Pita Merah Cindelara
"Loh, Kana! Tambah cantik kamu!" Saka berseru girang. Ia menjabat tangan perempuan jelita di depannya.
"Thanks, Ka. Udah nikah?"
"Nikah apaan. Masih pengen sendiri."
Di tempatnya duduk, Erlangga hanya menanggapi dengan dehaman.
Kana Indica. Perempuan yang baru menyapanya benar merupakan secuil dari kenangannya beberapa tahun lalu. Setelah bertahun-tahun tak berkabar, kini keduanya dipertemukan lagi di sebuah kafe dalam keadaan canggung. Untuk memulai hubungan yang baik, Kana mengajak Erlangga mengobrol berdua sehingga dengan terpaksa Saka meninggalkan keduanya sambil mendengus.
Ah, setelah sekian tahun, wanita itu tak berubah. Mungkin perubahan yang membedakan, ia jadi terlihat lebih dewasa. Kana tetaplah Kana yang pernah dikenal Erlangga. Sahabat kecilnya yang selalu menemaninyas meskipun sempat terpisah sejak Erlangga dan Binar diasuh oleh Budhe Kanthi. Lantas bertemu lagi di kampus yang sama. Dan terpisah untuk ke dua kali. Kini, Tuhan telah menyambungkan benang yang sempat terputus di antara mereka.
"Aku dengar berita kamu," Kana menyeruput coklat panas yang dipesannya. "Kok nggak ngundang sih?"
"Nomor kamu udah nggak aktif."
Bibir Kana tercebik ke bawah. Mereka bersitatap selama beberapa detik.
Benar, wanita itulah yang namanya diabadikan dalam hati Erlangga selama bertahun-tahun. Sekaligus mengikis harapannya untuk ke sekian kali sejak ibunya pergi meninggalkannya. Melalui kedua mata perempuan itu kenangan seakan dikilas balik. Ia melihat dirinya bersama wanita itu dalam tubuh bocah berusia duabelas tahun. Saat ia bermain lego dan dihampiri Kana yang mempertanyakan pertengkarannya dengan Ares tempo hari. Gadis itu menemukan memar di tangan Erlangga dan menuduh Ares yang memukulnya. Erlangga enggan membalas selama beberapa saat sampai Kana beringsut pergi. Tangan gadis itu dicekalnya. Ia menengadahkan kepala mengiba.
"Jangan pergi dong," begitu yang diucapnya waktu itu.
Dan keduanya saling berbagi waktu. Seraya menunjukkan memar di tangannya, Erlangga bercerita bahwa ibunya yang memukul dirinya. Kana yang iba lantas mengajaknya pergi dan mentraktirnya es krim.
Begitu keduanya bertemu kembali di universitas yang sama, hubungan mereka erat kembali. Kendati disibukkan dengan kegiatan BEM, Erlangga tetap menomorsatukan Kana yang selalu meminta tolong padanya. Ia tak pernah meminta pamrih, seperti halnya Kana yang selalu ada di sampingnya tiap kali bermasalah dan jauh dari ayahnya.
Hingga suatu ketika, ia menemukan Kana menangis tersedu-sedu di tepi danau kampus. Dihampirinya gadis tersebut dan tanpa permisi, duduk di sebelahnya, mengelus bahunya untuk menegur. Kana masih enggan memandangnya. Yang dilakukannya hanyalah terisak-isak.
"Kana, kenapa kamu? Siapa yang jahatin kamu? Ngomong sini. Biar aku hajar."
Gadis itu menggeleng. Pada akhirnya ia bersedia membalas tatapan khawatir Erlangga dengan uraian air mata. Di tengah suara isak tangisnya, ia berbisik lirih, "Aku hamil, Ga."
Sontak saja jantung Erlangga seperti meloncat keluar dari rongga dada. Matanya membeliak terkejut.
"Reno lepas tanggung jawab. Dia ninggalin aku," lanjutnya, lantas kembali terisak membenamkan wajah pada telapak tangan.
Hampir-hampir Erlangga lepas kendali, melesat pergi mencari keberadaan cowok brengsek yang dengan kurang ajarnya menyakiti perempuan yang ia cintai, Kana menahan tangannya.
"Nggak usah." Gadis itu menggigit bibir bawahnya memelas. Tak tega melihat tatapan sayu dari kedua matanya yang digenangi air bening, pada akhirnya Erlangga kembali duduk. Ia merangkul Kana, membiarkan gadis tersebut menangis dalam pelukannya.
"Na, kalau bajingan itu nggak mau tanggung jawab, aku siap jadi ayah buat anak kamu."
Biarpun selalu menanggung pahit karena gadis itu tak pernah menoleh padanya, ia tetap akan memasang tameng di depannya dan maju di barisan terdepan untuk membelanya. Pucuk dicinta ulam pun tiba, Kana mengangguk sebagai jawaban.
Tapi tentu saja, Tuhan yang senang memainkan tali takdir tak membiarkan hal itu terjadi. Saat Erlangga sudah menyiapkan sebuah cincin dan berniat melamar Kana, gadis itu tiba-tiba datang dengan wajah berseri-seri. Ia berseru girang mengucapkan sederet kalimat yang waktu itu sempat membuat jantung Erlangga sempat berdenyut nyeri,
"Reno mau nikahin aku. Dia bakal nikahin aku!" Kana melompat memeluknya, menghancurkan angan-angan yang sudah dibangun dalam pikiran Erlangga.
Lalu kenangan tersebut kabur saat suara wanita itu menyusup masuk ke dalam alam bawah sadarnya. Menyentaknya ke dalam realita.
"Aku seneng akhirnya kamu nemu orang yang tepat buat kamu." Senyum manis madu terukir di bibir tipis Kana. Ia menyeruput lagi coklat panasnya. "Inget nggak waktu kuliah, kamu bilang nggak akan nikah sebelum aku nikah. Kamu selalu ngarepin aku jadi pengantin kamu." Ia tertawa seakan hal itu adalah sebuah lelucon. Padahal tidak.
Erlangga tersenyum miring. "Masih inget ternyata. Reno nggak sebrengsek dulu, kan?"
"Masih nyebelin sih, tapi lebih baik sejak Sakura datang."
Sakura. Nama itu terdengar begitu damai di telinganya. Nama yang pernah ia sebut di depan Kana saat gadis itu berbaring di sampingnya, di taman kampus, melihatnya bertekur dengan proposal kegiatan BEM.
"Kalau kamu punya anak, mau kasih nama siapa?"
"Sakura."
"Hah?" Kana terkikik kecil. "Kenapa Sakura?"
"Karena ibunya juga dinamai dengan nama bunga. Bunga Kana."
Dan tawa Kana meledak lagi, menganggap ucapannya tolol. Meski dalam lubuk hati Erlangga mengamini ucapannya sendiri.
Nama itu selalu membayang-bayangi langkah Erlangga sampai ia menempuh studi di Jepang. Negara di mana ia bisa melihat bunga sakura di sepanjang jalan. Yang malah mengingatkannya pada harapan yang telah roboh.
"Kenapa kamu namai anak kamu Sakura?" Erlangga menutupi ekspresinya dengan seruputan kopinya.
"Buat selalu nginget kamu. Nginget kebaikan dan pengorbanan yang pernah kamu kasih ke aku." Kana menghembuskan napas panjang. Ia mengaduk-aduk coklatnya. "Semoga rasa itu nggak ada lagi di hati kamu, Ga. Aku kasihan sama perempuan yang kamu nikahi kalau kamu masih terus menyimpan namaku." Kepalanya enggan ditarik.
"Every time I'm slipping away from myself, you're the one that moves me like nobody else," Erlangga berkata perlahan, membuat dagu Kana sontak terangkat. "Tapi itu dulu." Lantas bibirnya kembali menyambut tepi cangkir.
*
Dilara memagutkan pandangan ke laut lepas saat matahari merangkak turun kembali ke peraduan, menciptakan semburat jingga di langit yang mulai petang. Yang dilakukannya hanya duduk diam di salah satu kursi JetSki Café. Beberapa helai rambutnya tertiup angin. Ia menikmati kesendiriannya di tempat itu sekadar mengosongkan pikiran dalam satu hari yang menjemukan.
Ia tak lagi memiliki siapa-siapa. Ia sendirian. Orang-orang yang dicintainya pergi. Sepeninggal Widya, ia hanya mampu melamun sepanjang waktu. Atau marah-marah hanya untuk meluapkan emosi, walau sama sekali tak ada maksud demikian.
"Jauh banget mainnya sampai ke sini?"
Kepala Dilara tersentak ke depan. Matanya langsung bertubrukan dengan mata Ares. Lelaki itu duduk tanpa dipersilakan sambil menenteng kamera di tangan. Ia menjepret Dilara tanpa permisi.
"Aku lagi nggak mood," Dilara berbisik lirih.
"Aku turut berduka cita. Sengaja aku tunggu sampai hari ini. Menunggu kamu membaik."
"Thanks." Dilara masih tak bersemangat. Wajahnya menampakkan keletihan.
Ares mencermati wajah Dilara lurus-lurus. Dipandangnya tangan Dilara di atas meja, berada di dekat tangannya. Seandainya wartawan ada yang berkeliaran di sekitar mereka, sudah pasti momen itu menjadi santapan yang tepat.
"Lara, kamu nggak kesepian. Jangan takut," Ares melanjutkan. Spontan, Dilara menoleh lagi ke arahnya. "Lihat ini?" Ia memamerkan jemari tangan kanannya. "Ada lima jari di sini." Lantas mendekatkan dua jari satu sama lain hanya meninggalkan kelingking. "Dan dia kesepian." Matanya tertuju pada tangan Dilara. Ia menunjuk empat jari yang dianggapnya telah berpasangan, memisahkan kelingking Dilara dengan jemari lainnya sebelum mendekatkan kelingkingnya sendiri. "Sekarang dia nggak kesepian. Begitulah kehidupan berjalan. Manusia kadang merasa kesepian di antara keramaian. Tapi mereka lupa kalau Tuhan selalu menghadirkan orang lain untuk mengisi kekosongan. Jangan pernah merasa kesepian. Ada Erlangga. Ada Binar." Ia tersenyum manis madu. "Dan aku."
Sudut-sudut bibir Dilara tertarik membentuk senyum simpul. Ucapan Ares terekam dan terputar dalam kepalanya yang sempat kosong.
"Terima kasih," ujarnya tulus. "Kenapa kamu baik sama aku? Aku yakin 'karena kamu adalah adik iparku' bukanlah sebuah jawaban final."
Ares tergugu. Meski tatapannya tetap dilesatkan pada mata Dilara. Ia menghela napas pendek, lalu menjawab, "Intuisi."
*
Seperti biasa, Dilara pulang larut malam. Erlangga memalingkan perhatian dari laptop menuju Dilara yang melangkah panjang-panjang—masih dengan ekspresi monoton. Ia menutup laptop dan meletakkannya ke atas meja, lalu turun dari sofa. Bunyi pintu ditutup kasar terdengar sampai di lantai bawah. Tatapan matanya masih diarahkan menuju ke lantai atas.
Erlangga melangkah menghampiri dapur, melihat seorang pembantunya menghangatkan makan malam yang biasanya akan ia antar ke kamar Dilara. Ia meraih gelas dan membuka bufet lemari, mengambil sebuah setoples yang terisi oleh bubuk putih. Dituangnya bubuk tersebut ke dalam gelas bersama gula, diseduh air hangat, lalu diaduk.
"Sssttt." Ia melambai memanggil salah satu pembantunya yang dengan sigap berjalan menghampiri. "Kasih ke Dilara."
"Baik, Den."
"Yang sebelum-sebelumnya diminum, kan?"
"Diminum, Den."
"Tapi Bibik nggak bilang saya yang bikin, kan?"
"Enggak, Den. Saya bilang ke Non Dilara kalau saya yang bikin."
Erlangga mengibas tangan meminta pembantunya pergi. Ia kembali ke ruang tengah untuk melanjutkan pekerjaannya.
Melompat lagi ke atas sofa dan berselonjoran, Erlangga memosisikan laptop di pangkuan. Jemarinya ketak-ketik pada keyboard dan menggeser kursor. Saat ia meraih cangkirnya, dirasakan sesuatu yang lembut menggesek tangannya. Sontak saja Erlangga terpekik kaget melihat seekor kucing di atas mejanya.
"Ngapain kamu di sana?" bentaknya. Kucing yang tak lain adalah peliharaan Dilara itu pun hanya duduk menatapnya lurus. "Hussh!" Erlangga mengibas-ngibaskan tangan seraya menutup hidung.
Sejak Widya meninggal, kucing bertelinga pendek itu ikut menjadi penghuni rumahnya. Tiap kali bertemu, ia pasti bersin-bersin. Sebelumnya, Erlangga ingin memprotes keputusan Dilara dan ingin membawa kucing tersebut ke apartemen Binar, namun melihat tatapan horor Dilara yang siap menusukkan kuku-kuku runcingnya, dengan terpaksa ikut ditampungnya kucing sialan yang membuat alerginya kambuh.
"Husshhh! Gua lempar nih!"
Kucing itu masih memandanginya sambil menggoyang-goyangkan ekor. Sebelum ia dilempar bantal sofa, ia melompat turun, berlari dengan kaki mungilnya keluar dari ruang tengah membuat Erlangga bisa menghela napas lega. Erlangga menggosok hidungnya yang mulai gatal.
Pintu kamar Dilara diketuk. Dengan lesu. Dilara memerintahkan si pengetuk untuk membuka pintunya. Detik saat pintu kamar dibuka, kucing yang tadinya berada di ruang tengah Erlangga berlari gesit menghampiri Dilara. Lalu melompat ke atas pangkuan Dilara saat wanita itu sedang duduk mengamati guyuran hujan dari balik jendela malam itu.
"Hey... kenapa masih di sini?" Dilara menggosok bulu kucingnya.
"Non, makan malamnya," wanita paruh baya yang membawa baki berisi menu makan malam Dilara berujar santun. Ia meletakkan baki tersebut di atas nakas. "Susunya juga diminum ya. Sudah saya campur vitamin biar Non nggak sakit."
"Terima kasih." Dilara tersenyum.
"Kucingnya saya masukin kandang?"
"Jangan, biar dia tidur menemani saya di sini."
Si pembantu membungkukkan badan undur diri. Ditinggalnya Dilara yang menggendong kucingnya untuk ikut menikmati suara hujan dan petir yang berpadu di malam gelap.
"Sekarang tinggal kita berdua," bisiknya. "Tapi nggak apa. Kita masih saling memiliki, kan?"
Pertanyaan Dilara dijawab dengan ngeongan pelan. Sudut bibirnya terangkat sekilas.
*
Jarum pendek jam dinding sudah menunjuk angka delapan. Padahal Dilara berniat datang lebih pagi—seperti hari-hari sebelumnya. Sialnya, matahari tampaknya tak bersekutu dengannya hari ini. Ia menuruni anak tangga sambil mengenakan stilettonya. Hampir-hampir ia terpeleset seandainya tangannya tidak mencengkeram birai tangga sangat kuat. Ia mengelus dada dan mengumpat.
"Buru-buru amat," dari atas tangga, Erlangga menyapa, membuat Dilara menengadahkan kepala.
"Bukan urusan kamu, kan?"
"Nanya doang, kali." Langkah kakinya menuruni barisan anak tangga menghampiri Dilara yang merapikan rambut serta scraft tipisnya. "Aku mau ngajak kamu makan malam nanti."
Sudut bibir Dilara terangkat skeptis. "Excuse me?" Ia berbalik badan berhadapan dengan lawan bicaranya.
"Jangan geer dulu. Makan malam bareng klien. Mereka pengen kenalan sama kamu." Bola mata Erlangga terputar ke atas. "Luangkan waktu buat berinteraksi sama orang lain. Jangan kayak nggak punya kehidupan."
"Nggak punya kehidupan?" Dilara bertolak pinggang dengan bibir mengerucut ke samping.
"Ya... namanya apa dong kalau nggak punya kehidupan? Tahu kenapa kamu selalu ngerasa kesepian? Karena kamu selalu menyibukkan diri memikirkan kesendirian dan menjauh dari kehidupan berpolis. Enjoy your life, baby."
Mata Dilara membidik tajam. "Aku nggak pernah ngerasa kesepian." Ia mendesah pendek. "Oke. Nanti malam aku temani kamu makan malam." Dan ia melengos pergi hingga membuat rambutnya terkibas dan bergoyangan di punggungnya. Meninggalkan Erlangga yang mengyeringai memandangnya.
*
Menyanggupi permintaan—atau menurut Dilara adalah tantangan—Erlangga, pada akhirnya Dilara membuang waktu berharganya dengan menghadiri pertemuan bersama klien Erlangga di sebuah restoran. Berjalan menggamit lengan lelaki di sampingnya dengan langkah anggun dan percaya diri. Melihat salah seorang pria berjas melambaikan tangan, kening Dilara berkerut disertai sebelah alis terangkat. Keduanya duduk di kursi yang telah disediakan, disambut dengan senyum sumringah yang memenuhi wajah-wajah pebisnis itu.
"Nona Dilara, akhirnya bisa bertemu langsung," salah satu pria berambut cepak terkekeh-kekeh.
Satu per satu dari mereka memperkenalkan diri pada Dilara yang disambut dengan senyum miring kepalsuan. Dilara perlu menamengi dirinya selama beberapa jam agar betah mendengarkan obrolan di meja makan tersebut. Berkali-kali ia menelan air putih di gelasnya, setiap mendengar celotehan pebisnis-pebisnis tersebut yang diikuti tawa menggelegak. Obrolan seputar bisnis properti yang membosankan berjalan sudah satu jam. Dilara mendengar dengan saksama. Wajahnya terlihat bosan. Yang didengarnya sejak tadi hanyalah soal jual-beli rumah di perumahan yang sepi. Bahkan obrolan berubah menjurus ke ranah pribadi. Seperti:
"Ah, istri saya pasti marah kalau tahu saya beli rumah baru."
Atau:
"Istri saya suka kepoin saya kalau sudah berada di luar rumah."
Atau juga:
"Kalau punya rumah sendiri yang jauh dari rumah istri kayaknya enak. Bisa santai di tengah rasa suntuk. Kalau di rumah suka diomelin."
Tiba-tiba di tengah obrolan, Dilara menyahut,
"Beli rumah baru buat wanita simpanan juga ya?"
Spontan, orang-orang di meja tersebut melongo. Sedangkan Erlangga menatapnya dengan mata mendelik memberi peringatan.
"Nona Dilara ini punya selera humor tinggi rupanya," salah seorang dari mereka tertawa diikuti yang lain. Dilara tersenyum miring. Dihapusnya senyum tersebut dengan sekali tegukan minuman.
"Tapi kalau Nona Dilara mau mampir, dipersilakan kok. Pintunya terbuka lebar buat bidadari secantik Nona," yang lain menyahut. Tawa mereka meledak lagi.
Sepasang alis Erlangga bertautan tak senang. "Maaf, kalau ngomong sama istri saya yang sopan."
"Ah, bercanda kok. Kan tadi Nona Dilara juga bercanda." Lagi-lagi mereka terbahak.
Erlangga hendak berdiri, namun tangannya yang tersimpan di bawah meja dicekal oleh Dilara. Lirikan mata Dilara mengantarkan ucapan tersirat padanya, memintanya duduk tenang.
"Boleh juga. Kapan-kapan saya akan mampir," Dilara tersenyum manis madu. "Bersama anak dan istri Bapak. Kalau bisa waktu Bapak lagi selingkuh di rumah baru itu." Ia mengangkat gelas lain berisi wine tanpa menghapus jejak senyum miringnya. Lantas mereguknya, masih dengan tatapan yang disapukan pada wajah-wajah gelagapan pria-pria di meja itu.
Mereka tak lagi berbicara dan memilih untuk menikmati hidangan penutup.
*
Di dalam mobil, terjadi kebisuan panjang. Hanya suara musik di radio yang menjadi penyemarak keheningan. Dilara menjatuhkan perhatian menuju keluar jendela.
"Rumah eyang kamu gimana?" mendadak kebekuan dan keheningan sirna dengan sekali pertanyaan yang dilempar Erlangga. "Mau ditempati siapa?"
"Nggak tahu," jawab Dilara singkat, terus terpekur pada rumah-rumah yang telah padam lampunya. "Punya ide bagus?"
"Hmmm... mungkin dibuat panti asuhan. Atau buat homeless people."
Dilara termangu sejenak. Kepalanya diputar menghadap pada lawan bicaranya. Ia memang sempat berpikir untuk mengalihfungsikan rumah Widya menjadi panti asuhan. "Boleh juga. Aku akan minta Kartika dan Pak Sutoro mengurus semuanya."
Obrolan mati lagi. Mobil memasuki kawasan sepi yang hanya dilalui beberapa kendaraan. Mobil yang mereka tumpangi mendadak berjalan tersendat-sendat dan berhenti. Ia memutuskan untuk turun sekadar menengok apa yang terjadi pada mobilnya. Ia membungkuk meneliti bannya yang kempes. Ditepuknya kap mobil secara kasar. Kembali ke dalam, Dilara menaikkan satu alis sebagai pertanyaan.
"Bannya kempes. Kena paku kayaknya."
"What?" Dilara mendesah kesal. "Telepon sopir kamu deh."
Mengikuti anjuran Dilara, Erlangga menghubungi Pak Soleh. Dering ke tiga panggilannya baru dijawab. Ia menjelaskan perihal mobilnya yang tidak bisa berjalan. Akan tetapi jawaban Pak Soleh malah menambah rasa frustrasinya.
"Mobilnya masih di bengkel, Tuan."
Gagal meminta bantuan Pak Soleh, giliran Erlangga yang menyuruh Dilara menghubungi sopirnya. Wanita itu merogoh ponsel ke dalam tas dan mencari nomor Pak Sutoro. Sekian detik menunggu, tak ada respon sama sekali. Ia mencoba berkali-kali. Tetap belum ada jawaban sampai tersambung dengan mailbox.
"Udah tidur mungkin," tukasnya putus asa. "Aku telepon mobil derek aja." Ia menghubungi mobil derek. Helaan napas leganya membawa pertanda baik. Mulailah ia berbicara dengan seseorang di seberang telepon yang memintanya membawakan mobil derek untuk membawa mobil mereka pulang. Begitu percakapan terputus, Dilara tersenyum miring. "Beres, kan?"
"Ya udah. Tunggu mobil derek aja di sini."
Mereka berdiaman satu sama lain selama menunggu mobil derek menjemput. Dilara mengubah saluran radio untuk mendapatkan lagu yang diinginkannya. Setelah berkali-kali memindah saluran, akhirnya ia menemukan satu lagu yang disukainya.
Musik mengalun pelan di antara keheningan. Dilara menopang kepala dengan siku bertumpu pada armrest, sedangkan Erlangga mengetukkan jari-jemari pada roda kemudi.
"Tadi kamu membelaku di meja makan. Kenapa?" Akhirnya, Dilara membuka suara lebih dulu. Ia jengah harus berdiaman yang malah membuatnya jadi tak nyaman.
"Ya masa aku harus ngebiarin kamu direndahkan begitu, sih."
"Wow. I'm so impressed." Sebelah alisnya terangkat. "Aku kira kamu misoginis."
Praktis saja Erlangga mengalihkan pandangan ke arahnya. Ia tertawa. "Kamu tuh emang hobi banget ya nyimpulin sesuatu."
"Kamu juga," nada Dilara naik dua oktaf. "Kamu selalu menuduhku kesepian atau apalah."
"Lah, kalau itu kan fakta. Nggak usah mungkir deh."
"Yang aku omongin juga fakta!" Dilara memelototkan mata kesal. "Kamu nggak pernah punya rasa simpati sama perempuan, seakan-akan kamu tuh benci banget sama perempuan. Apa itu namanya kalau nggak misoginis? Jadi boleh dong aku menyimpulkan kalau kamu gay?"
Lagi-lagi Erlangga menampilkan ekspresi serupa, seperti saat Dilara mengucapkan kalimat yang sama waktu itu. "Kamu kalau menilai suka subjektif. Atau jangan-jangan kemakan omongan media nih. Masa desainer lulusan Esmod berpikiran sempit kayak gini?"
Dilara tertawa pendek. "Bukan berpikiran sempit. Ini namanya menganalisis. Sikap kamu tuh yang bikin aku yakin kalau kamu nggak pernah tertarik sama perempuan. Atau jangan-jangan sepanjang hidup, kamu nggak pernah ya jatuh cinta sama perempuan? Atau bahkan nggak pernah punya pacar?"
"Kalau pertanyaan dan pernyataan kamu aku balikin ke kamu lagi, apa jawaban kamu, heh?"
Dahi Dilara mengernyit tak senang. "Karena aku berkomitmen untuk fokus sama karir."
Giliran Erlangga yang tertawa. "Dilara Lituhayu Soedirman. Sadar nggak sih kalau kita ini sama aja? Kalau kamu nyebut aku seorang misoginis, kamu akan aku sebut misandri."
Mata Dilara memelotot. "Aku bukan misandri!"
"Terus apa? Feminis? Seorang feminis akan berpikir dua kali terjun ke dunia fashion."
Bibir Dilara mengerucut ke depan. Ia mengepalkan tangan kesal. "Fashion itu seni bagi perempuan."
"Seni atau alat dagang kecantikan?" Sebelah alis Erlangga terangkat mencemooh.
Ia diam barang beberapa menit sekadar meredakan rasa kesal sekaligus mencerna semua ucapan yang diterima telinganya. Selang beberapa menit, baru ia menghembuskan napas panjang. Berdebat dengan Erlangga tak akan menemukan muara yang sama. Ia memutuskan untuk diam mendengarkan musik. Mereka berdiam diri sampai mobil derek datang.
*****
Lara berlari sepanjang Rue de la Rochefoucauld menuju Rue des Martyrs dengan memutari kampusnya, mengambil jalan yang lebih panjang melewati Rue d'Aumale dan Rue de Châteaudun agar memakan waktu lama daripada jika ia mengambil jalan terdekat. Ia tak akan berhenti sebelum sampai di tempat tujuan. Dengan wajah ditutupi tudung jaket, ia mengintip keramaian pengunjung KB Cafeshop yang masih sepi lantaran baru menunjuk jam sembilan pagi.
"Bonjour."
Melepas tudung, gadis itu memesan secangkir coklat panas dan duduk di depan kafe, memandangi lalu-lalang orang yang beraktivitas di pagi hari. Diamatinya jam pada pergelangan tangannya. Ia masih memiliki banyak waktu sebelum bertemu dengan desainer yang bersedia menampungnya untuk magang di rumah mode berlabel Sophie Vionette.
Hampir dua tahun ia tinggal di kota Paris, hidup mandiri tanpa dibayangi wajah jahat teman-teman sekolahnya. Apalagi Arka dan Lian, dua pecundang dan pengkhianat yang licik. Dua tahun itu pula ia menghabiskan waktu dengan belajar, mendesain, lari pagi setiap hari, dan mengganti menu makannya dengan menu vegetarian. Hampir dua tahun itu pula ia rajin menengok timbangan yang membuatnya makin sumringah, lebih senang jalan kaki daripada naik kendaraan umum, mengubah selera fashion, gaya rambut, bahkan mulai menjamah make up set. Esmod mengubahnya. Tak hanya melalui lingkungan belajar, secara tak sadar ia terdoktrin ucapan teman asingnya di dunia maya. Ucapan yang memberinya pecutan untuk membalas orang-orang yang telah berbuat jahat padanya. Akan tetapi, ia tak lagi menemukan kawan virtualnya sejak media sosial berbasis chatroom yang menjembatani pertemuan mereka di dunia maya telah ditutup karena bangkrut dan kalah oleh media sosial baru. Akunnya hilang. Akun temannya juga hilang. Dan sampai detik itu, ia masih teringat percakapan terakhir mereka.
prada: terima kasih
darthvader: untuk?
prada: ngasih aku semangat. seandainya kita bisa ketemu, aku pasti lakuin apapun untuk balas budi
darthvader: aku nggak butuh balas budi hahaha. aku baru baca artikel katanya chatroom ini mau dihapus
prada: kalau beneran dihapus dan kita nggak bisa chatting kayak gini gimana?
darthvader: aku pasti menemukan kamu!
Namun ia tak dapat meyakini ucapan kawannya. Ah! Mereka kan hanya berteman di dunia maya. Cepat atau lambat, perpisahan akan terjadi. Jangankan berteman di dunia maya, berteman di dunia nyata pun bisa berpisah.
Setelah menghabiskan paginya dengan mengunjungi Monsieur Rognion yang selalu membuatkan coklat panas untuknya, Lara kembali ke apartemen, berjalan kaki menikmati udara musim semi yang hangat. Tak butuh waktu lama baginya untuk mandi dan berganti pakaian. Kedua sisi rambutnya diikat ke belakang menggunakan pita, menampakkan dengan jelas rahang dan dagunya yang tirus, serta leher jenjangnya yang dihiasi kalung chocker.
Sophie Vionette telah menunggunya di balik manekin begitu Lara sampai dan meletakkan tasnya. Bersamaan itu pula ia tersadar bahwa pita yang tadi mengikat rambutnya telah lenyap.
"Qu'est ce qui se passe (ada apa)?"
"J'ai perdu mon ruban (aku kehilangan pitaku)."
"Don't be sad. I'll give you the new one." Sophie memamerkan sebuah pita dari salah satu bahan yang akan digunakannya dalam membuat sebuah gaun pada Lara.
Gadis itu tersenyum lebar. Ia mulai membantu Sophie memasang payet setelah mengikat lagi rambutnya dengan pita baru pemberian Sophie.
Di luar dipisahkan oleh jendela kaca besar butik Sophie, seseorang mengamati Lara dari kejauhan. Di tangannya telah terdapat sebuah pita merah, tergenggam bersama dengan kamera yang membidik dari balik mata tajamnya.
*****
Kalimat bahasa Inggris yang diucapin Erlangga ke Kana itu dari petikan lirik lagu With Love by Christima Grimmie, lagu favoritku :( #RIPGrimmie
Maapkan akoeh gaes. Kemaren ketiduran jadi baru lanjut hahahahaha. Dan lagi terserang flu (untuk ke sekian kali!). Kebanyakan begadang nih wkwkwk
Kayaknya dua kubu sama-sama kuat nih. Coba komentar deh.
Kalau kalian tim Dilara dan Erlangga komen di sini.
Kalau tim Dilara dan Ares komen di sini.
Eak eak eak.
{bZ
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro