Putri dan Nenek Sihir di Gubuk Derita
Seumur hidup, Dilara tak pernah berpikiran akan tidur sekamar dengan seorang pria macam Erlangga. Bahkan dalam mimpi terburuknya. Lantaran masih dalam pengawasan Budhe Kanthi, mau tak mau Dilara duduk meringkuk di atas ranjang, kadang memeluk lutut, kadang mencoba berbaring, kadang pula berdiri selama mendengar Erlangga sejak tadi ribut sambil mondar-mandir dengan ponsel di tangan. Dan hal tersebut dilakukan berkali-kali tanpa henti sampai jarum jam pendek menunjuk angka satu! Bagaimana Dilara tak pening mendengar keributannya?
"Dooooh berisik banget sih! Aku nggak bisa tidur! Kalau kamu mau berisik, bisa kan di luar kamar?? Terserah mau di ruang tamu kek, dapur kek, atap rumah kek, Monas sekalian kalau bisa!" wanita itu menggerung seraya mengatupkan tangan pada telinga.
Erlangga mendekatkan telunjuk pada bibir. "Ssshhh. Ini pembicaraan penting." Ia melanjutkan percakapannya.
"Kan masih ada hari esok, Tuan Erlangga Tunggadewa yang terhormat. Ini sudah jam satu!"
"Tapi ini kerjaan penting!" Ia kembali pada ponselnya. "Halo, iya maaf. Biasa, istri saya, udah nggak sabar aja."
Praktis saja Dilara melempar bantal sekuat tenaga sampai menimpuk kepala Erlangga dan membuatnya nyaris kelepasan mengumpat. Ia menjauhkan ponsel seraya memelototkan mata ke arah Dilara yang ikut-ikutan mendelik dan memberi isyarat memerintahkannya diam.
"Eh... begini, Pak. Kita lanjutkan besok lagi ya. Baik. Di tempat biasa. Kita adakan meeting bersama para arsitek dan model maker untuk membahas kelanjutan proyek. Terima kasih. Selamat malam." Usai mematikan panggilan, ia mengangkat ponsel di udara. "Puas, Ma?"
"Oh... puas sekali, Papa. Kalau kamu berisik lagi, bukan bantal yang melayang. Lampu duduk pun bisa aku timpukin ke kamu." Dilara menyibak rambut ke belakang. Ia mengangkat selimut, menimbun diri mulai memejamkan mata. Beberapa detik matanya belum sepenuhnya tertutup rapat, ia merasakan ranjangnya berderak. Spontan, badannya diputar, melihat Erlangga berniat merangkak naik. "Mau ngapain kamu?"
"Tidur lah."
"Di bawah."
Erlangga melebarkan mata. "Hah?"
"Di bawah!" Telunjuk Dilara secara tegas mengarah menuju karpet. "Atau sofa. Terserah."
"Ini rumahku loh."
"Ya bodo."
Tidak peduli pada perintah Dilara, Erlangga merangkak naik, membuat Dilara berjingkat duduk dengan wajah panik.
"Kamu mau ngapain?" wanita itu berseru defensif.
"Emang mau ngapain, hah?" Ia merangkak makin mendekat.
"Jangan macam-macam ya." Sejurus kemudian, Dilara menendang tubuh Erlangga sangat kencang sampai membuat pria tersebut jatuh bergulungan di bawah ranjang dan meraung kesakitan.
"Oooowww!"
Anak rambut Dilara yang turun di dahi disingkirkan menggunakan jemari. Kepalanya melongok ke depan, melihat Erlangga mengusap-usap bahu dan mendongak menatapnya. Erlangga menggeleng-geleng, sedangkan Dilara melipat tangan di depan dada dan menghela napas pendek.
"Ini namanya KDRT. Kamu bisa dilaporin loh, kayak kasus aktor yang ditusuk gunting istrinya. Mau aku laporin ke polisi?" Telunjuk Erlangga teracung pada Dilara sarat akan ancaman.
"Silakan laporin. Aku bisa laporin balik ke polisi atas tuduhan tindakan pelecehan seksual."
Mendengar sederet kalimat tersebut, Erlangga terbahak keras. Sebelah alis dan sudut bibir Dilara terangkat.
"Mana ada pelecehan seksual dilakukan suami ke istri. Ck." Ia mengetuk kepalanya sendiri mencemooh Dilara, lantas beringsut berdiri.
Ah sial. Benar juga. Posisinya tak menguntungkan saat ini. Dilara menyingkirkan poni dan membuang muka menelan balasan sarkastis itu. Terdengar langkah kaki di luar kamar menghampiri pintu, ketukan keras, dan suara Budhe Kanthi mengekor kemudian,
"Er, ada apa ribut-ribut? Sampai terdengar di depan loh."
"Nggak ada apa-apa, Budhe!"
"Yo wis." Bibir Budhe Kanthi mencebik. Napasnya dihela pendek bersiap berbalik pergi. Sembari melangkah menjauh, wanita tua tersebut menggumam, "Dasar pengantin baru."
Sepeninggal Budhe Kanthi dari pintu kamar mereka, keduanya sepakat untuk memelankan suara dan tidak mencari keributan. Erlangga memungut bantal yang sempat dilempar Dilara dari karpet.
"Aku nggak bakal nafsu sama kamu," katanya.
Sudut bibir Dilara terangkat mencemooh. "I know you aren't straight." Matanya menyipit curiga. "Kamu setuju nikah sama aku selain demi proyek juga karena pengen nutupin identitas, kan?"
Erlangga melongo mendengar tuduhan tersebut. Selain Saka, Dilara juga menganggapnya demikian. Ia tak habis pikir mengapa perempuan secerdas Dilara mudah menyimpulkan suatu hal tanpa melakukan analisis. Atau barangkali saking cerdasnya, Dilara langsung menembak tepat sasaran karena telah berpengalaman menghadapi pria-pria macam dirinya yang rupanya gay? Meski demikian, ia tak mau ambil pusing.
"Mau straight atau nggak, emang ada urusannya sama kamu?" Ia melempar bantal tersebut di atas ranjang. Tangannya terkibas memerintahkan Dilara bergeser cukup jauh. Kening Dilara dikernyitkan. Melihat ekspresi tersebut, Erlangga bertolak pinggang. "Kenapa? Mau kalau Budhe Kanthi ketok pintu subuh-subuh, kamu bukain, terus ngelihat aku masih tidur di karpet dan kamu berakhir diceramahi? Kalau nyeramahi bisa berjam-jam loh."
Bibir Dilara dikerucutkan menahan kesal. Tak dihiraukannya seringai tanda menang yang terukir di wajah Erlangga. Ia bergeser sejauh-jauhnya sampai menyentuh tepi, mengubur diri di balik selimut hanya menyisakan kepala, dan membelakangi.
Melihat Dilara sudah tak lagi banyak bicara dan mengomel, Erlangga membuang napas lega. Menghadapi perempuan macam Dilara lebih mengerikan daripada menghadapi tingkah anomali Cintya yang terobsesi padanya. Ia bisa berbaring dengan tenang. Sepintas dipandangi wanita di sebelahnya yang tak lagi menengok. Sepanjang hidup, ia banyak bertemu banyak karakter perempuan mulai dari yang sangat dasar maupun yang aneh. Deretan "Perempuan Aneh" teratas diduduki oleh Binar dan Citra—sepupu angkatnya yang hanya bisa mengangguk dan senyum-senyum tak jelas. Ia memasukkan ibunya ke dalam deretan "Perempuan Pada Umumnya" bersama Cintya dan perempuan-perempuan lain yang pernah dikenalnya. Sedangkan Dilara? Di mana ia harus meletakkannya? Ia baru mengenalnya beberapa waktu, namun cukup waras menjauhkannya dari daftar "Perempuan Pada Umumnya" karena wanita itu sangat berbeda. Dilara terlihat seperti baja dalam kobaran api, namun di sisi lain bagaikan tembikar yang mudah retak. Memang baru kali ini ia menemukan wanita seperti. Tapi Dilara bukan satu-satunya yang berbeda. Ia pernah menemukan perempuan yang berbeda, walaupun tak serupa. Perempuan yang masuk dalam daftar "Perempuan Pilihan". Daftar yang pertama kali diduduki oleh satu nama yang sampai detik itu tak pernah menyingkir dari pikirannya.
*
Sinar matahari perlahan menyusup dari fentilasi dan membias masuk begitu kelambu disibak oleh Dilara. Ia meregangkan tubuhnya yang pegal. Tak pernah ia merasa seletih itu, walaupun kerap lembur demi menyelesaikan pekerjaannya. Pikirnya, semua itu gara-gara Erlangga. Menoleh ke samping, didapatinya Erlangga masih tengkurap. Bola matanya terputar ke atas. Jika ia tidak membangunkannya, Budhe Kanthi pasti mengomel dengan bahasa baku dan kaku ala KBBI. Dilara jengah mendengar wanita tua itu bicara. Maka, ia memutari ranjang mendekati Erlangga.
Dilara berpikir cukup lama cara membangunkan lelaki tersebut. Ia membuang muka dan mencolek bahu Erlangga.
"Bangun."
Tak ada jawaban dari lelaki itu kecuali suara dengkuran. Dilara menahan geraman jengkel. Ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Dicoleknya lagi bahu Erlangga.
"Bangun, matahari udah tinggi tuh." Dahinya mengernyit tak kunjung direspon. "Mati kali ya?" Tidak lagi mencolek, kali ini Dilara menepuknya. "Bangun!"
"Ngg... berisik," hanya gumaman tak jelas yang menjadi respon.
"Matahari udah tinggi. Kalau kamu nggak bangun, aku yang kena semprot Budhemu." Dilara menyentil hidung Erlangga keras.
"Apa sih, Bik! Pergi sana sshhh!"
"Bak bik bak bik!" Batas kesabaran Dilara sudah habis. Ia meraih gelas berisi air di nakas, langsung mengguyurkan semua isinya ke wajah Erlangga hingga membuat lelaki tersebut praktis berjingkat bangun.
"Gila kamu, Di!" Erlangga mengusap-usap wajahnya dengan selimut.
"Enak, hah?" Gelas di genggaman Dilara dihentak kasar, dikembalikan ke atas nakas. Wanita itu bertolak pinggang. Ia memberi gestur mengetuk pergelangan tangan. "Udah jam berapa ini?"
Beranjak dari ranjang, Erlangga menghepas selimutnya. Ia melenggang menuju kamar mandi. "Bawel kayak lampir."
"Apa kamu bilang?!"
Pintu ditutup. Erlangga menyahut dari dalam, "Kamu bawel kayak lampir. Kenapa? Nggak suka dipanggil lampir?"
Dilara tak menggubris. Bibirnya membentuk seringai licik. Akan dibalasnya pria kurang ajar itu setelah semua yang dilakukannya hari pertama di rumah itu. Ia melenggang pergi, menuruni anak tangga menghampiri dapur yang sudah disesaki dengan aroma bumbu. Di dapur, Budhe Kanthi tampak memonopoli para pembantu dan membimbingnya memasak. Belum-belum perut Dilara bergolak.
"Nah, kebetulan kamu ada di sini. Kamu saja yang memasak."
Telunjuk Dilara mengarah pada dirinya. "Saya?"
"Iya. Kamu bisa memasak, kan?"
"Bisa." Dilara tersenyum kecut.
Pembantu-pembantu di dapur diusir Budhe Kanthi digantikan Dilara. Beberapa dari mereka mengawasi di balik kusen pintu. Dilara membuang napas panjang, mengikuti instruksi Budhe Kanthi yang tak berjeda dan membuat ia pening sepagi itu. Takaran-takaran harus pas dan tak boleh lebih atau kurang sedikit pun.
"Eeehhh!"
Dilara terpekik kaget mendengar seruan Budhe Kanthi. Tangannya yang masih terulur di atas teflon hendak menumpahkan irisan cabai ditepuk Budhe Kanthi.
"Jangan memasukkan irisan cabai terlalu banyak! Erlangga tidak suka pedas. Kamu sudah tahu, kan?"
Ya mana aku tahu, Dilara mendesis dalam hati. Bahkan irisan cabai pun harus dihitung. Wania tua itu memberi tahu berapa jumlah irisan cabai yang seharusnya dimasukkan. Sekali lagi, irisan.
Rasanya Dilara ingin menggelesot di lantai. Kendati dikenal sangat perfeksionis, ia tak pernah memasak sedetail dan sejeli ini. Bahkan irisan cabai pun harus dihitung. Siapa yang peduli pada jumlah irisan cabai? Dilara yakin hanya wanita tua ini. Ia peduli setan berapa jumlah cabai yang masuk di mangkuknya tiap kali makan, yang terpenting adalah cita rasa yang pas. Ini kali pertama ia menghitung jumlah irisan cabai demi satu menu.
Saat Budhe Kanthi lengah tak mengamatinya, Dilara langsung menumpahkan banyak garam ke dalam tumis kangkung kesukaan Erlangga setelah dihidangkan di atas piring. Senyum liciknya terkembang. Ia menyiapkan sarapan seorang diri tanpa bantuan para pembantu dan hanya diawasi Budhe Kanthi yang melipat tangan di depan dada. Ia mengangguk-angguk menilai kinerja Dilara dalam hal ini sangat bagus.
"Mmm... aromanya tercium sampai di atas loh," Erlangga menyambut pagi dengan berseru. Dihampirinya meja makan yang telah menghidangkan sarapan hasil tangan Dilara.
Budhe Kanthi tersenyum, memundurkan kursi dan duduk. "Kamu masih masuk kerja? Seharusnya libur dulu, kan? Sempatkan beberapa hari pergi berbulan madu. Jangan gila kerja. Tidak baik."
"Iya, Budhe. Cuma hari ini kok. Ada meeting penting. Saya sudah menyiapkan rencana bersama Dilara. Iya kan, Sayang?" Erlangga mendekap Dilara yang menoleh cepat.
"Rencana apa? Aku kok nggak tahu? Kamu jangan mutusin sebelah pihak ya," perempuan itu berbisik tajam.
"Kita debat nanti aja ya." Ia menepuk bahu Dilara dan memintanya duduk. Perhatiannya dialihkan menuju masakan di atas meja dengan asap yang masih mengepul. "Kalau dari aromanya enak nih."
"Ini masakan istri kamu. Tadi Budhe yang bimbing langsung. Sudah pasti masakannya enak."
Erlangga merasa adanya ketidakberesan. Namun perasaannya ditutupi melihat senyum Budhe Kanthi yang memintanya segera menjamah makanan yang telah disediakan Dilara dengan selipan senyum simpul.
"Ayo makan, Sayang." Dilara menyorong piring Erlangga.
Budhe Kanthi memulai suapan pertama. Ia menggumam mengagumi kemahiran memasak Dilara. "Ini enak sekali. Kamu pintar memasak."
Sedikit senyum puas terulas di bibirnya. Sepertinya tak akan membutuhkan waktu lama bagi Dilara melihat wanita tua itu segera enyah dari rumah Erlangga dan membiarkannya hidup tenang.
Di mejanya, Erlangga membagi pandangan antara piringnya, Budhe Kanthi yang sudah mendelik ke arahnya, dan Dilara yang tersenyum. Mulai dijamahnya makanan di hadapannya. Baru sesuap, ia tersedak. Dilara menepuk-nepuk punggung Erlangga setelah menyodorkan air minum yang sudah disiapkannya.
"Hati-hati, Sayang. Kamu jadi tersedak, kan?"
"Habiskan. Kamu harus menghargai istrimu." Budhe Kanthi mendelik lagi.
Melihat wajah Erlangga yang tersiksa dan menatap ke arahnya penuh dendam, Dilara tersenyum semakin lebar. Ia memain-mainkan sendoknya dan makan dengan bahagia, sedangkan Erlangga perlu menahan diri tak memuntahkan makanan yang terasa sangat—super—asin itu.
*
Dilara paling tak bisa diam di rumah. Ia terbiasa melaksanakan tugas-tugasnya secara mandiri. Binar yang dipercayai untuk menggantikannya sementara waktu mengabarkan tak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Meski demikian, Dilara bosan setengah mati. Ia memutuskan untuk pergi dari rumah sekadar menengok salah satu butik. Maka, ia bersiap-siap, berganti pakaian dengan blus putih yang dilapisi blazer coklat muda, scraft tipis di leher, dan rok sewarna blazernya. Tak lupa, ia menyelipkan kacamata di kerah bajunya sekadar menghindari jepretan paparazzi. Rambutnya dibiarkan tergerai.
Melihat Budhe Kanthi di pekarangan depan tengah mengobrol bersama tukang kebun, Dilara mendesah panjang. Ia menghampiri wanita tersebut untuk meminta izin.
"Mau ke mana? Necis sekali." Budhe Kanthi menelisik penampilan Dilara dari puncak kepala sampai ujung stilettonya.
"Saya harus memeriksa butik."
"Hm. Lain kali kalau ke butik, jangan berpakaian seperti itu. Cukup pakai blus dan celana." Budhe Kanthi mengangguk memberinya izin.
Dilara tersenyum menelan kedongkolannya. Berbalik, ia baru bisa memutar mata dan memasang kacamatanya. Ia melenggang menghampiri salah satu mobil yang telah disiapkan untuknya.
"Tumben nggak nganter Erlangga, Pak," di dalam, Dilara menyapa Pak Soleh yang sudah siap di balik kemudi.
"Tuan nggak mau, Non. Katanya mau nyetir sendiri."
Sebelah alis Dilara terangkat skeptis. Akan tetapi, ia tidak begitu peduli pada urusan pria tersebut. Bukankah sudah jelas bahwa ia dilarang ikut campur dalam segala hal yang dilakukannya?
Mobil yang mengantarnya berhenti di depan butik. Dilara memerintahkan Pak Soleh kembali saja dan menghubunginya bila perlu jemputan. Mobil tersebut melaju pergi meninggalkan Dilara yang mulai melangkahkan kaki memasuki butik. Seorang karyawannya menyapa dengan hangat. Dilara tersenyum simpul, menghampiri beberapa manekin, sambil mendengarkan musik yang dihidupkan dan menggelegak sepenjuru butik.
"Lara."
Dilara memalingkan wajah mendengar nama pendeknya disebut. Senyumnya terkembang begitu matanya menangkap sosok pria yang memperkenalkan diri sebagai kakak Erlangga.
"Hai." Ia mencoba mengingat-ingat namanya. "Ares?"
"Benar."
"Wah, kenapa kamu ada di sini? Mau beliin pakaian pacar? Tunangan? Atau istri?"
Ares tertawa pendek. "Aku melihat kamu masuk ke dalam. Kebetulan, aku mau mengundang kamu ke pameran fotografiku beberapa hari mendatang." Ia menyerahkan secarik undangan pada Dilara yang ditanggapi perempuan itu dengan senyum sekilas.
Undangan yang diangsurkan Ares diterima Dilara. "Terima kasih. Aku pasti datang." Ia lantas.
"Boleh ngobrol bareng? Aku punya rekomendasi tempat yang bagus untuk mengobrol."
Ini waktu yang tepat. Ia menggigit sudut bibir, memandang langit-langit menampilkan mimik berpikir. Namun pada akhirnya, ia menerima ajakan tersebut. Usai berpamitan pada karyawan butik, Dilara melenggang keluar bersama Ares. Sebelum memasuki mobil, ia celingukan sekadar memastikan tak ada paparazzi yang memotret gerak-geriknya. Bisa gawat jika paparazzi memotret dirinya bersama lelaki lain dan memasang beritanya sebagai headline dengan tuduhan yang tidak-tidak.
Tak ada percakapan di dalam mobil. Keduanya saling membisu. Dilara lebih senang mengamati kendaraan atau gedung-gedung pencakar langit yang mereka lewati. Ia tak sadar diperhatikan lelaki di sampingnya sesekali. Tak membutuhkan waktu lama, mobil sudah diparkir di depan sebuah kafe bernuansa retro yang belum pernah Dilara lihat sebelumnya. Ia turun dari mobil usai dibukakan pintu dan mengucap terima kasih.
"Milik temanku. Baru beberapa tahun buka."
"Oh." Dilara mengangguk samar.
Mereka melimbai masuk. Kafe masih terlihat lengang, seperti baru buka. Tanpa menanggalkan kacamatanya, Dilara memilih tempat duduk di lantai atas dan disambut oleh seorang waitress.
"Do you like coffee?"
Dilara menggeleng. "No. I prefer greentea."
Pesanan yang disebutkan Ares dicatat oleh waitress tersebut sebelum ditinggal pergi berdua. Di lantai atas, bangku-bangku masih kosong. Hanya mereka berdua penghuni di tempat itu.
"Sejujur, aku punya deretan pertanyaan yang pengen aku sampaikan ke kamu," Dilara membuka percakapan.
"Silakan."
Dipandanginya Ares lurus-lurus, sekadar memeriksa adakah 'cetakan' keluarga Erlangga pada dirinya. Sekilas, tak ada kemiripan yang ia lihat. Dilara mengernyit bingung.
"Kamu benar kakak Erlangga?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Ares tertawa. "Kenapa? Nggak mirip ya? Aku memang lebih mirip ibu kami."
Dilara tersenyum dan mengangguk. Meski dalam hati Dilara menganggap bahwa keduanya sama-sama memiliki rupa bak dewa. Ah, ia tak seharusnya mengatakan hal tersebut, walaupun hanya di dalam hati. Ia teringat akan satu hal. "Kamu tadi memanggilku 'Lara'. Di pesta juga."
"Dilara terlalu panjang diucapkan dan kamu lebih cocok dipanggil Lara saja." Ia menoleh untuk memberikan senyum ramah. "Maaf, bukan bermaksud nggak baik, aku hanya ingin mengenal adik ipar lebih jauh. Rasanya sangat aneh kalau kita nggak saling mengenal."
Dilara menanggapinya dengan tawa pendek tak bersuara. Ia meletakkan kacamatanya di samping tangan menepikan poni perlahan. Setiap gestur yang ditampilkannya tak pernah luput dari perhatian Ares.
"Aku nggak tahu kalau kamu masih punya hubungan darah sama dia."
Menanggapi kalimat tersebut, Ares menunduk menyembunyikan senyumnya. Matanya berpindah menuju Dilara, diikuti oleh dagunya yang terangkat. "Aku kasihan sekaligus khawatir denganmu."
Sebelah alis Dilara melengkung ke atas. "Maksud kamu?"
Obrolan terhenti saat pesanan mereka datang. Dilara tak peduli pada pesanannya. Ia lebih memedulikan maksud ucapan Ares baru saja. Jantungnya berdegup kencang seakan ingin meletup.
"Orang lain mungkin bisa tertipu dengan kebohongan yang kalian buat. Tapi aku nggak akan bisa." Ares menghapus senyumnya dengan seruputan pertama. "Aku memahami karakternya."
Dilara tertawa pendek. Mendadak ia tak bernafsu menyentuh greentea yang masih panas di meja. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinga.
"Maksud kamu, kamu tahu bahwa semua yang kami lakukan hanya kebohongan?"
"Aku lebih senang menyebutnya pementasan sandiwara." Ares mengusap telapak tangannya. "Aku nggak akan mencampuri urusan kalian. Aku mengajak kamu ke tempat ini hanya ingin mengobrol dan mengenal kamu lebih dekat. Anggap saja bahwa kalian memang benar-benar terikat pernikahan atas dasar cinta dan sudah kewajibanku sebagai kakak untuk mengenal dekat adik iparnya sendiri."
Dilara bergeming. Ia bingung harus membalas seperti apa. Yang dapat dilakukannya sekarang hanyalah menghirup aroma greentea dan meneguknya sedikit sekadar meredakan perasaannya yang sangat aneh. Ia menghela napas panjang.
"Aku nggak tahu cerita di balik masalah keluarga kalian." Ia melesatkan lirikan lekat. "Tapi aku nggak peduli."
"Itu lebih baik."
Tidak peduli? Jangan katakan tidak peduli jika kau sering dibuat penasaran, Dilara. Jika Binar enggan bercerita, seharusnya kau manfaatkan kesempatan ini. Tanyakan pada lelaki di depanmu.
"Bukan wewenangku untuk bercerita," seolah memahami apa yang dipikirkan Dilara, Ares membuka suara lagi. "Kalau bisa, aku ingin dia sendiri yang menceritakannya padamu."
Dilara memutar bola mata ke atas diikuti suara tawanya. "Mustahil pria introvert macam dia bercerita tentang kehidupan pribadinya pada seseorang sepertiku. Kamu tahu hubunganku dengan dia seperti apa? Kita bagaikan orang asing yang sama sekali nggak saling kenal, tapi tiba-tiba menikah dan hidup bersama. Bisa bayangkan apa yang aku rasakan, hm?" Dilara menghempaskan punggung pada sandaran kursi. "Aku berharap ini segera berakhir, entah kapan."
Ares tersenyum samar. "Seharusnya kamu buat dia bisa bercerita sehingga dia sadar bahwa apapun yang dilakukannya saat ini, selama ini, sangat salah." Ia menggeleng. Ia sadar obrolan seperti ini dapat menghancurkan suasana. "Oke, kita lewati saja obrolan seperti itu. Bagaimana kalau sekarang kita mengobrol sebagai teman?"
Pandangan Dilara yang semula diarahkan menuju cangkirnya berpindah cepat. "Setuju."
*****
Selepas prom, Lara mengurung diri di kamar. Ia hanya duduk meringkuk di kusen, di balik jendela kamar, menatap kosong pada langit petang berbintang. Tak dihiraukan ketukan dan suara Widya di luar menanyakan keadaannya. Beberapa pembantu menyarankan untuk membiarkan Lara menyendiri.
Ya... pergilah. Lara memang hanya ingin menyendiri. Bahkan kadang, terlintas di pikirannya untuk mengakhiri hidup. Ia mengamati bintang-gemintang yang mengajaknya bercengkerama dalam kesendiriannya.
"Lara pengen ikut Mama dan Papa di surga," bisiknya pilu. "Orang-orang di sini jahat, Ma."
Sebelum pergi, Widya mengusap pintu Lara dan berbisik lirih, "Sayang, kamu satu-satunya harta berharga yang eyang punya. Eyang tidak punya apa-apa lagi sekarang. Sejak ibumu pergi, eyang kesepian, hanya ditemani oleh eyang kakung. Apalagi saat eyang kakungmu pergi, eyang semakin kesepian sekarang. Hanya kamu yang bisa mengobati kesepian itu, Lara." Hening. Lara hanya mengamati pintu kamarnya dalam kegemingan panjang, menelan ucapan-ucapan itu ke dalam kepala. "Kalau kamu mendiamkan eyang, kamu semakin membuat eyang kesepian. Malam ini kamu boleh tidak menjawab. Besok, kamu harus turun dan bicara sama eyang, ya. Ajak eyang bicara supaya tidak kesepian."
Bibir Lara bergetar. Ia menggigitnya samar menghindari suara isak tangis terlepas keluar. Bukan maksud ia tak ingin mengajaknya bicara dan membiarkan wanita tua itu kesepian. Ia hanya ingin memiliki waktu untuk sendiri sekadar melupakan rasa sakit hatinya.
Tak ada lagi suara Widya. Wanita tua itu telah beranjak dari tempatnya, meninggalkan Lara untuk menyelami pikiran dan kesedihannya seorang diri di dalam kamar yang gelap dan hanya diterangi sinar rembulan cerah yang membias masuk ke dalam. Sekali lagi, dipandangnya langit petang.
Mengusap air mata yang mengganjal pelupuk matanya, gadis tersebut beringsut dari tempat duduknya. Ia menghampiri komputer, menghidupkannya, berniat menghapus akun friendsternya. Sesaat setelah akun tersebut lenyap, ada pesan masuk di aplikasi chatroom.
darthvader: it's been long time. how are you?
Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, bimbang akankah menjawab atau mengabaikan pesan itu. Ia juga berniat menghapus akunnya di chatroom tersebut. Ia hanya memandangi pesan teman virtualnya dalam kegemingan.
darthvader: lu online tapi nggak bales chat gue. ck
Dan diputuskannya untuk membalas chat tersebut.
prada: hai
darthvader: gimana gimana? udah nembak cowok yang disuka?
prada: no
darthvader: lah kenapa? ceritain dong
darthvader: nggak dibales
darthvader: woy
darthvader: lu baik-baik aja, kan?
Lara menatap sendu layar komputernya. Ia menimbang untuk bercerita atau menyimpannya dalam hati saja. Namun semakin disimpan dan ingatan itu tersembul lagi, semakin sakit hatinya. Ia benar-benar butuh teman berbagi. Satu-satunya alasan untuk tidak berbagi pada eyangnya hanyalah satu: ia mengkhawatirkan kondisi wanita tua itu dan tak ingin membuatnya kepikiran. Yang dibutuhkan Lara saat ini hanyalah sahabat yang bersedia mendengarkan. Sahabat apa? Lian yang sudah dianggapnya sahabat saja memperlakukannya secara tidak adil. Ia benar-benar mengutuk kata sahabat dalam hidupnya.
darthvader: gue bener-bener khawatir nih
prada: aku nggak yakin mau cerita sama kamu. aku nggak percaya sama orang-orang saat ini
darthvader: termasuk gue?
prada: menurut kamu?
darthvader: kenapa gue juga? gue kan nggak kenal sama lu, mau bocorin masalah lu ke siapa?
prada: maka dari itu, kenapa aku harus percaya sama orang asing?
darthvader: serba salah gue
darthvader: begini deh, aku mau ucapin terima kasih atas saran yang kamu berikan beberapa waktu lalu
Sebelah alis Lara terangkat, selain menyadari perubahan pada gaya bahasa temannya, juga karena bingung merasa tak pernah memberi saran padanya.
prada: saran yang mana?
darthvader: saran buat nyalurin hobi. kamu benar. hobi bisa menghapus rasa suntuk, apalagi di tengah aktivitas yang nggak disuka dan ngebosenin
prada: udah tahu nggak suka, kenapa masih dilakuin?
darthvader: itulah, aku putusin buat berhenti kuliah
prada: WHAT?! aku nggak maksud bikin kamu berhenti kuliah!
darthvader: yah terlanjur sih. abis nggak nyaman kuliah didasari paksaan
prada: kuliah apa sih emangnya?
darthvader: tuh kan, mulai nyerempet ke identitas pribadi nih
Lara membuang napas kesal.
prada: cuma tanya kuliah di mana kok! oke, kita hapus peraturan kita dan mulai menguak identitas masing-masing. berani nggak??
darthvader: berani lah. tapi ada syaratnya
prada: apa?
darthvader: ceritain apa yang bikin kamu sedih
prada: aku nggak sedih
darthvader: hadeh dek, kamu nih ngeles mulu ya. perasaan orang bisa kelihatan loh dari gaya chattingnya. aku bisa nangkap kalau kamu lagi sedih dari balasan kamu yang tadi singkat-singkat dan kerasa sarkas terus mendadak melonjak. pertanda emosimu lagi nggak stabil! gimana?
Wow. Hebat juga kawannya bisa mendeteksi perasaan Lara hanya dengan membaca jawaban chatting. Lara mengulum senyum samar.
prada: oke
darthvader: cerita dulu
Seraya menghela napas panjang, Lara mulai menceritakan duduk persoalannya. Berulang kali ia mengatur napas, menimbang, dan sempat berhenti mengetik, namun pada akhirnya jawaban-jawaban tersebut berhasil dikirimnya. Ia mencurahkan segalanya pada teman asingnya itu. Sampai akar-akarnya. Bahkan kejadian di prom pun tak luput dari ceritanya. Ia berhenti mengetik, menggigit bibir bawah, menunggu balasan kawannya yang membaca curahan hati yang amat sangat panjang itu. Entah mengapa, ia merasa lega telah mengutarakan semua duri yang sejak lama tertancap dalam jantungnya.
Dua menit berlalu. Lara menunggu dengan menyandarkan pipi pada meja.
Lima menit. Belum ada balasan.
Sepuluh menit. Lima belas menit. Duapuluh menit. Lara nyaris tertidur di depan komputer, sampai sebuah balasan membuat matanya melebar lagi.
darthvader: gila
Hanya itu? Lara mengerucutkan bibir ke depan. Padahal curahan hatinya sangat panjang, bahkan seperti sebuah cerita pendek di majalah, tapi balasannya hanya itu? Ia berniat membalas lagi, tapi diserobot oleh temannya.
darthvader: sori, gue speechless
darthvader: kamu sadar nggak sih kalau kamu terlalu baik? bahkan terlalu mudah percaya sama orang. buktinya, kamu gampang percaya sama orang asing seperti aku. kamu gampang dibodoh-bodohin. itu yang bikin orang-orang mudah manfaatin kamu
Lara terdiam. Ia meraba ke dalam dirinya sendiri dan mengakui semua yang diucapkan teman asingnya itu benar. Ia menunggu kawannya melanjutkan.
darthvader: jangan pernah kasih kesempatan orang lain menyakiti kamu. jangan memberi kepercayaan semudah membalikkan telapak tangan. kadang, selektif itu perlu, biar bisa menemukan orang yang tepat
darthvader: anjir, kenapa gue kayak motivator gini sih
Lara tersenyum. Ada suntikan semangat dalam dirinya. Ini pertama kalinya seseorang sangat peduli padanya.
prada: kamu benar. terima kasih (:
darthvader: aku nggak akan paksa kamu buat buka identitas. aku cuma minta, hanya karena sikap teman-temanmu yang jahat, jangan jadi cewek cengeng kayak di sinetron. sometimes, you need to be as strong as an iron, as cold as an ice, as dark as night sky, as light as star, and as brave as a lion. balas mereka dengan kemenangan luar biasa. jangan meratapi hidup, tertawai kehidupan
Sekali lagi, Lara mengumbar senyum lebar.
prada: thanks! tapi bukan berarti kamu ngingkari kesepakatan kita ya. katanya berani buka identitas? mumpung aku berani nih
darthvader: hm. oke. you first. name?
prada: Lara. name?
darthvader: Restu
*****
Eh kan di bab-bab sebelumnya aku sebutin kalau Saka ini kerjanya sebagai model maker kan ya, jadi aku ganti aja sebagai manager personalia. Karena ternyata, model maker bekerja di luar perusahaan properti
olo��u�K%7
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro