Autocorrect
Kehadiran Ares di sana bagaikan bom yang siap diledakkan, begitulah yang ada di pikiran Erlangga. Lelaki itu memutar mata cukup jengah. Dipandangnya Ares yang mengamati keadaan sekitarnya. Keduanya bagaikan pion berbeda yang siap digerakkan. Kendati sadar kedatangannya tak akan pernah disambut dengan tangan terbuka, Ares tersenyum dalam cebikan mengejek. Ia memain-mainkan patung kesatria menunggangi seekor kuda di atas bufet.
"Tenang saja, aku tidak akan mengganggu kehidupan kalian." Nadanya terdengar diyakinkan, meski kaku dan baku. Ia memindahkan perhatiannya dari patung tersebut menuju Erlangga. "Aku tidak akan tinggal serumah dengan kalian. Santai."
"Ya, bagus," Erlangga menyahut cepat. "Kalau begitu, silakan pergi. Udah kelar kan sowannya?" Ia memasang senyum hiperbolis. "Binar nggak ada di sini."
Sepasang alis Ares terangkat diikuti sudut bibirnya yang tertarik ke bawah. "Oh, sibuk ya? Aku dengar dia kerja jadi asisten pribadi seorang desainer." Ia berdeham. Sikapnya berubah lebih berwibawa sekarang. "Aku juga mengikuti beritamu yang baru-baru ini. Aku tidak yakin kamu memberitahu kabar yang sangat krusial itu pada orangtuamu."
"None of your business. Ini masalah pribadi yang nggak patut kamu campuri, Ares."
"Oh. Oke." Ares mengangguk dan tertawa. "Sori. Kalau begitu, aku tidak akan banyak bicara. Kayaknya kamu butuh istirahat dan waktu lebih banyak untuk menyendiri dan barangkali berpikir dua kali mau melanjutkan sandiwara tolol itu atau tetap menjalaninya dan... entah apa yang akan kamu lakukan lagi. Semoga hal itu tidak merugikan istrimu kelak." Bahunya terkedik. Ucapannya membuat Erlangga makin muak. "Binar pulang ke sini?" Ares mengamati jam tangan.
"Dia bersama bosnya, calon kakak iparnya," tampaknya Erlangga sengaja menekan kalimat terakhir itu, "to prepare our wedding. It's coming soon." Ia menambahkan dengan senyum separo.
Sekali lagi, Ares mengamat ruangan tersebut. Sebelum berlalu pergi, ia menepuk pundak Erlangga beberapa kali.
"Aku pasti datang."
"Nggak datang juga nggak ada ngaruhnya."
"Jaga kesehatan." Ares mengedipkan sebelah mata, lantas melenggang melintasi ruang keluarga mengabaikan kerutan kening Erlangga yang kesal. Ia memutar badan, tidak lagi mendapati Ares yang telah lenyap di balik tembok.
Salah seorang pembantu rumah tersebut yang berdiri menundukkan kepala tak jauh dari jangkauan pandangan Erlangga menjadi sorotan. Ia menjentikkan jari memberi perintah pada perempuan paruh baya tersebut untuk mendekat. Dengan tundukan kepala dipenuhi rasa takut, perempuan tersebut melangkah perlahan menghampiri.
"Kenapa membiarkan dia masuk ke rumah ini? Siapa yang kasih ijin?"
"Tadinya saya sudah mengatakan kalau Tuan belum pulang, tapi dia minta diijinkan masuk. Katanya masih keluarga Tuan. Saya cukup yakin setelah melihat KTPnya. Nama belakang keluarganya Tunggadewa."
"Masih berani pasang nama keluarga rupanya," Erlangga menggumam jengah. Tanpa menambahkan sepatah kata, ia melangkah gusar, meninggalkan ruang keluarga.
*
Melihat gaun yang mulai dikerjakan oleh beberapa orang, Binar menggigit kukunya. Ia tak berani bertanya banyak, membiarkan Dilara memonopoli dengan segala instruksi—jangan lupakan bentakan dan teriakan melengkingnya. Wanita itu memeriksa dan memutari manekin yang telah memajang sebuah gaun pengantin sederhana yang tak memiliki banyak sentuhan. Dibandingkan dengan Kate Middleton pun gaun tersebuh lebih sederhana dan tidak neko-neko.
Puas dengan hasil pekerjaan anak-anak buahnya yang tidak membutuhkan waktu pengerjaan lama, Dilara tersenyum miring, lantas melenyapkannya detik saat Binar berdeham mendekat.
"Boleh tanya?"
"Hm."
"Kok... nggak mewah, ya? Aku kira bakalan semewah sosialita-sosialita lainnya."
Menanggapi bisikan Binar di sampingnya, Dilara menelengkan kepala ke satu sisi. Kaki jenjangnya dilangkahkan di atas stiletto peraknya menghampiri sebuah meja. Ia meraih gelasnya yang baru diisi air putih.
"Buat apa mewah-mewah?"
"Ya... kan kamu desainer yang notabene jadi panutan mode di sini. Rasanya aneh kalau seorang desainer yang dikenal punya selera fashion tinggi hanya mengenakan gaun simple macam... itu." Telunjuk Binar mengarah pada gaun di depannya.
Dilara merenungkan pertanyaan Binar dengan mengamati lantai. Ia meletakkan gelas berleher panjang yang ia genggam ke tempat semula. Satu tangannya bertolak pinggang.
"Nggak semuanya bisa diukur dengan kemewahan. Yang penting itu nilainya." Bola matanya mengekori langit-langit sekadar mengulang kalimat yang terlanjur ia lontarkan. "Maksudku, coba bayangkan kalau gaun itu jadi trendsetter. Kemewahan udah nggak jaman. Norak. Kalau terlalu mewah, kok kesannya jadi kampungan, ya? Kate Middleton yang dipinang pangeran saja gaunnya sederhana. Kenapa kita harus prestisius?" Ia menggerakkan bahu diiringi cebikan bibirnya yang lantas berubah menjadi tawa renyah mencemooh. Ia memutar badan membelakangi Binar. Mendadak ia merasakan ada sesuatu yang salah dalam dirinya. Ia mengusap leher dan menghela napas panjang.
"Oh... ya, Binar. Bisa minta tolong?"
Binar mengernyit. "Nggak biasanya minta ijin dulu."
Membalas kalimat sarkastis tersebut, Dilara memutar mata dan menggerung. "Tolong gantikan aku meeting hari ini." Badannya diputar anggun. "Aku ada perlu. Sama kakakmu." Sengaja, ditekannya kata terakhir itu, membuat Binar tersenyum kecut.
Gadis itu mengangguk setengah hati. Bibirnya ditekan menjadi garis tipis. Kendati ia tak tahu harus bersikap bagaimana sebagai wakil seorang Dilara Niranjana di sebuah pertemuan. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, Binar melangkah kaku, menggaruk tengkuknya.
Tak melihat sosok Binar yang sudah lenyap di balik pintu, Dilara membuang napas panjang. Ia bertolak pinggang dan menekan dahinya frustrasi.
*
Hampir lima belas menit baik Dilara maupun Erlangga yang saling membisu dan sibuk dengan kegiatan masing-masing, meski dalam satu meja. Sebelumnya pun, mereka berdua tak saling sapa, alih-alih berdeham dan langsung menempati kursi. Berlagu-lagu pun telah berganti. Orang-orang yang berlalu lalang melewati mereka sempat menumbukkan pandangan sekilas. Entah yang ke berapa kali Dilara menuangkan gula ke dalam tehnya. Saat ia menyeruput, dahinya dikernyitkan. Ia sadar telah memasukkan dua bungkus gula. Diamatinya Erlangga yang masih menekuni iPad, tampak serius.
"Jadi?" Pada akhirnya Dilara membuka suara, mulai jengkel.
Erlangga mengangkat tangan. "Sebentar."
Dilara mendesah pendek, menyibak rambutnya ke belakang. "Aku membuang waktu berhargaku demi memenuhi permintaan kamu datang ke sini loh. Seharusnya tadi aku—"
"Oh!" Seakan tak memedulikan kalimat Dilara baru saja, Erlangga menepuk mejanya perlahan. Ia menyodorkan pada Dilara sebuah foto yang muncul di layar. Ia memajukan kursi ke depan. "Ini hasil rancangan arsitekku. Tadi aku motret di kantor. Sebentar lagi modelnya akan dikerjakan Saka buat promosi. Bagus, kan? Ini nanti jadi punya kita loh. Ada bekas rumah kamu juga di sini."
Dilara mengernyitkan kening. Bibirnya mengerucut. Ia menepikan poninya ke samping dan menyorong iPad yang disodorkannya menjauh. Ekspresinya terlihat jengah.
"Jadi kamu ngajak aku ke sini cuma mau nunjukin ini? Kamu ngeledek karena pada akhirnya aku melepaskan tanah keluargaku sama kamu? Iya?"
Buru-buru Erlangga menggeleng. "Bukan. Aku mau kasih tahu kamu kalau Budhe aku pengen ketemu dan kenalan sama kamu."
Sepasang alis Dilara bertautan. Ia menyelipkan rambut ke belakang telinga. "What? Kamu punya keluarga besar? I don't see a connection between you and your family." Sudut bibirnya terangkat skeptis. Sepanjang obrolan dari awal bertemu sampai hari itu, Dilara tak pernah mendengar cerita seputar keluarga lelaki yang akan ia nikahi. Ia menelan tawa sumbang bersamaan dengan minumannya yang sudah dingin.
"Come on, aku nggak dibesarin sama gorila." Erlangga membuang napas panjang, melirik keadaan di sekitarnya dan memelankan suara sekadar menghalau orang lain mencuri dengar pembicaraan di meja tersebut. "Dia akan datang nanti malam."
"Orangtuamu?" Dilara meninggikan dagu, menopangnya dengan punggung tangan.
"Itu masalah gampang."
"Di mana orangtuamu?" Wanita tersebut terus menuntut.
"Nggak ada di sini. Mereka sibuk." Mencoba mencari celah melarikan diri dari pertanyaan skeptis tersebut, Erlangga menengok jam tangan. "Aku harus balik ke kantor dan melihat perkembangan hasil kerja Saka." Ia menyelipkan senyum kecil, berdiri, dan mengulurkan tangan ke depan. "Ayo balik. Kalau kita perginya pisahan, orang-orang bakal curiga."
Dilara tak mengubah raut wajahnya. Ia menyambut tangan Erlangga, namun tak kunjung berdiri. Digenggamnya tangan tersebut dengan tatapan lurus-lurus.
"Mereka harus datang di hari pernikahan kita."
"Maaf kalau membuatmu kecewa. Tapi mereka nggak akan bisa. Percayalah." Diumbarnya senyum singkat, lantas melepas genggamannya dari Dilara. Ia memberi perintah untuk segera berdiri. Dilara beranjak dan melangkah gusar mendahului, peduli setan terhadap perhatian orang-orang yang mengamatinya sampai keluar kafe.
*
"Ceritakan tentang Budhe kamu."
Kepala Binar terangkat, mengamati pantulan bayangan Dilara dari cermin. Ia berhenti mengikat tali gaun bagian punggung wanita tersebut. Bibirnya terbuka kecil.
"Budhe?"
"Kakakmu bilang Budhe kalian akan datang ke sini. Mau kenalan sama aku."
"OMG! Budhe Kanthi?" Binar menepuk dahinya beberapa kali. Melihat respon aneh Binar, Dilara mengenyit dan menoleh ke belakang. Barulah gadis tersebut berhenti menepuk dahi dan menarik napas dalam-dalam. "Dia yang ngerawat kami dari kecil. Sepeninggal Mama."
Bibir Dilara membentuk O kecil. Ia memalingkan pandangan menuju cermin, mematut bayangan cantiknya yang malam itu tengah bersiap. Ia merapikan rambutnya yang digulung ke atas dan meninggalkan beberapa helai yang dibentuk per membingkai sebelah wajahnya.
"Jadi benar orangtuamu berpisah?"
Binar mendesah pendek. "H-hm. Jangan bahas hal seperti itu di depan Mas Erlang, ya. Dia nggak suka."
"Oke." Ia tersenyum simpul.
"Budhe Kanthi itu kakaknya Papa. Setelah suaminya meninggal, dia tinggal di Jogja, di kampung halamannya. Dia nggak punya anak, jadinya ngangkat anak orang. Terus kami menemaninya di Surabaya. Sampai kami kuliah, Budhe dirawat anak angkatnya."
Binar mulai menceritakan siapa Budhe Kanthi, bagaimana wataknya, apa yang ia kerjakan, dan segalanya. Sembari mondar-mandir membantu Dilara memilih dan memasangkan perhiasan.
"Itu aja." Dilara menunjuk kalung polos berbandul matahari kecil di dalam kotak beludru warna merah di tangan kanan Binar. Gadis tersebut meletakkan kotak-kotak tersebut dan membantu Dilara mengenakannya, melanjutkan lagi penjelasannya.
Setidaknya dengan begitu, ia sudah tahu bagaimana menyikapi kedatangan Budhe Kanthi.
"Budhe Kanthi orangnya ramah." Suara Binar bergaungan di telinga Dilara untuk diingat. Ia membawa serta penjelasan Binar di pikirannya sampai di tempat tujuan. Pintu mobilnya dibuka oleh seseorang dari luar. Ia mengulurkan tangan ke depan, disambut oleh Erlangga dengan kecupan di punggung tangannya diikuti kerlingan sebelah matanya. Wanita tersebut memutar mata.
Mereka memasuki restoran Jawa yang dibangun menggunakan bambu. Meski demikian, restoran tersebut tampak sangat modern dan mewah.
Seorang wanita yang berumur kisaran lima puluhan berdiri dibantu oleh seorang perempuan yang sebaya dengan Dilara. Ia mengenakan kebaya dengan selendang yang tersampir pada pundaknya. Rambutnya digelung ke atas, seperti seorang aristokrat Jawa.
"Selamat malam," Dilara menyapa dengan ciuman di kedua pipi.
Budhe Kanthi tersenyum menelisik penampilan Dilara dari puncak kepala sampai ujung stilettonya yang senada dengan warna gaun berbahan brokatnya, merah crimson.
"Budhe Kanthi nggak suka sama perempuan yang dandanannya mewah. Kami dididik untuk berpenampilan rapi, tapi tetap sederhana."
"Cantik sekali. Desainer dan pemilik rumah mode, kan? Tidak biasanya loh desainer berpenampilan sederhana. Pasti tampilannya aneh-aneh." Wanita tersebut melirik Erlangga. "Seperti adikmu sekarang. Tampilannya kenapa jadi aneh?"
Dilara menelan ludah dan berdeham. Kendati tidak mengarahkan karyawan-karyawannya dalam berpenampilan, Dilara yang selektif tak akan menerima siapapun bekerja di tempatnya bila mereka tidak modis.
"Ayo duduk." Erlangga memundurkan kursi untuk Dilara. Mereka duduk satu meja diiringi tembang-tembang asmaradhana. Baru pertama kali Dilara mendatangi tempat seperti ini. Untung saja ia tak berdandan berlebihan, menyesuaikan kepribadian Budhe Kanthi yang tak begitu senang dengan modernitas.
"Budhe Kanthi ini orangnya menjunjung tinggi nilai kesopanan. Dia bakal ilfeel sama orang yang nggak tahu sopan santun."
Menunggu Erlangga memesankan mereka menu makanan, Dilara mengamati Budhe Kanthi dan anak angkatnya yang tidak lelah memasang senyum layaknya kontestan ajang kecantikan.
"Oh ya, ini anak angkat saya." Budhe Kanthi menunjuk putrinya. "Citra."
Citra tersenyum dan mengangguk ramah pada Dilara yang tersenyum singkat.
Budhe Kanthi berdeham dan mereguk air putih di depannya. "Erlangga sudah keterlaluan. Hampir mendekati hari H, dia baru mengabarkan akan menikah." Ia berdecak.
"Budhe kan suka kejutan." Erlangga menyengir.
Begitu hidangan datang memenuhi meja, mereka mulai menyergap satu per satu. Gerakan Budhe Kanthi begitu elegan, seperti seorang bangsawan Jawa yang dituntut untuk bertindak sempurna dan hati-hati. Dilara mengamati tanpa berkedip. Tak disangka, ia dipertemukan dengan orang yang mirip dengannya. Dan ia sangat kesal melihat hal itu. Kini ia tahu bagaimana perasaan orang-orang sekitarnya saat berhadapan dengannya.
"Jangan ada obrolan saat makan malam berlangsung. Ngobrol saja usai makan bersama. Budhe Kanthi nggak suka ngobrol sambil makan."
Nyaris sepanjang makan malam, tak ada obrolan. Keadaan di meja tersebut sunyi senyap seperti tak dihuni manusia. Bola mata Dilara melirik Erlangga dan memberi kode. Membalas kode Dilara, Erlangga melengos. Ia meraih gelas dan menggoyangkannya seakan berujar: "Sabarlah."
Pada akhirnya kebekuan di meja tersebut berhasil mencair begitu Budhe Kanthi mengusap mulut, memastikan tak ada yang makan lagi, dan tersenyum.
"Dia penggila tata bahasa. Hati-hati kalau diajak ngobrol. Salah sedikit pasti dikoreksi. Dulu Budhe Kanthi bekerja di Pusat Bahasa. Dia yang menyusun KBBI juga."
"Orangtuanya masih ada?"
Dilara memindah matanya menuju Budhe Kanthi. "Sudah meninggal saat saya masih SD."
Mulut Budhe Kanthi terbuka. Ia menyentuh dada, memberikan reaksi prihatin.
"Saya turut berduka cita. Tinggal dengan siapa?"
"Sekarang saya tinggal sama eyang."
"Bersama," Budhe Kanthi mulai mengoreksi kesalahan Dilara. Mendapatkan koreksi, Dilara tertawa kecil.
"Sekarang saya tinggal bersama eyang." Dilara menggenggam tangannya yang dingin. Berhadapan dengan Budhe Kanthi ibarat berhadapan dengan dosen penguji. Berulang kali Dilara meneguk minumannya. Sikapnya yang kaku membuat Erlangga tergelitik.
"Kamu pasti dididik untuk hidup sederhana. Saya jarang bertemu perempuan yang berkecimpung di dunia mode, namun memilih berpenampilan biasa dan tidak berdandan berlebihan. Kata Erlangga, kamu lulusan Esmod, seperti Binar. Yang saya tahu, meskipun distigmakan sebagai kota mode, warga Prancis menanggapi isu mode sebagai hal yang biasa. Bahkan mereka tidak suka membeli pakaian di toko-toko bermerek."
Dilara tersenyum kecil. "Ya... orang Indonesia kan gengsinya tinggi."
"Indonesia," Budhe Kanthi menekan kata 'i' yang dieja Dilara dengan huruf 'e'. Kendati samar dan cepat, wanita itu lupanya berhasil menangkap kekeliruan ejaannya.
"Indonesia." Bisa gila aku lama-lama di sini. Dilara tersenyum sekali lagi. Kali ini senyum kecut.
*
Usai makan malam bersama, Budhe Kanthi berpamitan untuk kembali bersama putri angkatnya, ke hotel untuk bermalam. Mereka menolak ajakan Erlangga menginap di rumahnya. Begitu masuk ke dalam mobil yang dikemudikan sopir pribadi Budhe Kanthi, barulah Erlangga mengantar Dilara keluar dari restoran dan menunggu wanita itu dijemput sopirnya.
"Coba tadi kamu lihat mukamu. Nggak pernah kayaknya seorang Dilara dibuat kikuk kayak tadi." Erlangga terbahak keras.
Melihat Erlangga terbahak-bahak, Dilara menghujamkan lirikan tajam. Tangannya dilipat di depan dada, sedangkan bibirnya mengerucut ke depan.
"Sengaja ya biar aku dilibas kayak tadi?" Ia mendesis.
Tak menjawab pertanyaan tersebut, Erlangga melanjutkan tawa kemenangannya. Ia tahu betul bagaimana menjatuhkan Dilara. Budhe Kanthi memang orang yang tepat. Tak sia-sia ia sempat diomel dan dikuliahi panjang kali lebar melalui telepon lantaran tidak memberi kabar tentang rencana pernikahannya yang mendadak.
Ponsel Dilara meraung-raung dalam tasnya. Ia mengangkat panggilan sopir pribadinya. "Ya, Pak?
"Maaf, Non. Ban mobilnya pecah di tengah jalan. Saya tidak bisa menjemput Non Lara."
Dilara membuang napas pendek. "Ya sudah. Saya naik taksi saja."
"Maaf sekali lagi, Non. Saya menunggu mobil derek."
"Tidak apa, Pak. Saya bisa pulang sendiri."
Begitu sambungan terputus, Dilara melenggang tak acuh, berniat mencari taksi di pinggir trotoar. Baru beberapa langkah, tangannya ditarik Erlangga.
"Eh... mau ke mana?"
"Pulang, lah. Ban mobil jemputanku pecah di tengah jalan."
"Ya udah, aku antar pulang saja."
Sebelah alis Dilara terangkat skeptis. Ia? Mengantar seorang wanita pulang? Dilara berharap ia tak salah dengar. Tawanya terdengar sumbang.
"Nggak, deh. Nanti kamu nurunin aku di jalan."
Menanggapi tuduhan tersebut, Erlangga melebarkan matanya. "Aku nggak sejahat itu, kali." Ia melemparkan pandangan ke seantero tempat, melihat orang-orang sekitar yang mengamati mereka berdua. Beberapa meter di samping restoran, Erlangga menemukan seseorang bertopi yang berulang kali mencuri pandang ke arah mereka. "Kayaknya ada wartawan di sana." Ia mendekat dan menarik Dilara ke dalam dekapannya.
"Wartawan? Ngapain ngikutin kita?"
"Ngapain lagi kalau nggak nyari berita? Kamu pikir semua orang percaya sama drama ini? Sebagian dari mereka pasti nyoba nyari celah kebohongan kita buat dijual mahal." Ia berbisik di samping telinga perempuan tersebut. "Jadi, masih mau pulang sendiri? Mau karir kamu hancur?"
Dilara menahan kegeraman. "I hate you so damn much."
"Hmm... I don't think so, Babe. Rangkul balik. Ayo."
Mau tak mau, Dilara mengikuti instruksi tersebut. Ia melingkarkan tangan di pinggang Erlangga. Kepalanya menengadah menampilkan ekspresi horor. Erlangga merespon dengan senyum hiperbolis.
"Enak begini, kan. Lebih hangat."
"Shut up and walk."
Mereka melangkah bersama bagaikan sepasang kekasih yang kasmaran, membuat orang yang sedari tadi mencuri-curi pandang melongok dan berjalan cepat mengikuti. Sebuah kamera ia genggam dan disembunyikan di dalam jaketnya. Ia benar seorang wartawan. Gagal mendapatkan gambar jarak dekat lantaran dua orang yang dibuntutinya sudah lenyap di kelokan, wartawan tersebut mengumpat jengkel.
Merasa aman dan tak dibuntuti, Erlangga melajukan mobilnya keluar dari tempat parkir. Ia berdecak, sesekali mengamati rearview dan spion, barangkali ada wartawan lain yang ikut menguntit. Mengusir kesenyapan, Erlangga menghidupkan radio dan memilah-milah lagu sampai mendapatkan lagu beraliran alternative rock.
"Yang lembut, kek. Musik apaan ini," di joknya, Dilara memprotes.
"Enak, tahu. Musik yang bisa memacu semangat."
Tidak memedulikan ucapan Erlangga, Dilara memindah saluran dan berhenti pada lagu The Cranberries. Ia duduk bersedakap. Tatapannya dibuang menuju lurus ke depan menikmati alunan musik tersebut.
"Ck. Ini apaan? Nggak ada ketukan semangatnya." Lagi, Erlangga memindah saluran, kembali ke lagu tadi.
Dilara menekan kedua telinganya dengan telapak tangan. Ia menggerung kesal. "Gini aja, deh. Selain musik seperti ini, musik seperti apa lagi yang kamu suka?!"
"Folk jazz boleh juga."
"Oke. Folk jazz." Untunglah Dilara juga menyukai aliran musik tersebut. Maka, dipindahnya saluran berkali-kali, namun tak kunjung menemukannya. Ia melirik Erlangga yang menahan tawanya. Oh, sial, rupanya lelaki itu sengaja mempermainkannya. Sebab lagu beraliran folk jazz sangat jarang diputar di radio. Dilara mematikan radio kasar. "Matiin ajalah. Pusing dengernya." Ia bersandar di punggung jok, melemparkan perhatian ke luar jendela seraya menopang dahinya.
Hujan mengguyur Jakarta malam itu. Bunyi guntur dan rintiknya beradu jadi satu. Mereka berdiam satu sama lain. Hujan dan guntur menjadi perpaduan liris, sebagai pengganti musik yang gagal menemani perjalanan mereka. Meski begitu, suasana menjadi lebih hambar dan monoton. Dilara terus menekuri jalanan, sedangkan berulang kali Erlangga melempar lirikan ke arahnya.
Sampai di halaman depan rumah Widya, Erlangga menekan klakson beberapa kali sampai satpam di pos penjaga spontan keluar sembari membawa sebuah payung. Ia membantu Dilara keluar dari mobil dan memayunginya. Dari balik jendela, Erlangga melongokkan kepala bersitatap dengan Dilara yang berada di bawah naungan payung.
"Kalau mau pergi, kita barengan aja. Kayaknya wartawan mulai brutal ngikutin terus."
"Boleh juga modusmu."
"What? Ini demi karir kamu. Karir kamu."
Dilara mengibaskan tangan di udara. "Terserah."
Memberi senyum hiperbolis, Erlangga berpamitan pergi. Ia menutup kaca jendela mobil dan mengemudi menjauhi rumah Widya, menerobos hujan dan gelapnya malam. Dilara melangkah hati-hati di bawah payung yang digenggam satpam rumah tersebut. Ia mengibaskan tangan memberi perintah untuk meninggalkannya begitu kakinya menginjak lantai. Satpam rumah mengangguk patuh, berlarian kecil kembali ke pos penjaga.
Rumah dalam keadaan sepi. Ia berjalan khitmad menaiki barisan anak tangga menuju kamar Widya sekadar memeriksanya. Membuka pintu kamar eyangnya yang tidak terkunci, Dilara melimbai masuk di antara kegelapan kamar dan hanya diterangi lampu duduk di atas nakas. Widya sudah pulas, entah memimpikan apa. Dilara membungkukkan badan mengecup dahi perempuan tua tersebut.
"Lara sayang sama eyang. Eyang yang mengajarkan saya pentingnya bertahan di antara predator yang buas. Entah apa jadinya saya kalau waktu itu eyang tidak menyelamatkan saya." Sekali lagi, diciumnya dahi Widya, sebelum ia beranjak pergi usai mematikan lampu duduk dan menutup pintu.
Sampai di kamar, Dilara menghela napas berat. Ia melangkah menghampiri meja rias untuk menghapus make up di wajah. Dipatutnya bayangan dirinya di cermin selama beberapa detik. Tatapannya lantas terpaku pada lantai, tak jauh dari kakinya. Dahinya dikernyitkan cukup dalam. Ia membungkuk dan memungut secarik kertas gambar yang seingatnya ia simpan di antara buku sket khusus yang memenjarakan gambar-gambar ketika ia remaja dulu. Seiring memandangi kertas tersebut, otaknya memutar ingatan beberapa jam lalu, ketika Binar membantunya bersiap-siap di kamar itu. Ia mendesah panjang.
Pasti Binar yang membuka-buka buku sket itu, pikirnya kesal. Dibukanya laci meja rias tersebut, mengeluarkan buku sket yang terakhir kali dalam ingatannya, ia letakkan di dalam sana. Ada beberapa lembar kertas yang tersembul keluar, pertanda bahwa Binar memang sempat membuka-buka buku sket itu. Dilara membuka buku sketnya dan meletakkan kertas yang terjatuh tadi di tengah-tengah. Sebelum menutupnya, ia pandangi sekali lagi desain sebuah gaun yang digambarnya ketika masih duduk di bangku SMA. Gambar yang menjadi acuannya membuat gaun pernikahannya.
*****
Kesel deh kalau ketemu orang Pusat Bahasa. Ngomong sama mereka bakal dipotong terus gara-gara salah ejaan hahahaha.
Mau ngepos saja kok ya susah. Udah pesen di kaepsi ternyata wifinya eror. Pindah lagi jadinya. Tjapek.
Di part kemaren kok ya malah ngeributin cast buakakak. Yo terserah kalian toh mau bayangin sopo. Mau bayangin gebetan juga boleh. Bayangin saya buat Binar juga boleh. Opsional kok.
Tak kasih bonus lagunya Gomez yang Same Old Love. Entah kenapa suka aja sama lagu itu hhhhh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro