Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Perempuan dan Stiletto Merah

Anda adalah pengusaha di bidang mode yang terbilang sangat sukses, sehingga banyak sekali artikel tentang kesuksesan Anda di berbagai majalah. Tapi, tidak satu pun majalah yang membahas soal hubungan asmara Anda. Boleh diceritakan sedikit tentang hubungan asmara Anda?

Hubungan? Hahahaha. Kamu tahu saya tidak pernah menggandeng laki-laki manapun.

Anda sudah berusia duapuluh enam tahun. Bukankah itu adalah usia yang cukup matang untuk menikah?

Well, saya masih nyaman dengan kesendirian saya saat ini. Kamu tahu, punya pasangan bisa sangat merepotkan. Saya termasuk wanita bebas yang tidak suka dikekang, apalagi oleh pasangan. Lagipula, saya tidak punya waktu untuk berkencan.

Pria seperti apa yang sebetulnya Anda cari sampai membuat Anda sangat selektif?

Saya tidak tertarik pada lelaki manapun sejauh ini, jadi, saya tidak punya kriteria khusus.

Apakah Anda seorang lesbian?

Hahahahaha! Tentu saja tidak. Seingat dan setahu saya, orientasi seksual saya tidak pernah menyimpang. Saya hanya sedang tidak tertarik menjalani hubungan. Dan tidak tertarik untuk jatuh cinta.

Apakah Anda benar-benar tidak tertarik untuk menikah?

Well, sampai sekarang tidak. Saya sudah lama memutuskan tidak membuka hati.

Mengapa?

Alasannya cukup sederhana. Saya tidak ingin jatuh untuk ke sekian kalinya.

-oOo-

Memutar bola mata ke atas adalah respon yang kerap Dilara berikan tiap membaca salah satu halaman majalah yang memuat wawancaranya dengan seorang wartawan majalah fashion. Majalah di tangannya ia hempas di atas meja, di sebelah buku sket, seperti onggokan sampah. Bayangkan saja, ia harus meladeni pertanyaan menjengkelkan mereka setiap saat yang terus diulang! Sepertinya pertanyaan itu akan berhenti diajukan padanya kalau tiba-tiba ia menggandeng seorang lelaki di acara-acara besar. Yang lebih mengesalkan, mereka selalu menggunakan judul sama yang sangat mencolok, seperti:

DILARA NIRANJANA, DESAINER CANTIK YANG MASIH SINGLE

Dilara tak pernah peduli tanggapan publik mengenai kehidupan pribadinya, terutama perihal hubungan asmaranya. Namun ia selalu memikirkan tanggapan Widya, eyangnya yang lebih banyak berbaring di kamar dengan penanganan intensif dokter dan perawat pribadi. Pikirannya seakan ikut teraduk bersama greentea pesanannya yang telah dingin. Cangkir tersebut ia angkat hendak diseruput sampai suara dering ponsel menghentikan gerakannya. Nama Kartika, asisten pribadi eyangnya, muncul pada layar smartphonenya.

"Ya, Tik?"

"Mbak, Bu Widya drop lagi. Dia manggil nama Mbak berkali-kali."

"Saya ke sana."

Segera, Dilara memasukkan ponsel ke dalam handbag merah marunnya. Kaki jenjangnya yang dihiasi stiletto senada melenggang anggun melewati kursi-kursi pengunjung kafe lain, menyita perhatian pria-pria mata keranjang yang menyoroti lekuk tubuhnya di balik gaun ketat sebatas di bawah lutut, mengabaikan kekasih yang mengajak mereka berbicara.

Matahari telah merangkak turun dari punggung langit, bersembunyi di balik awan, menyentuhnya dengan warna oranye pucat. Sepanjang perjalanan, Dilara mencoba menghubungi Kartika, namun hanya disambut dengan voicemail yang semakin membuatnya kalut. Laju mobilnya bertambah. Jarum pada speedometer melewati angka demi angka. Ia tak bisa dibuat sabar jika sudah menyangkut satu-satunya orang yang disayangi dan dimilikinya.

Begitu mobilnya berhenti di depan dan langsung diambil salah seorang abdinya untuk dipindahkan ke garasi, Dilara berlarian kecil, menaiki tangga melingkar ke atas dan menyusuri lorong menuju kamar Widya. Dilihatnya perempuan tua tersebut terbaring lengkap dengan selang infus dan kanula di hidungnya.

"Lara? Itu kamu?" Widya berbisik serak.

Kartika menyingkir mempersilakan Dilara duduk di samping eyangnya yang membuka mata setengah menyipit. Tangan berkeriput dan pucat Widya ia remas lembut dan dikecup-kecup. Ekor matanya diarahkan menuju Kartika.

"Kenapa panggilanku nggak kamu jawab, Tik?"

"Maaf, Mbak. Hape saya drop."

"Itu bukan jawaban memuaskan. Lain kali, bawa charger. Sekarang kan banyak power bank, beli satu dan pakai."

"Maaf, Mbak..." Kartika menunduk.

"Sudah, Lara. Tidak perlu diperdebatkan," Widya menengahi. Meski Dilara tak ingin mengakhiri perdebatan sepele tersebut, ia mengatupkan bibirnya. Tangannya melambai meminta Kartika meninggalkan mereka berdua dalam kamar itu untuk berbicara secara intens.

"Eyang pasti banyak pikiran. Dokter kan sudah bilang, eyang nggak boleh mikirin apa-apa."

"Eyang cuma mau kamu bahagia. Sebelum eyang meninggal, eyang mau ada yang menemani dan menjaga kamu, Lara."

"Kan banyak yang menjaga Lara. Ada Pak Sutoro, Pak Andi, dan pekerja lainnya."

Widya menepuk punggung tangan Dilara. Senyum samar tampak di bibir pucatnya. "Cari yang bisa mendampingimu seumur hidup."

"Eyang jangan pikirkan itu lagi, ya. Eyang pikirkan kesehatan eyang, biar kita bisa jalan-jalan lagi."

"Lara, yang eyang mau cuma melihat kamu punya pendamping hidup. Setelah itu eyang pasti bisa pergi dengan tenang."

"Eyang jangan bicara seperti itu."

"Menikahlah, Lara."

Terjadi kesenyapan. Menikahi siapa? Jangankan punya calon, Dilara bahkan tak pernah terlibat hubungan intens dengan pria manapun, kecuali bila hal tersebut menyangkut pekerjaan. Semua pria yang ditemuinya pun rata-rata sama. Lelaki brengsek yang akan tertarik pada wanita dari penampilannya. Itupun kalau mereka straight.

Dilara tak tahu harus menjawab seperti apa. Itu bukan kali pertamanya Widya meminta cucu satu-satunya segera menambatkan hati pada lelaki yang kelak menjadi pendamping hidupnya. Dilara sudah sering mendengar pertanyaan skeptis orang-orang yang mempertanyakan hubungan percintaannya, sehingga ia menanggapinya sambil lalu. Namun akan berbeda perasaan dan responnya bila yang menanyakan itu adalah eyang yang sudah mengasuhnya bertahun-tahun sejak orangtuanya meninggal. Dilara mau-mau saja memperkenalkan seorang pria baik pada eyangnya sebagai calon pendampingnya. Tentu, jika situasinya tidak seperti sekarang.

Seandainya ia hidup sebatang kara, ia pasti tidak terlalu memikirkan hal macam ini.

"Iya, Eyang. Istirahat saja ya. Mau Lara temani?"

"Kamu pasti punya banyak pekerjaan. Eyang baik-baik saja."

Memang, sebetulnya Dilara harus menyelesaikan beberapa rancangan pakaian, tas, dan sepatu koleksi terbaru brandnya untuk dipamerkan pekan depan. Selain itu, ia berniat mengadakan meeting dengan seorang vendor, membahas rencana fashion show untuk memperkenalkan produk-produk baru perusahaannya. Namun bila keadaan Widya seperti itu, Dilara tidak berkenan meninggalkan rumah tersebut dan memilih menemani Widya.

*

Stiletto merah Dilara menapaki jalan beraspal disambut tangan seseorang yang membantunya turun. Wanita itu melepas kacamatanya, lalu menyematkannya pada belahan dada. Rambut panjang menggelombang terhentak pelan di belakang punggung mengikuti irama langkah kakinya. Beberapa karyawan yang melihatnya memasuki kantor segera merapikan meja, menyingkir di tembok, dan menyambutnya dengan senyum ramah dibuat-buat. Begitu punggung Dilara ditelan pintu ruang kerjanya, mereka mendesah lega dan melanjutkan kegiatan menggosip lagi. Yang pasti, topik gosip tak lepas dari bos mereka.

"Pagi, Mbak Di," Lani, asisten Dilara, menyapa seperti biasa meski ia tahu wanita itu tidak akan menyapanya balik. Melihat Dilara sudah memosisikan dirinya di kursi dan mulai memilah barang-barang yang ada di mejanya, Lani menghela napas pendek. "Oh ya, Mbak. Tadi orang EO telepon, katanya kemarin udah ditunggu di tempat biasa tapi Mbak Di nggak datang."

"Sssshhh." Dilara mengayunkan tangannya. Barang yang dicarinya tak dapat ia temukan di meja maupun lokernya. "Atur jadwal dan hubungi dia lagi. Bilang kalau kemarin Bu Widya drop."

Mengangguk patuh, Lani mengerjakan tugasnya mengatur waktu pertemuan. Sementara di tempat duduknya, Dilara mendesis kesal, sadar bahwa buku sket yang ia cari tertinggal di kafe saking paniknya.

"Lan, minta seseorang mengambilkan buku sketku di Oost Koffie & Thee."

"Oke, Mbak." Hendak beranjak dari tempat duduknya, suara dering telepon terdengar lagi. "Oh, oke, suruh masuk langsung. Mbak Di udah di sini." Ia memandang Dilara yang menekan kepalanya frustrasi. "Mbak, Binar mau ketemu."

Mendengar nama itu, Dilara mengerang perlahan. Tangannya mengibas di udara memerintahkan Lani keluar untuk mencari seseorang yang bersedia mengunjungi Oost Koffie & Thee demi mendapatkan buku sketnya lagi sekaligus memerintahkan Binar masuk ke ruangannya. Tak berselang lama, gadis bertubuh mungil dengan kulit putih susu muncul tergesa-gesa membawa map berisi kliping mode. Map tersebut jatuh, menghamburkan kertas-kertas yang dipenuhi coretan warna-warni di atas lantai. Segera, Binar memungut kliping-klipingnya dan membawanya ke meja Dilara. Mata Dilara terpicing mengawasi tingkah Binar. Bibirnya yang bergincu merah mengerucut ke samping. Sampai sekarang ia heran, mengapa masih mempertahankan gadis itu bekerja di tempatnya.

"Maaf atas keterlambatannya." Binar menyodorkan mapnya harap-harap cemas. Meski demikian, ia telah mengumpulkan keberanian demi menghadapi Dilara. "Saya bekerja semalaman demi ini. Ada beberapa model busana yang sudah saya sesuaikan dengan permintaan Mbak Di."

Memakai kacamata beningnya, Dilara membuka-buka kliping mode Binar. Kernyitan di dahi wanita itu jelas bukan pertanda baik bagi Binar. Gadis berkuncir kuda itu sudah siap menerima caci maki Dilara, yang memang menjadi makanan sehari-harinya selama bekerja menjadi desainer khusus pakaian di tempat itu.

Kacamata bening Dilara dilepas dan diletakkan di sebelah kliping Binar dengan gerakan hati-hati. Kepalanya tengadah, siap melesatkan pisau dari lidah tajamnya.

"Kamu tahu saya sudah membangun Stilettale dengan perjuangan yang tidak mudah, yang berawal dari impian seorang gadis gemuk buruk rupa yang berharap bisa mengenakan stiletto cantik setiap hari?" nadanya lurus, tajam, menusuk tepat di jantung Binar. "Sampah seperti ini hanya akan menghancurkan Stilettale. Menghancurkan impian perempuan-perempuan yang ingin terlihat cantik di luar sana."

Binar menggigit bibir bawahnya. Kuatkan hati menghadapi mak lampir, dalam hati gadis itu mendesis jengkel.

"Kamu sudah sering mengecewakan saya, Binar." Dilara mengumpulkan kliping-kliping mode tersebut dan menyurukkannya kasar ke dalam map kuning bening. Ia menyerahkan kembali map Binar, masih dengan pandangan horor. "Kamu masih mau bekerja di sini?"

Tanpa bersuara, Binar mengangguk.

"Saya menerima kamu bekerja di sini karena aku melihat potensi kamu yang besar. Dan," ia mengambil napas sebentar, "kegigihanmu mengingatkan saya pada seseorang."

"Pada gadis yang menginspirasi Mbak Di membangun rumah mode ini?"

Dilara tertawa sarkastis dan pendek. "Saya beri kamu kesempatan sekali lagi. Kalau besok kamu masih nggak bisa diandalkan-" Ia memberikan gestur menebas leher. "Sekarang, keluar dan jangan tampakkan sampahmu di depan muka saya lagi."

Sebelum Dilara membuat perutnya semakin bergejolak, Binar memutar badan, melimbai pergi dengan raut muka ditekuk masam dan bibir bawah yang digigit sangat dalam. Pintu ruangan Dilara ditutup cukup pelan, kendati Binar ingin sekali menghentakkan pintu tersebut keras-keras demi melampiaskan rasa kesalnya. Bersamaan menghilangnya Binar, Lani muncul lagi dan duduk di tempatnya melanjutkan pekerjaan.

Telepon berdering satu kali. Lani mengangkatnya sigap.

"Baik, saya akan menyampaikannya." Gadis itu menoleh pada Dilara yang memeriksa kliping dari desainer lain yang sudah ia setujui dan siap dibawa ke meja produksi. "Mbak Di, ada developer yang minta dijadwalkan pertemuannya."

Dilara menggerung jengah. Tidak direspon berkali-kali, developer yang memaksanya mengikhlaskan tanah milik keluarganya untuk dibangun sebuah perumahan malah menghubungi nomor kantornya. Rupanya mereka tidak ingin kalah dan terus mengusahakan pembelian tanah Dilara yang sejatinya tak akan pernah ia serahkan.

"Abaikan saja."

"Tapi-"

"Jangan campuri urusan pribadi saya." Ia menutup map di atas mejanya dan melangkah tak acuh melewati meja Lani, keluar dari kantornya.

*

Mengamati gemerlap suasana malam kota metropolitan yang terlihat menyemut dari rooftop garden rumahnya, Erlangga menyeruput kopi yang sudah tak lagi panas seraya memerhatikan layar laptopnya yang menampakkan chart berwarna. Seorang pria paruh baya lebih tua beberapa tahun darinya memberikan tabik dan membuka percakapan,

"Pemilik tanah masih tidak mau menyerahkan tanahnya."

"Sudah dijadwalkan pertemuannya? Biar aku yang membujuk langsung."

"Dia menolak bertemu dengan kita."

Erlangga mendengus. Tangannya melambai samar, memberikan gestur berpikir. "Ngg... siapa namanya?"

"Dilara Niranjana."

Seperti mendengar kutukan mematikan, Erlangga mengalihkan perhatiannya dari laptop menuju lelaki tersebut. "Dilara... Dilara... hmm..."

"Pengusaha mode yang terkenal dengan brand Stilettale-nya."

Bukan itu yang membuat Erlangga menyatukan alisnya. "Bukannya tanah itu atas nama Prawiryo Soedirman?"

"Dilara adalah anak Prawiryo Soedirman. Orang kami sudah mencari data diri pemegang hak tanah tersebut. Memberi uang tentu saja tidak mungkin. Dilara sangat berkecukupan, bahkan terdaftar sebagai orang terkaya di Indonesia."

Cukup mendengar penuturan pria tersebut, Erlangga mengibaskan tangan memerintahkannya pergi. Lelaki itu mengangguk dan berlalu meninggalkannya seorang diri di taman serba hijau yang didesain khusus berada di rooftop rumahnya. Jemarinya terketuk di atas meja, memikirkan cara membujuk wanita yang terkenal sangat angkuh itu agar menyerahkan tanahnya demi melaksanakan proyek pembangunan perumahan yang telah diimpikannya cukup lama.

Di sela-sela pikirannya yang penuh, terdengar bunyi langkah terseok-seok malas dan kesal, diikuti eksistensi seorang gadis yang langsung mengambil tempat duduk di depan Erlangga.

"How's your day?" Erlangga berbasa-basi menyambut kedatangan adik perempuannya.

"Bad. Kayak biasa, bosku yang kayak mak lampir, seenaknya aja bilang desainku sampah. Dikira ngedesain baju itu nggak susah? Kalau dia ngerasa bisa ngedesain baju yang super bagus, ngapain ngambil desainer yang lain??" Ia bersungut-sungut kesal.

Menanggapi curhatan Binar, Erlangga tertawa pendek. Ada selenting pikiran terselubung dalam ruang kepalanya.

"Bosmu, Dilara Niranjana, kan?"

"Iya, lah."

Lagi, Erlangga tersenyum samar, membuat Binar menyatukan alisnya curiga. Gadis itu meraih teko berisi air putih dan menuangkan isinya ke dalam gelas bening. Yang pasti, Binar tahu bahwa senyum samar yang diberikan kakak laki-lakinya adalah nama lain dari 'rencana licik terselubung'.

*

Woah wah. Aku nulis chicklit. Ini pertama kalinya loh. Aku ga bisa bikin chick literature. Lah wong aku ini setengah cowok. Wakakakakakakakak. Anggap saja yang nulis ini bukan Lovita (lagi) ya. Kenapa aku pakai nama Senja Kejora sebagai nama pena tulisan ini? Kalau kalian baca Kunang-Kunang dalam Stoples Kaca, pasti tahu tokoh Senja Kejora, penulis yang kabur ke Prancis demi ide barunya. Yep. Anggaplah ini tulisan si tokoh Senja Kejora.

Oke, aku akan bikin target. kalau votesnya nyampai 50 dan viewsnya nyampai 1K, akan kulanjut cerita ini mwahahahahahahaha. Makanya, share, atau bahkan klik bolak-balik biar nyampai 1K bhahahak.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro