Cindelara dan Stiletto Kaca
"Prom! Aaaahhhh nggak sabar buat malam nanti!!" teriakan Lian menggema di dalam kamarnya dan ditanggapi Lara dengan senyum simpul melihat gadis tersebut menelisik gaun yang akan ia kenakan. Lian menempelkan gaun tersebut pada tubuhnya, mencermati bayangan dirinya yang terperangkap dalam cermin dan memutar-mutar badan. Ia menari riang mencoba stiletto barunya.
"Kamu pasti cantik banget," Lara berbisik.
Mendengar bisikan yang tak begitu pelan dari bibir Lara, Lian menoleh dan melempar gaunnya ke atas ranjang. "Harus cantik dong! Habis ini aku mau ke salon. Kamu mau ikut?"
Lara menggeleng. "Aku pulang aja."
"Nanti mau aku jemput?"
"Aku diantar sama sopir."
Bahu Lian terkedik. Ia mengangkat gaunnya dan segera mencoba. Dalam sekedip mata saja gadis itu menjadi putri cantik dengan balutan gaun merah marun yang senada dengan stilettonya. Tanpa pulasan make up saja ia sudah cantik. Lara sudah dapat menebak bahwa Lian akan menguasai malam prom, seperti tahun-tahun sebelumnya, sedangkan ia tetap menjadi upik abu yang tak diminati siapapun.
Pintu kamar Lian dikuak oleh Mama Lian. Wanita berparas elok tersebut berdecak menghampiri putrinya yang berputar-putar mengagumi dirinya. "Cantiknya anak Mama."
"Kalau nggak cantik bukan anak Mama."
Mama Lian tertawa kecil dan mencium kedua pipi putrinya. Pandangannya lantas berlabuh menuju Lara yang duduk diam di atas ranjang mengamati.
"Lara juga datang, kan?" Pertanyaan tersebut dijawab Lara dengan anggukan. Mama Lian melenggang mendekati tepi ranjang dan duduk di samping gadis itu. Tangannya dilingkarkan di pundak Lara, merangkul dan merendahkan suaranya, "Setelah lulus, kamu mau lanjut ke mana?"
"Belum tahu, Tante."
"Kalau bisa satu kampus dan satu jurusan sama Lian, ya. Lian kan susah belajar kalau nggak ada kamu. Tante harap kamu masih bisa bantuin Lian dapat nilai-nilai bagus."
Bibir Lara terkatup rapat membentuk satu garis simetris. Bola matanya melirik ke arah Mama Lian yang menatap penuh harap. "Memang Lian mau kuliah di mana dan jurusan apa, Tante?"
"Sebenarnya Tante cuma mau dia fokus di dunia modeling dan nggak usah nerusin kuliah. Tapi anaknya ngotot pengen kuliah Hukum di luar negeri. Katanya biar bisa pamer foto sama teman-temannya. Kamu kan pinter dan gampang nyerap pelajaran, bisa ya bantu Lian?"
Beberapa saat Lara bergeming. Ia membangi pandangan antara Lian dan Mamanya, berpikir cukup dalam. Ia tak pernah berminat mengambil Ilmu Hukum sebagai tujuan studi lanjutnya. Kendati selalu mengimpikan bisa menjadi seorang Miuccia Prada, Lara pun sangsi meneruskan kuliah di luar negeri. Pasalnya, ia tidak ingin meninggalkan Widya sejak kepergian kakeknya beberapa tahun lalu.
"Saya tidak tahu, Tante..."
"Dipikir-pikir dulu ya. Tante berharap banget Lara mengabulkan keinginan Tante. Kan Lara udah Tante anggap seperti anak sendiri." Mama Lian mencium puncak kepala Lara seraya menyelipkan senyum. Ia menepuk pundak Lara, berpamitan pada kedua gadis di dalam kamar tersebut untuk menengok pembantu yang menyiapkan makan siang.
Meskipun telah pergi, kalimat Mama Lian terus menghantui pikiran Lara yang bergeming. Ucapan Lian yang berusaha memberondong masuk ke telinga bahkan ia tepis.
*****
"Senang bertemu dengan kamu juga." Dilara membalas dengan senyum dan kernyitan di dahi. Ekor matanya menyorot tangannya yang digenggam Ares. "Kita pernah bertemu?"
"Sepertinya tidak. Aku sering membaca artikel berita kamu." Ares melepas genggaman tangannya. Ia melemparkan lirikan sekilas menuju Erlangga yang berada tak jauh dari tempat mereka, berjalan beriringan bersama Saka. Matanya berpindah menuju Dilara lagi. "Aku terkejut mengetahui kamu dan adikku ternyata menjalin hubungan." Ia tersenyum lagi, ditanggapi Dilara dengan tawa pendek.
"Dan aku terkejut baru tahu kamu adalah kakaknya."
"Oh, dia tidak bercerita, ya?" Ares mencebikkan bibir kecewa. Ia mengusap dagu. "Ya tidak masalah. Aku bisa memaklumi. Mungkin kita bisa saling mengenal lain waktu. Kupikir, saat ini bukanlah saat yang tepat. Erlangga pasti tidak senang melihatku berdekatan dengan istrinya." Ia menoleh ke arah Binar. "Ayo kita mengobrol berdua." Dirangkulnya Binar dan menggiringnya pergi, meninggalkan Dilara yang menatap lurus-lurus penuh tanda tanya.
*
Begitu Erlangga kembali ke dalam, tatapan tajam Dilara menghakiminya. Ia mengangkat bahu.
"Apa?"
Dilara menarik dasi Erlangga untuk lebih dekat dengannya. Tangannya terangkat merangkul leher lelaki tersebut.
"Kenapa banyak sekali rahasia yang kamu simpan, Sayang? Siapa Ares?"
Mendengar pertanyaan tersebut, Erlangga mengernyit heran. Ia melempar perhatian ke seantero tempat. "Dia di sini? Di mana?"
Praktis, Dilara memalingkan wajah pria itu agar tetap menjaga pandangan menuju ke arahnya. Bibirnya mengerucut ke samping.
"Aku tanya, Ares itu siapa? Selain menyembunyikan fakta bahwa Binar itu adikmu, sekarang kamu mau menampik fakta lain kalau Ares bukan kakak kamu?"
"Dia memang bukan kakakku dan nggak akan pernah jadi kakakku. Aku nggak sudi."
Meski tidak melanjutkan todongannya agar dapat menggali lebih dalam perihal kebenaran ucapan Ares tadi, Dilara mampu menangkap makna nada sinis Erlangga. Sebelah alisnya terangkat skeptis, mencoba mencuri-curi pikiran pria di depannya melalui ekspresi dan sorot matanya saat menyebut kata 'kakak'.
"Hm begitu?" Dilara tersenyum tipis. "Memang benar, setiap orang pasti punya dua sisi berbeda seperti sebuah koin."
Obrolan yang terjadi mengubah drastis suasana hati Erlangga. Ia melepas rangkulan Dilara, memandang perempuan di depannya lekat-lekat. "Hubungan di antara kita sebatas rekan kerja untuk memenuhi profit masing-masing. Seperti kolega pada umumnya, ada peraturan penting yang harus dijalankan: tidak boleh mencampuri urusan pribadi. Aku udah memasukkan itu ke dalam memorandum of understanding kita waktu itu, kan?"
Benar yang diucapkan Binar waktu itu. Lelaki ini tak suka siapapun mencukil masalah pribadinya. Tanpa menyelipkan kalimat tambahan, Erlangga melenggang pergi, tak mengacuhkan Dilara yang semakin penasaran. Ia tak senang mencampuri urusan orang lain. Sepanjang hidup, Dilara tidak pernah mengulik privasi orang dan memilih untuk peduli setan. Kendati demikian, kali ini ada suatu rantai yang berusaha membelitnya untuk masuk lebih dalam. Entah sekadar penasaran, entah akan menjadi lebih.
*
Sepanjang malam itu, Dilara melenggang di setiap sudut, hinggap di tempat satu ke tempat lain sekadar berbasa-basi menanggapi obrolan tamu undangannya yang sejak lama diliputi penasaran terhadap kisah percintaannya. Ia sempat melihat Widya di dalam, terlihat sumringah dan tertawa bersama tamu-tamu lain. Tak dapat dibayangkan bagaimana reaksi wanita tua itu bila mengetahui bahwa semua ini hanyalah kebohongan demi memenuhi keuntungan masing-masing? Dilara membela diri dan bersiteguh bahwa yang ia lakukan semata-mata demi Widya. Ia tak mengharap lebih dari kejadian ini selain membahagiakan seseorang yang dengan senang hati membagikan kasih sayangnya selama bertahun-tahun.
Malam itu seakan menjadi malam yang berjalan aneh menurutnya. Di tengah euforia, ada kemuraman tersembunyi. Ia bukan tipikal perempuan yang senang terkungkung dalam kenangan pahit. Ia lebih memilih mendepak kenangan buruknya dengan pembalasan lain. Perubahan dirinya saat ini tak lebih hasil dari rasa sakit hati dan dendam yang dipupuk pada orang-orang yang selama ini dirasa telah bertindak jahat padanya. Seperti sebuah sumpah sakral yang harus terjadi.
Tenggelam menyelami kebahagiaan Widya yang diamatinya, sebuah ingatan mengantarnya pada hari di mana kehidupannya berubah. Kenangan terputar di kepalanya, membawa bayang-bayang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Papanya melaju dalam kecepatan tinggi, berbelok ke kanan-kiri tak terkendali dan mengundang panik Tina serta dirinya. Dilara kecil menangis tiada henti. Tina yang duduk di jok depan menggenggam tangan putrinya, mencoba menenangkannya dengan suara dan tatapan lembutnya, mengatakan semua akan baik-baik saja. Ingatan itu kabur bersamaan berdengungnya bunyi tabrakan keras. Yang diingat gadis kecil itu hanyalah suara isak tangisnya sendiri, darah yang memercik teddy bearnya, tubuhnya yang penuh luka, orangtuanya yang tak lagi bernyawa, dan bunyi sirine ambulans. Sejak kejadian itu, ia tak melihat orangtuanya lagi. Seorang pria tua beserta istrinya yang tak lain adalah kakek dan neneknya datang. Broto Suseno, meski dengan wajah yang tak ramah, menyapa Dilara dengan suara serak dan tegasnya. Ia mengusap puncak kepala gadis kecil itu tanpa menyelipkan senyum. Sedangkan Widya menggendong dan tak henti-hentinya mencium kedua pipinya.
Walaupun pada awalnya sikap Broto tak semanis Widya, ia tetap mencurahkan rasa kasih sayang tak tersiratnya dengan berbagai hal: membelikannya oleh-oleh setiap bepergian, mengajaknya berlibur, dan membantunya mengerjakan tugas praktik kesenian. Sepeninggal Broto, hanya Dilara yang menjadi alasan Widya tetap bertahan.
"Selamat, Dilara. Aku nggak nyangka kamu memilih dia untuk jadi pendampingmu," suara seorang pria sontak menepiskan lamunan Dilara. Saat menoleh, sudah didapatinya Arka yang berdiri di hadapannya. Matanya menyorot ke tempat lain di mana Lian terlihat tengah berfoto bersama selebritas yang datang ke pernikahannya. Ia tak kaget melihat kedatangan dua orang itu, sebab memang sengaja dikirimnya undangan pada keduanya sekadar memberikan tamparan telak.
Dilara menyimpan perasaannya yang bergeruduk dengan ulasan senyum. "Terima kasih udah datang, biarpun dulu kalian nggak ngundang aku ke pernikahan kalian." Wanita berlidah tajam itu meraih gelas di meja sampingnya dan mengangkat rendah. Sementara Arka seperti merasakan kerongkongannya kering. Buru-buru ia menyambut tawaran baik Dilara dengan meraih gelas lain dan mereguk isinya separo.
"Bukan maksudku nggak ngundang kamu. Kamu tiba-tiba hilang selepas prom."
Dilara menggenggam erat tangannya hingga membuat buku-buku jarinya memutih. Ia tak kunjung menghapus senyum di bibir merahnya. Direguknya minuman dalam genggamannya sedetik penuh perhitungan. Tak berselang lama, Lian datang, langsung bergelayut mesra di lengan Arka, menempel seperti ulat bulu.
"Aku nggak nyangka kamu menikahi anak sulung Indra Tunggadewa." Lian menyipitkan matanya penuh kecurigaan. Ia ingat bahwa Erlangga Tunggadewa yang dinikahi Dilara dengan yang menemuinya tempo hari merupakan orang yang sama. Meski sadar ada kejanggalan, ia tak banyak bicara kecuali menyimpannya di dalam pikiran diikuti senyum setengah hati.
"Aku senang kalian datang. Nikmati pestanya. Aku harus menemui awak media di depan." Ia meletakkan gelasnya ke atas meja sebelum melimbai penuh ketukan meninggalkan kedua pasangan yang membuatnya muak.
Alih-alih menemui awak media, ia berbelok menuju anak tangga di bagian belakang rumah berdekatan dengan kolam renang yang dipadati oleh sosialita yang sibuk menggosip. Gaunnya diangkat menaiki anak tangga sekadar menghindari keramaian. Maka, menepilah ia di lantai atas, melintasi balkon mencari tempat yang pas untuk melepas penat. Langkah kakinya terhenti di sisi balkon yang lebih gelap. Ia menarik napas dalam-dalam dan membuangnya.
Meski sudah mengubur dalam-dalam, toh kejadian itu tak akan mampu dilupakannya. Akan ada lakuna di dalam dadanya seperti besi panas yang dipaksakan masuk dan menggerowongi jantungnya. Melihat beberapa orang berdansa-dansi di bawah, ia tersenyum sekadar teringat orangtuanya yang berdansa tiap malam tahun baru di pekarangan samping rumah dengan berbagai musik dan mengisi malam bersama-sama dalam kehangatan keluarga. Disentuhnya bandul kalung matahari yang ia kenakan. Kalung itu adalah pemberian ibunya semasa kecil. Ia hanya akan mengenakannya di hari-hari istimewa, seakan menaruh harapan bahwa ibunya ikut hadir bagaikan matahari yang mampu menghangatkan hatinya yang beku. Ia ingat kapan saja bandul itu dipakai. Hari pemakaman orangtuanya, malam prom, hari saat ia diwisuda, dan hari saat ia membuka rumah modenya. Lama ia tak mengenakannya lagi sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengenakan kalung itu di hari pertemuannya dengan Budhe Kanti serta hari pernikahannya. Ia ingat betul apa yang diucapkannya sebelum keluar dari mobil atau keluar dari kamar:
"Ini adalah yang pertama kalinya buatku. Temani aku, Ma."
Kalimat itu terngiang dalam telinganya disertai dengan bayangan dirinya di malam prom, tengah menekuri cermin seraya menggenggam bandul kalungnya erat-erat. Lara menarik napas dalam-dalam dan melepasnya pendek. Ia berdiri dari tempat duduknya. Dipandangi gaun yang dibuatkan Widya beberapa bulan lalu—yang belum pernah keluar almari untuk dipakai. Kini ia memiliki kesempatan mengenakan gaun itu.
"Cantik sekali cucu eyang," suara Widya terdengar di belakang Lara. Wanita itu berjalan menghampiri Lara dan memutar-mutar tubuh cucunya sambil berdecak. "Akhirnya gaun ini dipakai juga. Cocok di kamu. Mirip Disney Princess."
Lara tersenyum. "Bener, Eyang?"
"Iya, bener. Kalau sudah siap, langsung turun ya. Pak Sutoro nunggu kamu bersama kereta kudanya, tuh. Dia sudah nggak sabar mengantar Cinderella ke pesta dansa."
Tawa Lara gemerincing. Ia membenahi rambutnya dan membuang napas panjang. Bersama Widya, ia berjalan beriringan keluar dari kamar. Pak Sutoro yang sedari tadi siap bersama mobil hitam yang diparkir di depan rumah menyambut kehadiran Lara dengan tepuk tangan dan decakan.
"Non Lara cantiiiiik sekali!" Ia mengacungkan jempolnya. "Ayo, Non. Keburu jam duabelas. Nanti keretanya jadi labu!"
Lara tertawa cekikikan. Ia melambai ke arah Widya sebelum masuk ke dalam mobil. Segera, Pak Sutoro mengemudikan mobil itu mengantar majikannya ke sekolah.
Pandangan Lara mengarah menuju kakinya. Ia melihat sebuah buku gambar yang tampaknya ia jatuhkan di dalam mobil. Dipungutnya buku gambar tersebut dan dibuka tiap halaman. Gambar-gambar seorang putri di sebuah negeri dongeng yang ia buat lengkap bersama pegasus, unicorn, dan pangerannya. Ia tersenyum membayangkan imajinasinya akan menjadi nyata. Didekapnya buku gambar tersebut diikuti kemunculan ringis tawanya.
Mobil berhenti di depan bangunan sekolah. Ia turun dibantu Pak Sutoro. Jantung Lara melompat dari rongga dada, seperti berlari maraton enggan kembali. Ia menyentuh dada dan berbisik dalam hati bahwa segalanya akan berjalan baik-baik saja. Kakinya mulai dilangkahkan ke dalam. Teman-temannya datang dengan stelan jas dan gaun yang indah. Tak satu pun dari mereka yang menyapa dan membiarkannya berjalan menuju aula seorang diri. Ia celingukan mencari-cari keberadaan Lian. Beberapa temannya mulai berdansa di lantai dansa bersama pasangan masing-masing. Lara tak berhasil menemukan Lian. Ia putus asa, memilih menepi di dekat dinding memandangi keramaian pesta.
"Ngapain nih beruk datang ke sini?" salah seorang teman perempuannya yang kerap mengganggunya menyapa dengan suara lantang. Lara mengangkat kepala, tak membalas. "Malah diem."
"Udah, ah. Ngomong sama dia cuma buang-buang waktu. Nggak bakal nyambung. Frekuensinya beda sama kita-kita."
Tawa mengejek berderai memenuhi pendengaran Lara yang memberengut. Inilah yang tak ia suka jika memaksakan diri datang ke prom sekolah.
Segerombolan siswi tersebut melangkah meninggalkan Lara. Beberapa dari mereka menyentil rambutnya hingga membuat gadis itu menjauhkan kepala untuk menghindar. Ia mengamati kepergian teman-teman perempuannya itu tanpa banyak kata.
Kenapa aku diam? Kenapa aku sepengecut ini? Begitulah batinnya merongrong setiap waktu. Dengan lesu, ia menepis kerumunan, melanjutkan pencariannya pada Lian. Rupa-rupanya, gadis itu berada di dekat panggung, berkumpul bersama siswi-siswi yang sering mengganggu Lara.
"Lo ngapain sih masih jalan sama dia dan nolak jadi anggota geng?"
"Tauk, nih. Mana sering banget belain dia. Lo mah terlalu cakep buat jadi temen dia!"
Lian mengibas rambutnya ke belakang. "Duh, berisik! Eh, denger, ya. Gue nggak mau jadi temen kalian bukan karena Dilara! Kalian itu sok ngebos. Ujung-ujungnya pasti gue cuma dijadiin kacungnya dia!" Lian menunjuk ke arah gadis yang tercantik di antara mereka. "Gue mah mending berteman sama orang yang nggak populer, biar semua mata cuma tertuju ke gue, bukan cewek lain di deket gue." Gadis itu memuntir-muntir rambutnya.
Tak berselang lama, Arka datang bergabung dan spontan melingkarkan tangan di sekitar pundak Lian. Gadis itu menepis tangan Arka dan mendorongnya sedikit.
"Loh, kenapa?"
"Kan udah aku bilang, kalau di lingkungan sekolah nggak usah kayak gini. Nanti kalau dilihat Lara gimana?"
"Emang dia datang?"
"Dia bilang bakal datang." Lian melipat tangan di depan dada. "Aku nggak mau dia tahu kita udah lama jadian. Dia udah lama suka sama kamu dan aku terpaksa bohongin dia cuma buat nyenengin dia."
"Ya kamu ngapain sih pake bohongin dia? Bilang aja kalau aku suka sama kamu. Udah, beres."
"Nggak bisa gitu lah. Aku nggak mau persahabatan kita putus dan dia nggak mau bantuin aku buat kerjain tugas-tugas sekolah. Apalagi habis lulus aku pengen lanjut ke Inggris. Dia harus ikut dan bantuin aku dapat nilai bagus seperti sebelum-sebelumnya!"
"Gila, ternyata lo lebih jahat ya dari kita." Si ketua geng berdecak dan menggelengkan kepala.
Hati Lara tertohok. Ia tak mempercayai pendengarannya. Sekujur tubuhnya gemetar. Ia berbalik untuk menghindar. Naas, tangannya yang gemetaran menyenggol gelas di atas meja panjang di sampingnya hingga benda itu terguling jatuh. Bunyi denting pecahnya menyita perhatian, termasuk Lian dan Arka yang spontan menoleh. Keadaan menjadi canggung. Bibir Lian terbuka, namun ia tak sanggup melangkah mendekat sekadar menjelaskan segalanya, sebab ia terlanjur mati kutu.
Seluruh mata pandang mengarah menuju ke arahnya dan Lara tak menyukai hal itu. Ia berjalan kikuk, memainkan jari-jemarinya, melangkah keluar dengan sorak-sorai teman-temannya. Tak banyak yang membela. Yang tidak ikut serta menyorakinya hanya diam dan menyimpan rasa kasihan dalam hati. Salah seorang dari teman laki-lakinya melemparinya dengan kulit kacang hingga tersemat di sela-sela rambutnya. Ia menoleh, tapi tak berkomentar apa-apa. Dilanjutkan langkah kakinya menjauh, mengabaikan sorakan di belakangnya, seraya menahan agar air mata di pelupuk matanya tiada jatuh membasahi pipi bagaikan tetes hujan di bulan Desember yang deras.
Gadis itu melangkah kian jauh hingga akhirnya bisa mengeraskan suara isak tangisnya. Ia menghentikan sebuah taksi, meminta sopir mengantarnya pulang. Sepanjang jalan pun yang dilakukannya hanya menangis. Ia memutar kembali ucapan Mama Lian yang sudah dianggapnya seperti ibunya. Barulah disadari bahwa selama ini wanita tersebut bersikap baik bukan karena tulus menyayanginya. Ia terngiang pula pengakuan Lian di aula tadi. Terngiang tawa teman-temannya. Dan suara-suara ribut di kepalanya dibawa pergi bersama langkah gusarnya saat berlari menuju kamar. Widya yang tak sengaja melihatnya pulang lebih awal sambil berlarian berjalan cepat mengekor. Pintu kamar dibanting gadis tersebut. Ia membenamkan wajah pada bantal sekadar meredam suara tangisnya.
"Sayang, kamu kenapa?" Widya mengetuk pintu kamar. "Ayo bicara sama eyang."
Tak ada balasan dari gadis itu selain keheningan. Widya mendekatkan telinga pada pintu, mencuri dengar setiap suara yang tertangkap dari dalam kamar cucunya. Ia mengetuk sekali lagi.
"Lara sayang, ayo keluar. Kamu kenapa?"
Namun ia tetap tak membalas pertanyaan Widya, membiarkan wanita tua itu terus mengetuk dan bertanya, menghabiskan malam dengan terisak-isak di dalam kegelapan kamarnya.
Bayangan itu muncul tanpa ijin. Dilara membuang napas panjang. Padahal sudah lama ia mencoba melupakan kejadian tersebut, namun tetap tak mampu. Baginya, rasa sakit seolah tinggal lebih lama dan abadi daripada bahagianya. Ia memiliki keterbatasan melupakan hal-hal buruk yang terjadi dalam kehidupannya. Meski demikian, ia pandai memanfaatkan situasi. Hal tersebutlah yang membentuk karakternya saat ini. Tentunya, dibantu oleh seorang teman asing yang kerap menemani malam-malamnya yang kini tak pernah lagi terdengar kabar serta keberadaannya.
*
Kamar Dilara yang semula ditata sangat rapi kini dipenuhi bunga mawar merah yang tercium semerbak. Sepasang alisnya menyatu. Ia memungut beberapa kelopak mawar yang disebar rata di atas lantai hingga karpet di bawah ranjang.
"Aku benci aroma bunga," Erlangga mengagetkan Dilara dari belakang. Lelaki tersebut bertolak pinggang menelaah sudut kamar Dilara yang telah didekorasi demikian indah. "Seperti bau kuburan."
Dilara menarik sebelah alisnya sependapat. Ia tak suka aroma mawar. Tak disangka, ia harus bermalam satu tempat dengan seseorang yang tak jarang membuat darahnya mendidih. Wanita itu menghampiri ranjang, melempar satu bantal dan satu guling ke arah Erlangga yang ditangkap sigap dengan pandangan tanya. Telunjuk Dilara teracung ke arah karpet sebagai jawaban atas raut muka yang ditampilkan Erlangga.
"Are you insane?"
"Apa yang kamu harapkan? Tidur satu ranjang denganku?" Ia tertawa sarkastis. "Mana sudi. Nanti kalau aku pindah ke rumah kamu, sediakan satu kamar besar yang nggak jauh beda sama kamarku ini. Furnitur dan dekorasinya harus sama. Aku nggak bisa konsentrasi menggambar desain di tempat baru. Jadi, tolong bantu aku beradaptasi." Ia tersenyum hiperbolis dan melenyapkannya detik lain.
Erlangga menjatuhkan bantal dan guling ke atas karpet secara kasar. Ia mendengus pendek, tidak ingin berdebat dengan wanita itu karena berada dalam situasi yang kurang tepat.
"Aku yang mandi lebih dulu. Pria harus mengalah sama wanita." Lagi-lagi Dilara memonopoli.
"Pria nggak harus mengalah sama wanita." Tak ingin mengalah, Erlangga maju ke depan berniat menyerobot.
"Ladies first!"
"Haessshhh! Kelamaan kalau nunggu debat sama kamu!" Erlangga melepas dasi dan memreteli kancing kemejanya.
"Eeeehhhhhh! Jangan buka di depanku ya ampun!" seruan Dilara praktis menghentikan gerakan tangan lelaki tersebut. Wanita itu membuang napas kesal. "Kita suit. Yang menang mandi duluan."
Bibir Erlangga tercebik. Pada akhirnya ia sepakat untuk bersuit Jepang. Keduanya menjulurkan tangan dengan pilihan berbeda. Erlangga mengeluarkan kertas, sedangkan Dilara memenangkan adu suit di antara mereka dengan gunting. Dua jarinya yang membentuk gunting memberikan gestur menggunting di depan wajah Erlangga diselipi senyum miring puasnya.
"Aku yang menang."
Erlangga melengos membiarkan Dilara menang. Sementara menunggu giliran, ia duduk merana di atas karpet, melipat tangan di depan dada.
Usai mencopot aksesoris di rambut dan menghapus make up dengan cepat dan cekatan, Dilara melenggang mengambil bathrobe dari dalam almari, melintasi Erlangga dengan langkah anggun dan dagu diangkat mencemooh. Ia membanting pintu kamar mandi. Dimulailah ritual mandinya. Ia sengaja mengulur-ulur waktu dengan menuangkan sampo atau menggosok badan dengan sabun berkali-kali sampai aroma wanginya yang berbeda bergulat dalam satu tempat.
"Jangan lama-lama!" di luar, Erlangga berseru kesal.
Tak mengacuhkan seruan tersebut, Dilara makin memperlambat waktu.
Sekitar setengah jam ia baru menyelesaikan mandinya. Dilihatnya Erlangga yang berdiri mengetuk-ngetuk tumit sambil menengok jam di pergelangan tangan begitu ia keluar membawa aroma wangi yang hangat. Perempuan itu melangkah tak acuh sembari mengeringkan rambut menggunakan handuk dan menghampiri almari untuk mengambil piyama tidur, sementara Erlangga memasuki kamar mandi sambil tak henti-hentinya menggerutu.
Selama itu Dilara berganti piyama dan mengeringkan rambut menggunakan hair dryer seraya menghidupkan musik; ia sering melakukannya tiap kali mandi malam dan sebelum tidur bila ia mengalami tekanan. Lantas, ia melompat ke atas ranjang, menghangatkan badan di balik selimut, mulai memejamkan mata sembari menikmati alunan musik yang lembut. Mendengar langkah kaki seseorang mendekat dan mematikan musik yang ia dengarkan, Dilara praktis membuka mata.
"Apa-apaan?" Ia mengubah posisi tidurnya.
"Kalau tidur jangan dibiasakan mendengarkan musik. Memang merilekskan, tapi kalau bangun bakal bikin badan capek."
Kalimat tersebut ditanggapi Dilara dengan bola mata terputar. Dilihatnya Erlangga yang bertelanjang dada mondar-mandir seperti mencari sesuatu.
"Mana ya jam tanganku tadi?"
"Bisa nggak sih nggak usah mondar-mandir begitu?" sergah Dilara sedikit terganggu.
"Kenapa? Nggak suka?" Erlangga bertolak pinggang. Detik berikut, handuk yang menutupi bagian bawah tubuhnya terjatuh.
"OH MY GOD! God, God, God!" praktis saja Dilara terpekik dan membalikkan badan membelakangi. "THE HELL ARE YOU DOING?! Kamu pasti sengaja! Iya, kan?!"
Melihat tingkah Dilara yang tak henti-hentinya mengumpat, Erlangga mengernyit dan mengenakan lagi handuknya. "Ck. Biasa aja, kali. Nggak pernah lihat titit, ya?"
Dilara menggerung. "Shut up! Jangan ganggu aku tidur!" Ia membenamkan diri ke dalam selimut. Jantungnya berdebar tak lazim. Ia menganggapnya sebagai redaman kekesalan belaka.
"Fine," bisik Erlangga.
Dan tak tahu mengapa, hal itu cukup menghiburnya. Ia tertawa tak bersuara, kemudian kembali menggeledah kamar mandi dan menemukan jam tangan yang dicarinya di dalam sana.
*
"Dewa Ares diberkahi kemampuan berperang yang hebat. Itulah kenapa dia diangkat sebagai Dewa Perang," Ares berujar perlahan sembari mengamati patung sosok Dewa Ares yang diletakkan di atas bufet apartemennya. Ia menggerakkan patung Dewi Aphrodite, mengamatinya dengan saksama, lalu mendekatkannya di sebelah Dewa Ares. "Aphrodite adalah Dewi yang sangat memesona. Dia memiliki daya tarik yang begitu kuat. Nggak ada satu pun pria mampu menolak kecantikannya. Termasuk Ares." Ia berbalik badan, memandangi Binar yang sibuk bersama laptop dan menyeruput secangkir kopi. Gadis itu hanya meliriknya sekilas.
"Meskipun diangkat jadi dewa perang, Ares nggak pernah memenangkan peperangan loh." Binar tersenyum hiperbolis. "Dia bahkan dibenci banyak Dewa, apalagi sejak perselingkuhannya dengan Aphrodite."
Ares mencebikkan bibir. "Setidaknya dia pernah mencuri hati Aphrodite. Itu sebuah kebanggaan,"
Laptop yang sejak tadi dihidupkan Binar ditutup. Ia melemparkan perhatian menuju jam dinding dengan jarum pendek menunjuk angka dua. Sepulang dari pesta pernikahan kakak dengan bosnya, ia segera berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Tak kepalang tanggung, ia memilih bermalam di apartemen Ares sekadar melepas rindu.
"Sampai sekarang aku nggak tahu kenapa kamu datang ke sini. Aku nggak yakin kamu kangen sama aku." Mata Binar terpicing. "Perubahan kamu dari tahun ke tahun sangat drastis. Pasti ada perempuan yang bikin kamu begini, ya? Hanya cinta yang bisa bikin orang seperti berjalan menggunakan tangan alih-alih kaki."
Bahu Ares terkedik. "Ada hal yang harus aku selesaikan di sini."
"Apaan tuh? Ada proyek pemotretan di Indonesia?"
Ares menggeleng. "Lebih penting dari pekerjaanku." Giliran ia yang melemparkan pandangan menuju jam dinding. "Udah jam segini. Tidur, gih. Nanti sakit." Diusapnya rambut Binar.
"Duh kakakku yang satu ini perhatiannya nggak pernah surut, ya. Hati-hati kalau mau kasih perhatian ke cewek lain. Jangan bikin mereka baper."
Binarmeletakkan laptop di pangkuannya ke atas meja. Dilayangkan tinju pelan ke arahlengan Ares sebagai salam perpisahan. Ia lenyap di balik pintu kamar yangdisediakan untuknya. Kini tinggallah Ares seorang diri, mengamati pemandangankota yang tak pernah padam ditelan kesunyian dari balik dinding kaca. Iamengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana; sebuah pita rambut berwarna merahyang sudah menemani perjalanannya selama delapan tahun.
*****
Hore! Saya kembali membawa pasangan paling aneh sejagad oranye. Aku hadirkan dua tipe pria di sini. Entah mana yang kau pilih sebagai pendamping hidup nantinya.
Sori lama update ya bangsawan dan bangsawatiku. Ini wattpad kok eror ya dibuat update susah hiks, padahal nulisnya sampai nggak tidur! Rayu aku dong buat next chap.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro