BAB 3
Jongin ingat siang itu. Ketika ayahnya dengan tiba-tiba memanggilnya untuk segera pergi ke kantor. Bukan hal baik, jelas; jika ia bertemu dengan ibunya. Tidak masalah selama apapun ia bertemu dengan ayahnya. Tapi setelah ibunya menemukan ia berada di kantor. Saat itu juga ia akan habis. Jongin memiliki kehidupan yang royal, bahkan ia telah disiapkan secara matang untung mengurus perusahaan ayahnya. Namun bagi Jongin, kemampuannya belum cukup hingga ia memiliki pengalaman. Hanya sekali-kali, ketika ayahnya memanggil ke kantor. Dengan senang hati Kai akan datang dan belajar banyak dari ayahnya.
Hanya saja hari itu, ia sedang mempersiapkan kepindahannya sementara ke apartemen Chanyeol. Sejak tadi pagi, ia berjalan-jalan mencari letak keberadaan gedung apartemen yang ditinggali Chanyeol. Berharap setelah ia kembali dari kantor, ia bisa menghindar dari ibunya yang mungkin menangkap basah kepergiannya. Namun sialnya, sampai siang itu Jongin masih belum menemukan letak gedung tersebut.
Mengingat waktu pertemuan Jongin dan ayahnya akan segera tiba. Jongin memutuskan untuk pergi, dan mencari kembali sepulang dari kantor nanti. Sebelum pergi, ia memutuskan untuk memasuki sebuah minimarket. Ia membutuhkan kopi, dan anggap saja Jongin adalah pecandu. Jongin telah terbiasa meminum kopi setiap pagi dan karena harus pergi. Jadi ia belum sempat untuk meminum kopi tadi pagi.
Jongin berniat membayar kopi yang akan dibelinya ketika seorang gadis tiba-tiba menyalip antriannya. Baiklah, ia mengalah dan berdiam diri menunggu gadis itu membayar lebih dulu. Lagipula apa yang dibelinya tidak terlalu banyak. Namun sekian lama ia menunggu, gadis itu tak kunjung juga menghindar. Jongin tengah buru-buru dan ia harus segera pergi dari sini.
Ia melirik sekilas dan meminta gadis itu untuk minggir karena ia harus membayar lebih dulu dan pergi. Gadis itu patuh. Ia bergeser dan membiarkan Jongin untuk membayar. Ketika Jongin menunggu sang kasir menghitung kopi yang ia beli. Sekilas ia memerhatikan wajah gadis itu yang nampak panik dan setengah kebingungan. Sesekali merogoh setiap sakunya. Dari pakaiannya, gadis itu terlihat seperti tunawisma.
"2100 won, tuan," panggil si kasir membuat Jongin memalingkan tatapannya dari gadis itu.
"Oh ya," Jongin langsung merogoh dompet di saku jasnya. "Berapa gadis itu membeli semua ini?" tanya Jongin seraya menunjuk sebotol air mineral dan 3 botol vitamin di hadapan kasir itu.
"5000 won," jawab si kasir.
"Oh, bayar dengan semua ini," jawab Jongin dengan senyumannya. Memberikan kartu atm miliknya pada kasir itu. Meski wajah kasir itu nampak bingung tapi akhirnya kasir itu mengangguk dan mengikuti perintah Jongin. Setelah semua dibayar, Jongin bergegas pergi. Ia harus segera bertemu dengan ayahnya. Ia tidak peduli dengan gadis itu, lagipula ia hanya sedikit menolong. Toh, ia tidak akan pernah bertemu lagi dengannya.
Namun ternyata dugaannya salah, sekarang gadis itu ada dihadapannya. Berdiri dengan secangkir kopi panas dan uang lima ribu won di tangan kanannya. Tidak menyangka, bahwa gadis yang ia kira seorang tunawisma adalah Kyungsoo—tetangganya sendiri saat ini.
"Aku berhutang 5000 won padamu," ucap Kyungsoo menyerahkan uangnya. Namun Jongin hanya menatapnya dengan tatapan dingin.
"Tidak membayarnya pun tidak apa-apa."
"Aku tidak ingin memiliki hutang pada siapapun. Jadi kau harus menerima ini."
"Kau bisa menyimpannya sendiri. Kau lebih membutuhkannya," kembali ia memerhatikan pakaian Kyungsoo. "Kurasa," lajutnya lirih.
Tangan Kyungsoo mengepal menerima penolakan itu. Namun ia tidak akan mundur. Bagaimanapun ia berterima kasih kepada Jongin karena telah membantunya kemarin. Jongin harus menerimanya dan tidak peduli dengan setiap sindiran pria itu sebelumnya—bahkan sikapnya saat ini yang terkesan dingin.
"Kalau begitu, kopi?" kini Kyungsoo mengulurkan lengan kirinya yang menggenggam cangkir kopi.
Jongin sedikit meliriknya sekilas. Aromanya harum dengan uap yang mengepul. "Tidak perlu bersusah payah seperti itu."
"Kau terima saja. Anggap saja sebagai rasa terima kasihku," paksa Kyungsoo.
Jongin sedikit mendesahkan napasnya perlahan. Gadis ini keras kepala. "Nona Kyungsoo, bisakah kau berhenti bicara?" seketika saat itu juga Kyungsoo mengatupkan bibirnya rapat. "Aku sedang sibuk oke, jadi lupakan tentang hutang 5000 won itu. Anggap saja semuanya lunas."
Tanpa menunggu respon dari Kyungsoo. Jongin langsung melangkah memasuki apartemennya begitu saja. Ia tidak memiliki waktu untuk bicara omong kosong dengan gadis itu. Cukup ibunya saja yang telah membuang waktunya. Deadline makalah untuk skripsinya akan berakhir tiga minggu lagi dan ia ingin selesai tepat waktu. Ia kembali duduk di depan laptopnya untuk siap kembali bekerja. Namun saat itu juga ia terkejut menemukan Kyungsoo yang telah berada di dalam kamar apartemennya.
"Tunggu? Bagaimana kau bisa masuk seperti itu?" tanya Jongin panik.
Namun Kyungsoo hanya mengangkat bahunya tidak peduli. Sebelum pintu apartemennya tertutup, Kyungsoo telah lebih dulu menyelinap masuk. Meskipun ini terlihat tidak sopan, tapi Kyungsoo tidak bisa melupakan hutang-hutannya. Anggap saja semuanya lunas? Tentu semuanya tidak bisa dianggap lunas begitu saja.
"Tuan Jongin, maafkan aku," Kyungsoo membungkukkan tubuhnya memohon maaf karena telah lancang memasuki apartemen milik pria itu tanpa ijin. "Tapi sungguh, aku tidak bisa membiarkan hutang-hutangku lunas begitu saja."
"Ya.. ya.. lagipula aku sudah bilang lunas kan? Bisa kau keluar dan pergi sekarang?" mulai merasa jengah dengan keberadaan Kyungsoo saat ini. Untuk pertama kalinya Jongin mengeluh karena gedung apartemen ini hanya menggunakan kunci biasa bukannya sandi.
"Tapi, setidaknya kau menerima balasanku ini. Jika kau tidak ingin uang, kau bisa menerima kopi ini," ucap Kyungsoo melangkah mendekati meja Jongin. Untuk beberapa saat Jongin memerhatikan kopinya. Kyungsoo pikir, Pasti Jongin tengah memikirkan hal macam-macam kepadanya. Kenapa kopi? Hanya saja semua orang menyukai kopi bukan? Anggap saja apa yang diberikan Kyungsoo ini sebagai bentuk perkenalan juga.
"Tidak, terima kasih," tolak Jongin singkat. Membuang pandangannya untuk kembali memerhatikan laptopnya.
"Tapi Tuan."
"Bisa kau pergi sekarag? Aku sedang banyak perkejaan."
Kyungsoo tak pantang menyerah. Ia langsung menyimpan kopi panas beserta uang lima ribu wonnya di atas meja. Sedikit menggeserkannya di samping macbook milik Jongin.
Jongin yang merasa terganggu langsung menggeser cangkir kopi itu menjauh. "Tida apa-apa," balasnya santai sebisa mungkin menyembunyikan kejengahannya.
"Kau harus menerimanya," Kyungsoo menggesernya kembali. Mampu membuat Jongin menahan napasnya untuk beberapa saat. Gadis ini benar-benar keras kepala.
Jongin menggeser kembali kopi itu menjauh. Namun sebisa apapun Jongin menjauhkan kopi itu. Lagi dan lagi Kyungsoo akan kembali menggeser kopi itu untuk Jongin terima. Bukannya ingin menolak hanya saja Jongin tidak ingin direpotan seperti ini. Ketika kesabaran Kyungsoo mulai habis karena Jongin tak kunjung menerima kopinya. Saat itu juga Kyungsoo menggesernya lebih cepat dan tanpa sengaja cipratan kopi panas itu mengenai lengan Kai.
Jongin langsung beranjak karena cipratan kopi panas itu. Kyungsoo yang terkejut segera mendekat meraih lengan jongin namun sayangnya. Lengannya malah menyenggol cangkir kopi itu hingga menumpahkan isinya pada keyboard laptop Jongin yang menyala.
"Ya Tuhan!" Kyungsoo terkejut segera menarik laptop itu menjauh. Sayangnya, air kopi itu telah terlanjur membasahi macbook milik Jongin. Terdengar suara deritan yang aneh dengan suara kipas laptop tersebut yang terdengar lebih nyaring dari sebelumnya.
Kyungsoo berusaha mengelap itu semua menggunakan ujung jaketnya. Namun itu tidak membantu banyak. Cahaya pada monitor laptop itu kian memudar. Tak membutuhkan waktu lima detik hingga laptop itu meredup lalu gelap. Laptop itu seketika mati.
"Oh tidak.. tidak.. ada apa ini? kenapa?" Kyungsoo mulai panik. Ia berusaha menekan tombol power namun laptop itu tak kunjung hidup. Beberapa kali Kyungsoo menekam keyboardnya namun hanya terdengar deritan aneh di sana. Oh.. tidak ia telah merusak laptop ini. Ini bukan Laptop biasa, sebuah macbook. Kyungsoo menelan ludahnya. Entah kenapa kini jantungnya berhenti berdetak begitu saja. Darahnya seolah berhenti mengalir. Membuat sekujur tubuhnya tiba-tiba dingin.
Dengan perasaan takut Kyungsoo menoleh dan menatap Jongin yang kini menatap laptopnya dengan tatapan lurus. Rahangnya menegang dan kedua tangannya kini mengepal kuat. Oh tidak, Kyungsoo berada dalam masalah baru.
***
Kyungsoo terus mengepal kedua tangannya. Sesekali berdoa memerhatikan Laptop yang tengah di periksa oleh seorang mekanik. Sial, itu bukan laptop biasa. Itu sebuah macbook Kyungsoo! Macbook! Bahkan komputermu saja tidak akan cukup membayar semua kerusakan yang telah kau perbuat. Kyungsoo terus menggerutu di dalam hatinya.
Sesekali Kyungsoo melirik ke arah Jongin yang ada di sisinya. Matanya terlihat resah memerhatikan laptop miliknya yang tengah di periksa. Sebanyak apapun Jongin memohon agar laptop itu kembali seperti semula. Tetap saja, laptopnya tak kunjung hidup. Dan itu mampu membuat Kyungsoo semakin gemetar ketakutan.
"Maaf," bisik Kyungsoo.
"Apakah benar-benar tidak bisa hidup?" Ucapan Kyungsoo diabaikan dan Jongin lebih memilih bertanya tentang kondisi laptopnya kepada mekanik yang ada di depannya.
"Terlalu parah. Kopi itu telah merusak bagian keyboardnya dan merusak seluruh fungsi lainnya."
Kyungsoo yang mendengar itu menelan ludahnya takut. Ia memberanikan diri untuk bicara namun lagi-lagi Jongin mengabaikan ucapannya. Sepertinya pria itu benar-benar marah kepadanya.
Sebelum mereka berada di sini. Jongin sempat menatapnya dengan tatapan penuh amarah. Ia sama sekali tidak berbicara namun dari tatapannya mampu membuat Kyungsoo menciut. Rahangnya mengeras dan matanya seolah mengeluarkan bola api. Kyungsoo bisa membayangkan bahwa ia telah terbakar dan menjadi abu saat itu juga.
Kyungsoo hendak menolong namun Jongin menolaknya dan tanpa sepatah kata pun membawa latopnya yang dalam keadaan mati ke luar. Kyungsoo yang tak tahu harus melakukan apa hanya bisa mengekor langkah Jongin dari belakang. Berjalan tergesa, setengah khawatir dan setengah ketakutan. Bahkan ia merasa akan mati saat ini. Berniat ingin membayar hutangnya tetapi kini ia malah semakin menambah hutangnya—lebih besar dan berkali-kali lipat.
"Jongin, maafkan aku."
"Tutup mulutmu!" geram Jongin.
Kyungsoo mengatupkan bibirnya. Ia tidak berani bicara lagi setelah mata Jongin semakin tajam menatapnya. Pria itu kembali memalingkan perhatiannya kepada sang mekanik dan Kyungsoo hanya bisa menggeser tubuhnya. Berdiri lebih jauh dari sisi Jongin. Menjaga jarak, memungkinkan bahwa Jongin bisa saja memukulnya.
"Butuh berapa lama hingga kembali seperti semula?"
"Tidak tentu, mungkin lebih dari satu bulan tuan."
"Satu bulan?" Jongin tergagap. Satu bulan penuh, oh tidak.. lebih dari satu bulan. Deadline makalahnya berakhir tiga minggu lagi dan ia harus menunggu lebih dari satu bulan untuk menunggu laptopnya kembali pada kondisi semula. Dan satu lagi, data-datanya.
"Bagaiamana dengan semua datanya?" tanya Jongin cemas.
"Jangan berharap banyak. Semua data kemungkinan akan terhapus."
Nyawanya terasa dihempaskan. Jongin langsung memejamkan matanya. Menahan kekesalan di dalam hatinya. Semua pekerjaannya yang telah ia kerjakan hampir enam bulan ini lenyap begitu saja karena secangkir kopi. Satu yang harus ia salahkan dengan semua kesialan ini. Gadis itu, Kyungsoo. Ya dia yang bersalah.
Jongin langsung membuka matanya. Dan melirik Kyungsoo yang berdiri tiga langkah jauh di sisinya. Gadis itu gemetar saat ia tatap, namun Jongin sama sekali tidak berkutik dengan ekspresi ketakutan yang ditunjukkan Kyungsoo. Ia langsung membuang tatapannya dan kembali menatap memelas kepada sang mekanik.
"Bisa perbaiki ini lebih cepat? Kumohon."
"Aku hanya bisa memulihkannya untuk kembali hidup, mungkin sekitar sebulan. Itu telah lebih cepat."
Jongin langsung menunduk. Menumpu tubuhnya yang lemas menggunakan kedua lengannya di ujung meja. Tidak ada harapan dan ia merasa menjadi pria yang paling sial di dunia ini. Tentang ibu yang memaksanya untuk segera menikah, Jongin tak terlalu mempermasalahkannya. Namun makalahnya, tugas akhirnya, skripsinya. Semua itu adalah masalah besar. Mungkin ia harus memulai dari awal. Namun entah bagaimana caranya. Ia tidak tahu. Pikirannya seolah membeku saat ini. Atau mungkin tidak akan berjalan dengan normal kembali. Ia pasrah, ya sudah mau bagaimana lagi. Semuanya terlanjur jatuh kedalam kolam. Kenapa tidak sekaligus ditenggelamkan saja?
"Baiklah, aku akan datang lagi untuk mengeceknya kembali," balas Jongin lemah.
Jongin memberi salam sebelum pergi meninggalkan tempat service itu. Langkahnya terasa sangat berat sekali. Kenapa ia harus menerima kesialan seperti ini. Nyawanya seolah menghilang. Terbang jauh meninggalkan raganya yang memucat. Jongin merasa ia akan mati. Ya, benar-benar mati jika ia tidak menyelesaikan tugas akhirnya tepat waktu.
Sedangkan Kyungsoo, ia masih mengekor langkah Jongin di belakangnya. Ia merasa sangat bersalah dengan semua yang telah ia lakukan. Meskipun ia melakukannya tanpa sengaja. Tetapi sepertinya ia telah melakukan kesalahan yang sangat besar kepada Jongin. Ia ingin bicara namun ia tidak tahu kata yang pas untuk mengungkapkannya. Apa Kyungsoo harus mengatakan bahwa ia menyesal, meminta maaf, atau aku akan menggantikannya. Yah.. Do Kyungsoo, kau memiliki uang darimana untuk menggantinya?
Dengan jantung yang berdebar, Kyungsoo memberanikan diri untuk bicara.
"Jongin," panggil Kyungsoo. Namun pria itu tak menjawabnya. Jangankan menjawab, melirik pun tidak. Apa suaranya kurang keras sehingga Jongin tidak mendengarnya? Kyungsoo memberanikan dirinya untuk kembali bicara namun langkahnya berhenti seketika ketika langkah Jongin yang berada didepannya berhenti.
Pria itu berbalik dan Kyungsoo seketika menciut mendapati tatapan pria itu yang sangat tajam kepadanya.
"Semua ini karenamu!"
Kyungsoo tidak mungkin membantahnya, ia hanya tidak tahu harus mengatakan apa saat ini. Selain menunduk menghindari tatapan sakartis Jongin.
"Oh.. semua hasil pekerjaanku selama enam bulan ini lenyap begitu saja. Semua ini karenamu! Karena kopimu! Dan ahh.... Kau menghancurkan semuanya. Sial, sial!" gerutu Jongin kesal. Ia sesekali mengacak rambutnya frustasi dan mengangkat kakinya seolah tengah menendang angin.
"A..aku.. itu salahku.. maafkan aku."
"Semua ini memang salahmu!" balas Jongin dengan suara keras.
Nyali Kyungsoo semakin menciut. Ia seperti seorang pencuri yang dihakimi secara terang-terangan di tengah trotoar jalan seperti ini. Oh, bahkan Kyungsoo bisa merasakan tatapan-tatapan asing yang mengarah kepada mereka curiga. Lebih tepatnya kepada Kyungsoo. Malam ini kian mencekam saja.
"Menjauh dariku!" titah Jongin. Ia langsung melangkah menjauh meninggalkan Kyungsoo yang masih mematung di trotoar.
Kyungsoo yang melihat kepergian Jongin sontak mengikuti langkah Jongin. Setengah berlari mengejarnya. Namun ia kembali terdiam ketika Jongin kembali berbalik dan menatapnya jengah.
"Kubilang menjauh dariku!"
"Maafkan aku.. aku akan membayar uang perbaikannya."
"Tidak perlu, sia-sia saja. Karenamu mungkin aku tidak akan lulus!"
"Lu..lus?" Kyungsoo menatapnya bingung.
"Iya, karena kau kini semua tugas akhirku menghilang, makalahku, skripsiku, semuanya! Kau menghancurkan semuanya!" teriak Jongin kesal.
Mata Kyungsoo membelalak terkejut. Selain telah merusak laptop mahal milik Jongin, ia juga telah menghancurkan semua pekerjaan itu. Pantas saja di tempat service tadi Jongin begitu panik ketika mendengar bahwa semua datanya akan terhapus. Kyungsoo telah menghancurkan sesuatu yang penting. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang. Semakin tegang dengan kesalahan yang telah ia perbuat.
"A.. aku.. tidak tahu."
Jongin berdecak. "Jangan muncul lagi di hadapanku."
Jongin langsung berbalik meninggalkan Kyungsoo kembali. Kyungsoo tidak berani mengejar kali ini. Kyungsoo telah menyadari bahwa kesalahannya kepada Jongin sangat fatal. Sialan, itu skripsi! Kyungsoo tidak bodoh untuk menyadari semua itu. Ia telah menghancurkan impian seorang mahasiswa yang akan menjadi wisudawan. Kyungsoo merasa bersalah tapi ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia berada di posisi yang tidak akan termaafkan. Kini Kyungsoo hanya bisa berdiam diri di tengah trotoar seorang diri. Tatapannya kosong dan sepertinya ia ingin menangis saat ini.
***
Jongin langsung membanting pintu apartemennya dengan kasar. Tidak peduli bahwa yang telah dilakukannya bisa saja merubuhkan gedung apartemen yang telah tua ini. Ia tidak akan pernah peduli. Ia hanya peduli dengan nasibya sendiri yang seolah berada di ambang kematian dan kehdiupan. Macbook miliknya rusak, data-datanya kemungkinan menghilang dan makalahnya lenyap.
Matanya kini berlaih menatap cangkir kopi beserta tumpahannya yang masih berada di atas meja. Dengan kesal ia langsung menjatuhkan cangkir kopi itu hingga pecah. Ia terlalu kesal hingga tidak bisa mengontrol dirinya. Mungkin jika ia tidak ingat bahwa apartemen ini adalah milik Chanyeol. Mungkin Jongin akan mengacak-acaknya. Atau lebih buruk membakarnya hingga habis karena saking kesalnya dia.
Lagi-lagi gadis itu. Andai saja ia tidak menanggapi ucapan Kyungsoo mungkin semuanya tidak akan berakhir menjadi seperti ini. Semuanya karenanya, dan impiannya hancur begitu saja karenanya. Bisa saja ia mencekiknya tadi. Tetapi gila saja, Jongin akan dianggap penjahatnya meski kenyataan bahwa Kyungsoo yang bersalah atas semua ini.
Jongin langsung menghempaskan tubuhnya untuk berbaring di atas ranjang. Mencoba mendinginkan pikirannya sendiri. Amarahnya ingin segera ia lenyapkan. Marah-marah seperti ini tidak akan menghasilkan jalan kaleuar. Dan Jongin harus cepat-cepat mencari solusi untuk menyelamatkan hidupnya.
Matanya terpejam mencoba memikirkan apa saja yang bisa ia lakukan untuk memulai kembali pekerjaannya. Buku-bukunya, catatan-catatan kecilnya, hasil risetnya. Jongin langsung membuka mata. Hanya itu yang tersisa, dan satu-satunya yang terpenting adalah hasil riset dari penelitiannya enam bulan yang lalu. Hanya satu dan salinannya berada di flashdisknya. Ya Flasdisk!
Jongin langsung beranjak dan meloncat menuju tas beserta kopernya. Mengacaknya begitu saja dan beberapa kali mengerang karena tidak mendapati benda kecil persegi itu. Ketika ia kembali merogoh setiap jaket yang pernah ia kenakan. Bibirnya menyungging naik keatas. Ia mengambilnya dan mendapati bahwa benda itu masih ada dan tidak hilang. flasdisknya! Hanya ini penyelamat hidupnya. Jongin mengepalnya kuat-kuat. Merasa bersyukur karena Tuhan masih menyayanginya.
Satu lagi yang ia butuhkan adalah sebuah laptop. Sepertinya ia harus segera pergi dan menemui ayahnya. Beruntung jika ayahnya mau meminjamkan laptopnya untuk tiga minggu ini. Tidak peduli bahwa ia harus begadang sepanjang waktu. Meskipun bermodal risetnya, ia akan mengejarkannya. Lebih baik ia mendapatkan revisi daripada ia tidak mengerjakannya sama sekali.
Dengan semangat Jongin langsung menyambar tasnya. Memasukkan beberapa buku dan catatan penting yang telah ia buat. Ia harus segera pergi sekarang juga, Tidak ada waktu lagi.
Jongin telah mempersiapkan semuanya. Jika ayahnya hanya memberinya pinjaman komputer. Tidak apa-apa, hanya saja ia akan menghabiskan lebih banyak waktu lagi di kantor. Ia langsung bergegas melangkah keluar. Belum sempat ia keluar. Ia dikejutkan dengan kemunculan Kyungsoo yang telah berdiri di hadapannya dengan tiba-tiba.
"Ya Tuhan!" Jongin tersentak mundur saking terkejutnya. Begitupun dengan Kyungsoo yang beberapa langkah mundur karena ketakutan. Jongin merasa kesal, kenapa gadis ini selalu mengganggunya? "Apa yang kau lakukan! Pergi!" titah Jongin namun gadis itu sama sekali tidak beranjak.
"Ma.. maafkan aku," bisik Kyungsoo.
Jongin memutar bola matanya. Ia tidak memiliki waktu untuk bicara dengan gadis ini. Ia harus segera pergi. Mencoba menghindar dari kesialan lainnya.
"Pergi! Sudah kubilang menjauh dariku kan?" ucap Jongin malas. Ia berniat melangkah melewati Kyungsoo. Namun sayang langkahnya terhenti karena lagi-lagi Kyungsoo memotong langkahnya. Jongin hendak melangkah ke sisi lain namun tetap, Kyungsoo terus mengikuti langkahnya. Membuat ia tidak bisa menghindar sama sekali melewati gadis itu.
"Minggir!" geram Jongin merasa jengah.
"Tunggu sebentar.. setidaknya kau dengarkan aku dulu," jawab Kyungsoo ragu. Ia memberanikan diri untuk menatap mata Jongin yang memerhatikannya malas.
"Apa yang ingin kau katakan, aku tidak memiliki waktu banyak. Aku harus mencari laptop lain untuk menyelesaikan semua tugasku," terdengar tidak penting Jongin mengatakan niatnya tapi ia ingin Kyungsoo mengerti bahwa ia sedang tidak bermain-main kali ini.
"Aku ingin membantumu," jawab Kyungsoo.
"Dengan apa? Huh?"
Beberapa detik gadis itu terdiam. Bola matanya bergerak-gerak seolah berpikir mencari solusi yang tepat membantu Jongin. Namun Jongin terlalu malas untuk menunggu. Gadis ini telah banyak mebuang waktunya. Ia hendak melangkah kembali ketika Kyungsoo merentangkan kedua tangannya menahan kepergian Jongin di depanya. Jongin membulatkan matanya menatap tak percaya dengan yang dilakukan Kyungsoo.
"Aku akan meminjamkan komputermu hingga tugasmu selesai. Bagaimana?"
Jongin sedikit berpikr. Tawaran yang bagus, berarti ia akan semakin menghabiskan waktu yang banyak dengan gadis sial ini. Jongin ingin menolaknya. Berpikir bahwa itu mustahil. Ia tidak ingin banyak berurusan kembali dengan kyungsoo. Namun, mengingat ia akan kembali ke kantor untuk meinta bantuan ayahnya. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi. Ayahnya meminjamkan ia laptop namun Jongin akan kembali kerumah. Atau ia hanya diberikan komputer milik kantor dan kemungkinan Jongin akan semakin terganggu karena kemunculan ibunya. Bila ditinjau ulang tawaran Kyungsoo lumayan juga.
"Bagaimana?" tanya Kyungsoo gugup karena Jongin tak kunjung menjawab tawarannya.
Jongin sedikit mendesah. Niatnya sejak awal kesini memang mencari ketenangan. Dibandingkan kembali ke kantor dan bertemu kembali dengan ibunya yang terus memaksanya berkencan dan menikah. Lebih baik disini bukan?
"Tunjukkan kepadaku komputermu," balas Jongin datar.
Terdengar helaan napas lega dari Kyungsoo. Jongin hanya bisa mengerutkan keningnya melihat ekpresi gadis itu yang langsung tersenyum dan berjalan membuka pintu kamarnya dan menyuruh Jongin untuk mengikutinya untuk masuk.
Jongin hanya melangkah setengah malas mengikuti Kyungsoo. Ketika Jongin pertama kali menginjakkan kakinya di dalam kamar apartemen nomor 113. Ia hanya bisa menganga melihat keadaan kamar itu. Berantakan. Sepenuhnya dipenuhi oleh kertas-kertas dan buku-buku yang saling menumpuk di sana-sini. Jauh dari kata wanita. Apa begini bentuk kamar apartemen seorang gadis?
"Komputernya disini," panggil Kyungsoo dan Jongin melarikan tatapannya pada keberadaan Kyungsoo. Ia berdiri di depan sebuah meja komputer yang bersisian dengan jendela kamar menuju balkon. Seperti di kamar apartemenya.
Jongin melangkah mendekat. Medapati komputer model lama yang dimiliki gadis itu. Setengah terkejut mendapati bahwa masih ada yang memakai komputer model lama seperti ini. Jika kebanyakan orang telah beralih menggunakan komputer dengan monitor berlayar datar. Kyunggsoo masih menggunakan komputer dengan monitor berbentuk kotak persegi besar kuno yang sudah ketinggalan jaman.
"Benar-benar tua," komentar Jongin tanpa mengalihkan perhatiannya dari komputer yang terpajang di atas meja.
Kyungsoo memejamkan matanya. Menahan kekesalaannya sendiri. Pria ini, masih saja menghina komputernya. Sudah untung Kyungsoo memberikan pinjaman komputer miliknya untuk membantu Jongin. Tetapi pria itu malah menghinanya. Sangat kejam.
"Itu masih berfungsi dengan baik."
"Kau jamin tidak ada virusnya huh?" tanya Jongin kini balik memerhatikan Kyungsoo.
Kyungsoo mencoba menyembunyikan ekpresi kesalnya dengan menujukkan wajah setengah tak peduli
"Tentu saja, aku merawat komputer ini selama tiga tahun dengan baik. Aku yakin tidak ada virus!"
"Aku hanya khawatir kau kembali menghilangkan data-dataku." Balas Jongin dengan nada sakartis.
Tanpa perintah. Jongin langsung mendudukkan tubuhnya di kursi meja itu. Mulai menekan tombol power untuk mengecek keadaan komputer yang akan digunakannya. Ia ingin semuanya berjalan lancar. Tidak ingin kesalahn sekecil apapun itu kembali menghancurkan pekerjeaannya.
Ketika komputer itu mulai hidup, Jongin mengernyit mendapati sebuah gambar seorang pria berpakaian lama. Entah tahun berapa. Pria inggris? Dan yang semakin membuatnya bingung adalah gambar wanita di sisinya yang memiliki wajah Kyungsoo. Foto editan.
"Apa ini?" Dahi Jongin berkerut mendapati tampilan wallpaper komputer itu.
Kyungsoo tersentak dan seketika tergegagap ketika pandangan Jongin beralih padanya. "A..apa urusanmu. Abaikan gambar itu!"
Kyungsoo merutuki wallpaper komputernya sendiri. Kyungsoo tidak ingat bahwa ia memasang foto editan dirinya bersama Matthew Macfadye yang merupakan pemeran Mr. Darcy dalam Pride and Prejudice. Ia menggigit bibirnya antara kesal dan malu. Namun beruntunglah, Jongin segera memalingkan kembali pandangannya. Dan hanya menanggapi ucapan Kyungsoo dengan sebuah decakan kesal.
Kyungsoo hanya kembali memerhatikan Jongin yang sesekali membuka beberapa program dalam komputernya. Dari mulai Microssof word, excel hingga library-nya. Mengecek semuanya dengan telaten, bahkan seolah tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kyungsoo bahwa komputer miliknya tidak memiliki virus. Jongin melakukan scan terhadap komputernya.
"Lumayan juga," ucap Jongin.
Kyungsoo hanya mengernyit dan menaikkan satu alisnya ketika pria itu langsung menyimpan tas yang dibawanya di atas meja dan memasang sebuah flashdisk di CPU.
Kyungsoo ingin bertanya apa yang sedang pria lakukan namun Jongin telah kembali membuka suaranya dan memutar tubuhnya untuk menatap Kyugsoo. Selagi flasdisknya tengah melakukan scanning, memungkinan keberadaan virus itu. Lagi.
"Ini peraturannya. Hingga pukul sebelas malam nanti, komputer ini sepenuhnya milikku. Tiga minggu kemudian aku akan menggunakannya setiap malam. Terkecuali jika saat siang hari aku tidak pergi ke kampus. Satu lagi, akau akan menggunakannya kembali jika aku memang membutuhkannya segera. Meskipun kau tengah menggunakannya."
Kyungsoo menatapnya tak percaya. Jongin sangat menyebalkan. Bagaimana bisa ia membuat peraturan sepihak seperti itu?
"Aku juga memiliki pekerjaan, bagaimana bisa kau menguasai komputerku sepenuhnya seperti itu? Aku kan hanya meminjamkankan."
"Nah, kau sendiri yang bilang bahwa kau meminjamkannya kan? Jadi aku bisa menggunakan komputer ini sesukaku."
Kyungsoo hendak berkomentar namun lagi-lagi Jongin kembali melanjutkan ucapannya.
"Seharusnya kau merasa bersalah karena telah menghancurkan mimpi seseorang karena kopi panasmu itu. Selagi aku belum selesai mengerjakan makalahku. Sepenuhnya, selagi aku berada dindalam apartemen ini. Komputer ini milikku," ucapnya mutlak tidak ingin dibantah.
Mulut kyungsoo meganga. Ia hendak mengeluarkan komentarnya namun suaranya seolah tercekat. Ia tidak bisa bicara untuk melawan apa yang dikatakan Jongin tadi. Dia benar, seharusnya Kyungsoo merasa bersalah dengan semua ini. Tetapi mengingat semua deadline pekerjaannya yang akan semakin menumpuk. Sepertinya Kyungsoo menyesal telah menawarkan Jongin dengan meminjamkan komputernya. Tidak. Hidupnya akan semakin berantakan!
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro