Hai, Prada!
Sinar mentari yang menyusup melalui celah jendela yang terbuka menerpa wajah wajah Dilara sehingga membuatnya perlahan menguak kelopak matanya yang berat. Ia mengerang perlahan merasakan pening di kepala bagaikan dipukul palu gada. Beberapa detik ia terdiam memandangi langit-langit kamar dan memutar ulang kejadian malam lalu. Baik, ia sedang berdiri di garden rooftop bersebelahan dengan Erlangga dan menghabiskan sebotol sampanye. Lalu ia tak ingat apapun.
"My God!" Ia terlonjak. Dipantaunya keadaan sekitar kamar. Matanya menjelajahi tubuhnya. Ia meneliti seluruh pakaiannya, lalu mendesah lega. Dahinya ditepuk berkali-kali memaki dirinya sendiri yang dengan teledor membiarkan dirinya mabuk saat bersama seorang pria. Saat mabuk, ia berusaha sebisanya berjauhan dengan lelaki manapun. Ia lebih memilih mengurung diri di apartemen dan tertidur di depan televisi, ruang kerja, ruang tamu, atau bahkan balkon daripada berakhir di ranjang bersama lelaki asing yang ditemuinya di klub malam. Setidaknya Dilara masih berpakaian lengkap. Pakaian yang masih sama seperti kemarin.
Buru-buru ia menguncir rambut dan masuk ke dalam kamar mandi. Tak kurang dari lima belas menit ia sudah turun dengan pakaian rapi, bergabung bersama Erlangga yang menikmati secangkir kopi di meja makan.
"Morning, Babe."
"Don't babe me." Dilara menuangkan air ke dalam gelas. Ia mengamati sarapan yang sudah tersedia di meja. Bola matanya terputar ke atas. Nasi goreng dengan telur mata sapi. Nyaris setiap hari hanya menu itu yang dibuat pembantu. "Pembantu kamu suruh masak yang lain, kek. Atau aku aja yang masakin biar setiap hari ada variasi menu?" Ia duduk dengan muka masam.
"Bersyukur, Di. Masih ada yang nggak bisa makan di luar sana."
Dilara mendesah. Sebelum ia menyuapkan sesendok sarapannya, mulutnya terbuka berkata, "Siapa yang bawa aku ke kamar? Kamu?"
"What do you expect? Batman?"
"Kamu nggak curi-curi kesempatan, kan?!" nada Dilara mendadak meninggi.
"Ngapain nyuri kesempatan? Astaga. Sori ya, aku ini lelaki terhormat yang nggak bakal nyentuh cewek saat mabuk. Gila." Ia menggeleng-geleng kepala.
Ah, memang benar. Semalam saat Dilara mabuk dan bertindak gila dengan menciumnya tiba-tiba, ia spontan mendorong jauh tubuh perempuan itu, berlari keluar, dan menutup pintu kamar Dilara sembari mengatur napasnya serta berusaha menormalkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdebar. Ya... sebelum Dilara bertindak lebih gila, lebih baik ia kabur, daripada keesokan harinya ia babak belur dihajar perempuan itu.
Sepanjang eksistensinya di dunia, ia tidak pernah sembarangan mencium perempuan. Bahkan Saka selalu menawarkan perempuan-perempuan bahenol atau mengajaknya menonton blue film lantaran mengkhawatirkan sahabatnya yang selalu diasumsikan teman-teman sekampus mereka sebagai gay. Tidak, ia memang tidak pernah sembarangan mencium perempuan. Sebab ia hanya akan mencium perempuan yang benar-benar dicintainya. Dan tentu saja dalam keadaan sadar.
Seperti saat pertama kali ia mencium Kana dan mengatakan bahwa ia mencintainya dan dibalas oleh perempuan itu dengan berkata mereka lebih baik bersahabat...
"Itu artinya kamu beruntung masih punya kesempatan bernapas." Dilara meneguk minumnya tanpa melepaskan tatapan tajamnya.
Bibir Erlangga tercebik ke bawah. Ia memilih untuk tak membuka mulut dan bercerita segila apa Dilara saat mabuk. Itu lebih baik daripada jika ia terkena lemparan stiletto perempuan tersebut.
*
Roxelana duduk di bangku bartender sembari menikmati segelas lime squash bersama seorang teman perempuannya. Setelah kurang lebih beberapa saat mengobrol, teman perempuannya berpamitan pergi. Ia masih duduk bersilang tungkai, mengaduk-aduk minumannya yang masih penuh. Perhatiannya sempat tertaut ke arah pintu ketika seseorang masuk dan langsung mengambil tempat duduk di sampingnya. Perempuan itu menelisik lelaki tersebut dengan saksama. Ia memalingkan wajah sebentar, menggigit bibir bawah.
Boleh juga nih.
"Hai."
Mendengar sapaan manis di sampingnya, Roxel praktis menoleh dan menunjuk dirinya sendiri. "Me?"
"Memang ada lagi perempuan cantik di dekat saya yang bisa saya panggil semanis ini?"
Sudut-sudut bibir Roxel tercebik ke bawah, lalu menyunggingkan senyum. Ia berpura-pura tak terlalu peduli dengan memalingkan wajah, lurus ke depan, kendati sesekali matanya mengekor ke samping. "Memang saya kenal kamu?"
"Tidak. Tapi saya tahu kamu."
"Oh ya?"
"Lagipula, siapa yang tidak mengenal desainer yang sedang naik daun?"
Sudut bibir Roxel makin terangkat. "Hm... jarang-jarang nih ada pria yang ngikutin perkembangan mode."
"Oh. Kebetulan saya fotografer internasional. Saya sedang merencanakan pameran tunggal di Indonesia. Mungkin kita bisa bekerja sama?"
"Bekerja sama?" Sebelah alis Roxel terangkat tertarik. Ia memberikan wajah berpikir selama beberapa saat, hingga akhirnya senyum di bibirnya memberikan jawaban. "Sounds great. Baiklah." Roxel mencondongkan tubuh makin mendekati lawan bicaranya. "Bagaimana kalau kita bicarakan ini di tempat lain?"
"Boleh."
"Di apartemenku?"
"Tentu."
Roxelana menggigit sudut bibirnya. "Call me Roxy. You?"
Dan dijawabnya pertanyaan itu dengan uluran tangan. "Ares."
*
Memang benar ucapan Erlangga. Dilara sadar bahwa yang ia ciptakan tak lebih dari sampah atas ambisinya yang ingin membalas kelicikan Roxel. Berulang kali ia mencoba, tetap saja ia tak mampu menorehkan apapun di atas kertasnya. Desain-desain yang ia ciptakan seakan tak bernyawa. Tidak seperti desain-desainnya yang lain yang dibuat dengan ketenangan dan kecintaan terhadap hobinya. Tampaknya, ia memang harus mengambil waktu untuk beristirahat sejenak. Sekadar mengembalikan profesionalitasnya sebagai penguasa mode Indonesia.
Maka, Dilara memilih untuk meninggalkan sejenak rutinitasnya dan mengalihkannya kepada Binar di kantor. Ia mencari waktu untuk menyendiri di rumah Widya yang kini tampak lebih suram dan muram, seakan jejak-jejak kebahagiaan di sana telah lenyap ditelan waktu. Memandang setiap sudut rumah itu, kenangannya berlari di kepala. Memutar ulang beberapa tahun lalu semasa ia kecil. Pertama kali ia dibawa ke tempat itu, ia masih seorang bocah kecil yang murung dan terbayang-bayang oleh wajah orangtuanya. Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Keberadaan neneknya yang penyayang menyembuhkan lukanya akan kehilangan. Sedangkan kakeknya yang sedikit menunjukkan emosi terkadang menghadiahkan buku-buku dongeng sepulang dari luar kota atau luar negeri.
Ingatan itu berputar bagaikan piringan hitam dalam tempurung kepala Dilara. Dipandangnya lukisan kakek dan neneknya yang terpajang di atas sebuah bufet dengan kepala tengadah.
"Saya merasa gagal," bisiknya. "Dulu kalian yang mengajarkan pada saya untuk tak pernah mengalah pada kehidupan yang keras. Saya adalah pondasi kokoh yang dibangun dari reruntuhan. Kalian selalu mengajarkan saya arti hidup dengan penuh kejujuran." Kemudian teringat percakapan kakek-neneknya yang tanpa sengaja ia dengar.
"Seharusnya mereka tidak menikah! Dia itu penipu!"
"Dia bukan penipu."
"Berhenti membela menantu kamu yang tidak benar, Wid. Kenyataannya memang begitu."
Dilara baru mengerti mengapa kakeknya tak pernah menyukai papanya. Meskipun demikian, mamanya tetap memaafkan dan menerima apa adanya walaupun papanya sempat terlibat kasus penipuan uang. Dengan menikahi mamanya, papanya berubah menjadi lebih baik. Dilara dididik sangat keras untuk menjadi orang yang jujur. Kesuksesan yang ia dapatkan suatu hari nanti haruslah dengan upayanya sendiri, tanpa menyakiti siapapun. Walaupun dicurangi oleh saingannya, ia tak akan membalas dengan perbuatan serupa.
Namun tiba-tiba di tengah lamunannya, batinnya berbisik keji mengatakan, "Lara, kamu mencurangi eyangmu. Kamu membohonginya. Kamu tidak jujur. Kamu pembohong."
Dilara mengubah raut wajahnya. Penyesalan kembali menguap dalam dirinya. Seharusnya ia melihat wajah Widya terakhir kali. Wajah yang ia bohongi. Wajah yang ia lukai.
*
Binar berputar mengamati meja di sekelilingnya yang penuh dengan kain yang digunting mengikuti pola desain oleh para desainer yang bekerja di sana. Ia berkeliling memeriksa sekaligus memberikan masukan pada beberapa desainer. Tangannya bergerak lincah memasang payet pada salah satu manekin, lantas beralih menuju manekin lain dan membantu memasangkan manik-manik. Diamatinya desainer-desainer di ruangan tersebut sambil merekahkan senyum. Ia tak menyangka bahwa desainer-desainer tersebut memiliki semangat tinggi untuk membantu mengembalikan nama label mereka dan menguasai pasar seperti dulu. Walaupun sama jengkelnya pada si bos, toh mereka tetap kompak, saling bahu-membahu demi kebaikan bersama.
"Kerja yang bagus ya!" Binar bertepuk tangan girang dan berbalik badan mengambil ponsel di dalam tasnya yang sejak tadi meraung-raung meminta perhatian.
Melihat sebuah nama yang terpampang di layar, Binar merekahkan senyum. Ia mengangkat panggilan tersebut dengan nada riang. "Salut, Madam Vionette!"
"Salut, Binar. You sound so happy," sapa Sophie Vionette. "Sudah saya katakan berulang kali, panggil Sophie saja. Bagaimana?"
"Kami sedang mengerjakan haute couture dan ready-to-wear dari desain Anda. God, thank you so much. Kami benar-benar terbantu. Setelah baju-baju ini selesai, saya akan mencoba membuka pre-order." Binar melirik Lani yang mengacungkan jempol.
"Senang rasanya bisa membantu. Kalau Ares tidak menghubungi saya, saya tidak akan tahu kesulitan yang dihadapi anak didik kesayangan saya yang sangat bertalenta itu." Sophie terkekeh. "Terakhir kali saya datang ke acara peragaan busananya, dia juga terkena kasus plagiasi yang dilakukan desainernya. Saya sangat prihatin dan ingin menghibur, tapi saya tahu kalau dia lebih membutuhkan waktu sendiri. Sekarang saya bisa menebus rasa bersalah saya tidak mampu menghiburnya. Saya harap bantuan saya bisa mengembalikan segalanya seperti semula."
"Ini lebih dari cukup." Setidaknya Binar sedikit bersyukur kegilaan kakaknya yang pernah menguntit Dilara semasa studi di Paris bisa menyelamatkan mereka.
"Sampaikan salam pada Lara dan Ares."
"Oui."
Percakapan di antara mereka berakhir. Binar melangkah mendekati kerumunan pekerja lagi. Ia ikut menggunting kain yang sudah dipola dan diwarnai sesuai dengan desain-desain kiriman Sophie Vionette yang akan siap diperkenalkan pada para sosialita dan pasar dalam waktu dekat. Sepertinya mereka memang harus merelakan banyak waktu luang demi bekerja keras mengembalikan label Stilettale.
*
"Sepatu kaca di tangan Pangeran akhirnya pas di kaki Cinderella. Maka Pangeran membawa Cinderella ke istana dan mereka hidup bahagia selama-lamanya."
Sakura bertepuk tangan riang selesai dibacakan dongeng oleh 'kawan ibunya' di taman bermain. "Baca dongeng lagi dong, Om!"
"Kapan-kapan aja ya, Ca. Mama mau ngobrol dulu sama Om."
Bibir gadis cilik itu mengerucut ke depan. Baby sitter yang mengawasinya menggandeng tangannya pergi. Di tangan pengasuhnya, Sakura melompat-lompat riang sambil bernyanyi lantang. Kini tinggallah Erlangga dan Kana yang duduk bersebelahan sambil mengamati gerak-gerik lincah Sakura yang sibuk bermain seluncuran.
"Untung dia mirip kamu."
Kana mengernyitkan dahi. "Emang kenapa kalau seandainya dia mirip Reno?"
"Malah tambah patah hati." Erlangga menyengir. Kana memutar bola mata ke atas. "Bercanda ah. Mau mirip kamu atau Reno, dia bakal tetep cantik dan gemesin."
"Makanya, buruan punya anak dong. Jangan anak orang mulu yang diajak main."
Sudut-sudut bibir Erlangga tercebik ke bawah. Ia melengos memerhatikan Sakura yang kini bermain jungkat-jungkit dengan anak-anak kecil lainnya. Pikirannya melalang-buana sementara waktu, tiba di sebuah bayangan yang membuatnya praktis tertawa pendek hingga mengundang tanya di wajah Kana.
"Tuh kan, pasti lagi bayangin nih."
"Ngawur."
"Ga, Ga. Aku yakin kamu nikahin Dilara Niranjana tuh bukan karena kerja sama yang nguntungin. Kamu bukan orang yang kayak gitu. Aku kenal kamu. Kamu nggak akan memanfaatkan situasi buruk seseorang demi kepentingan kamu. Cepat atau lambat, kamu harus ambil sikap." Kana mengelus punggung tangan Erlangga. "Aku minta maaf kalau bikin kamu jadi skeptis dan ragu sama yang namanya cinta. Don't wait too long to tell her that you love her. Like you did to me."
Kebisuan terjadi selama beberapa saat. Kana mengulum senyum dapat menebak pikiran lelaki di sebelahnya yang sangat ia kenal sejak kecil. Ia membiarkan Erlangga terdiam menyelami pikirannya yang entah terbang ke mana.
*
Ares menjarahkan matanya pada seantero ruangan. Ia mengamati setiap detail tempat itu, memperkirakan di mana sekiranya buku sket asli milik Dilara disembunyikan. Sementara itu, tak dihiraukan celotehan Roxelana yang bagaikan angin lalu. Ia memerhatikan dengan saksama meja, bufet, dan lemari. Jemarinya disapukan pada bingkai-bingkai foto perempuan itu, mulai dari fotonya saat masih kecil hingga dewasa seperti sekarang. Tak dipungkiri bahwa perempuan itu memang terlahir menjadi cantik.
"Wine?" Roxel menawarkan dari balik meja bartendernya.
"No." Menghindari meja yang dipenuhi bingkai foto berukuran kecil itu, Ares menghampiri Roxel yang mengayunkan gelas berleher panjang ke arahnya. Jarak di antara mereka terbilang cukup dekat. Bahkan membuat Roxel memelankan nada, nyaris seperti bisikan.
"Jadi, kamu mau buka pameran seperti apa?" Roxel menyesap wine di genggamannya. Pinggulnya disandarkan pada tepi meja bartender.
"Pameran yang mengekspos berbagai kecantikan di dunia."
"Hm..." Sepasang mata tajam Roxel menyipit. "Contohnya?"
"Chittorgarh, Plitvice Lake, Seljalandsfoss..." Ares berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, "Dan kamu."
"Untuk ukuran orang yang baru kenal, kamu bajingan juga ya." Roxel tersenyum miring.
"I'm just telling the truth." Maju selangkah semakin tak memberi jarak. Kepalanya dimiringkan ke samping telinga Roxel dan berbisik, "Watch every step you take, Darling. When you fall in a hell, you can't come back."
"Well, you're the prettiest hell I've ever seen."
Bibir mereka bertemu dan saling berpagutan. Sensual. Memabukkan.
Mematikan.
*
Di pinggir jalan, Dilara mengerang kesal melihat ban mobil yang dikendarainya kempes di tengah jalan. Apalagi jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh. Tak ada kendaraan umum lewat. Mobil dan motor pribadi saja hanya lewat beberapa kali saja. Buru-buru ia masuk ke dalam mobil. Ia menghubungi nomor sopir Erlangga. Tak juga diangkat.
"Ya ampun..."
Perempuan itu menggerutu sekali lagi. Rambutnya diacak-acak gemas. Ia menyingkirkan poni ke samping, memandangi layar ponselnya dengan satu alis terangkat enggan. Tak ada pilihan lagi selain menghubungi nomor Erlangga. Menunggu panggilannya diangkat, Dilara menghitung detak jantungnya sambil sesekali mengamati keadaan di sekitar, takut kalau ada perampok. Perasaan was-was yang sejak tadi bergelut dengan pikiran negatifnya akhirnya disingkirkan dengan suara di seberang telepon.
"Jemput aku dong. Ban mobilku kempes di tengah jalan."
"Kamu di mana?"
"Haduh... nggak tahu nih." Dilara celingukan. "Gelap."
"Ya udah. Share lokasi aja. Tungguin."
"Jangan lama-lama." Sambungan terputus. Dilara mendesah lega. Kini ia tinggal menunggu Erlangga menjemputnya setelah mengirim lokasinya.
Sekitar setengah jam mobil Erlangga terlihat, lalu berhenti di depan mobilnya. Dilara turun dari mobil, menguncinya, lantas melenggang menghampiri mobil yang diparkir Erlangga di samping trotoar. Kedua tangan Dilara dilipat di depan dada.
"Lama amat sih," katanya memberengut.
"Yailah... jauh dari rumah nih. Kamu sih ilang nggak jelas. Lain kali bilang kalau mau pergi. Biar bisa diantar-jemput." Erlangga menggelengkan kepala. Ia melajukan mobilnya masih dengan wajah cemberut wanita di sampingnya. "Dari mana aja?"
"Rumah eyang."
Erlangga teringat sesuatu hingga membuatnya menjentikkan jari. "Aku tadi nemu buku sket kamu yang dulu kamu bawa ke Batu. Itu loh, yang kamu gambarin baju-baju apalah namanya. Kenapa bukan itu yang kamu pasarkan? Bagus loh. Kali aja bisa buat ngembaliin nama label kamu."
Sebelah alis Dilara terangkat. "Itu koleksi khusus yang nggak akan sembarangan aku pasarkan." Dilara menatap lurus. Memang, ia tak akan mengeluarkan baju-baju hasil desain di kota Batu waktu itu. Sebab di imajinasinya, ia ingin gaun-gaun sederhana itu dipamerkan di sebuah tempat khusus. Rumahnya dulu. Dengan nuansa negeri dongeng seperti yang pernah ia gambar sewaktu kecil. Kepalanya tergeleng. Ia tertawa pendek tak bersuara. Ditepisnya bayangan yang dianggapnya konyol.
Rumahnya akan dihancurkan. Rata dengan tanah. Semua itu karena perjanjian bodohnya dengan pria di sebelahnya. Ia sudah berusaha keras melupakan rumah dan kenangan di dalam sana.
Terjadi kesenyapan di antara mereka. Tak begitu senang dengan kesunyian yang terjadi, Erlangga menghidupkan radio dan memindah-mindah saluran sampai menemukan lagu Bangles. Hampir saja ia mengganti lagi sampai suara teguran Dilara membuat gerakannya terhenti.
"Ini aja." Wanita itu memandang Erlangga yang menatapnya sedikit bingung. "Biarin." Ia memalingkan wajah ke luar jendela.
Lagu tersebut menemani perjalanan pulang mereka. Suara gumaman Erlangga yang mengikuti nada lagu tersebut sempat tertangkap telinga Dilara yang melamun.
"Kirain nggak suka yang begini."
Spontan, Dilara memutar kepala. "Ini lagu favorit Papa dan Mama." Ia tersenyum teringat kebersamaan papa dan mamanya yang kerap menyanyikan lagu itu di dalam mobil. Giliran Dilara yang menggumam mengikuti nadanya. Lantas menyanyikannya perlahan. "Close your eyes, give me your hand, Darling. Do you feel my heart beating, do you understand? Do you feel the same, am I only dreaming?"
"Is this burning or eternal flame?"
Keduanya bernyanyi bersama dalam satu mobil sampai lagu habis. Kemudian suasana kembali senyap begitu lagu berganti menjadi lebih lembut. Mereka saling berdiaman satu sama lain seperti sebelumnya.
*
Kedatangan Dilara yang berpenampilan lebih rapi daripada hari-hari terpuruknya membuat para karyawan di kantornya sontak mengalihkan perhatian ke arahnya. Wanita itu melangkah memasuki ruangannya disambut Lani yang wajahnya kuyu dan kelelahan. Buru-buru Lani menata rambut dan mengusap wajah sekadar menghindari pertanyaan Dilara perihal mukanya yang terlihat lelah. Terang saja, Lani dan yang lain bekerja ekstra, lembur, dan istirahat sebentar hanya untuk dirinya!
Sampai di tempat duduk, Dilara tidak melihat batang hidung Binar. Ia memanggil Lani, membuat asisten kantornya itu sontak terperanjat dan mengucek mata.
"Binar kok belum datang?"
"Alah, Mbak... Biasa. Kan suka telat."
"Itu muka kamu kenapa?"
"Abis nonton bola semalam."
Dahi Dilara mengerut keheranan. "Sejak kapan kamu suka bola?"
Lani menepuk dahi merutuk dirinya sendiri. Lembur membuatnya jadi tak berkonsentrasi. Dengan bodohnya ia melemparkan jawaban seperti itu. Ia menggigit bibir bawah. "Nemenin pacar, Mbak."
Tak ada balasan dari Dilara. Ia mengamati mejanya yang tertata dan tampak lebih kosong dari biasanya. Sejak keluar dari rumah sakit, ia dilarang bekerja ekstra untuk sementara waktu. Maka Binar yang mengerjakan semua pekerjaannya. Ia berdecak salut. Binar pasti bekerja sangat keras. Ada bagusnya gadis itu diangkat menjadi asisten pribadi.
Beranjak berdiri, Dilara melangkah keluar ruang kerja. Matanya mengawasi karyawannya yang menyibukkan diri dengan pekerjaan masing-masing. Ia turun ke lantai bawah, menuju ruangan yang biasa digunakan para desainernya untuk memproses haute couture. Begitu pintu dibuka, ia menemukan Binar tertidur dengan pipi menempel di atas meja penuh guntingan kain sisa. Kedua alis Dilara bertautan. Ia menghampiri Binar dan menyentuh pundaknya.
"Binar..." Dilara sedikit menggoncang bahu gadis itu. "Binar."
Merasakan goncangan pada bahunya, Binar membuka mata. Ia mengerjap-ngerjap sebentar. Kemudian mengangkat kepala, kaget bukan kepalang.
"Ya ampun! Maaf, aku ketiduran di kantor!" Ia mengetuk kepalanya berkali-kali.
"Ngapain kamu tidur di kantor?" Dilara memerhatikan ruangan tersebut. Dahinya makin berkerut heran. "Kok berantakan, sih?" Ia mendekati manekin-manekin yang memajang gaun-gaun yang dikerjakan langsung dengan tangan itu. Setiap detail kain diperhatikan. Jahitan pun tak luput dari perhatiannya. Ditunjuknya manekin-manekin tersebut. "Ini apa?"
Binar menggigit bibir bawahnya. "Ngg..." Ia memain-mainkan jemarinya. Tak seharusnya Dilara tahu bahwa mereka sedang mati-matian mengembalikan nama labelnya. Harusnya ini menjadi kejutan. Ah... perempuan macam Dilara mana mungkin senang diberi kejutan. "Anu..." Binar mencari kalimat yang tepat. Belum selesai pencarian kalimat itu, Lani memberondong masuk membawa sebuah kotak berwarna merah.
"Mbak, ada paket nih!!!" Ia berteriak seperti warga kemalingan.
"Duuuh. Harusnya taruh di atas meja!"
"Tapi Mbak Di harus tahu isinya! Saya syok loh lihatnya!"
"Maksud kamu, kamu udah tahu duluan?" nada Dilara naik setengah oktaf. Ia bertolak pinggang membuat Lani mengulum bibir.
"Maaf... Abis penasaran sih, Mbak. Kan jarang ada paket datang ke sini. Kirain kue tadi."
Dilara menghampiri Lani dan merebut kotak berukuran sedang itu. Tanpa mengubah raut wajah kesalnya, Dilara membuka penutup kotak itu. Matanya membelalak begitu tangannya memungut sebuah buku sket yang amat sangat ia kenal.
"Buku sketku?!"
Binar mengerucutkan bibir. Tentu saja ia tidak kaget karena ia juga terlibat dalam pencarian buku sket tersebut. Dilara memamerkan buku sket itu di depan Lani dan Binar. Ia membuka-bukanya, memastikan bahwa buku sket tersebut memang miliknya. Benar. Itu buku sketnya yang tertinggal di kafe dan hilang. Tanda tangannya pun ada di sana. Dilara bingung harus bereaksi bagaimana. Perasaannya bercampur aduk. Ia hanya menatap buku sket di tangannya dengan ekspresi tak mengerti. Ada banyak pertanyaan berkelebat di kepalanya saat ini. Lalu matanya berpindah, tertuju pada secarik kertas yang megiring kedatangan buku sketnya. Dibacanya tulisan rapi di kertas tersebut.
Selamat berkarya lagi, Lara.
Ares
*
Kali ini berita di infotainmen tidak lagi menyudutkan Dilara. Tidak ada lagi berita kerusuhan yang ditimbulkan Dilara di acara peragaan busana Fleur de Lis. Tidak ada lagi berita kebangkrutan Stilettale. Tidak ada lagi kabar buruk tentang Dilara Niranjana. Dilara berhasil melancarkan serangan balik dengan mengirim artikel pada media cetak perihal kebenaran ucapannya di acara peragaan busana tersebut, lengkap dengan bukti berupa buku sket bertanda tangan miliknya. Dan tentu saja salinan rekaman CCTV yang disodorkan Binar di kantor saat ia disidang Dilara, diminta menjelaskan mulai dari gaun-gaun haute couture yang diciptakan tanpa seijinnya sampai kakak sulungnya mengirimkan paket berisi buku sketnya yang hilang. Mau tak mau Binar menjelaskan bahwa Sophie Vionette membantu mereka dengan desain-desain buatannya untuk haute couture dan ready-to-wear. Dilanjutkan penjelasannya tentang buku sket Dilara yang kembali, serta salinan rekaman CCTV kafe yang bisa dijadikan barang bukti. Dari sanalah Dilara memerintahkan Lani segera menghubungi wartawan untuk meliput berita yang menjadi serangan balik label Fleur de Lis yang sudah menjatuhkannya.
Dilara tak memiliki alasan untuk kesal. Terlebih yang dilakukan Binar sangat membantunya mengatasi masalah krusial seperti ini. Yang dilakukannya hanya mengamati tayangan televisi sambil bersilang tungkai, menonton acara infotainmen yang menampilkan Roxelana tengah dikejar wartawan. Sebelum masuk mobil, perempuan itu mengacungkan jari tengah di depan kamera. Sudut bibir Dilara terangkat. Ia meraih gelas untuk meneguk air minumnya.
"Orang yang curang tuh nggak bakal terus-terusan menang," ujarnya puas.
Sejak omset penjualannya naik lagi, ia kembali disibukkan dengan bisnisnya yang sempat halai-balai. Seandainya Sophie Vionette tidak ikut serta membantunya, mungkin omset penjualannya tak akan sebagus saat ini. Munculnya sosok Sophie membuat Dilara ingin menghubungi desainer itu. Ia menekan nomor ponsel Sophie dan menunggu panggilannya diangkat. Dering ke dua, ada suara serak di seberang.
"Sophie, are you okay?" nada Dilara terdengar sedikit panik. Didengarnya Sophie yang menjelaskan keadaannya. "Saya tidak berpikir demikian. Anda tidak terdengar baik. Oh, saya ingin menyampaikan terima kasih atas bantuan yang Anda berikan pada saya. Saya tidak tahu harus membalas jasa Anda dengan apa. Sejak saya belajar bersama Anda di Paris, saya merasa belum mampu memberikan balasan yang setimpal." Ia mendesah. Didengarnya balasan Sophie. Lama ia termenung mendengar dengan saksama. Raut wajahnya berubah detik lainnya. "Quoi?" Nadanya tercekat.
Di luar, Binar berlarian kecil memasuki rumah Erlangga. Ia sempat berpapasan dengan kakaknya yang sudah berpakaian rapi hendak keluar.
"Dilara ada di dalam, nggak?" tanya Binar sedikit ngos-ngosan.
"Ada. Kenapa?"
"Mau ngabarin kalau dia diundang ke acara reality show." Senyum muncul di bibir tipis Binar. "Hasil penjualan pakaian yang aku promosiin ke sosialita meningkat pesat loh. Padahal baru masuk masa pre-order. Yang beli kebanyakan klien kamu." Ia menyenggol pundak Erlangga berkali-kali.
"Bagus dong."
"Untung aku punya kakak-kakak yang baik. Kalau nggak ada kalian, rencanaku pasti nggak jalan." Menghela napas panjang, Binar sadar bahwa ia kelepasan bicara. Praktis saja ia membekap mulutnya dan melirik Erlangga yang menyatukan alis bingung. Sebelum ia dihujani dengan pertanyaan, segera Binar melambaikan tangan dan melesat bak jet menghindari kakaknya yang memberikan tatapan penasaran.
Sampai di dalam, Binar melihat Dilara yang berdiri dan berbalik menghadapnya. Kedua perempuan itu saling bertukar pandangan. Melihat ekspresi yang ditampilkan Dilara saat itu, Binar merasakan perutnya bergolak.
*
Di depan puluhan penonton yang memadati studio, Dilara duduk bersilang tungkai, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilempar oleh pembawa acara dengan topik kembalinya nama labelnya di pasar mode. Di kursi terdepan penonton, Binar berdiri mengamati sembari sesekali mengecek ponsel untuk melihat trending topic di jejaring sosial. Melihat nama Dilara Niranjana berada di deretan teratas, ia mendesah lega. Usahanya terbayar sudah.
"Saya harus berterima kasih pada asisten pribadi saya, Binar Alstromeria," ujar Dilara seraya menunjuk Binar yang mengembangkan senyum. Tentunya, Dilara tak akan menyebutkan kata 'adik ipar' di depan umum seperti ini mengingat Binar tidak pernah mengungkap identitasnya sebagai salah satu anggota keluarga Tunggadewa. "Dia adalah sosok sahabat yang selama ini saya cari. Tanpa dia, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada perusahaan yang sudah saya bangun sejak dari nol." Binar mengatupkan telapak tangan pada bibir. Kendati demikian, ia tak mampu menutupi senyum di bibirnya.
"Ngomong-ngomong soal sahabat, kamu nggak pernah ekspos soal persahabatan kamu. Pernah punya sahabat nggak sih?"
Dilara tersenyum dan mengangguk. "Sebelum saya sesukses ini, sahabat yang saya punya cuma seekor kucing yang dibeli eyang saya waktu saya masih SMA. Dan..." Ia mengubah arah pandangnya, seperti menerawang. "Saya pernah memiliki teman. Lebih tepatnya, teman di dunia maya. Ini memang konyol, tapi dia adalah salah satu faktor saya menjadi seperti ini. Selain nenek saya, dia adalah penyemangat saya untuk bangkit."
"Teman di dunia maya?" Si wanita pembawa acara mengedipkan mata berkali-kali. "Wow. Menarik sekali. Bisa diceritakan nggak sih tentang temannya ini?"
Dilara mengatupkan bibir rapat membentuk garis lurus. Bahunya terkedik. "Itu sudah sangat lama. Mungkin dia sudah melupakan saya karena kami sepakat untuk tidak membuka identitas. Kecuali nama. Setelah saya mengurus berkas buat ke Esmod dan chatroom itu dihapus, kami hilang kontak." Ia menggelengkan kepala. "Lupakan saja."
Si pembawa acara mengangguk sepakat. "Hm... Semoga temannya lihat kamu di televisi ya. Siapa tahu bisa ketemu. Oke deh, kita ganti topik. Selama ini kan kamu dikenal sebagai desainer yang produktif. Katakanlah, punya semangat kerja tinggi. Hal itu yang membuat kamu menjadi sesukses sekarang. Nah, kita coba lihat foto-foto dan video kamu sepanjang perjalanan karir kamu yang membawa nama kamu meroket sampai di pasar internasional."
Dilara menoleh ke balakang, pada layar yang menampakkan foto-foto dirinya dalam berbagai acara. Namun tak berselang lama, foto-foto itu berubah menjadi kumpulan foto dirinya saat masih kecil bersama orangtuanya. Juga sebuah video yang menampakkan penangkapan seorang pria yang masih muda—yang merupakan masa muda papanya—dan berita yang menyertai. Praktis saja jantungnya berdenyut nyeri. Bibirnya mengerucut ke depan menahan gemuruh amarah.
Sontak, seluruh penonton bergemuruh riuh. Terlebih Binar yang membeliak dan menoleh ke belakang mendengar bisik-bisikan.
"Dilara Niranjana alias Dilara Lituhayu Soedirman. Anak dari Prawiryo Soedirman yang dulunya merupakan seorang penipu berkedok makelar rumah dengan menggunakan nama Faris Abraham." Dari arah samping panggung, Roxel muncul seraya melipat tangan di depan dada. Ia dan Dilara saling berpandangan bak belati yang siap dilemparkan untuk menusuk jantung kedua perempuan itu.
Dilara menahan diri untuk tak mengeluarkan kata kasar. Kepalan tangannya memberi tanda bahwa ia sedang berusaha mengontrol emosinya.
"Nasib akhirnya sangat mengenaskan. Dia mati bunuh diri untuk kabur dari masalah," lanjut Roxel, membuat Binar ternganga. "Dan oh! Coba lihat foto siapa itu?" Foto-foto lain bermunculan. Sekumpulan foto saat ia masih remaja—yang entah dari mana Roxel mendapatkannya. Alih-alih memandang pada layar, Dilara justru memakukan tatapannya pada Roxel yang tersenyum penuh kepuasan berhasil menginjak-injak dirinya di depan publik. "Selain memiliki keluarga bermasalah, Dilara yang cantik ini ternyata dulunya adalah seekor itik buruk rupa. Seorang pecundang yang tenggelam di antara angsa menawan. Mungkin yang kalian lihat sekarang ini adalah hasil bedah plastik yang dilakukannya. Siapa tahu." Mengakhiri ucapannya, Roxel melayangkan senyum puas pada para penonton yang berbisik satu sama lain.
"Roxelana Kasandra Lebeau, ada beberapa hal yang perlu saya luruskan di sini." Dilara menatap penonton. Kendati terlihat tenang, jantungnya berdenyut memompa darahnya yang berdesir. "Benar, papa saya adalah Prawiryo Soedirman yang dulu pernah terlibat kasus penipuan dengan menggunakan nama palsu Faris Abraham. Lebih tepatnya beberapa tahun lalu sebelum dia bertemu dengan mama saya. Setelah bertemu mama saya, dia tidak pernah melakukan tindak kejahatan. Itu berlangsung sampai akhir hayatnya. Papa saya tidak mati bunuh diri. Papa dan Mama mengalami kecelakaan setelah mobil kami disabotase oleh seseorang hanya karena Papa menolak disuap. Papa memegang janjinya pada Mama untuk bekerja dengan jujur sampai akhir hayatnya." Ada rasa sesak di dada Dilara. Ia membuang napas panjang, meregangkan tangannya yang sedari tadi dikepal. Kemudian tersenyum miring sembari menyingkirkan poni ke samping. "Benar. Dulu saya hanyalah seekor itik buruk rupa di antara angsa menawan. Foto-foto di layar yang kalian lihat adalah foto-foto saya sebelum menjadi seperti ini." Ia menunjuk foto-foto dirinya yang menunjukkan bahwa ia tak suka diabadikan dalam kamera. Dilara teringat bahwa foto-foto itu diambil oleh orangtua Lian, saat ia dan Lian masih berteman. Foto-foto tersebut hanya menampilkan Dilara—sedangkan Lian dan yang lain terpotong. Mau tak mau, ada asumsi jahat di dalam pikirannya yang mengatakan kalau Lian yang memberikan foto-foto itu pada Roxel. "Saya punya kebiasaan buruk, yaitu memuntahkan lagi sarapan, makan siang, dan makan malam. Saya menderita bulimia."
Mendengar pengakuan itu, serentak terdengar gumaman yang berasal dari penonton. Binar seperti manekin yang tak bergerak dan hanya mengamati dalam kebisuan.
"Pikiran saya selalu dipenuhi oleh bayangan sebuah stiletto merah di toko sepatu yang bisa saya pakai dengan sesuka hati tanpa khawatir jatuh atau lecet. Di dunia nyata, saya hanyalah saudari tiri Cinderella yang menangis pilu melihat sepatu kaca yang disodorkan pangeran tidak muat di kakinya. Itu yang membuat saya sering memuntahkan makanan dan menangis di toilet seharian penuh teringat ejekan teman-teman saya. Setelah insiden malam prom terburuk dalam hidup saya, akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan segalanya. Memulai kehidupan baru. Selama menempuh studi di Esmod, saya mulai melakukan olahraga rutin, mengganti pola makan, memerhatikan penampilan, dan mengubah karakter menjadi sekarang. Saya tidak pernah melakukan bedah plastik seperti yang dituduhkan oleh Roxelana Kasandra Lebeau."
Dilara melayangkan senyum manis madu kepada Roxel. "Semua itu disebabkan oleh orang-orang macam dia. Seandainya orang-orang seperti dia tidak ada di dunia ini, tidak akan ada perempuan yang menderita bulimia, anoreksia, melakukan bedah plastik, diet ketat, bahkan bunuh diri hanya karena merasa gagal memenuhi standar kecantikan media." Ia mengamati orang-orang di studio yang melongo mendengar penjelasannya—tak terkecuali Binar. Tak ingin terlihat lebih menyedihkan di depan publik, tanpa sepatah kata penutup, Dilara melenggang pergi, mengabaikan senyum culas Roxel.
Binar berlari mengejarnya, tapi tangan Dilara yang terangkat seketika menghentikan langkah gadis itu. Tampaknya, membiarkan Dilara menyendiri adalah keputusan yang tepat. Gadis itu melepas Dilara keluar dari studio untuk menenangkan hatinya.
*
Dilara memutuskan untuk menyepi di rooftop gedung stasiun televisi. Ia mengamati pemandangan gemerlap kota metropolitan, merasakan angin membelai pipinya yang dingin dan menerbangkan beberapa helai rambutnya. Yang dilakukan Roxelana tadi sungguh jahat. Bertahun-tahun ia menyimpan kenangannya yang buruk, namun iblis betina itu berhasil mengoreknya di depan publik! Sia-sia belaka Widya menghapus jejak identitasnya bertahun-tahun. Semua orang kini sudah tahu.
Dilara memilih rooftop karena hanya di sana orang-orang tak akan melihatnya menangis. Ia menyeka matanya dan mengatur napas.
"I look so stupid," desisnya sembari menepuk pipi berkali-kali.
"Crying doesn't make you stupid."
Mendengar seseorang menyahut, spontan Dilara berbalik badan. Ia mendesah panjang dan memutar badannya lagi menghadap pemandangan kota. "Hobi banget nguntit orang."
"I'm your shadow."
"Aku pengen sendirian."
"Aku cuma memastikan kamu nggak melompat dari gedung ini, Lara."
Bola mata Dilara terputar. Memutar tubuh, Ares sudah berdiri di sampingnya. Ia teringat suatu hal. "Gimana cara kamu dapatin buku sketku?"
"Yang penting udah di tangan kamu, kan?"
Dilara mengernyit. "Kenapa kamu baik sama aku?" Kembali diputarnya penjelasan Binar sewaktu di kantor. Ditambah penjelasan Sophie Vionette di telepon tempo hari. "Kamu menghubungi Sophie Vionette buat bantuin aku, kan? Dari mana kamu mengenal dia?" Nadanya berubah lebih rendah. "Apa aja yang kamu tahu tentang aku?"
Ditodong pertanyaan seperti itu, Ares menanggapinya santai. Ia bahkan tak menghapus jejak senyum di bibirnya. "Pertanyaan kamu terlalu banyak. Aku akan menjawab satu per satu." Ia mengubah raut wajahnya menjadi lebih serius sekarang. "Kita pernah saling mengenal delapan tahun lalu dan aku pernah berjanji akan menemukan kamu." Tangannya terulur ke depan, memberi gestur ingin berkenalan. "Nice to know you, Prada."
Rasanya, jantung Dilara mendadak berhenti berdetak.
*****
Nggak tahu lah ya mau kasih apaan hahahaha. Skripsi saya kelar. Saya ditawarin sidang dengan kalimat absurd seperti: "Kalau kamu kebelet nikah, langsung saya ACC dan silakan sidang. Tapi nilainya pas-pasan."
LOL
BTW, sudah ada yang baca status saya di facebook soal cerita ini akan dibukukan dan 'kemungkinan' nggak sampai ending? Naskah ini akan dibukukan oleh salah satu penerbit mayor.
"Kalau niatnya diterbitin mending nggak usah diposting. Kalau niatnya diterbitin mending nggak usah dilanjutin."
Shut. The. Fuck. Up. Bitches.
Naskah ini dilirik penerbit saat masih di tengah jalan. Memangnya waktu saya nulis saya bakal berpikir "OMG THIS STORY MUST BE IN THE BOOKSTORES LIKE ASAP. GODDAMN. PLEASE."?
NO.
Yang namanya REJEKI itu datangnya nggak terduga. Kalau di tengah jalan cerita ini dilirik penerbit, itu di luar kuasa saya. Harus saya tolak? LMFAO you must be kidding me. Dulu waktu saya masih nulis di facebook beberapa tahun lalu, semua pembaca saya di facebook malah mendukung saya untuk membukukan cerita-cerita saya.
Dan saya pun mencoba berbaik hati dengan merampungkannya tapi harus diikuti konsekuensi untuk menghapusnya. If you don't know anything about memorandum of understanding beside publisher and writer, just shut the fuck fuck fuckkkkk up.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro