Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Itik Buruk Rupa

"Suit suiiiiitttt...... cantiknya..."

Satu hal yang paling dibenci Lara ketika berjalan bersama Berlian, ia serasa tenggelam di bawah pesona bidadari yang kerap menemaninya pergi. Setiap mereka berjalan berdua, seluruh mata tertuju hanya pada Berlian Suroso, anak seorang pejabat bank yang bersedia menjadi temannya. Sahabat. Lara selalu menganggap gadis itu sahabat. Tidak pernah seorang pun yang mau menjadi sahabat—bahkan teman pun tidak—sejak ia duduk di bangku Taman Kanak-Kanak. Seandainya Lian tidak menawarkan nilai persahabatan padanya, ia tak yakin bisa menjalani kehidupan sosial dengan mudah. Pasalnya, hanya Lian yang berani mengangkat dagu dan mengepalkan tangan demi membela sahabatnya.

"Kamu nggak risih digituin mulu?" Lara berbisik di sebelah Lian, ketika dua dara tersebut menjelajahi outlet­-outlet pakaian mewah di mall sepulang sekolah.

"Udah biasa kok."

"Kalau aku jadi kamu pasti risih."

Spontan, tawa Lian meledak. "Halah, kalau udah kebiasaan digituin pasti bosen. Nikmati ajalah."

Lian meminta Lara berhenti sejenak sekadar mencoba sepasang stiletto merah menyala yang menarik minat gadis berambut hitam legam tersebut. Menunggu Lian memeriksa dan memasangkan sepasang sepatu cantik pada kedua kaki jenjangnya, Lara tersenyum kecil, berangan-angan dapat memasang sepatu serupa di kakinya.

"Bagus, nggak?" Lian meminta pendapat Lara seraya berdiri dan berputar-putar mengamati stilettonya.

"Bagus banget."

"Aku mau pakai ini di prom nanti. Lebay nggak, sih?" Dara jelita tersebut menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Nggak kok. Kan tiap prom temen-temen pasti suka pakai outfit glamour." Bukan pertama kali itu Lian mengenakan sepatu berhak tinggi dengan warna mencolok, semeriah gaun dan dandanannya, sehingga Lara menganggap stiletto tersebut tidak mengubah apapun. Lian tetaplah Lian, yang cantik dan dipuja, bahkan saat ia bangun tidur wajahnya tetap terlihat bagaikan bidadari.

"Kamu nggak nyoba yang lain? Prom dateng, kan?"

Lara menggigit bibir bawahnya, menimbang. "Nggak tahu..."

"Aduh, jangan bilang nggak tahu dong! Dateng ya."

"Tapi—"

"Arka dateng juga loh. Bukannya kamu masih berharap bisa deketin dia?" Lian mencolek pinggang Lara, membuat gadis itu seketika memerah.

"Aku malu."

"Nggak usah malu. Kamu belajar pede makanya, kayak aku."

Kamu gampang bilang seperti itu karena kamu nggak pernah jadi aku, Lara membatin lirih.

"Pokoknya kamu dateng ya. Aku usahain Arka ngajak kamu ke prom deh. Suer."

"Beneran?"

"Iya! Ini kan tahun akhir kita. Sebelum lulus, aku pengen ngasih prom yang paling berkesan buat kamu."

Membayangkan keasyikan prom yang dijanjikan Lian mengaburkan pikiran negatif Lara. Dalam otaknya dapat ia lihat secara jelas bayangan Arka, mantan ketua MPK sekolahnya yang sangat populer dan banyak dikejar-kejar perempuan, mengajaknya hadir dalam prom kelulusan. Mengajak berdansa. Wah, pasti menjadi prom yang tak akan pernah terlupakan sepanjang hidup. Imajinasi indah di kepala Lara hancur dalam serobotan teriakan seorang bocah di belakangnya,

"Eh beruk jumbo, ngapain lu di sini? Nggak ada sepatu yang cocok sama kaki besar lu! Minggir!"

Ia terdorong, jatuh tersungkur menubruk rak sepatu. Sedangkan di belakang, segerombolan selebriti sekolah terbahak-bahak menertawainya.

*

"Mbak Di..."

Seseorang menepuk pundak Dilara, membuat wanita itu spontan berjengit dan mengangkat kepala dari atas mejanya. Matanya nyalang memandang Lani yang mengernyit.

"Apa!"

"Anu, Mbak Di ketiduran..."

Tangan Dilara yang bebas mengibas, mengusir Lani agar membiarkannya mengumpulkan nyawa. Ia mendesah panjang, membenamkan wajah pada kedua belah tangan, merasakan jantungnya yang dipacu sangat keras hingga ia khawatir bisa menerobos rongga dadanya.

Ia memeriksa jam tangan. Jarum pendeknya berada di angka satu, tanda ia harus mengisi perutnya yang tak ia sadari sudah keroncongan. Diraihnya ponsel di dekat buku sketnya untuk menghubungi Binar.

"Ya, Mbak?"

"Di mana kamu?"

"Saya ada kegiatan amal di shelter—"

"Temani aku makan siang. Dalam lima belas menit kamu nggak ada di depan mukaku, jangan harap malam ini bisa mimpi indah."

"Tapi, Mbak—"

Tak ingin mendengar kalimat bantahan, Dilara memutus sambungan. Segera ia merapikan meja dan menata rambutnya dengan gerakan hati-hati. Ia memoles lipstik merah darah di bibir sensualnya, mengecapnya sekali, dan tak henti-hentinya mematut wajah malaikatnya di depan cermin bedak. Mencondongkan kepala lebih ke depan, ia menemukan setitik jerawat kecil di dagunya. Ditutupnya bedak tersebut kasar.

"Gara-gara karyawan yang nggak becus, aku jadi jerawatan begini." Sebisanya ia menahan diri agar tak menjamah dagunya. Lani yang sibuk menerima panggilan dan mencatat pesan menoleh pada Dilara usai meletakkan gagang telepon.

"Kepala editor majalah Gelora minta dijadwalkan pertemuan."

"Ck, ngapain lagi sih?"

Lani mengedikkan bahu.

"Jangan besok. Mau lusa, minggu depan, bulan depan, peduli setan. Besok aku mau ngosongin jadwal buat ke salon."

Bibir Lani mencebik ke bawah. "Oke..." Ia kembali menghubungi kepala editor majalah Gelora dan meneliti kapan Dilara memiliki waktu luang. Hampir semua kotak di kalender dalam komputernya merah. Ia menggeleng, memilih dua hari ke depan, sore hari, untuk menjadwalkan pertemuan Dilara dengan kepala editor majalah fashion kenamaan tersebut.

Kaki jenjang Dilara melenggang anggun melintasi meja Lani dengan aroma parfum berharga jutaan yang baru wanita itu semprotkan di tubuhnya. Ia mengenakan kacamatanya sesampainya di dalam lift. Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya praktis bergeser hampir menyentuh dinding lift, berdiri dalam diam dan tegang. Sekali lagi Dilara mengecek jam tangannya.

"Awas saja kalau anak ini telat." Ia mengalihkan perhatian lurus ke depan. Menghela napas panjang.

*

"Misi, Mbak, Mas. Misi yaaa!!!"

Orang-orang yang berjalan di trotoar terlonjak kaget. Binar menerobos dan mendorong tubuh-tubuh yang menghalanginya demi sampai di kantor tepat waktu. Rambut yang ia kuncir kuda mencuat ke sana-sini, tidak beraturan. Hari ini ia begitu sial—atau barangkali setiap hari ia tertimpa kesialan. Mobilnya mogok saat hendak dilajukan menuju Stilettale sehingga ia perlu mencegat taksi di trotoar. Namun tak satu pun taksi yang bersedia berhenti lantaran telah diisi penumpang. Binar tidak ingin menunggu lama, maka ia berlari beberapa meter dan meminta tukang ojek mengantarnya sampai di kantor.

Kesabarannya harus diuji saat sepeda motor yang mengantarnya berhenti, sebab jalanan telah diblokade untuk kegiatan demo. Binar terpaksa mengambil jalan keluar dengan berlari sekencangnya. Untung jarak pemberhentian motor dan kantor tidak begitu jauh. Walaupun paru-parunya dipaksa bekerja ekstra mengumpulkan oksigen. Ia ngos-ngosan, nyaris menggelepar di jalan, namun pada akhirnya berhasil sampai di lobi dan bertemu dengan Dilara yang menarik sebelah alisnya menelisik penampilan Binar dari atas hingga ke bawah.

"Kamu telat satu detik."

Cuma satu detik coy! Mampus aja lu kalau masih marahin gue! Binar memilin bibirnya menahan jengkel.

"Karena aku kasihan melihat kamu seperti ini, aku maafkan keterlambatan kamu." Wanita tersebut tersenyum kecil. "Tolong rapikan rambut kamu, jangan buat nafsu makan siangku hilang."

Minta diapain nih mak lampir. "Iya."

Begitu Dilara melimbai pergi, Binar meluapkan kejengahannya dengan mengerang dan menghentak-hentakkan kaki di lantai. Wajahnya merah padam. Pita rambutnya ditarik kasar, membiarkan rambut sepundaknya terurai dan bergoyangan mengikuti langkah gusarnya mengekori Dilara.

*

Mendengar cerita Erlangga, suara tawa Saka meledak di dalam tempat bilyar, mengalihkan perhatian pengunjung lain. Meluapkan kekesalannya, Erlangga membidik bola bilyar dengan stik kasar. Dalam sekali sentakan, ia berhasil memasukkan tiga bola sekaligus, membuat beberapa wanita yang mengitari meja bilyarnya menggumam takjub.

"Kan udah aku bilang, wanita itu nggak sama kayak wanita lain. Pertama, dia nggak akan tergiur sama uang. Kedua, dia nggak akan tergiur sama cowok seganteng dan seseksi Channing Tatum sekalipun." Saka kembali tertawa, menenggak bir di gelas kecilnya seraya menerima belaian dua wanita seksi di kanan dan kirinya.

Menghentikan permainan, Erlangga mengangkat stik dan memutar mata. "Cewek yang nggak tergiur sama duit itu mitos." Mungkin pengecualian untuk adik perempuannya yang hanya mendedikasikan dirinya untuk berkarya dan game.

"Binar mitos dong."

"Aku nggak yakin Binar cewek tulen."

Salah satu alasan ia bersikap sangat baik pada adik perempuannya, tentu karena Binar tidak sama seperti gadis prestisius di luar sana yang hanya tahu warna cat kuku atau gaun apa yang pantas digunakan saat makan malam bersama. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan bersama Binar dengan kegiatan-kegiatan ekstrim yang tentu tidak mampu dilakukan perempuan 'pada umumnya'. Binar bahkan memiliki medali kick boxing, karate, panjat tebing, anggar, dan jujitsu. Seandainya Binar sama menyebalkannya seperti perempuan 'pada umumnya' di luar sana, Erlangga tak yakin mau berdekatan dengannya dan memilih menjauh. Bahkan tidak peduli. Seperti yang ia lakukan pada ibu kandungnya sendiri.

"Aku masih nunggu janji kamu loh."

"Yailah... kasih waktu dong. Ini cobaannya berat, Man. Bukan cewek sembarangan. Butuh penanganan khusus."

Saka tahu penanganan khusus macam apa yang dimaksud sahabatnya. "Busyet. Jangan sejahat itu lah."

"Cewek songong kayak dia nggak cocok dikasihani."

Salah seorang wanita bergaun ketat menghampiri Erlangga. Jemari lentiknya mendarat di atas pundak lelaki itu. Baru sedetik, Erlangga spontan menahan tangannya dan menepisnya jauh. Membuat wanita tersebut mencebik kesal.

"Sssttt." Saka memberi peringatan pada si wanita agar tak mengganggu Erlangga. Tangannya mengibas memerintahkan wanita-wanita di sekeliling meja bilyar enyah dari hadapan Erlangga sebelum pria tersebut meledakkan kemurkaannya.

*

Selama setengah jam Binar duduk menemani Dilara makan di salah satu restoran bergaya retro favorit Dilara. Ia mengamati wanita itu makan diiringi lagu-lagu lawas. Bahkan makan siang yang sesantai ini saja wanita itu melakukannya dengan gerakan anggun. Binar tak yakin wanita di depannya adalah manusia. Apakah ia semacam mutan? Robot? Makhluk jadi-jadian? Tidak nyaman diamati Binar, Dilara menyelesaikan makan siangnya, meneguk air putih, mengusap bibirnya perlahan menggunakan serbet, lantas menatap gadis di depannya lurus-lurus.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?"

Binar tersedak jus alpukatnya. "Cuma... kagum."

"Kagum?" Satu alis Dilara tertarik. "Kamu tahu kalau aku bisa mencium bau kebohongan bahkan dari jarak bermil-mil sekalipun?"

Bullshit banget dah. "Hm..." Binar mengedik.

"Lihat ke arah sana." Dilara menunjuk salah satu bangku di restoran tersebut. "Menurutmu, ada hubungan apa di antara gadis belia dan pria paruh baya itu?"

"Bapak dan anak?"

Dilara praktis tertawa sarkastis. "Bapak dan anak nggak mungkin makan siang berdua di restoran seperti ini. Nggak mungkin berpakaian serapi itu. Dan yang perempuan otomatis nggak akan berdandan semenor itu." Telunjuk Dilara teracung tepat pada sosok si gadis yang ia maksud. Menunjuk pada bibirnya yang dipoles lipstik mencolok. "Seorang simpanan." Lantas menunjuk rok mini yang menampakkan paha putih mulusnya. "Seorang pelacur."

Mulut Binar ternganga lebar. Ia tak menyangka Dilara akan berkata sefrontal itu di depan wajahnya.

"Kenapa Mbak yakin dia seorang simpanan—pelacur?"

"Seorang anak nggak akan berdandan serendah itu jika dia keluar dengan orangtua—bahkan ayahnya sendiri. Kalaupun ada orangtua yang membiarkan anak-anaknya keluar mengenakan rok mini dan bergincu semenor itu, aku sungguh menyayangkan. Orangtua bodoh yang membiarkan tubuh anaknya dicicipi mata keranjang pria hidung belang."

Lagi-lagi Binar melongo.

"Tuh, bapak dan anak dari mana kalau mereka bicara dan tatap-tatapan semesra itu?" Dilara berdecak muak. "Aku bisa nebak kebohongan kayak apa yang dibuat si tua keladi. Makan siang sama teman kantor? Ada meeting sama klien?"

"Itu... tuduhan yang berlebihan deh, Mbak..."

"Oh begitu?" Dilara tertawa sarkastis lagi. Jemarinya bergerak meminta Binar mengeluarkan notes dan pulpen. Meski dibuat bingung, Binar menuruti perintah Dilara dan menyerahkan kedua benda tersebut. Ia menuliskan sesuatu pada notes tersebut dan memanggil seorang waitress. "Tolong berikan pada lelaki di sebelah sana dan jangan beri tahu siapa pengirimnya."

"Baik, Non."

Waitress tersebut mematuhi perintah Dilara, berjalan cepat menuju meja pria bersama gadis belia yang dimaksud Dilara dan memberikan secarik pesan di meja tersebut. Beberapa detik usai membaca pesan tersebut, sang pria langsung berjingkat dan berpamitan pada si gadis, berlari tergesa-gesa.

"Mbak nulis apaan?"

"Cuma pesan: 'Orang yang Anda cintai sedang dalam bahaya. Segera temui dan selamatkan sebelum terlambat'. Kalau dia pergi, artinya ada seseorang yang dia cintai di rumah atau manapun dia berada, yang terancam bahaya. Kalau yang dicintainya adalah gadis itu, yang kamu kira anak—atau kalau kamu meralat jadi istri muda?—tentu pria itu nggak akan berlari panik, bahkan sampai lupa kenapa nggak kepikiran tanya ke waitress, siapa pengirim pesan itu."

Kini Binar menelan ludah. Takut. Wanita macam apa yang ia temani saat ini?

"Artinya, laki-laki itu mencintai istrinya dong. Kenapa dia berani bohong dan selingkuh?"

"Ya itulah sifat alami laki-laki, Binar." Dilara meraih gelasnya, meneguk sekali, dan tersenyum kecil. "Mereka nggak akan puas hanya dengan satu wanita untuk menemaninya seumur hidup. Walaupun yang dicintainya tetap sang istri, dia tetap akan mencari kesenangan saat bosan."

Dan itulah salah satu alasan Dilara memutuskan melajang dan peduli setan terhadap ikatan pernikahan. Meskipun bila kelak suaminya tetap mempertahankannya dibandingkan selingkuhannya, ia tak akan memberikan kesempatan kedua. Daripada memberikan kesempatan kedua, ia memilih untuk tidak berhubungan dengan lelaki manapun, mencegah hal tersebut menimpa dirinya.

*

Sejak Binar menerima sabda Dilara, ia banyak diam. Dalam hati ia berpikir, di balik sikap bosnya yang arogan, dingin, dan tak berperasaan, pasti ada kisah kelam yang membuatnya demikian. Tak ada asap bila tidak ada api. Binar pikir, wanita misterius yang tidak banyak diketahui kehidupan pribadinya ini pasti memiliki masa yang tidak menyenangkan sebelum ia sesukses sekarang.

Di dalam mobil dalam perjalanan pulang, Binar mengumpulkan keberanian untuk bertanya. Dilara meminta Binar tetap bersamanya, bahkan saat wanita itu menerima panggilan lagi dari Kartika yang mengabarkan kondisi eyang putrinya semakin memburuk.

"Orangtua Mbak Dilara mana sih?"

"Kenapa kamu tiba-tiba tanya?" Dilara balik bertanya. Dingin.

"Saya penasaran..."

"Penasaran?" Menoleh, ia mengembangkan senyum singkat untuk Binar. "Sayang sekali." Lantas membuang muka. "Itulah yang aku benci dari orang asing yang punya kesempatan berdekatan denganku. Mereka bertanya hanya karena penasaran."

Glek. Sial sekali. Binar tampaknya salah melangkahkan kaki dan ia harus menerima ranjau di tempat tersebut.

"Oke, saya akui saya penasaran. Saya juga penasaran kenapa Mbak memilih saya jadi asisten pribadi kalau Mbak pikir saya adalah orang asing?"

Dilara menghela napas panjang. "Kamu punya mimpi besar?"

"Tentu saja!"

"Apa yang akan kamu lakukan untuk mendapatkan mimpimu?"

"Saya akan melakukan apapun."

Ya, termasuk menjadi kacung pribadi Dilara, kendati ia tak suka.

"Seandainya kamu nggak aku ancam waktu itu, aku yakin kamu nggak akan mau jadi asisten pribadiku, kan? Kamu takut nggak ada rumah mode yang melirikmu lagi jadi desainer, seperti ancamanku waktu itu. Dan kamu terpaksa jadi asisten pribadiku, demi nama baikmu agar rumah mode lain masih mau memperkerjakan kamu sebagai desainer mereka."

Wah. Tepat sasaran. Binar diam seribu bahasa.

"Dan aku tahu impianmu nggak sebatas itu, Binar. Kamu pengen orang menghargai karyamu, tapi kamu salah pasar."

"Salah pasar?"

"Kamu nggak cocok kerja di perusahaan mode seperti Stilettale. Bahkan Prada. Atau Chanel. Mereka menjual kecantikan."

"Sedangkan saya sampah?" Belum-belum Binar merengut tersinggung.

Dilara tertawa kecil. "Sedangkan yang kamu jual adalah sampah bagi dunia mode trendy tapi sebuah harta karun yang terpendam. Pasar nggak menerima harta karun yang sulit ditemukan. Mereka lebih senang memakai barang murahan, biarpun ekslusif dan dipajang dengan harga tertinggi. Kenapa aku bilang murahan? Karena barang yang mereka pakai sama saja. Tetap baju yang modelnya A, B, C, dan seterusnya yang menjamur. Yang nggak unik. Harta karun seharusnya ditemukan oleh orang yang tepat. Kamu cocoknya jadi perancang busana Lady Gaga atau kostum film seperti Tex Saverio."

Sungguh tak disangka, wanita ini mengucapkan kata-kata mutiara yang membuat Binar terbungkam. Seseorang yang mengejek hasil karyanya sampah, rupanya memiliki pesan untuknya. Yang memang tidak ingin diungkapkan dengan cara biasa.

"Karyaku termasuk murahan," Dilara melanjutkan. "Karena aku membuatnya untuk tren yang cepat dilupakan. Hanya pemuas kebutuhan manusia prestisius di era ini."

Saking tertohok dadanya mendengar penuturan Dilara, Binar sampai lupa alasan Dilara memilihnya menjadi asisten pribadi, mengalahkan ratusan gadis yang bersedia sujud di kakinya demi posisi itu.

"Saat aku melihat kegigihanmu, aku teringat seseorang. Dia punya semangat sepertimu. Dia ada di balik kesuksesanku. Tapi kamu adalah bentuk api yang memijar. Terus benderang dan nggak pernah padam. Berkali-kali kamu aku caci dan karyamu kutolak, kamu terus maju. Itulah alasan kenapa aku memilih kamu menjadi asisten pribadiku daripada orang lain—bahkan Lani yang udah aku percaya bertahun-tahun di kantor. Jika mereka ibarat lilin, kamu seperti obor."

Obrolan mati tatkala mobil berhenti di halaman rumah Dilara. Pintu dibuka seorang abdi yang menyambut tangan Dilara. Wanita itu keluar lebih dulu diikuti Binar. Ucapan Dilara, entah mengapa, merasuk dalam diri Binar seakan-akan wanita itu menyuntikkan obat tertentu dalam darahnya yang membuatnya terdiam.

Beberapa pelayan berbaris dan menunduk hormat. Ditemani Binar, Dilara menaiki anak tangga demi anak tangga yang melingkar ke atas menuju kamar eyang putrinya. Pintu kamar dibuka Kartika dari dalam. Widya membuka mata keriputnya merasakan kehadiran cucunya. Seperti biasa, Kartika dan perawat pribadi diminta pergi. Kecuali Binar yang menemani Dilara dengan tatapan tak terbaca. Gadis itu berdiri di pojok kamar mengamati keintensan Dilara dan Widya.

"Lara, eyang didatangi kakek dan orangtuamu."

"Mereka titip pesen buat Lara?"

"Mereka terus memantau kamu di atas sana dan mendoakan kamu agar segera menemukan pria tepat."

Ah, kenapa masalah itu lagi? Dilara tersenyum kecut.

"Ssshhh... Nanti dibicarakan lagi. Tidur yang nyenyak ya. Lara sudah ada di sini." Dilara mengusap rambut Widya.

Selain telah mendapatkan jawaban bahwa orangtua Dilara telah meninggal, ia juga mengetahui bahwa wanita itu hanya memiliki seorang nenek. Ada yang berbeda dari wanita itu. Binar menyadarinya. Binar tak lagi melihat bosnya yang arogan dan menyebalkan. Ia seperti melihat seorang malaikat yang sayapnya terlanjur patah dan membuatnya terluka.

*

"Yakin deh Pak Erlangga ini gay."

"Ih masa sih?"

Segerombolan karyawan wanita berkerumun membentuk lingkaran sambil menikmati secangkir kopi. Tak ada topik yang lebih menyenangkan selain membicarakan bos yang memiliki kelebihan fisik luar biasa dan tak akan segan-segan membentak karyawannya yang bekerja lelet. Biarpun itu perempuan. Yang cantik sekalipun.

"Lah menurutmu apa kalau bukan gay? Seumur-umur kita nggak pernah lihat dia bawa cewek tuh. Bahkan digoda cewek-cewek bahenol aja nggak ngelirik. Malah muak!"

"Iya tuh. Sama aku aja nggak ngelirik."

"Kenapa sih cowok-cowok ganteng dan macho zaman sekarang sukanya sama cowok juga? Kan sebel nggak ada stok cowok ganteng!"

"Jangan-jangan pasangan gaynya tuh si Saka. Kan kemana-mana suka berdua."

"Eh jangan ngawur! Saka matanya celamitan gitu dibilang homo. Mana ada homo yang keluyuran sama cewek berbeda?"

"Ya siapa tahu Saka biseksual. Hayo..."

"Aku nggak percaya ah kalau Pak Erlangga gay! Nggak rela!"

Keasyikan obrolan para karyawan wanita berhenti mendadak ketika bos yang menjadi perbincangan hangat pagi mereka muncul, melangkah dengan dagu diangkat penuh wibawa. Mereka praktis menoleh dan memberikan senyum terbaik yang mengalahkan iklan pasta gigi sambil menyapa manis madu.

"Pagi, Pak..."

Tak ada jawaban. Bahkan Erlangga berlalu begitu saja tanpa menoleh atau melirik. Padahal pagi itu Mawar sengaja melepas dua kancing kemejanya mempertontonkan dada putihnya demi menarik perhatian sekaligus mengetes bosnya.

"Tuh, kan! Yakin seratus persen bos kita homo!"

"Siapa yang homo?" Saka muncul tiba-tiba mengagetkan kerumunan tukang gosip kantor yang terperanjat.

"Anu... kucing tetanggaku, homo ternyata."

"Ketahuan ngomongin bos kulaporin kalian semua biar dipecat. Nggak sopan."

Menyingsing lengan kemejanya sampai batas siku, Saka melenggang tak acuh, memasuki ruangan Erlangga mengabaikan gumaman gerombolan tukang gosip yang masih saja mengerumun.

Melihat Erlangga sudah menghidupkan laptop dan melabuhkan perhatian menuju pintu, Saka menggeleng-gelengkan kepala. Ia mendaratkan pantatnya di atas kursi, berhadapan dengan sahabatnya.

"Gila karyawan perempuanmu."

"Kenapa?" Erlangga mulai mengetik pada keyboard.

"Nggak sadar suka diomongin mereka? Kamu dibilang homo."

Praktis Erlangga menjauhkan matanya dari laptop, beralih pada Saka. Tawanya meledak sampai membuat tubuhnya bergetar di kursi.

"Ya terus kalau aku homo, emang apa urusannya sama mereka?"

"Beneran kamu homo?" Saka meninggikan nadanya terkejut.

"Emang kamu mau nemani aku tidur malam ini?"

"Najis! Cuih!" Saka bergidik, membuat Erlangga semakin mengeraskan tawanya.

"Ya pertanyaanmu juga aneh sih." Suara ketak-ketik keyboard terdengar lagi. Erlangga menelusuri tiap laman di internet. Menggerakkan kursor ke kanan, kiri, mengkliknya dan mendesah putus asa. "Semalaman aku nyari data-data kehidupan pribadi Dilara Niranjana. Nggak ada yang pernah mengulik kehidupan wanita itu."

"Buat apaan?"

"Come on, Man. Aku harus tahu cewek model apa Dilara ini. Kenapa dia sangat misterius dan nggak ada data pribadi yang disimpan situs manapun? Wawancara, artikel, semuanya soal karyanya."

"Udah nyoba cari data pribadi keluarga Soedirman?"

"Udah. Nihil. Kayaknya dia emang udah menghapus segala hal yang dirasa sangat pribadi. Rapi banget kerjanya." Erlangga mengelus dagunya, berpikir. Telunjuknya mengusap bibir dan mengetuknya perlahan. "Nih cewek makin bikin penasaran aja."

"Ya artinya kamu nggak dikasih akses sama Tuhan buat ngancem dia." Saka tertawa renyah.

"Tunggu deh... ada artikel yang ngasih informasi kalau dia punya hubungan pertemanan sama Berlian Suroso." Ada secercah harapan bagi Erlangga. Ia tersenyum miring kembali mencari tahu informasi Dilara sedalam-dalamnya sebagai senjata untuk menjatuhkan dan mengancamnya. Pasti ada alasan di balik kemisteriusannya. Alasan di balik rahasia kehidupan pribadinya.

Selama beberapa saat dan Saka mulai menunggu jemu, Erlangga berhasil mendapatkan informasi seputar Berlian Suroso. Tempat sekolahnya. Sialnya, pada zaman itu teknologi tidak secanggih sekarang sehingga keberadaan Dilara belum bisa terlacak di situs sekolahnya. Sepertinya, ia terpaksa meluangkan waktu berharganya demi mencari informasi pribadi Dilara.

sn-vރ��eUn

*

Wow tak disangka kudapatkan 200 votes dalam sehari? Ah sebodo lah mau dapat votes berapa.

Belakangan ini aku lagi sensitif dan rasanya pengen ngamukin semua orang. Jadi maapkeun kalau di whatsapp, line, inbox, atau manapun jawabanku singkat atau sangat nyelekit. Mungkin masa PMS? Dan mungkin karena ketambahan beban belajar di kampus dan luar kampus. Ada 20 lebih tugas makalah yang harus diselesaikan sebelum UAS dan proposal skripsi yang sampai sekarang belum jalan karena obyekku ga jelas keberadaannya. Ketambahan hutang artikel dan berita sama wawancara. Semua itu harus diselesaikan akhir Desember. Ah, rasanya kuingin menumpahkan air mata hingga tak tersisa lagi dan kering kerontang *njir*. Kalau kau jadi diriku, mungkin kau sudah lari ke RSJ Menur yang jaraknya beberapa kilo dari kampusku.

Dan hanya dengan menulis aku bisa tenang. Ibaratnya nulis itu morfin yang candu bagiku. Meskipun gara-gara morfin ini tugasku malah makin numpuk. Heleh.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro