sedikit pun.

"Kalau soal pekerjaan, seharusnya dibagi dengan baik. Kamu tidak boleh terlalu sering kelayaban. Apalagi status kamu sekarang sudah bersuami. Apa kata tetangga?"

"Saya kan wanita karir, Budhe."

"BUDHE. Pakai DHE. Bukan DE." Mulai lagi. Budhe Kanthi mengoreksi kesalahan pengucapan kata tersebut. Hampir-hampir Dilara menjulingkan mata saking kesalnya. "Meskipun wanita karir, seharusnya kamu tetap mengingat waktu. Apa saja yang kamu kerjakan? Kok baru pulang jam sembilan? Wanita tidak boleh pulang larut malam."

Dilara menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Maafkan saya."

"Lain kali jangan diulangi." Telunjuk Budhe Kanthi teracung. "Mengerti?"

Daripada kupingnya semakin panas, Dilara mengangguk-angguk saja. Pada akhirnya ia dipersilakan pergi. Bonus, gerutuan berbahasa Jawa yang tak dimengertinya. Setidaknya ia lega tidak memahami bahasa Jawa sehingga tidak perlu menahan gondok lebih banyak. Seandainya ia dimaki dalam bahasa Jawa, ia peduli setan. Toh ia tidak mengerti artinya, kan?

Memasuki kamar, Dilara melepas stilettonya dan meletakkan pada rak sepatu. Ia mendesah jengkel. Badannya dilempar ke atas ranjang dalam posisi celentang menghadap langit-langit bercat pucat. Matanya dipejamkan sejenak. Selama beberapa saat, ia merasakan degup jantungnya. Saking sunyinya, ia seakan dapat mendengar suara degup tersebut, ditambah helaan napas teratur.

"Kapan ini berakhir?" bisiknya.

Bersamaan kelopak matanya yang terkuak, pintu dibuka lesu tanpa ditutup kembali. Dilara mengangkat kepala, melihat Erlangga melenggang masuk tanpa menoleh ke arahnya. Satu alis Dilara tertarik ke atas menyadari suasana hati lelaki tersebut yang—sepertinya—buruk. Ia kembali meletakkan kepala dan menekuri langit-langit.

"Aku bosen di sini," tuturnya. "Bener kata Budhemu. Kita butuh liburan."

"Bilang honeymoon aja liburan." Erlangga melempar jasnya tepat ke muka Dilara. Perempuan tersebut menepis kasar dan mengangkat badan. Beberapa rambutnya mencuat ke sana-sini. "Aku udah putuskan ke mana tujuan kita pergi."

Wajah Dilara ditekuk masam. "Nggak bisa gitu dong. Kok memutuskan sebelah pihak?"

"Bodo amat setuju atau nggak."

Bibir Dilara mengerucut ke depan. "Aku mau ke Raja Ampat atau Gili Labak."

"Kalau aku nggak mau?" Erlangga bertolak pinggang.

"Pokoknya harus ke tempat-tempat seperti itu. Yang memanjakan mata. Memang kamu mau bawa aku ke mana?"

"Terserah aku lah."

"Nggak bisa begitu! Aku juga harus ambil alih!" Dilara melompat berdiri. Kini dua manusia keras kepala itu saling berhadapan bagaikan bidak catur. "Kamu nggak bisa seenaknya memutuskan tanpa ijinku juga."

"Sudah terlanjur. Aku sudah pesankan tiket pesawat dan hubungi orang yang mau jemput." Erlangga melonggarkan dasi.

Mulut Dilara ternganga. Ia meremas tangan gemas. "Aku nggak mau ikut."

"Ya terserah. Kalau mau mati muda di rumah ini gara-gara Budheku nggak apa sih."

Menahan kejengkelan, Dilara memberantakkan rambut. Ia melepas blazernya dan melempar ke ranjang. Mungkin dengan merasakan guyuran air hangat, amarah yang meletup di dadanya dapat terkendali. Wajahnya merah padam mirip kepiting rebus. Sebelum sempat menyentuh kenop kamar mandi, Erlangga mencekal tangannya.

"Me first."

"C'mon, haruskah berdebat lagi untuk urusan kamar mandi?"

"Mengalah, Di. Aku capek setelah seharian kerja."

"Kamu kira aku juga nggak kerja?" Dilara mendelikkan mata menutupi kebohongannya. "Ngalah dong." Ia berusaha meraih kenop, namun tangannya masih berada dalam cengkeraman Erlangga. Ia menggerung frustrasi. "Suit lagi deh!"

"Nggak ah. Kamu suka nilep."

"Siapa yang nilep? Kamu kan emang kalah."

Mereka berebut membuka pintu kamar mandi. Tangan Dilara menggapai-gapai kenop terhalangi tubuh Erlangga. Keduanya bergulat seperti sepasang petarung di arena. Sama-sama tak ingin mengalah. Tubuh Dilara didorong ke belakang dengan kuat, membuat perempuan itu mendesis dan meraung sembari mengayun-ayunkan tangan seperti ingin mencakar. Hingga tanpa disengaja, Dilara terjengkang ke belakang dan secara instingtif menarik tangan Erlangga, membuat lelaki tersebut terdorong jatuh menindih tubuhnya. Mata mereka saling bersirobok satu sama lain. Jantung Dilara sontak berpacu cepat dalam degup tak wajar yang bisa saja membuatnya meletup. Di waktu bersamaan, pintu kamar yang tadinya terbuka sedikit dikuak makin lebar.

"Astaghfirullahaladzim..." Budhe Kanthi yang muncul secara tiba-tiba melihat keduanya tengah bertindihan langsung mengelus dada dan menggelengkan kepala. "Kenapa pintunya dibuka? Pamali!"

Praktis, Dilara mendorong Erlangga menjauh dan bangkit berdiri. Ia merapikan rambutnya. Hilang sudah keahliannya berkelit. Wajahnya pucat pasi.

"Anu—" Erlangga mencoba menjelaskan.

"Bagaimana kalau dilihat orang?!"

Dilara mengubur wajah pada belahan telapak tangan. Rasanya ingin dibenturkan dahinya ke dinding berkali-kali. Ia mengusap wajah frustrasi dan mengatupkan telapak tangan pada bibir.

"Makanya kalau ingin bebas, segera tentukan destinasi bulan madu. Jangan lama-lama loh." Budhe Kanthi melebarkan mata memberi peringatan. Sebelum Erlangga membuka suara, wanita tua itu menyahut lagi, "Oh ya, Er. Tadi ada telepon dari Mama kamu. Budhe bilang kamu sibuk." Budhe Kanthi berdecak muak. "Terserah kamu menghubungi kembali atau tidak." Ia menyentuh pintu dan memutar tubuh hendak berlalu, namun langkah kakinya terhenti lagi. Diputar kepalanya ke belakang. "Tutup pintunya." Dan menghilang di balik pintu yang ditutup.

Saat itulah Dilara meluapkan kekesalannya dengan menendang tulang kering Erlangga sampai membuat lelaki tersebut berjengit dan melompat kesakitan.

"Sakit, Di!"

"Kamu tuh nyebelin banget ya. Errrggghhhh." Dilara meremas telapak tangan dan menggeram gemas. Tak dihiraukan lagi Erlangga yang mengusap-usap kakinya. Ia nyelonong memasuki kamar mandi lebih dulu dan membanting pintunya.

*

Pandangan Dilara berlabuh ke seantero tempat. Ia mengintip dari balik kacamatanya yang dipicingkan, meneliti setiap sudut. Sebelah alisnya tertekuk ke atas. Ia melempar tatapan tanya pada Erlangga yang sibuk dengan ponselnya seraya menyeret kopor menuju keluar bandara. Dilara bertolak pinggang. Hampir saja ia menepis ponsel tersebut lantaran merasa tak dipedulikan sepanjang perjalanan.

"Heh. Kamu lagi jalan sama orang, bukan manekin."

"Hngg." Lelaki itu masih menekuri ponselnya.

"Astaga." Menghela napas panjang, Dilara menepikan poni ke samping. Ia mengamati keadaan sekitarnya yang tak begitu padat seperti bandara pada umumnya. Pagi tadi mereka bertolak dari Bandara Soekarno-Hatta dan terdampar di sebuah bandara yang tak lebih besar daripada bandara internasional. "Ini kita beneran ke sini?" Wanita itu mengerucutkan bibir ke samping.

"Hngg."

Kepala Dilara tersentak ke samping, mendapati Erlangga masih sibuk berkutat dengan ponsel. Kehilangan sisa kesabaran, Dilara menyambar ponsel tersebut dan menjauhkannya dari jangkauan Erlangga. Lelaki itu mendongakkan kepala dan mendelik.

"Di, kembalikan. Penting itu."

Dilara menyembunyikannya di belakang punggung. "Biar kalau diajak bicara orang itu nggak cuma hang heng hang heng aja. Kamu itu lagi jalan sama orang, bukan manekin!" Tatapannya tajam menusuk. "Paham nggak sih?"

"Paham, Maaaaa," Erlangga menjawab hiperbolis. "Itu kerjaan penting loh. Balikin hapenya."

"Nggak. Jawab dulu pertanyaanku. Kita mau ke mana? Kok ada di sini?" Sekali lagi Dilara mengedarkan perhatian ke sekeliling. "Ini kota Apel, kan?"

"Betul." Di saat lengah, Erlangga berhasil merebut ponselnya dari genggaman Dilara. Selang beberapa detik, ponsel tersebut berdering. Dijawabnya panggilan tersebut. "Oh, iya. Kami sudah sampai di bandara. Oke, Pak. Kami ke sana." Ia memasukkan ponsel ke dalam saku menghindari terkaman Dilara. Usai memberi kode pada istrinya, Erlangga menyeret kopor mendahului. Dilara mengekor dengan langkah gusar, namun tetap menjaga keanggunannya.

Sebuah mobil jeep besar sudah siap menjemput mereka berdua di depan. Dilara menelisik dengan sorot mata menilai pada setiap jengkal badan mobil. Ia melihat noda lumpur yang terselip di roda dan mengerutkan dahi.

Mau dibawa ke mana nih? pikirnya panik.

"Ayo, Sayang! Keburu ujan! Kalau ujan jalannya licin dan bahaya!" Erlangga berseru usai memasukkan kopor-kopor mereka di bagian belakang. Ia menepuk atap mobil memerintahkan Dilara agar lekas masuk.

Menepis poni dengan telunjuknya, Dilara membuka pintu dan menjejalkan tubuh langsingnya ke dalam. Ia menutup pintu jeep kasar sampai membuat sopir berjengit kaget. Sopir bertubuh tambun dan memakai topi tersebut mengamati kedua penumpangnya dari rearview.

"Ini toh Non Dilara yang terkenal itu? Cantik aslinya daripada di tipi ya, Den."

"Hadeh..." Erlangga mendecakkan lidah sekali. "Udah nggak usah banyak omong, Pak. Langsung jalan."

Si sopir mengangguk patuh. Ia melajukan jeep seraya menghidupkan musik yang menemani perjalanan mereka selanjutnya. Rasanya mata Dilara gatal ingin menjarah segala pemandangan yang ia tangkap di luar jendela. Berulang kali ia melongok dan celingukan untuk mengamati. Jalanan diteduhi oleh pepohonan yang menyemut memanjang, tidak seperti kota-kota besar seperti Jakarta. Ini kali pertama ia mengunjungi kota yang menyejukkan mata seperti ini. Kota Apel. Malang.

"Kita ke mana?" sekali lagi, Dilara menuntut Erlangga untuk menjawab.

"Alah, nanti juga tahu sendiri."

"Kan aku penasaran." Wanita itu mendesah pendek.

Perjalanan memakan waktu cukup lama. Rasanya mata Dilara sudah mulai lelah dan ingin diistirahatkan. Kepalanya ditopang menggunakan tangan dengan siku tertumpu pada armrest. Berulang kali kepalanya terbentur kaca jendela. Hal tersebut membuat Erlangga menahan diri tak meledakkan tawa. Dilara menyernyit, mendesis kesal, dan mencoba tidur lagi.

"Kasihan itu, Den. Mbok ya ditidurkan di pangkuan atau bahunya biar nyaman," si sopir mencericit.

Erlangga melirik Dilara yang masih pulas dan tampak kelelahan. Ia memalingkan wajah, membuang napas pendek. Tapi benar juga, batinnya berbisik. Seandainya ia tak melakukannya, si sopir malah curiga dan menuduhnya tak berbelas kasih pada istri sendiri. Tanpa menggeluti pikirannya lagi, Erlangga menarik bahu Dilara. Menidurkan kepala perempuan itu di atas pundaknya. Ia menepuk dan mengusap bahu Dilara yang sama sekali tak merasa terganggu. Justru dengan dekapan tersebut, Dilara merangsek makin mendekat dan dalam pengaruh alam bawah sadarnya merangkul pinggang Erlangga. Pria itu menyatukan sepasang alisnya, menatap aneh.

"Duh... saya kok jadi kangen istri di rumah," lagi-lagi si sopir mencericit.

"Hussh! Jangan banyak bicara."

Si sopir terkekeh-kekeh. Musik di radio semakin dikeraskan, kendati terdengar gemerisik lantaran makin lama sinyal makin tak dapat ditangkap antena mobil. Erlangga menundukkan kepala mengamati keadaan di luar begitu mobil melewati palang bertuliskan "BATU".

*

Hampir-hampir Dilara melompat. Jantungnya berdebar kencang saat tiba-tiba saja tubuhnya berlonjakan. Erlangga cepat-cepat melepas dekapannya, khawatir mendapatkan tamparan atau bogeman perempuan itu. Dilara mengusap dada, merasakan detak jantungnya yang berpacu cepat. Ia kaget bukan main ketika di tengah lelap dan masih berkubang di dalam mimpi, mobil yang membawanya bergoyang-goyang dan melonjak-lonjak.

"Astaga... jantung saya mau copot. Hati-hati kalau bawa mobil!" Wanita itu menegur seraya menepuk jok depan.

"Jalannya emang begini, Non."

Dilara mengucek mata. Ia melemparkan perhatian keluar. Disadarinya bahwa kini ia berada di antara perkebunan jeruk yang berbukit. Matanya membelalak kian lebar. Kepalanya ditolehkan ke samping.

"Di mana nih?"

"Katanya minta tempat yang memanjakan mata? Ini tempatnya. Nggak kalah bagus sama Raja Ampat atau Gili Labak kok," jawab Erlangga enteng.

Rasa penasaran Dilara belum juga terjawab. Ia dibawa menaiki perbukitan terjal yang becek. Oh... setidaknya menjawab mengapa ban mobil jeep yang ditumpanginya terdapat lumpur. Dahi Dilara dikernyitkan selama perjalanan. Ia yakin kerutan di dahinya bisa menambah penuaan diri—dalam hati ia berharap secepatnya pulang dan melakukan treatment pada wajah agar mengembalikan kekencangan kulitnya.

Setelah sekian lama diombang-ambingkan di dalam, pada akhirnya jeep yang membawa mereka berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar dan dibangun menggunakan kayu. Dilara menghambur keluar. Ia bertolak pinggang mengatur pernapasan. Untung saja perutnya kuat akan goncangan. Andai kesehatannya begitu lemah, sudah pasti ia muntah tak henti-hentinya. Ia menekuri rumah kayu yang dikitari pepohonan pinus dan perkebunan jeruk. Begitu melesatkan perhatian ke sekeliling, didapatinya hutan pinus dan karet.

Kopor-kopor digotong oleh sopir ke dalam rumah. Erlangga berbisik meminta Dilara segera melanjutkan langkah.

"Jangan bengong kayak orang bego. Ayo!"

Wajah Dilara ditekuk masam. Disadarinya hawa di tempat itu amat sangat dingin. Ia melipat tangan di depan dada menahan hawa dingin yang mulai menyusup di balik blazer dan scraft tipisnya. Oh... pantas saja Erlangga memaksanya memakai jaket kulit alih-alih blazer tipis macam yang dikenakannya. Dilara mengumpat pada dirinya sendiri karena tak mendengarkan anjuran Erlangga.

Belum lagi sepatu hak tingginya. Nyaris ia tergelincir dan terjatuh berkali-kali. Dan sebelum ini Erlangga juga mewanti-wanti memintanya tak mengenakan stiletto.

"Pakai sepatu karet atau apalah. Daripada sepatu cewek," begitu yang dikatakannya di rumah.

Ah... sialan. Seharusnya Dilara mendengarkan anjuran itu. Meski hanya sekali.

Ngomong-ngomong, tumben juga Erlangga memberinya anjuran yang masuk akal.

"Anakku."

Dilara yang sedari tadi sibuk mengamati hak stilettonya yang terkena lumpur mengangkat dagu cepat, bagai dilecutkan cemeti oleh seseorang. Di hadapannya kini, ia melihat seorang pria tua duduk di atas kursi roda, didorong oleh seorang wanita yang—tampaknya—sebaya dengan pria tersebut. Matanya mendelik. Hampi-hampir bola matanya meloncat keluar dari rongga. Ia menelaah pria tersebut dengan saksama. Kini ia sudah tahu wajah siapa yang diwarisi oleh Erlangga.

"Papa." Erlangga membungkukkan badan dan mencium punggung tangan lelaki tua tersebut.

Di tempatnya berdiri, Dilara melongo. Matanya tak berkedip sedetik pun. Barulah ketika si pria tua memanjangkan leher dan bertanya akan eksistensinya, Dilara mengambil sikap. Ia berdeham kecil, menyematkan rambut ke belakang telinga, dan memasang senyum ramah.

"Itu Dilara, perempuan yang dinikahi anakmu," si wanita menjelaskan tanpa menghapus keberadaan senyum manis madunya.

"Oh... Dilara ya... Sini." Pria tersebut, yang dipastikan Dilara sebagai Indra Tunggadewa melambaikan tangan. Meski sudah cukup senja, garis ketampanan dan kewibawaan masih tersisa di wajahnya. Lamat-lamat Dilara mendekat. Ia membungkuk memberikan ciuman pada punggung tangan Indra. Rambutnya diusap-usap lembut. "Perempuan secantik ini kok disembunyikan. Bagaimana kamu ini, Ga."

"Bukan maksud menyembunyikan, Pa."

"Tapi nikahnya kok dadakan dan tidak pernah mengenalkannya pada keluargamu di sini." Mata Indra terpicing menghakimi. Ada pesan tersembunyi yang ditangkap Erlangga melalui dua mata ayahnya. Erlangga membuang muka. "Ya sudah. Karena kalian baru sampai, kalian istirahat dulu."

Dilara masih terbengong-bengong. Matanya mengekori Erlangga yang melenggang pergi menuju teras. Ia mengembalikan perhatiannya menuju perempuan yang mendorong kursi roda Indra. Ingin hati bertanya siapa perempuan tersebut, tapi rasanya saat itu bukanlah waktu yang tepat.

Salah seorang pembantu yang mengenakan daster batik membungkukkan tubuhnya hormat. Ia memberi gestur meminta Dilara mengikutinya agar ditunjukkan kamar yang akan ditempatinya.

*

"Papa tahu apa yang sedang kamu lakukan sekarang."

Erlangga enggan mengangkat kepala, meskipun tatapan Indra mengarah padanya. Di ruang keluarga dekat perapian, keduanya duduk dengan ekspresi tak seragam. Sampai detik itu pun Erlangga belum ada niatan untuk menjawab. Didengarnya lebih dulu ucapan Indra sampai selesai, baru ia akan berkomentar. Tentu sebagai bentuk rasa hormatnya sebagai seorang putra.

"Apapun alasannya, yang kamu lakukan sangat keliru. Sangat tak baik. Kamu tidak mengenalnya sebaik orang terdekatnya. Tidak sepatutnya kamu menyeretnya ke dalam masalah." Terdapat jeda panjang. Di sanalah Erlangga akan masuk setelah menunggu.

"Kami melakukan ini demi keuntungan masing-masing, Pa. Papa masih ingat proyek impian Papa? Saya mewujudkannya. Tempat itu akan menjadi nyata. Impian Papa akan nyata. Saya membutuhkan perempuan itu demi mewujudkan keinginan Papa. Dia juga mendapatkan keuntungan dari permainan ini. Kami sama-sama pelaku bisnis."

"Pernikahan bukan sebuah bisnis yang saling menguntungkan. Pernikahan adalah ikatan yang sakral. Tanggung jawabnya bukan hanya soal hati dan materi, tapi juga Tuhan."

"Ya seharusnya Papa katakan itu di depan Mama," Erlangga praktis berdiri dari tempat duduknya. Indra menghela napas panjang, namun masih menjaga perhatian dan pendengarannya untuk menangkap semua keluh kesah yang akan ditumpahkan putranya. "Papa terlalu mudah dibodoh-bodohi wanita seperti Mama. Wanita oportunis yang tidak peduli sama sekali pada keluarganya. Yang dipedulikan hanyalah bagaimana caranya tetap bertahan di tengah predator, meskipun dengan cara yang picik. Papa sadar kalau Papa terlalu lemah di depan Mama? Itu yang bikin Papa seperti ini. Sakit dalam keterasingan. Bukan hanya sakit fisik, mental dan batin juga." Erlangga berhenti sejenak untuk mengambil napas dan meredakan emosinya. Inilah mengapa ia tak ingin datang kemari. Obrolan seperti ini tidak akan pernah dapat dihindarinya.

"Kenapa kamu masih saja mengungkit-ungkit soal itu?" nada Indra melunak. Ia benar-benar paham dan tahu cara mengambil sikap untuk menghadapi anak-anaknya. Termasuk Erlangga yang bertemperamen tinggi. "Terkungkung dalam kenangan buruk itu tidak baik. Ibarat kamu ingin maju ke depan, tapi kakimu masih terbelenggu rantai besi."

"Saya tidak terkungkung dalam kenangan. Saya hanya belajar dari masa lalu. Dari Mama, saya belajar untuk tidak memberikan hati dan kepercayaan saya pada sembarang wanita."

Indra tertawa renyah. Ia mengusap-usap tangannya yang menghangat berkat hantaran panas dari tungku perapian.

"Bersikap skeptis itu perlu. Tapi bukan berarti kamu memukul rata semua perempuan."

"Saya nggak memukul rata perempuan, Pa. Saya hanya belum menemukan yang sama seperti dia untuk kedua kali." Lantas ia melenggang pergi tanpa sepatah kata tambahan.

Indra menggeleng-gelengkan kepala. Tatapannya beralih menuju tungku perapian. Diamatinya api kuning kebiruan tersebut meliuk-liuk mengikuti gerakan angin.

*

Melihat Erlangga berjalan gusar, Dilara yang merapatkan jaket bulunya melongok penasaran dari beranda samping. Kakinya melangkah perlahan, seperti sebuah bayangan yang mengikuti Erlangga keluar. Wanita itu mengerutkan hidung merasakan udara dingin menusuk kulitnya. Ia perlu menahan selama beberapa saat. Ia tak tahu apa yang membuat Erlangga begitu gusar. Angin menerpa rambutnya, menari-nari kecil di wajah jelitanya. Meskipun tahu lelaki itu tak akan membuka suara, Dilara menekadkan diri berhenti di sampingnya. Kini, mereka berdua berdiri bersampingan di balkon tinggi yang memamerkan pemandangan kota yang ditelan kegelapan dari kejauhan. Seperti kunang-kunang kecil.

"Ngapain kamu di sini?" belum-belum Dilara disambut dengan pertanyaan dingin.

"Anglenya lebih bagus di sini." Dilara mengusap-usap telapak tangan dan meniupnya. Tenggorokannya mendadak gatal disertai hidung berair. "Jadi, alasan mengapa orangtua kamu nggak akan datang itu..." Ia menoleh. "Karena Papa kamu sakit?"

Hingga detik itu, Erlangga enggan membalas pandangan Dilara. "Papa kena stroke."

Dilara menahan diri tak melemparkan pertanyaan selanjutnya. Selain karena memperhitungkan harga diri, juga karena menghormati keputusan Erlangga untuk tak berbagi padanya. Kendati ia penasaran apa yang terjadi pada orangtuanya, siapa wanita yang mendorong kursi roda ayahnya, dan mengapa ayahnya mengasingkan diri kemari. Sial, mengapa Dilara peduli? Rasa penasaran itu makin membuncah, tidak dapat ditampik. Melihat gelagat lelaki itu, Dilara sudah cukup yakin tak akan membahas hal-hal yang bisa membuatnya murka, tidak untuk sekarang. Benar kata Binar tempo lalu.

"Aku tahu kamu sangat benci jika diingatkan dengan polemik keluargamu." Dilara merendahkan suaranya. "Lalu, kenapa kamu mengajak aku kemari jika membuat kamu nggak nyaman?"

Menanggapi pertanyaan tersebut, Erlangga tertawa pendek tak bersuara. Pada akhirnya dipandang perempuan di sebelahnya yang sedari tadi tak menarik perhatiannya sama sekali. Ditatapnya kedua mata Dilara dalam-dalam.

"Biar kamu tahu kalau aku nggak seperti yang kamu pikirkan." Telunjuknya teracung di depan wajah Dilara. Tak memberi waktu pada Dilara untuk membalas, ia berlalu pergi, tidak mengacuhkan ekspresi Dilara.

Dilara memandang kepergiannya dengan tatapan monoton. Ia berbalik badan, kembali menekuri pemandangan malam di depannya. Ia merapatkan jaket dan memasukkan tangan ke dalam saku. Ia membatin kesal. Memang apa yang dipikirkan Dilara tentang dirinya? Ia tak tahu isi pikiran Dilara. Lalu dengan seenaknya ia mengklaim memahami isi kepala Dilara tentang dirinya?

Sudut-sudut bibir Dilara terangkat membentuk cengiran sarkastis. Ia memutuskan menyusul ke dalam karena dingin mulai tidak bersahabat dengannya. Terlebih lagi, hidungnya sudah memerah. Ia tak mau terserang flu.

Sampai di kamar yang sudah disiapkan oleh pembantu, Dilara mengangkat satu alisnya. Dilihatnya Erlangga menarik satu selimut dari dalam lemari, meletakkan bantal dan guling ke atas sofa. Ia membentangkan selimut. Kemudian meringkuk di sofa tersebut.

"Kenapa kamu tidur di sofa?"

Mendengar pertanyaan Dilara, Erlangga menoleh. "Kalau tidur di ranjang kamu marahin. Kayaknya aku ini serba salah ya di matamu." Ia berdecak beberapa kali. "Udah ah. Aku nggak mau ribut di sini."

Dilara membuang napas pendek. Ia mengangkat kaki mendekati ranjang, lalu merebahkan tubuhnya. Badannya menggigil. Meskipun selimut yang dipakainya terlihat tebal, tetap saja ia tak tahan hawa dingin. Ia teringat masa-masa saat masih studi di Esmod Paris. Selama musim dingin, Dilara lebih banyak menghabiskan waktu dengan menggambar, menjahit, atau mengukur kain. Hal tersebut membuatnya hangat. Lalu ia teringat kesendiriannya di malam-malam sepi.

Mata Dilara terjaga pada langit-langit. Sekuat tenaga ia mencoba memejamkan mata, tapi tak mampu. Sial. Harusnya ia tidak tidur sepanjang perjalanan. Sekarang ia menanggung akibat yang malah membuatnya makin menggigil. Tangannya memeluk guling. Ia berbalik badan. Pandangannya terkunci menuju sofa di mana Erlangga melengkungkan badan di balik selimut, menghadap ke arahnya.

Dan ia tak sadar bahwa dengan memandangi pria itu tidur, tubuhnya menghangat. Sampai tiba kelopak matanya tertutup, membawanya mengarungi mimpi panjang.

*

Memasuki apartemen Ares, Binar mengerang kesal. Perutnya keroncongan. Usai melempar tas dan meletakkan blazernya ke tiang gantungan, Binar menekan perutnya. Ia berjalan menuju dapur sekadar mencari bahan-bahan makanan yang bisa dimasaknya. Gara-gara bos sekaligus kakak iparnya pergi, Binar yang menanggung pekerjaan Dilara. Mengawasi karyawan, mengecek butik, ikut rapat bersama klien, dan bla bla bla.

Gadis itu berjinjit menengok bufet. Lalu menengok kulkas. Tak ada apapun di dalam kulkas kecuali kaleng-kaleng soda yang pernah dibelinya. Juga susu kotak. Ia mengerang makin lantang.

"Ya ampun Ares! Masa kulkas dibiarin kosong sih!" Gadis itu menegakkan tubuhnya. "Res! Adikmu kelaparan nih belum makan malam!" Ia melangkah keluar dari dapur seraya merogoh saku untuk mengeluarkan ponsel dan menghidupkannya setelah dibiarkan mati.

Pintu kamar Ares tak dikunci. Binar membuka dan mengintip ke dalam. "Res." Matanya menjelajahi setiap sudut kamar. "Kok nggak ada." Ia membuka pintu makin lebar, berbarengan dengan pesan-pesan yang memberondong masuk. Binar menyempatkan diri membaca pesan-pesan yang masuk. Melihat nama Ares, ia membuka cepat.

Ares: maaf, sayang, sepertinya aku pulang agak larut ya. ada banyak spot bagus yang harus didatangi tengah malam untuk pameran fotografiku.

"Yaaaah. Terus aku gimana dong!" Ia membalas cepat, meminta kakaknya membelikan makanan jika sudah pulang. Setelah pesan tersebut terkirim, Binar memasukkan ponsel ke saku celana kainnya. Tadinya ia ingin menutup pintunya lagi, tapi perhatiannya tertumbuk pada satu tempat.

Didera penasaran, Binar menjajaki teritorial kakaknya. Ia tahu bahwa Ares tak senang jika wilayah teritorialnya dicampuri orang lain. Tapi kalau tidak ketahuan tak masalah, kan? Binar meraba dinding, menekan sakelar lampu. Ruangan telah terang benderang. Gadis itu menyatukan alis diikuti keberadaan senyumnya. Ia tertawa pendek melihat sebuah foto yang dipajang di dekat kepala ranjang.

"Kamu mah emang nggak bakalan berubah," ujarnya. Dihampiri foto tersebut. Jemarinya menyusuri permukaan kacanya, menyentuh potret dirinya sewaktu masih kecil, diapit oleh kedua kakak laki-lakinya. Ketiga-tiganya sama-sama mengenakan seragam karate. Kenangannya berayun jauh, terputar beberapa waktu silam. "Kalau dilihat-lihat pas masih kecil gue lucu juga ya."

Binar mundur ke belakang. Lantas perhatiannya berganti menuju meja panjang yang ditata sedemikian rapi. Binar hapal betul kebiasaan Ares. Kakaknya sangat menyukai kerapian. Di atas meja tersebut, didapatinya patung dewa-dewi Olympus berukuran sedang, bersanding dengan action figure dari berbagai komik. "Ternyata masih nyimpen action figure Joker pemberian gue nih." Ia mendekati meja, memungut patung tersebut. Matanya berpindah menuju action figure lain. Sebelum ia menyentuh action figure berjubah hitam dengan topeng besi tersebut, Binar melirik sebuah album foto berukuran sedang. Sebelah alisnya terangkat. Pada sampul album tersebut tertulis huruf latin:

Être Belle est Dangereux

Jemarinya perlahan membuka sampul album. Didapatinya kalimat-kalimat berbahasa Prancis yang ia ketahui sebagai puisi Charles Baudelaire.

La Beauté

Je suis belle, ô mortels! comme un rêve de pierre,
Et mon sein, où chacun s'est meurtri tour à tour,
Est fait pour inspirer au poète un amour
Eternel et muet ainsi que la matière.

Je trône dans l'azur comme un sphinx incompris;
J'unis un coeur de neige à la blancheur des cygnes;
Je hais le mouvement qui déplace les lignes,
Et jamais je ne pleure et jamais je ne ris.

Les poètes, devant mes grandes attitudes,
Que j'ai l'air d'emprunter aux plus fiers monuments,
Consumeront leurs jours en d'austères études;

Car j'ai, pour fasciner ces dociles amants,
De purs miroirs qui font toutes choses plus belles:
Mes yeux, mes larges yeux aux clartés éternelles!

Charles Baudelaire

Membuka halaman pertama, Binar mengerutkan dahi. Ia membuka halaman selanjutnya. Dan selanjutnya. Dan selanjutnya. Sampai akhir. Makin membuat dahinya mengernyit membentuk kerutan-kerutan dalam. Ia mendesah panjang. Mendengar suara langkah kaki mendekat, gadis itu membalikkan badan. Didapatinya Ares sudah berdiri beberapa meter di depannya. Pandangan matanya dibagi antara album foto dengan adik perempuannya.

"Res, dari mana kamu mendapatkan foto-foto Dilara selama studi di Paris?"

*****

Sudah kubilang, Nicsap itu sepertinya cuma cocok buat Ares ehehehehe

Woooooowwww panjaaaaangnyaaaaa sepertiiiiiiiii

Seperti ular naga panjangnya, bukan kepalang. Menjalar-jalar selalu kian kemari. Wakakakak

Karena saya lagi ulang tahun, saya traktir dengan part yanga panjang!

Yay!

Selamat ulang tahun Lovita Cendana!

Terima kasih Lovita Cendana!

(diucapin sendiri, dijawab sendiri, emang kasihan sih gue)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro