Payung Hitam
Ya... setidaknya Dilara mendapatkan banyak inspirasi sejak kedatangannya di tempat yang tak ia kenali. Sore hari di samping rumah, ia menggambar rancangan baju dengan peralatan sederhana: pena dan buku catatan. Inspirasinya muncul beberapa waktu lalu saat dilihatnya segerombolan bocah tengah bermain sepak bola di lapangan samping rumah Indra. Tak hanya laki-laki, bocah perempuan pun membaur mengikuti jalannya permainan. Ditemani secangkir teh madu hangat yang bergumul dengan udara dingin, ia berhasil menggambar tiga model yang lebih sederhana daripada rancangan-rancangannya yang lain. Diamati anak-anak yang asyik bermain itu. Senyum tipis terkembang di bibirnya.
Betapa sederhananya cara mereka untuk bersenang-senang. Hanya bermodalkan sebuah bola dan lapangan luas. Mereka mampu menciptakan kesenangan tanpa mengeluarkan budget besar. Hal tersebut mengilhami Dilara membuat model baju sederhana—namun tetap terlihat modis—dengan harga yang ditarget sangat murah. Kembali penanya menari-nari di atas kertas, melanjutkan model baju lain, bersamaan dengan terdengarnya suara Erlangga menyapa kerumunan bocah-bocah itu. Mata Dilara sempat berpindah. Ia menyilang tungkai mengubah posisi duduknya.
"Kenapa mainnya nggak ngajak-ngajak nih? Ayo sini. Aku yang jadi wasit." Dan ikutlah pria tersebut dalam kesenangan.
Sejenak, diamatinya mereka. Ia bersendang dagu menumpu siku di atas paha. Sekian detik ia memerhatikan, lantas menggambar di halaman lain dengan model lain pula. Dalam kepalanya yang sudah penuh dengan ide-ide berkelebatan, ia mulai memikirkan koleksi terbaru yang akan segera diperkenalkan pada publik.
Saat ia menyibukkan diri lagi menekuri desain lain, kepalanya terhantam bola cukup keras. Dilara terpekik sampai menjatuhkan pena ke atas lantai. Matanya mendelik jengkel. Bocah-bocah di lapangan serentak menutup mulut menggunakan telapak tangan. Dilara meletakkan buku catatan ke atas meja dan berdiri bertolak pinggang. Ia memungut bola yang tadi mendarat di kepalanya. Ditunjuk bola yang kini berada di tangannya.
"Ulah siapa ini?"
Salah seorang dari mereka yang paling kecil mengangkat tangan takut-takut.
"Sini." Dilara mengibas tangan memanggil bocah laki-laki paling kecil itu.
Bocah tersebut menghampirinya dengan tundukan kepala dan memain-mainkan kausnya. Sampai di depan Dilara, masih enggan dagunya ditarik ke atas. Dilara menepuk puncak kepalanya, membuat si bocah mengintip di balik matanya yang menampakkan rasa takut.
"Maaf, Tante," bisikannya nyaris tak terdengar.
Dilara duduk di depannya. "Lain kali hati-hati ya. Kalau kena orang bahaya. Oke?" Kalimat tersebut meluncur dengan nada yang lembut disertai senyum sekilas. Bola di tangan Dilara diserahkan pada si bocah. Begitu si bocah berbalik dan berlari menghampiri kawan-kawannya lagi, Dilara berdiri. Pandangan matanya sempat bertemu dengan Erlangga. Namun ia cepat-cepat melengos dan berlalu pergi membawa pena serta buku catatannya. Masuk ke dalam rumah.
*
Malam hari itu, tak seperti malam-malam sebelumnya, beberapa orang berkumpul di rumah Indra dan menyemut di ruang tengah yang dihangatkan oleh api unggun. Dilara mengintip sebentar dari balik tembok, mengamati sekumpulan orang yang saling mengobrol ringan membahas panen dan pemasaran buah jeruk dari perkebunan, disertai kelakaran. Tawa mereka menggelegak di tengah udara dingin malam yang membuat Dilara berkali-kali mengusap telapak tangan. Bahunya ditepuk seseorang. Ia berjingkat kaget dan praktis menoleh ke belakang.
"Ngapain kamu berdiri bengong di sini?" Ah... rupanya Erlangga. Ia mengamati keadaan di ruang tengah di mana ayahnya tengah tertawa bersama orang-orang di sekitarnya.
"Cuma—"
"Eh, kalian kenapa di sana? Ayo masuk. Ikut kumpul," suara Indra memutus balasan Dilara. Keduanya sontak mengalihkan pandangan menuju Indra yang melambaikan tangan.
Melihat raut muka Erlangga yang tampak tak sependapat, Dilara tersenyum kecil. Sebelum melimbai pergi, tangan Erlangga dicekalnya. Ia menarik lelaki tersebut ke dalam untuk bergabung bersama keluarganya. Tak sempat mengelak, Erlangga terpaksa mengikuti Dilara masuk ke dalam. Ia duduk di salah satu sofa bersebelahan dengan Dilara yang terus mencekal tangan dan siap mencubit pinggangnya bila berulah.
"Ini loh, menantu saya," Indra memperkenalkan Dilara pada orang-orang di ruang itu. Sudut-sudut bibir Dilara terangkat membentuk senyum ramah.
"Cantik sekali! Anak sampiyan emang pinter cari istri!" Seorang pria yang tampak sebaya dengan Indra terkekeh-kekeh diikuti yang lain.
"Dia artis atau apa, toh? Kok saya kayak pernah lihat di tipi." Ada lagi suara seorang wanita yang ditaksir berusia lima puluhan yang meneliti wajah Dilara dengan saksama.
"Saya desainer," Dilara menanggapi kalem.
"Desainer itu apa, toh? Beda sama artis?" Ibu-ibu lain menyeletuk.
Dilara tersenyum. "Beda, Bu. Saya perancang busana. Ya... yang suka buat gambar-gambar baju sebelum dijual di pasar." Ia mencoba menjelaskan dengan cara sederhana yang barangkali lebih mudah ditangkap oleh mereka.
"Loh... ngapain baju digambar dulu? Digambarnya di kain ya?"
Dilara menggaruk tengkuknya mulai bingung harus menjelaskan seperti apa. Melihat sebuah pena dan kertas di atas meja, ia memungut dan duduk di atas lantai kayu mendekati ibu-ibu yang mengerumun dan melihatnya penasaran. Di atas meja pendek tersebut, Dilara menggambar contoh rancangannya.
"Nah, ini namanya rancangan busana. Jadi sebelum masuk toko-toko pakaian, baju-baju yang dijual harus digambar dulu. Seperti ini."
"Ohh..." Mereka mengangguk-angguk. "Berarti daster kita juga digambar dulu ya sebelum dijual di pasar?"
Tawa Dilara praktis terdengar. Diikuti oleh Indra dan wanita yang duduk di samping kursi rodanya. Mereka sibuk melempar argumen dan guyonan yang masih dalam lingkup dunia desain. Lalu obrolan berganti menjadi topik lain, disahuti oleh yang laki-laki.
"Kalau jeruk sebelum dijual ke pasar ndak perlu digambar dulu," celoteh salah satu dari mereka. "Tinggal petik dan masukin keranjang."
Mereka riuh mengobrolkan pemasaran lagi. Wanita yang mengundang rasa penasaran Dilara—yang selalu menemani Indra dan mendorong kursi rodanya—menerjunkan diri ke dalam obrolan.
Dilara yang sudah duduk di tempatnya, memerhatikan wajah Erlangga yang bosan. Sebelah alisnya terangkat tajam. Ada beberapa hal yang ingin ditanyakan pada lelaki itu. Mungkin setelah ini.
"Anaknya kok ndak bicara, Mas?" seorang wanita menegur Indra. "Emang pendiem, ya?"
"Ya... anak saya emang jarang mau bicara. Dimaklumi saja."
Jarang mau bicara? Dilara tertawa dalam hati. Bukan jarang bicara. Dia kelihatan nggak nyaman, Om. Baru saja ia mengeluarkan pendapatnya di pikiran, Erlangga berpamitan untuk pergi. Dilara hanya memandangi kepergiannya tanpa berniat menyusul. Ia sangat menikmati obrolan hangat di ruangan itu.
*
"Papa kamu orangnya asyik loh. Dia bisa membaur sama pekerjanya. Ramah banget," Dilara mengambil kesempatan berbicara ketika ia masuk ke kamar dan melihat Erlangga tengah bertekur dengan laptopnya di atas sofa, duduk berselonjor.
"Hngg," hanyalah menjadi jawaban darinya. Jemarinya ketak-ketik tanpa berminat membalas pandangan Dilara.
Menyingkirkan poni ke samping dan menahan untuk tak membuang napas kesal, Dilara mengamati kesibukan Erlangga. Di tepi ranjang, ia duduk bersilang tungkai dan melipat tangan di depan dada.
"Kamu tuh harusnya bersyukur masih punya orangtua." Dan batinnya berbisik mengatakan Erlangga lebih beruntung masih dikelilingi banyak orang. Ayahnya, Binar, Ares. Sedangkan dirinya? Lihat betapa sendirinya ia hanya bertemankan seekor kucing dan wanita tua yang telah mengasuhnya selama bertahun-tahun. "Kamu masih punya orang-orang yang mencintai kamu. Kenapa kamu malah membuang mereka? Papa dan kakak kamu, misalnya."
Laptop yang semula terbuka ditutup Erlangga dengan kasar. Ia balik memandang Dilara yang menaikkan satu alisnya seakan menantang jawaban darinya.
"Kata wanita paling kesepian di dunia," tukasnya sarkastis. Sudut bibir Dilara tertarik ke atas diikuti dahinya yang berkerut. Sebelum mulutnya terbuka melemparkan balasan, Erlangga menyerobot lagi, "Pertama, aku nggak buang Papa. Beliau yang memilih menepi di sini dan melepaskan semua yang dia punya demi bisa hidup dalam ketenangan. Kedua, Ares bukan kakakku." Ia melengos. "Mana sudi."
Ada kebencian yang bersembunyi di dalam nada Erlangga. Dilara tak tahu apa penyebab Erlangga sangat membenci Ares. Padahal jika diamati—setelah pertemuannya waktu itu—Ares sangat memahami Erlangga. Seperti seorang kakak yang menyayangi adiknya.
Dilara menghembuskan napas pendek. Ia tak akan memberi tahu Erlangga bahwa ia sempat bertemu dan mengobrol dengan Ares. Akan terjadi keributan panjang bila hal itu terjadi.
Atau malah Erlangga tak peduli? Lagipula, mengapa Erlangga harus peduli jika Dilara bertemu dengan Ares atau tidak?
"Siapa perempuan yang sama Papamu?"
"Pengen tahu banget sih. Berhenti ikut campur urusan orang lain. Bukannya di perjanjian udah tertulis kalau kita nggak akan mencampuri urusan masing-masing, hah?"
"Karena kamu makhluk paradoksal teraneh yang pernah aku temui." Dilara menyingkirkan rambut yang turun di dahinya. "Kamu nggak punya simpati. Oportunis. Bersenang-senang di atas penderitaan orang. Tapi di lain waktu, kamu bisa bertolak belakang." Ia teringat sore tadi. Ketika Erlangga membaur bersama anak-anak yang bermain di lapangan samping rumahnya. Sudut bibir Dilara tertarik ke atas.
Menanggapi perkataan tersebut, Erlangga mencebikkan bibir. Ia merebahkan badan setelah meletakkan laptopnya ke atas nakas.
"Di... Di. Ngapain jauh-jauh kuliah di Esmod kalau pola pikirmu ternyata begitu." Ia sudah memejamkan mata, tak lagi peduli pada tatapan Dilara yang masih ditujukan padanya.
Rasanya Dilara gatal ingin mengulik-ulik rahasia yang dipendam pada dasar hati lelaki di depannya. Hanya karena menghadapi tingkah laku aneh seorang pria, ia dibikin seperti ini. Ia tak pernah peduli pada kehidupan orang lain selama hal tersebut tidak mengganggunya. Tak pernah terbersit pikiran untuk ikut campur. Bahkan sebelum ini, bukankah ia sudah meneguhkan diri untuk tak peduli? Lantas mengapa kau sangat ingin tahu, Dilara?
Dan sadarlah kini, ia pun seorang paradoks.
*
Wanita yang selalu menemani Indra terlihat sibuk bersama pembantu di dapur menyiapkan sarapan. Dilara merapatkan jaketnya, bimbang harus menghampiri atau melupakan rasa penasarannya. Hanya diamati wanita yang sedang memotong cabai di atas talenan. Saat wanita itu berpaling ke arah ambang pintu, ia menghentikan kegiatannya. Disambutnya Dilara dengan senyum manis madu.
"Nak Dilara sudah bangun ternyata. Kedinginan ya?"
Dilara membalas dengan senyum singkat.
"Masa dingin sih, Non? Nggak diangetin sama Mas Erlangga, ya?"
Mata Dilara mendelik mendengar celetukan pembantu berdaster batik tersebut, sedangkan wanita berwajah kalem di samping pembantu berdaster tersebut menepuk pundaknya.
"Hussh!" Ia berpaling menuju Dilara. "Emang begini nih, maafkan ya."
Dilara tertawa kecil. "Boleh saya bantu?" Mendapatkan balasan dengan anggukan kepala, Dilara melenggang mendekat. Ah, kalau saja Budhe Kanthi seperti perempuan ini, sudah pasti Dilara tak akan merutuk tiap hari. Seharusnya Erlangga memberi tahu siapa wanita yang saat ini ditemani Dilara—paling tidak, namanya saja. Bagaimana ia memanggil wanita itu? Tante?
"Tante sudah lama ya di sini?" ia memutuskan untuk memanggil Tante.
Wanita di sampingnya menoleh cepat. "Kok Tante? Panggil Mama Rani saja ya."
Spontan saja Dilara memalingkan wajah. Mama ia bilang? Dilara tak berkedip selama beberapa detik sekadar menyambungkan kabel-kabel dalam kepalanya yang sempat terputus hanya karena jawaban yang baru didengarnya.
"Mama?" ia kelepasan mengeluarkan pertanyaan tersebut yang langsung dibalas wanita itu dengan helaan napas pendek.
"Erlangga nggak cerita ya?" Si wanita tersenyum samar. Kemudian berbicara dengan dirinya sendiri, "Ah, tentu nggak cerita."
"Dia memang tidak bercerita sama saya." Dilara tak peduli respon Erlangga setelah ini.
Wanita itu tersenyum adun. "Saya maklumi." Senyumnya lenyap seketika. "Dia diasuh Mbak Kathi sangat lama dan jarang datang ke sini setelah memutuskan untuk hidup mandiri. Kami jadi sulit untuk dekat dan saling memahami."
Dilara menatap kosong pada wanita di sampingnya. Mereka melanjutkan memasak tanpa ada selipan obrolan lagi. Dengan cepatnya suasana berubah menjadi canggung.
*
Indra menghirup udara pagi sembari memejamkan matanya. Matahari perlahan merangkak naik membiaskan sinar hangat. Matanya tetap terkatup saat seseorang menahan pegangan kursi rodanya.
"Sudah siap sarapannya, Ran?"
"Mama Rani masih di dalam."
Praktis, mata Indra terbuka mendengar jawaban dari suara lain yang amat dikenalnya. Kepalanya tengadah, bersipandang dengan Erlangga. "Kamu, Ga. Kirain Mama kamu."
"Memang kenapa kalau saya, Pa?" Erlangga mendorong perlahan kursi roda ayahnya ke tempat yang lebih teduh, di bawah sebuah pohon karet rindang yang memiliki. Meski demikian, sinar mentari yang lembut masih terperosok di sela-sela dedaunan.
"Kemarin kamu kelihatan nggak suka kumpul sama yang lain." Indra terkekeh pelan.
"Bukan nggak suka. Saya ada perlu dengan klien."
Indra tertawa pendek. "Bisa aja ngelesnya."
Di depan ayahnya, Erlangga duduk. Ia menggenggam tangan Indra, membuat pria tua tersebut mengerutkan dahi keheranan.
"Maafkan sikap saya yang Papa anggap sangat menyakitkan. Saya tidak pernah berniat menyakiti hati Papa. Justru saya ikut terluka saat Papa dilukai seseorang. Papa yang selalu menggendong saya waktu kecil. Papa yang mengajak saya bermain. Papa yang mengajarkan saya pentingnya bekerja keras. Saat Mama menampar saya, Papa yang membela dan memeluk saya."
Indra tersenyum. Ia mengusap puncak kepala putranya penuh kasih. Kehangatan dengan cepat mengalir masuk ke dalam pembuluh darah keduanya, lebih daripada sinar mentari pagi itu. Ia sadar bahwa sejak kecil, dirinyalah yang memberikan kasih sayang lebih besar. Ia yang datang ke sekolah anak-anaknya saat sang ibu lebih memilih pergi liburan bersama teman-temannya ke luar negeri. Ia juga yang memberikan ucapan selamat ulang tahun meski sedang berada di seberang samudra ketika sang ibu kerap melupakannya.
"Nak." Indra mengusap punggung tangan putranya. "Papa tidak akan senang dan bangga melihat kamu mewujudkan impian Papa yang tertunda jika mengorbankan orang lain. Perempuan yang kamu nikahi itu berhak memiliki jalan hidupnya. Berhak mendapatkan cinta dari orang lain yang dicintainya pula."
Erlangga mengamati mata ayahnya lurus-lurus. "Jika dia mencintai orang lain, saya pasti melepasnya."
*
Pagi itu meja makan sudah dipenuhi dengan hidangan yang masih hangat. Usai meletakkan perkakas dan piring di depan kursi-kursi yang akan ditempati, Dilara menghidupkan ponsel yang sejak kemarin ia matikan demi mendapatkan quality time. Beberapa pesan memberondong masuk. Ia belum sempat membacanya ketika didengarnya suara Indra menyapa kesibukan perempuan-perempuan tersebut.
"Wanita kalau sedang menyiapkan sarapan, selalu terlihat cantik."
Rani tertawa, sedangkan Dilara mengulum senyum sekilas. Ia menuangkan air ke dalam gelas-gelas yang masih kosong, termasuk gelasnya sendiri. Sebelum tepi gelas menyentuh bibir, ponselnya berdering. Matanya mengekori layar ponsel dengan nama Kartika. Ia meletakkan gelasnya dan menyingkir dari meja makan untuk menjawab telepon tersebut, diamati oleh Erlangga yang mengambil tempat duduk.
Selama beberapa detik Dilara tak bergerak. Ia mematung tanpa menunjukkan emosi apapun di wajahnya. Merasa ada yang tak beres, Erlangga menghampirinya. Ia menyentuh pundak Dilara bersamaan keberadaan air mata yang meluncur tanpa permisi menyentuh pipinya.
"Di?"
Dilara menjauhkan ponsel dari telinga. Tanpa sepatah kata, ia melangkah gusar, keluar dari ruang makan diikuti oleh Erlangga. Perempuan itu menjeblak pintu kamar, mencari letak kopornya dan menjejalkan pakaian ke dalam dengan gerakan kasar.
"Di, kenapa?"
Masih enggan membalas pertanyaan apapun, Dilara terus mengemas barang-barangnya. Pikirannya kacau. Ia merasakan sengatan di jantungnya yang berdetak sangat keras dan tak beraturan. Dadanya sesak menahan napas dan luapan emosi.
"Di!"
Mendengar bentakan itu, Dilara berhenti. Ia mengusap rambut ke belakang, menahannya dengan telapak tangan. Matanya yang dibanjiri air mata tak terbendung menatap kosong pada dinding di depannya. Wajahnya dibenamkan pada telapak tangan. Bahunya gemetar menahan suara isak tangis. Mata Erlangga tersorot pada ponsel Dilara yang digeletakkan di atas kasur. Ia membuka pesan-pesan masuk. Semuanya berisi ucapan duka yang dikirim dari berbagai orang yang dikenal Dilara. Melihat Dilara yang enggan mengangkat wajahnya yang dibenamkan pada telapak tangan, Erlangga menghampiri, duduk di sampingnya. Ia mengusap pundak Dilara yang bergetar. Ingin diucapkan sesuatu pada wanita itu, tapi tak satu pun kata terlontar dari bibirnya. Tangannya terangkat, namun diturunkan lagi. Lalu terangkat lagi. Dan diturunkan. Pikiran serta hati nuraninya saling beradu mulut. Egonya menuntut dirinya untuk memberikan pelukan sekadar menenangkan perempuan itu.
Pada akhirnya, ia memilih untuk mengikuti bisikan hati nuraninya dengan melingkarkan tangan di sekitar pundak Dilara. Memeluknya.
*
Suasana berkabung tak pernah melepaskan diri dari tempat pemakaman. Satu per satu lautan manusia dalam balutan pakaian serba hitam mulai menyisir pergi, meninggalkan beberapa saja, termasuk Dilara yang berdiri dalam kegemingan di bawah payung hitam. Tatapannya ditambatkan menuju pusara yang masih baru. Pada nisan yang mengukir nama Widya. Tempat pengistirahatan terakhir neneknya yang berdampingan dengan kuburan kakeknya.
"Saya turut berduka cita," salah seorang dari tamu yang ikut datang ke tempat pemakaman, Roxelana, berucap pelan di samping Dilara. "Semoga jiwanya tenang." Perempuan bermata tajam itu melenggang pergi usai menyematkan kacamata hitam.
Dilara tetap mematung di tempat. Di genggamannya, ia membawa setangkai mawar merah yang belum juga dilepaskan di atas pusara. Binar menaburkan bunga terakhir dan berdoa di depan pusara Widya. Kepalanya tengadah mengamati Dilara yang tak bergerak. Ia lantas berdiri, melangkah mendekati Erlangga yang menunggu beberapa meter di belakang. Saat itulah Dilara maju dan duduk di depan pusara Widya.
"Lara minta maaf sudah membohongi eyang," bisikan Dilara terdengar pilu. Dibiarkannya air mata membanjiri pipinya yang pucat. Ia mengusap mata dan pipi, mengenakan kacamata hitam sekadar menutupi matanya yang sembab.
Di depan makam Widya, Dilara bergumam seorang diri, memain-mainkan tanah kuburan dan bunga yang masih segar itu. Binar yang mengamati gelagat Dilara yang bertolak belakang dari biasanya hanya bisa berdecak dalam hati. Begitu hancur pertahanan kokoh seorang wanita hanya karena ditinggal satu-satunya orang yang mencintai dan dicintainya.
"Aku nggak pernah ngelihat dia kayak gitu," di samping Erlangga, Binar berbisik prihatin. "Jujur nih ya, aku lebih suka ngelihat wajah galak dia."
Erlangga tak menanggapi. Hanya diamatinya Dilara yang meletakkan mawar di depan nisan Widya. Perempuan itu duduk diam selama beberapa saat.
"Wajar. Satu-satunya orang yang dia cintai ninggalin dia."
Binar menghela napas pendek. Bersama kakaknya, ia memutuskan menunggu Dilara sampai selesai.
"Aku masih inget pesan-pesan eyang Widya," Binar berucap lagi. Ingatan tersebut justru menampar Erlangga.
Teringat oleh mereka ketika Widya berada di rumah sakit dan ingin dipertemukan dengan Erlangga. Rasanya ingatan tersebut masih baru. Bahkan suara wanita tua itu seakan berbisik di telinganya. Terperangkap dalam kepalanya,
"Saya sangat memercayakan Lara ke kamu. Jika saya tidak ada, jaga dan cintai dia seperti saya menjaga dan mencintainya."
Dan sekarang rasa bersalah membayangi dirinya. Erlangga mengamati Dilara. Makin jelas pula suara Widya dalam pikirannya. Tak hanya bisikan Widya, suara ayahnya ikut bergelut. Suara-suara itu bersekutu, mencoba meluluhlantakkan hatinya agar ia terseret dalam rasa bersalah yang luar biasa. Pada akhirnya ia menyingkir dari tempat itu. Memilih menunggu di dalam mobil. Sementara Binar hanya menatapnya dengan dahi berkerut.
Binar mengubah arah perhatiannya. Di bawah pohon kamboja yang cukup jauh, dilihatnya Ares yang mengamati dari jarak jauh.
*
Hari-hari Dilara berikutnya bagaikan mimpi buruk bagi karyawan-karyawan yang bekerja. Ia menjadi lebih pemarah. Kesalah karyawan yang tertangkap matanya yang jeli tak lagi ditoleran. Tidak hanya dimarahi habis-habisan, karyawan yang melakukan kesalahan—sekecil apapun—langsung ia pecat. Beberapa karyawan yang masih bertahan di tempat itu tak ingin bertatap muka dengan Dilara. Bahkan mereka berharap bisa lenyap dalam hitungan detik ketika nama mereka dipanggil Dilara untuk menghadapnya ke kantor.
Seperti yang terjadi pada salah seorang penjahit yang kini berdiri dengan tubuh gemetar di depan meja Dilara.
"Orang-orang seperti kamu ini yang bisa menghancurkan bisnis saya." Kalimat tersebut meloncat dari mulut Dilara, diucapkan dengan nada rendah penuh penekanan tiap kata. "Berapa baju yang jahitannya salah? Hitung."
"Ma-maaf, Mbak. Sa-saya sedang tidak fokus."
"Saya bilang hitung!" Dilara melempar ongokan pakaian gagal ke muka penjahitnya.
Penjahit malang itu memungut baju-baju yang terjatuh di bawah kakinya. Tangannya gemetaran.
"Keluar." Dilara memijit pelipisnya. "Saya bilang keluar!" Penjahit perempuan itu berlari terbirit-birit dengan setumpuk baju gagal yang dilempar Dilara bagaikan sampah.
Di balik komputer datarnya, Lani mengintip Dilara sambil membenamkan gigi pada permukaan bibir bawahnya. Ia tak pernah melihat Dilara sekasar itu pada karyawan. Paling-paling yang dilakukannya hanyalah melemparkan kalimat sarkastis yang menusuk hati. Yang terparah bentakan. Ia tak pernah melempar pakaian ke muka penjahit hanya karena kesalahan kecil pada bagian benang jahitnya. Lani memilih untuk menutup mulut daripada ikut kena semprotan. Ia mengirim pesan pada Binar menceritakan keadaan kantor yang makin tegang.
Berjalan di trotoar sambil melahap hotdognya, Binar membaca pesan Lani. Nyaris saja ia tersedak hotdog di tangannya. Makin di percepat langkahnya untuk sampai di kantor dengan setengah berlari di atas stilettonya. Ia sampai di kantor ketika Dilara memainkan pensil di atas buku sket dengan bibir mengerucut ke depan dan dahi berkerut-kerut.
"Ke mana aja kamu?" pertanyaan itu dilesatkan tajam. Menusuk tepat di jantung Binar yang berdebar setelah menghabiskan tenaganya dengan berlari.
"Tadi—"
Tanpa menarik dagu, mata Dilara mengarah pada Binar yang gelagapan dan kehabisan kata-kata.
"Jangan karena kamu adik iparku, kamu bisa seenaknya di sini."
Binar mengatupkan bibir rapat membentuk satu garis lurus. Ia mengangguk patuh. Kali ini, ia singkirkan perasaan bergeruduk di hatinya mengingat bahwa wanita yang sedang mengeluarkan cakar dan tanduknya macam iblis sedang dalam masa berkabung. Ia memaklumi keadaan Dilara sehingga terima-terima saja bila dimaki.
Dilara membanting penanya. Pikirannya yang semrawut seperti benang kusut tak mampu menghadirkan ide baru. Dimintanya Binar duduk di kursinya.
"Kalau kamu ngerasa kesulitan ngedesain, aku bisa kok bantuin."
"No!" Dilara membalas cepat. "Berapa kali aku katakan kalau desain kamu itu sampah? Di dunia kapitalis, desain kamu nggak akan laku."
Untunglah Binar sudah mengubah diri menjadi baja yang siap dibanting. Bibirnya terkatup rapat. Ia mengangguk lagi. Wajahnya ditimbun di balik komputer.
*
Sepeninggal Widya, Dilara lebih banyak mengurung diri di kamar daripada berinteraksi dengan orang lain. Untung saja Budhe Kanthi sudah kembali. Seandainya ia masih di rumah itu, tak tahu bagaimana keadaannya. Erlangga senang rumahnya tidak berubah menjadi neraka dalam waktu singkat. Meskipun ia harus menghadapi sikap Dilara yang belakangan jadi aneh. Wanita itu sering pulang malam dan berangkat lebih pagi daripada biasanya. Setelah pulang, ia tak menegur sapa, ngeloyor begitu saja masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Terpaksa Erlangga menyiapkan tempat tidur lain dan membiarkan Dilara menguasai kamarnya.
Malam itu, ia memutuskan untuk pulang larut dengan bermain catur di sebuah kafe yang mulai sepi.
"Skakmat, Bro!" Saka terbahak keras berhasil mengalahkan Erlangga untuk ke sekian kali.
"Ah... udah ah." Erlangga memberantakkan bidak catur sebelum meraih cangkir kopinya.
"Kenapa sih? Berantem sama istri?"
"Makanan sehari-hari gua itu mah." Erlangga mendengus. "Kali ini nggak. Dia diem aja di rumah sejak Bu Widya meninggal."
Saka mengatur kembali bidak catur tersebut ke atas papan. "Ya dihibur lah."
"Gimana mau hibur kalau dia nggak keluar kamar kecuali mau berangkat kerja, hah?"
Telunjuk Saka teracung menunjuk Erlangga. "Berarti ada niat buat ngehibur nih. Tuh kan. Kamu lama-lama bakal suka sama dia."
"Ngaco. Cuma kasihan kok." Erlangga mulai menjalankan bidak miliknya. Permainan kembali berjalan.
Pintu kafe dibuka oleh seorang wanita yang melangkah panjang menghampiri bartender dan menyebutkan pesanan.
"Eh, Kana. Tumben ke sini. Mimpi apaan?"
Deg.
Mendengar nama itu disebut, sontak perhatian Erlangga beralih menuju ke meja bartender, di mana dilihatnya seorang wanita berambut sebahu tengah mengobrol bersama sang pemilik kafe.
"Aku juga butuh waktu buat q-time, kali."
Suara tawa gemerincingnya terdengar sampai di meja Erlangga. Melihat tatapan kawannya terpaku pada satu objek, Saka melambaikan tangan, tapi tetap diabaikan. Saka melongokkan kepalanya, mengikuti arah pandang Erlangga. Sebelum ia memiliki kesempatan bicara, Erlangga lebih dulu beranjak berdiri.
Perempuan bernama Kana menyadari telah diamati. Matanya berpindah. Terjadilah adu pandang antara dirinya dengan Erlangga yang tak juga memutus kontak mata—berkedip pun tidak. Keduanya masih saling bersipandang, sampai si perempuan melangkah mendekat dan menyapa lebih dulu,
"Hai. Long time no see."
*****
Tadinya mau saya perpanjang, tapi tetiba masuk angin :'(
Tapi janji deh Sabtu bakal update lagi!!!
BTW TERIMA KASIH UCAPAN ULTAHNYA HAHAHAHAHA. BENAR, TANGGAL 30 SAYA LAHIR. YA ALLAH KASIHAN LOH SAYA, ORANG YANG NGAKUNYA 'SAHABAT' DI DUNIA NYATA GA ADA YANG NGUCAPIN. KALIAN EMANG ISTIMEWA. LAFYU.
YANG TANYA SAYA UMURNYA BERAPA, SAYA SUDAH 22. OK UDAH TUA
Dan pada akhirnya, dengan sangat bangga para bangsawan dan bangsawatiku, aku akan memanggil kalian Fabelous (it's based on my mid name) wakakakak *apasi gapenting*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro