Malaikat dengan Sayap Patah
Entah itu gelas yang ke berapa, Dilara tidak mengingatnya. Ia hanya menekuri pemandangan kota metrapolitan Jakarta dari balik jendela apartemennya. Memikirkan berbagai hal yang sebenarnya tidak harus ia gali lagi lantaran telah terkubur bersama segala kepahitan masa lalunya. Ditenggaknya sisa wine di dalam gelas yang ia genggam erat. Buku-buku jarinya tampak memutih, pertanda bahwa cengkeramannya cukup kuat. Kelopak matanya terkatup selama beberapa detik. Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai samar. Bersamaan matanya yang terbuka, ponsel yang hampir ia lupakan di atas meja terdekat berdering. Dengan anggun wanita itu melangkah menghampiri meja, meletakkan gelasnya dan mengangkat panggilan Kartika. Wajahnya menegang. Ada kerutan sangat jelas di dahinya. Ia tak perlu menjawab panggilan asisten Widya. Yang dilakukannya adalah segera melimbai meninggalkan apartemen menuju rumah Widya.
Dalam keadaan panik, Dilara mencoba menghubungi Binar. Sial sekali gadis itu tampaknya tidak senang diganggu—ponselnya dimatikan. Ia mengumpat perlahan, membanting ponsel di atas jok mengencangkan laju mobil.
"Seharusnya hidupkan ponselmu duapuluh empat jam penuh!" ia terus menggerutu.
Ban mobil melibas jalan raya yang basah setelah disetubuhi hujan beberapa waktu lalu. Hawa dingin menyelesak di antara kekhawatiran, kejengahan, dan batinnya yang terus berontak mengulang permintaan Widya. Sengaja diputar di dalam kepalanya bagaikan piringan hitam yang memainkan musik sendu di malam kelabu.
Sampai di rumah besar itu, Dilara melompat keluar, berlarian kecil menjaga keseimbangan di atas stilettonya menyusuri anak tangga mengabaikan pertanyaan pembantu yang menyambut kedatangannya. Pintu kamar Widya dibuka, memperlihatkan seorang dokter tengah menyuntikkan sesuatu pada selang infus yang digantung di samping ranjang tempat Widya berbaring.
"Eyang saya harus dilarikan ke rumah sakit," tuntut Dilara senewen.
"Beliau menolak, Mbak," Kartika menjawab kalem. "Kami sudah membujuknya."
"God. Kenapa harus begini sih." Perlahan-lahan dihampiri Widya yang beristirahat. Kepalanya tengadah memandang dokter pria paruh baya yang menggeleng dan menghela napas panjang.
"Sekarang kita semua hanya mampu bergantung pada Tuhan. Selanjutnya, biarkan Tuhan yang menentukan."
"Enak sekali Anda bilang seperti itu. Kalau seorang dokter hanya bergantung pada Tuhan, tandanya kalian menyerah pada keadaan. Pasrah. Dan hal itu bisa berpengaruh pada kinerja kalian. Bagaimana kalau masih ada celah, meskipun sempit, yang bisa menyelamatkan nyawa seorang pasien? Bagaimana kalau dengan kepasrahan kalian ini nyawa seorang pasien tidak bisa tertolong? Lalu kalian dengan seenaknya bilang, 'Maaf, Nona. Ini Takdir. Tuhan sepertinya berkehendak lain.' Begitu mudahnya? Lalu untuk apa kalian belajar ilmu kedokteran mahal-mahal kalau segampang ini menyatakan keputusasaan, hah?!" Dilara naik pitam. Amarah bergemuruh di dadanya.
"Nona Dilara, kami bukan Tuhan. Kemampuan kami terbatas."
"Kalau kalian sudah tidak sanggup, saya bisa menghubungi dokter dari luar negeri agar datang kemari."
Dokter lelaki tersebut menatap Kartika dan seorang suster yang saling melemparkan pandangan tak mengerti.
"Nyonya Widya sudah terlalu sepuh. Usianya bahkan mencapai angka delapan puluh..."
"Tetangga sebelah usianya mencapai ratusan. Dia sepuh. Dan dia masih hidup." Dilara mengibas tangan di udara, mengusir dokter dan suster yang dianggapnya terlalu mudah patah semangat dalam menangani seorang pasien.
Dokter dan suster yang menemaninya berpamitan pergi. Hanya Kartika yang bertahan dalam kebisuan panjang.
"Aku akan menunda acara peragaan busana sampai keadaannya stabil."
Kartika tak membalas. Ia hanya mengerutkan dahi. Padahal Dilara tidak pernah sekalipun menarik lidahnya setelah dijulurkan keluar. Demi Widya, wanita itu rela menerima segala konsekuensi yang akan ia terima. Setidaknya itu lebih baik daripada jika ia melanjutkan acara besarnya tanpa memedulikan keadaan neneknya, bukan?
Di balkon rumah itu, Dilara menepi untuk menenangkan pikiran dan meredakan kekalutannya. Ia mengirim pesan pada Binar sampai puluhan kali, meski status yang diterimanya masih pending. Menghubungi pun tampaknya percuma. Ponsel Binar dalam keadaan mati dan sulit dihubungi. Ia mengirim pesan terakhir kali sebelum memasukkan benda pipih tersebut ke dalam saku blazernya. Desahan panjang terlepas dari paru-parunya yang seakan menyusut dan sesak.
Suara ngeongan seekor kucing membuyarkan potongan-potongan kecil dalam kepalanya. Wanita itu menunduk, mendapati seekor kucing ras Scottish Fold abu-abu yang menggesek-gesekkan bulu lembutnya di kaki Dilara. Dengan suara lembutnya, binatang piaraan seperti gumpalan bulu abu-abu itu mengeong sambil menengadahkan kepala. Lalu menggesekkan tubuhnya lagi.
"Udah malam kok belum tidur, hm?" Dilara meraih kucing bermata hitam tersebut dan menggendongnya. "Kamu sedih ya eyang belum sehat? Eyang udah nggak ngajak kamu main lagi?"
"Maaf, Non. A kabur dari kandangnya," seorang pembantu muncul dan menunduk hormat. "Saya akan mengembalikannya biar dia bisa tidur."
"Nanti aku kembalikan sendiri. Kamu pergi aja."
Pembantu tersebut mengangguk patuh, meninggalkan Dilara bersama A, kucing kesayangan Widya yang sudah menemaninya selama tujuh tahun. Dilara mengusap-usap bulu A lembut, mengajaknya mengamati kerlap-kerlip gemintang di angkasa raya.
"Waktu berjalan sangat cepat ya, A. Kamu aja udah segede ini."
Terus mengelus-elus bulu kelabu kucing di gendongannya, Dilara tersenyum sendiri bila teringat pertama kali Widya memamerkan anak kucing yang baru dibelinya dan mengatakan bahwa kucing tersebut akan menemaninya di rumah bila ia merasa kesepian. Namun sejak ia terbang ke Prancis untuk kuliah, kucing tersebut dirawat Widya, sebagai pengganti Dilara yang menemani masa tuanya. Tumbuh besar dan menua bersama-sama.
Kamu salah, dalam batinnya Dilara mendesah pendek. Aku tidak pernah merasa kesepian. Dan angin yang lewat terselip di sela-sela rambutnya pun tahu bahwa kalimat itu ia alamatkan pada Erlangga Tunggadewa. Sekali lagi ia tersenyum, membawa A pergi dari balkon untuk dikembalikan ke kandangnya.
*
"Aaaaah! Apaan itu! Curang, anjir!" Mulut Binar yang penuh dengan brondong jagung memuntahkan umpatan dalam berbagai bahasa. Ia menunjuk layar televisi yang tengah menayangkan acara sepak bola, ditemani kakak laki-lakinya yang bertepuk tangan mengapresiasi kemenangan klub favoritnya.
Kakak beradik itu tenggelam dalam persaingan sengit sebagai penggemar klub berbeda, membela klub kesebelasan masing-masing.
"Siap-siap kehilangan lima ratus ribu." Erlangga terbahak, menyikut lengan adiknya berkali-kali.
"Nggak. Pasti ada keajaiban sebentar lagi. Pokoknya Madrid yang menang!"
"Barcelona."
"Madrid!"
"Barcelona."
Begitu gol berhasil dibuat klub favoritnya, Binar melompat dan menjerit senang. Ia duduk bersilang kaki di atas sofa, menyikut lengan kakaknya sambil mencibir mencemooh.
"Ya elah, masih satu aja udah seneng. Bentar lagi juga kebantai klub favoritmu. Lihat aja nanti."
Binar tak hentinya mengelu-elukan klub favoritnya sampai jeda iklan. Ia membersihkan tumpahan brondong jagung di atas pangkuannya. Mencicipi beberapa butir hingga membuat Erlangga mengernyit.
"Jorok amat. Pantesan nggak punya pacar."
"Yeee ngaca, Mas bro. Kayak situ punya gandengan aja. Inget umur. Udah 27 masih aja ngejomblo."
Erlangga menyentil poni adiknya, membuat gadis itu bergeser sampai ke pojok sofa.
Kesempatan jeda iklan tayangan sepak bola digunakan Binar untuk menghidupkan ponselnya sebentar. Memang ia sengaja mematikan ponselnya, menghindari teror Dilara yang bisa menghancurkan acara bersantainya yang tidak bisa ia tinggalkan.
Seperti yang ia duga. Pasti yang akan memenuhi kotak masuknya adalah nama Dilara. Belum-belum bibirnya mencebik kesal mendapati nama wanita itu. Ia hampir menghapus semua pesan Dilara, sampai matanya menangkap sepenggal pesan yang menyita perhatiannya:
Bos Galak: Plis. Eyangku sakit.
Keinginan Binar menghapus pesan-pesan Dilara tertelan ke dalam perutnya. Ia membuka dan membaca semua pesan masuk tersebut. Menggigit bibir bawah sambil mengarahkan bola matanya ke langit-langit tanda berpikir.
"Kenapa?" Erlangga yang menangkap raut wajah Binar di tengah keremangan ruang keluarga membuka suara penasaran.
Binar tidak yakin Erlangga peduli mendengar balasannya. Namun pada akhirnya ia menjawab perlahan, "Bu Widya drop lagi."
"Widya?"
"Itu, neneknya Dilara Niranjana. Dia sakit parah dan kritis. Dilara minta diundur acara peragaan busananya beberapa hari sampai keadaan Bu Widya stabil lagi." Ia menghela napas pendek.
Tiba-tiba keadaan menjadi hening. Selain karena Binar menyibukkan diri membalas pesan Dilara dan bergerak tangkas menghubungi vendor EO untuk menjadwalkan ulang acara, juga karena perubahan ekspresi Erlangga. Pria tersebut melirik adik perempuannya sambil memikirkan satu hal. Ia menjentikkan jari menemukan titik temu permasalahannya.
"Kamu kan udah jadi asisten pribadi Dilara. Pasti tahu dong rahasia dia?"
Mendengar nada bicara kakaknya yang terkesan licik dan jahat, Binar menautkan sepasang alis tebalnya. "Apaan coba."
"Ayo kasih bocoran dikit, dia cerita apa aja sama kamu?" Pria tersebut memutar badan berusaha merayu Binar yang semakin mengerutkan dahi.
"Aku emang kerja jadi asisten pribadi dia, tapi nggak tahu rahasia yang dia simpan."
"Cari tahu, dong. Kesempatan emas nggak boleh dilewatin gitu aja, Bin. Ini kayak ngebuka pintu lebar-lebar loh. Tinggal selangkah lagi impian Papa bakal terwujud! Papa pasti bangga sama anaknya kalau berhasil mewujudkan impiannya."
Spontan, Binar memutar badannya. "Kalaupun aku berhasil deketin Dilara dan jadi temannya, aku nggak bakalan ngasih bocoran apa aja yang dia ceritain."
Erlangga berdecak sekali. "Oke, adikku yang nggak bisa tega sama orang, biarpun orang itu udah berkali-kali nyulitin dia."
"Kasihan, tahu. Nggak tega rasanya. Coba aja Mas tahu kalau dia itu punya sisi yang rapuh dan butuh dikasihani." Binar tidak mengerti setan mana yang merasukinya sampai tak kepalang tanggung mengucapkan kalimat itu. Namun bila dipikir-pikir sesuai hati nurani, ia membenarkan kalimatnya sendiri.
"Dia aja tega sama kamu, ngapain kamu nggak tega?" dengan santainya kalimat itu terlontar, menohok jantung Binar, meninggalkan lubang besar menganga. Erlangga meraih gelas air minum di meja sampingnya, tak mengacuhkan bibir adiknya yang mengerucut ke depan.
Meski demikian, tetap saja Binar tak akan bersedia mengkhianati kepercayaan Dilara, kendati ia tidak pernah menyukai wanita tersebut. Terlebih, ia selalu terngiang-ngiang kalimat yang pernah diucapkan Dilara di dalam mobil. Sampai detik ini pun ia masih mengingatnya.
*
"Ada gitu ya, cowok yang susah banget naklukin satu cewek? Padahal cewek-cewek lain berlutut di depannya." Pertanyaan yang dilempar Saka suatu pagi berhasil mengalihkan perhatian Erlangga dari berkas laporan timnya yang tengah ia teliti.
"Ngapain nyindir-nyindir gitu?"
Saka menyipitkan matanya. "Siapa yang nyindir? Ngerasa?"
Kesenyapan dianggap Saka sebagai balasan dari Erlangga. Lelaki itu tertawa pendek, mengamati wajah serius Erlangga yang menggosok hidung dan pada akhirnya melepas kacamata baca sambil mengumpat pelan.
"Pokoknya dalam waktu dekat ini Dilara harus menyerahkan hak kepemilikan tanahnya. Gila, man. Sihir apa sih yang dia punya sampai bikin aku nggak tenang?"
Kadang Erlangga merutuki nama wanita itu. Ia memiliki tim yang cekatan dan memiliki kinerja baik, sehingga tugasnya tak begitu memberatkan. Seandainya ia bisa meruntuhkan dinding yang dibangun Dilara, pekerjaannya akan jauh lebih mudah. Ia bisa pergi berlibur dan menghabiskan uang untuk kehidupan hedonis tanpa perlu memikirkan proyek yang masih jalan di tempat. Harusnya.
"Kan udah aku bilang, Bro. Dilara ini bukan cewek sembarangan. Mau kamu pelet pun bakalan sia-sia. Udahlah, ngalah aja. Artinya taruhan kita, aku yang menang. Besok harus pakai outfit serba merah muda. Nggak mau tahu." Ia menyengir, terbahak kemudian.
Praktis saja kepala Saka jadi sasaran empuk hantaman gulungan kertas Erlangga. "Aku belum kalah. Lihat saja nanti." Ia melirik jam tangannya sekilas. "Aku ada janji makan siang."
"Tumbenan nih. Sama cewek? Kok nggak bilang-bilang sih? Udah temenan berapa lama kita, eh? Masih aja ada rahasiaan."
"Tugas kamu itu ngatur bawahan di bagian personalia, bukan ngepoin orang." Ia melambaikan tangan, berpisah dari Saka yang menampakkan cengiran lebar di wajahnya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bos besar mereka tak pernah menggandeng perempuan. Paling-paling hanya soal bisnis. Itupun tak terlibat perbincangan panjang. Hanya sekilas dan dilupakan, kendati wanita-wanita yang sering terlibat pekerjaan dengannya kerap mencoba membangun percakapan atau pertemuan lagi.
*
Hati nurani Binar memang bersih. Ia bisa tersentuh melihat kedekatan antara Widya dan Dilara. Wanita itu penuh cinta. Sisi lain yang tidak diketahui orang lain. Sambil mengelus Scottish Fold di atas pangkuannya, matanya terus mengawasi Dilara yang mengajak Widya berinteraksi. Wanita itu rela menggelontorkan berapapun demi menyelamatkan orang yang ia cintai. Setidaknya semua usaha itu mengantarnya pada keadaan Widya yang sedikit membaik. Ia bisa diajak berinteraksi dan duduk di kursi roda, menikmati keindahan kebun di pekarangan belakang rumah itu.
"Rasti!" Dilara berteriak memanggil salah satu pembantunya. Seorang perempuan muda berlari tergopoh-gopoh menghampiri, siap mendengarkan perintah majikannya. "Ajak A jalan-jalan. Dia juga butuh udara segar. Jangan dikurung terus di rumah."
"Baik, Non."
"Kalau saya ikut boleh, nggak?" Binar angkat bicara. Bukan bermaksud apa, Binar tidak nyaman bila terus-menerus berada di sana dan bertindak sebagai penonton sebuah drama larat antara nenek dan cucunya.
Dilara diam, tampak menimbang. Bibirnya mengerucut miring, berpikir akankah memberi kesempatan Binar untuk mengenal dekat kucing kesayangan eyangnya. Melihat Widya mengangguk, ia membuang napas panjang memberikan ijin.
"Awas hilang. A sangat aktif dan suka mengejar kupu-kupu. Awasi dengan baik, jangan sampai kecolongan makan rumput, nanti dia muntah-muntah. Dia nggak seneng dengerin bunyi bising kendaraan bermotor. Pegang talinya erat."
Binar berjingkat senang. Ia meletakkan A ke dalam kandang kargo. "Oke!"
"Ingat, pegang erat talinya, Binar. Kayak gini." Bahkan untuk memegang tali seekor kucing saja perlu instruksi yang tepat. Dilara mempraktikkannya di samping kursi roda Widya, mengepalkan tangannya berpura-pura menggenggam tali kucing tersebut. "Jarinya harus seperti ini. Kalau tidak begini, kamu bakal kecolongan. A larinya cepat dan susah kalau dicari. Ngerti?"
Binar menahan diri tidak memutar bola mata. "Iya, aku inget kok. Tenang aja." Ia mengangkat kandang kargo A, berjalan riang diekori Rasti yang diminta menemani Binar pula demi penjagaan ganda.
Tinggallah Dilara bersama Widya. Ia duduk di depan wanita tua tersebut, mengusap telapak tangannya lembut.
"Jangan terlalu galak sama bawahan," Widya bertutur lembut, setengah serak.
"Kalau nggak dikerasi, kerja mereka bakal payah. Lara kayak gini kan demi mereka juga."
Widya terkekeh. Ia terbatuk pelan, menyentuh dadanya. "Mereka pasti ingin melihat senyum kamu. Sekali-kali, tunjukkan senyum kamu, Lara. Senyum yang sangat cantik."
Dilara tergugu. Helaan napasnya terasa berat di udara hangat. "Senyum itu kan khusus buat orang-orang tertentu, Eyang. Nggak sembarangan orang boleh melihatnya. Hanya orang-orang istimewa yang bisa ngelihatnya. Kayak eyang."
"Dan suamimu kelak, pastinya."
Dilara tersenyum simpul, namun tak membalas. Lehernya memanjang ke samping ketika seorang pembantu datang mendekati mereka. Ia memberikan tabik sebelum berkata,
"Ada tamu di luar, Non."
"Tamu?" Dahi Dilara mengernyit heran. Ia tak pernah menerima tamu di rumah ini. Jarang orang-orang yang terlibat hubungan bisnis dengannya berkunjung ke rumah itu. Hanya orang-orang tertentu yang mampir ke sana. Lantas, siapa tamunya? Ada urusan apa?
Dilara meminta pembantu itu mendorong kursi roda Widya, sedangkan ia berjalan mendahului menuju ke depan menemui tamunya. Pertanyaan-pertanyaan yang tak sempat ia ajukan tersangkut di otaknya dan tak memberinya waktu berpikir panjang. Namun saat ia menemukan sepasang mata yang menyorotkan pandangan datar dan senyum mengejek, ia yakin tak butuh pikiran panjang sekadar menerima tamu yang dengan berani telah memasuki teritorialnya.
"Sore, Wolf. Sibuk? Maaf kalau kedatanganku terkesan dadakan."
Dilara melipat tangan di depan dada. Bibirnya mengerucut ke depan. Tubuhnya yang tinggi tegak, seakan ingin menunjukkan kekuasaan dan keberaniannya berhadapan dengan pria di depannya.
"Mau apa kamu, hah? Siapa yang ngasih alamat rumahku?"
"Hm, harusnya sebagai wanita yang berpengetahuan tinggi, nggak cocok kalau pertanyaan itu kamu ajukan pada seseorang yang cukup berpengaruh di negara ini."
Mendengar nada narsistik Erlangga, Dilara tertawa pendek, membuang muka, menyinisnya. Meskipun tidak berhasil mendapatkan identitas pribadi Dilara, Erlangga perlu berterima kasih pada Binar yang tanpa sengaja membuka celah baginya bertemu dengan wanita itu di sini. Well, lain kali saat kau bepergian, pastikan kakakmu tidak menguntit, Binar.
"Jadi kamu ke sini masih mau menodongku? Mengancam? Apa yang kamu ketahui tentang aku?"
"Banyak. Kalau kubuka di media, pasti jadi hits. Bakalan jadi trending topic nomor satu di dunia. Seorang desainer yang telah menorehkan namanya di dunia fashion internasional rupanya memiliki sisi yang lain..." Erlangga perlu memasang wajah meyakinkan demi menggertak targetnya. Ia mengutip kalimat Binar. "Seorang wanita angkuh yang ternyata memiliki sisi rapuh dan perlu dikasihani."
Gestur Dilara berubah mendapat skak seperti itu. Mulutnya terbuka hendak melemparkan balasan pedas, namun suara ringkih Widya sontak membungkam paksa mulutnya. Ia berbalik badan melihat kursi roda Widya didorong Rasti menghampiri mereka.
"Siapa ini, Lara?"
"Ah! Eyang Widya!" Erlangga mengubah ekspresi. Ia memang berbakat menjadi aktor dan layak dibanjiri penghargaan. Pria tersebut berjalan khidmat, mendekati Widya yang melayangkan senyum ramah nan manis madu. "Perkenalkan, saya Erlangga."
Widya semakin melebarkan senyumnya. "Lara tidak pernah mengajak siapapun ke rumah ini kecuali orang-orang yang dianggapnya spesial."
Mata Dilara membelalak ngeri. Kini ia memahami taktik apa yang dimainkan pria brengsek di depannya saat ini. Menggunakan neneknya sebagai titik lemahnya. Bibirnya mengerucut dan bergetar menahan kesal.
"Cucu Anda sangat baik. Saya sangat terkesima. Dia tipe pekerja keras."
"Memang..." Widya melemparkan perhatian menuju Dilara yang tak mengubah ekspresi mengancamnya. "Lara, kenapa kamu tidak pernah bilang sama eyang kalau kamu sudah punya kekasih?"
Baik Dilara dan Erlangga, keduanya menampilkan raut wajah berbeda, namun tetap dalam satu garis. Mereka tampaknya tak sepakat dianggap sebagai pasangan kekasih.
"Dia bukan—" Dilara tidak melanjutkan ucapannya. Ia melihat secercah harapan, kebahagiaan, yang tak pernah ia temukan di sepasang mata neneknya. Wajahnya dipalingkan, tak ingin melihat adanya sinar harapan yang terlampau terang di sana.
Widya terbatuk. Ia menyentuh dadanya, menekan, dan limbung hampir jatuh ke depan seandainya Erlangga tak menahan tubuhnya dengan sigap. Dilara berbalik, bergerak seperti kesetanan melihat Widya lemas. Ia berteriak meminta Rasti menelepon dokter.
"Kalau menunggu dokter terlalu lama," Erlangga menyerobot tenang di tengah kepanikan Dilara yang menggenggam tangan Widya dan menahan tubuhnya. "Langsung bawa ke rumah sakit."
Wajah Dilara basah oleh air mata. Ia menengadah bersipandang dengan Erlangga yang menunggu keputusannya. "Eyang nggak pernah mau dibawa ke rumah sakit."
Erlangga mengedik. "Kecuali kalau kamu mau kehilangan eyang putrimu, Dilara?"
"Oh shut up."
"Minggir." Tanpa menunggu persetujuan Dilara, Erlangga mengangkat tubuh Widya untuk digendong. Ia berjalan keluar, meminta seorang sopir Dilara untuk membukakan pintu mobilnya.
Dilara berjalan setengah berlari, mengikuti di belakang dengan ekspresi yang sulit terbaca. Erlangga memerintahkan pembantu-pembantu di sana menyiapkan barang-barang Widya, meminta salah satu dari mereka duduk di belakang, dan melambaikan tangan di depan Dilara yang termangu.
"Helo! Malah bengong. Masuk!"
Pada akhirnya ia menurut, seperti boneka yang mengalah di tangan pembuatnya, duduk manis di jok belakang merangkul Widya erat. Mobil dilajukan dalam kecepatan tinggi, menimbulkan suara decit ban di atas aspal dan melesat di antara kecemasan. Dilara bahkan tak tahu apa yang ia lakukan di sana. Jiwanya seakan terbang dibawa angin sore.
*
"Keputusan yang tepat," dokter Salman yang terbiasa menangani Widya melemparkan senyum menenangkan. "Sebaiknya beliau dirawat secara intensif dulu di sini."
Tak ada tanggapan apapun. Dilara duduk dalam kegemingan di depan ICU. Kakinya seperti lemas, seolah-olah tak ada tulang yang menyangga tubuhnya. Bukannya duduk di atas bangku, ia justru merosotkan badannya di atas lantai. Menekuk kedua kakinya, memandang lurus ke depan, tak mampu merasakan sentuhan udara dingin yang menggesek permukaan kulitnya. Wajahnya datar.
Dokter Salman berpamitan pergi. Kini tinggal Erlangga yang menelaah keadaan Dilara yang cukup berantakan, merosot di atas lantai dengan kepala bersandar pada dinding, menatap kosong. Maskaranya luntur, berbekas samar di kedua pipinya. Rambutnya yang dibiarkan tergerai mencuat beberapa helai, tak beraturan. Beberapa ada yang menempel di dahinya yang basah. Itu adalah pemandangan teraneh yang baru pertama kali dilihat Erlangga. Seroang wanita yang dikenal sangat angkuh dan tak berperasaan bisa sedemikian hancur. Ia bisa saja mengambil foto Dilara dan menyebarkannya ke media sebagai bahan gosip yang panas. Itupun jika ia tidak punya hati nurani.
Benar apa yang dikatakan adiknya. Ia membenarkan pula kalimat yang pernah diselipkan Indra Tunggadewa dalam benaknya. Seorang wanita pasti memiliki sisi berbeda, yang tidak ditunjukkan di depan pria. Erlangga membenarkan bagian itu saat mengetahui segala tipu muslihat ibunya yang tak pernah mencintai ayahnya. Wanita gila harta yang tega menyakiti hati seorang pria yang mencintainya dengan tulus. Meskipun telah disakiti berkali-kali, namun pria itu tetap mempertahankannya.
"Silakan bocorkan masalah ini pada media," Dilara tertawa sarkastis. Ia menoleh, lunglai, menatap Erlangga yang berdiri tak jauh darinya. "Kamu bisa menghancurkan aku seperti itu."
Erlangga tersenyum miring. Tangannya disurukkan ke dalam saku celana. "Aku nggak punya suasana hati baik buat hancurin kamu hari ini." Ia mendengus, berbalik, dan melangkah pergi. Mengabaikan pandangan sayu Dilara.
Dalam ketidakberdayaannya, Dilara hanya mampu memandang lurus ke depan.
*
Di sofa panjang ruang rawat eyangnya, Dilara tertidur dengan posisi meringkuk. Binar yang ikut menjaga merasa iba. Ia mendengar semua kejadiannya dari salah seorang pembantu.
Selimut yang dimintanya pada seorang perawat ia bentangkan di atas tubuh Dilara. Sejenak ia membagi pandangan antara Dilara dan Widya, lalu duduk di sofa lain. Dilara bergerak gelisah. Tidurnya terganggu, mungkin oleh mimpi buruk. Sontak matanya terbuka. Didapatinya Binar tidur dalam posisi duduk. Kepalanya disangga oleh tangannya. Ia bangkit dari rebahan, menyingkirkan selimut di tubuhnya dan melangkah gontai menuju bangkar Widya. Tangan Widya terasa dingin dalam genggamannya. Tak mengerti apa kesalahannya hingga harus menanggung banyak kehilangan, menghempaskannya pada jurang kesenyapan. Ia kesepian, tak dapat dipungkiri itu. Membayangkan Widya pergi rasanya seperti dipaksa menelan pisau.
"Lara," bisikan serak Widya menyentak kepala Dilara.
"Eyang sudah sadar."
Kelopak mata Widya terkatup dan terbuka lagi, menyipit, membiarkan cahaya diterima oleh matanya. Mencium bau obat-obatan yang menyeruak di hidung, Widya menggumam tak jelas.
"Kenapa harus di sini?" lanjutnya terbata-bata.
"Sekali-kali dengarkan kata dokter, Eyang. Lara nggak mau eyang seperti ini terus."
Genggaman Dilara dibalas lebih kuat. Bola mata Widya bergerak lamat-lamat ke samping. Lagi-lagi Dilara melihat secercah harapan di kedua mata itu.
"Menikahlah, Lara... Eyang ingin melihatnya. Untuk terakhir kali."
"Sshh... jangan bicara ngelantur."
"Eyang ingin melihatnya."
"Nanti kalau eyang sudah sembuh."
"Untuk terakhir kali," Widya mengulang, lebih lirih. "Biar nanti pas ketemu orangtua kamu di surga, eyang tak punya hutang pada mereka."
Dilara tersenyum getir. Wajahnya menampakkan ketegaran, sungguh berbanding terbalik dengan hatinya yang ingin menangis sejadi-jadinya. Mengapa ia harus terjebak dalam situasi yang tidak pernah tepat? Ia ingin mempertanyakan hal itu, entah pada siapa. Pada Tuhan? Ia menarik napas dalam-dalam merasakan sesak di dadanya.
"Untuk terakhir kali, Lara..."
Dilara memejamkan mata selama beberapa detik. "Baik." Bisikan tak kentaranya, tanpa ia ketahui telah didengar Binar di belakang sana. "Aku akan meminta dia menikahiku. Eyang senang?"
Jangan bodoh, gadis itu menyergah dalam hati. Ia tidak mungkin tiba-tiba melompat ke depan dan berteriak lantang menyuruh Dilara untuk tidak menyanggupi permintaan tersebut.
Widya tersenyum samar. Kerutan di bibir dan pipinya tampak berpadu. "Secepatnya."
"Secepatnya."
"Kamu janji?"
"Lara janji. Secepatnya."
Oh shit, Binar lagi-lagi mengumpat dalam hati. Jika itu hanya kebohongan untuk menyenangkan hati Eyang Widya, baguslah.
Nah masalahnya, bagaimana jika Dilara benar-benar nekad menyanggupinya, Binar? Kau tahu itu sama saja menjerumuskan Dilara ke dalam dunia keluargamu yang terlalu sendu, kelam, dan rumit.
Sangat disayangkan.
*
Wow, ini lebih panjang daripada part sebelumnya kan ya...
Hya, karena liburan panjang, tampaknya aku akan lebih sering update gaes :> Dan barangkali di antara kalian juga pembaca Klandestin? Akan kulanjutkan folder duanya, secepatnya buakakakakakak. Oh jangan khawatir, Samsara tetap jalan. Ini juga tetap jalan. Hal tersebut kulakukan sekaligus biar aku bisa menyelesaikan karya lebih cepat. Biar idenya ga lupa. Entah kenapa update cerita berbeda tiap hari itu sangat candu :v
Hoh dan aku baru sadar loh ternyata cerita di watty ini buanyak banget ya yang tokoh sentralnya Erlangga? Dan aku yakin pasti karakternya sama: om om dingin berwajah datar?
Wah gaes, aku nggak ngerti serius ._. dan aku nggak bakal bikin Erlangga di sini jadi tipe bos dingin datar bangsat begitu doang. udah ada Raka sih yang begitu, jadi rasanya ga mungkin terulang lagi. Kebiasaanku itu bikin karakter yang harus beda dari karakter lainnya, gitu :'v jadi biarlah bos dingin datar bangsat itu jadi karakter si Raka, seperti halnya bocah kemrusuk pecinta kebebasan macam Nala, atau yang kalem-kalem menghanyutkan kayak Nagara.
Soal nama, aku pernah suatu saat iseng ngobrol sama temenku. Begini obrolannya:
Temen: namanya bagus amat ini (baca penggalan nama karakter di buku catatan)
Aku: hoh, iya, buat nama anak bagus haha
Temen: Iya, anakku nanti dikasih nama apa ya enaknya?
Aku: Erlangga aja. Panggilannya Erlang
Temen: laah bagus itu. Erlang. keren-keren. Boleh juga sih
--
Kira-kira begitu ._. Dan aku nyomot dari nama laki temenku .__. sekaligus menghormati Prabu Airlangga, makanya kenapa nama belakangnya Tunggadewa, sesuai nama belakang Prabu Airlangga :'>
Sudahlah, aku kebanyakan omong gaes. Sekarang aku kelaparan di tengah malam.
05cd_���@L9
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro