Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 1

Dengan wajah mengantuk, Kyungsoo berjalan dengan langkah lambat. Sesekali ia menguap tidak memerdulikan tatapan orang lain yang mungkin memandangnya aneh. Pagi ini, oh mungkin ini bukan pagi-ini sudah pukul sebelas-hampir tengah hari dan Kyungsoo muncul dengan keadaan setengah sadar seperti ini. Tentu siapa yang tidak memandangnya aneh. Ketika orang-orang telah berpakaian rapih dan mungkin telah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Saat ini Kyungsoo malah berjalan dengan keadaan mengenaskan. Mengenakan pakaian training norak, jaket tebal, rambutnya yang terikat berantakkan dan jangan lupa matanya yang masih setengah terbuka.

Kyungsoo sendiri tidak ingat kapan ia tidur semalam. Karena saat ia bangun, baru sadar bahwa hari ini ia harus segera menyelesaikan deadline naskah novel yang telah ia edit. Beruntung ia tidak bekerja di kantor dan memilih bekerja di apartemennya. Terbayang bagaimana sibuknya Kyungsoo untuk menyiapkan diri dan berangkat pagi-pagi sekali ke kantor penerbitan tempat ia bekerja. Namun sebelum ia menyelesaikan semua pekerjaannya, ia harus mengurus tubuhnya sendiri. Kyungsoo membutuhkan vitamin. Kyungsoo tidak ingin saat ia duduk berjam-jam di depan komputernya nanti, tiba-tiba ia terserang anemia. Bukan membuat Kyungsoo istirahat malah semakin membuat naskah yang harus ia edit semakin menumpuk.

Kyungsoo langsung melangkah masuk kedalam sebuah minimarket. Bahkan dengan setengah mata yang tertutup, Kyungsoo berjalan langsung ke koridor minuman. Kyungsoo sangat hapal karena hampir tiga tahun hidupnya, ia membeli semua keperluannya disini.

Kyungsoo mengambil sebotol air mineral dan tiga botol vitamin berukuran kecil. Satu untuk ia minum sekarang dan dua lainnya untuk jaga-jaga di apartemen nanti. Ia langsung melangkahkan kakinya menuju kasir yang terlihat kosong. Syukurlah, ia tidak perlu menunggu lama. Bahkan Kyungsoo tidak sadar bahwa ia telah menyalip barisan seorang pria yang telah lebih dulu sampai di depan kasir itu. Kyungsoo menyerahkan belanjaannya. Mengabaikan seseorang yang ada di belakangnya.

"5000 won," sahut si kasir.

Kyungsoo langsung merogoh kantung celana trainingnya. Ketika ia sadar bahwa ia tidak menemukan apapun disana. Sontak ia membuka matanya lebih lebar. Dengan panik ia mencari di kantung satunya lagi. Tetap tidak ada. Kyungsoo semakin panik ketika pandangan kasir itu semakin tajam menatapnya. Oh, ayolah.. jangan katakan bahwa ia meninggalkan uangnya. Sial!

"Euhhmm.. maaf, nona?"

Kyungsoo tersentak dan berbalik dengan tatapan terkejut. Ia menemukan seorang pria yang baru disadari telah berdiri di belakang tubuhnya. Kyungsoo mengedipkan matanya beberapa kali melihat penampilan pria itu. Penampilannya sangat rapi. Dia seorang pekerja kantoran ya?

"Boleh aku membayar ini lebih dulu?" pria itu mengangkat kaleng berisi kopi miliknya. "Aku buru-buru," lanjutnya.

Dengan patuh Kyungsoo langsung menyingkir. Membiarkan pria itu membayarnya lebih dulu. Kyungsoo tidak terlalu memerhatikan pria itu lebih lanjut. Kini Kyungsoo kembali tenggelam dalam kepanikannya sendiri. Ia meraba setiap kantung yang memungkinkan bahwa ia membawa uang. Sekecil apapun itu, Kyungsoo tidak peduli. Bagaimana bisa ia seceroboh ini; pergi tak membawa uang sepeser pun. Kyungsoo mencoba berpikir di tengah kegelisahannya. Atau ia kabur saja ya? Uh.. untuk apa ia kabur. Kyungsoo kan tidak melakukan kesalahan. Lagipula ia belum meminum vitaminnya juga kan?

Pria bersetelan rapi itu telah pergi menjauhi kasir. Meninggalkan Kyungsoo seorang diri yang masih tercenung tak tahu harus melakukan apa. Atau mungkin jujur saja? Meski ini memalukan, tapi biarlah. Lagipula ia adalah pembeli tetap di minimarket ini-atau tidak akan lagi. Selagi kasir ini masih bekerja di tempat ini tentunya.

Kyungsoo berjalan dengan tergugup. Tatapan kasir itu menyipit dan Kyungsoo tidak tahu kalimat yang tepat untuk mengatakan bahwa ia meninggalkan uangnya. Dasar Kyungsoo bodoh, bekerja sebagai seorang editor naskah tetapi masih tidak tahu mau bicara apa.

"Aku tidak jadi membelinya," lirih Kyungsoo, sangat pelan.

Kasir itu mendekat, mendekatkan telinganya untuk mendengar apa yang dikatakan Kyungsoo. "Maaf?"

Kyungsoo berdesis, kasir ini tidak tuli kan? "Maaf, aku tidak jadi membelinya. Aku meninggalkan uangku."

Kasir itu menganggukkan kepalanya lalu ber-oh saja di hadapan Kyungsoo. Gadis itu tersenyum seperti biasa. Bahkan Kyungsoo tidak bisa mengartikan senyuman kasir itu. Entah itu senyuman ramah kepada para pembeli atau senyum berupa ejekan.

"Semuanya sudah dibayar, nona."

"Apa?" Kyungsoo hampir tersedak oleh ludahnya sendiri. Ia terdiam menatap tak mengerti dengan apa yang dikatakan kasir itu.

"Tuan tadi yang telah membayarnya."

Kyungsoo menaikkan satu alisnya. Tuan? Oh, atau jangan-jangan pria bersetelan kantor itu? Tiba-tiba saja senyuman Kyungsoo terukir. Mengucapkan terima kasih beberapa kali kepada si kasir sebelum meraih air dan botol-botol vitaminnya. Membawanya tanpa menggunakan kantung plastik. Dengan terburu-buru Kyungsoo keluar. Kyungsoo harus berterima kasih. Ia telah berhutang 5000 won dan ia tidak akan mengabaikannnya.

Setelah keluar dari minimarket. Kyungsoo menatap sekeliling yang bisa ia tatap. Kyungsoo tidak menemukan siapapun. Kemana pria itu? Oh, sepertinya Kyungsoo terlambat. Bagaimana wajah pria itu tadi ya? Uh, sial.. Kyungsoo tidak bisa mengingatnya sama sekali selain setelan mahal yang dikenakan pria itu. pasti pria itu sangat kaya. Siapapun itu, Kyungsoo tetap berterima kasih. Setidaknya ia tidak terlalu malu dan masih bisa berbelanja ke minimarket ini.

***

Sudah lewat tengah hari dan Kyungsoo masih belum memulai pekerjaannya. Entahlah, kini matanya malah terpaku. Menatap kagum botol-botol yang ada di atas meja kerjanya. Kyungsoo menangkup dagunya dan sesekali tersenyum membayangkan pria misterius itu. Siapapun dia, ia memiliki hati seperti malaikat. Atau mungkin dia memang malaikat sungguhan. Turun kebumi hanya untuk menolongnya. Uh, betapa romantisnya. Oh.. sangat tampan. Apa Mr. Darcy bisa setampan itu? batinya. Tanpa sadar Kyungsoo terkikik menyadari imajinasi bodohnya sendiri.

"Ah.. apa yang aku pikirkan. Dia bahkan tidak mungkin mengenalku, atau mungkin tidak akan bertemu dia lagi."

Saat Kyungsoo kecil, ia tumbuh di keluarga yang sangat sederhana. Bahkan Kyungsoo tak pernah berangan-angan akan menjadi apa ia saat dewasa nanti, atau kapan ia akan menemukan cinta sejatinya. Ketika ia menginjak umur sebelas tahun. Barulah ia menemukan apa yang diinginkannya; cinta. Saat ia duduk di kelas enam sekolah dasar. Ibunya mengajak Kyungsoo untuk menonton sebuah film klasik. Awalnya Kyungsoo malas, karena ia lebih menyukai film remaja. Namun pemikiran itu berubah, bahkan Kyungsoo sangat menyukai ceritanya.

Pride and Prejudice. Film pertama yang membuat Kyungsoo terkagum bahkan sampai meneteskan air mata. Meski Kyungsoo tidak terlalu paham sepenuhnya-karena itu adalah film asing-sebagian kisah bisa Kyungsoo mengerti. Kisah seorang gadis dari keluarga sederhana yang akhirnya menemukan seorang pria tampan, kaya, angkuh nan dingin untuk menjadi pelabuhan terakhirnya. Bahkan imajinasinya semakin bertambah ketika Kyungsoo membayangkan bahwa ia adalah Elizabeth Bennet. Datang ke setiap acara pesta dansa dengan gaun indah, bertemu dengan Mr. Firtzwilliam Darcy dan akhirnya menikah. Dalam relung hatinya ia telah mengatakan, ia harus mendapatkan pria seperti Mr. Darcy.

Pengaruh Film itu semakin bertambah besar pada kehidupan Kyungsoo. Dengan bantuan ibunya, akhirnya ia mendapatkan Novel karangan Jane Austen tersebut. Sejak saat itu, ia semakin jatuh cinta pada karakter Mr. Darcy-Kyungsoo menekankan bahwa Mr. Darcy adalah cinta pertamanya.

Saat ia baru duduk di bangku sekolah menengah pertama, Kyungsoo mengatakan kepada ibunya bahwa ia akan menikah dengan Mr. Darcy. Ibunya hanya menanggapi dengan gelak tawa. Begitupun dengan ayahnya. Mereka mengatakan mustahil Kyungsoo akan mendapatkan pria seperti Mr. Darcy. Kyungsoo menyangkal semua itu dan mengatakan dengan percaya dirinya. "Aku tidak akan menikah, sampai aku menemukan kloningan Mr. Darcy." Dan lagi-lagi semua ucapannya hanya dianggap sebuah bualan seorang anak kecil yang tak mengerti cinta.

Kecintaannya akan kisah klasik bertambah besar dan ia semakin mencintai buku. Kyungsoo sering membaca banyak novel dan sering sekali ia jatuh cinta pada karakter novel-novel yang ia baca. Namun tidak satu pun dari mereka menggantikan posisi Mr. Darcy di dalam hatinya. Kini ia bekerja sebagai seorang editor buku. Hidup dalam dunianya sendiri dan dalam imajinasinya. Ia berpikir, mungkin suatu hari. Ia akan menemukan seorang penulis hebat yang memiliki kisah dengan karakter yang mirip Mr. Darcy. Bisa saja karakter itu nyata adanya. Dan bila itu memang benar, Kyungsoo pasti akan mencarinya! Tentu saja menikahinya juga! Betapa gilanya kau Do Kyungsoo.

Kyungsoo meraih satu botol vitaminnya. Membuka tutup botol itu sebelum meminumnya dalam sekali teguk. Kyungsoo mengernyit, asam. Ia terus mengecapkan lidahnya, menghilangkan rasa asam di lidahnya. Ia bernapas lega setelah meminum vitaminnya. Setelah pria itu, kini vitamin itu menjadi penyemangat untuk memulainya bekerja.

Belum sempat Kyungsoo jemarinya menari di atas keyboard komputer. Ponselnya berbunyi, nyaring sekali. Kyungsoo tersentak dan buru-buru mengambil ponselnya. Kepala Editor Han. Oh, sial. Alasan apa lagi yang harus ia katakan saat ini? Naskah yang sedang ia edit bahkan belum rampung sepertiganya.

"Yeoboseo, uh.. Kepala Editor, aku-"

"Tidak ada pilihan lain lagi Kyungsoo, segera kirimkan naskah editanmu! Kau tahu bahwa hari ini adalah deadline?"

"Uh, maafkan aku. Sepertiganya belum aku selesaikan. Tunggu hingga malam ini."

"Apa? Kau masih belum menyelesaikannya?"

"Bukan belum, tapi hampir," gagapnya ketakutan. Ia bahkan bisa membayangkan wajah murka editor Han saat ini.

"Baiklah, malam ini. Pukul 8. Oke?"

"Apa tidak pukul 11 saja?"

"Atau mungkin jam 6," gertak kepala editor.

"Oh.. tidak tidak, Ya.. jam 8 aku siap. Nanti aku kirim naskahnya."

"Bagus."

Dan tanpa menginjinkan Kyungsoo mengucapkan permohonan maafnya, sambungan teleponnya telah ditutup. Uh, menyebalkan. Ia bekerja sebagai editor karena mencintai pekerjaannya, tetapi kenapa kini pekerjaan yang mengejar-ngejarnya bagaikan seorang pembunuh.

Kyungsoo mendesah. Ia menyandarkan tubuhnya lelah. Semangatnya tiba-tiba saja menghilang. Rasanya pengap sekali. Kyungsoo meyakinkan bahwa ia telah mengatur suhu pemanas ruangan seperti biasanya tetapi kenapa ini terasaterlalu panas? Apa ia harus membuka jendela apartemennya. Kyungsoo menggeleng. Lebih baik kepanasan dari pada ia sakit karena flu.

Kyungsoo menatap keluar jendela. Kenapa musim dingin tahun ini berlangsung begitu lama? Meski Kyungsoo tidak terlalu anti juga dengan udara dingin. Tetapi semua ini membuat Kyungsoo harus hidup penuh dengan kesulitan. Kini ia ingat, masih ada waktu dua minggu lagi sebelum ia menerima uang gajiannya tetapi semua tunggakkannya telah menumpuk meminta dibayar. Tunggakan gedung apartemen, air hingga pemanas. Uh.. kenapa hidupnya tiba-tiba sesulit ini?

Tiga tahun lalu, setelah ia lulus dari sekolah menengah atas. Kyungsoo memilih bekerja menjadi seorang editor naskah lepas. Sebenarnya bentuk pelarian karena ia tidak diterima masuk universitas tinggi. Jadi disinilah ia terjebak. Di apartemen tua miliknya yang sudah bagaikan dunianya sendiri. Tempatnya berkhayal dan berimajinasi. Meskipun hidupnya sulit, Kyungsoo masih percaya. Bahwa suatu hari nanti, ia akan bertemu seorang pria yang pantas untuk ia cintai. Seperti Mr. Darcy. Dan harapannya semakin tinggi saat ini. Semoga pria itu-masa depannya-segera datang menjemputnya.

Kyungsoo tidak bisa berlama-lama untuk berimajinasi. Kini masih ada setumpuk pekerjaan yang harus ia selesaikan. Kyungsoo meregangkan jari-jari tangannya. Tidak ada pilihan lain. Ia harus bekerja demi membayar tunggakan-tunggakan sialan itu.

Kyungsoo hendak kembali mengetikkan jari-jarinya di keyboad ketika lagi-lagi sebuah suara mengganggu pekerjaannya. Kyungsoo menggeram, kenapa banyak sekali yang mengganggu pekerjaannya hari ini? Kyungsoo menggeser Kursi yang tengah ia duduki untuk mundur. Langsung bangkit dan berjalan menghentak-hentakkan kakinya kesal. Ketika ia membuka pintunya ia mendapati senyuman bodoh dengan deretan gigi putih yang dimiliki tetangganya-Chanyeol.

"Apa?" Tanya Kyungsoo malas. Sekilas ia memerhatikan tas dan koper yang berada di sisi tubuh pria itu. Dia akan pergi. Baguslah. Setidaknya Kyungsoo akan lebih tenang disini.

Seolah mengerti dengan arah tatapan Kyungsoo, Chanyeol langsung menunjuk beberapa koper dengan ibu jarinya. "Aku akan pergi berlibur ke Jinhae-gu."

Siapa yang bertanya? Batinnya. Ia hanya menatap sekilas senyuman pria itu yang lagi-lagi membuatnya ingin cepat-cepat menyingkir. Namun bukannya pergi, Chanyeol malah memberikan seikat kunci dengan gantungan violin kepadanya. Kyungsoo menatap bingung dan memerhatikan wajah Chanyeol lekat.

"Aku akan pergi sebulan ini. aku titip kunci ini. Nanti ada temanku yang akan datang dan tinggal sementara disini."

"Siapa?" Kyungsoo menerimanya tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

"Seseorang, sahabatku." Kyungsoo hanya mengangguk menerima jawaban Chanyeol. Kyungsoo menggenggam erat-erat kunci yang ada dalam genggamannya ketika Chanyeol dengan tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Kyungsoo.

Kyungsoo hendak menarik wajahnya kembali namun Chanyeol telah lebih dulu mendekatkan bibirnya pada telinga Kyungsoo.

"Ini rahasia, kau harus menyediakan sapu atau apapun itu untuk berjaga-jaga saat ia datang kesini."

"Kenapa?" Kyungsoo mengernyit bingung.

"Dia hobi mencium gadis tiba-tiba."

"Omong kosong!"

Sontak saja Kyungsoo menjauhkan wajah chanyeol dari telinganya. Mendorong tubuh pria tinggi itu untuk menjauh. Kyungsoo bergidik ketika melihat tawa Chanyeol hingga terpingkal-pingkal. Tetangganya ini selalu menakutinya. Tapi, apa yang dikatakan Chanyeol benar? Uh, kenapa kini ia malah ketakutan? Sebaiknya ia berjaga-jaga nanti.

***

Sebuah taksi berhenti tepat dipintu masuk sebuah gedung apartemen. Bangunannya terbilang cukup tua dengan cat dinding yang mulai melapuk dan pudar. Jongin baru saja menurunkan kaca taksi yang ditumpanginya tersebut lalu mengernyit melihat penampakkan luar apartemen tak jauh di hadapannya.

"Ahjussi, apa kita tidak salah alamat?" Jongin bertanya setengah tidak percaya kepada sopir taksi yang ikut memerhatikan keadaan bangunan apartemen tersebut.

"Ini memang alamatnya tuan. Apa ada masalah?" sahut sang sopir penasaran.

Jongin terdiam untuk beberapa saat. Memastikan bahwa alamat yang diberikan Park Chanyeol-sahabatnya-memang disini. Ia bergidik. Bagaimana bisa Chanyeol tinggal di apartemen kumuh dan tua seperti ini. Bahkan menyeramkan. Jongin tidak dapat membayangkannya.

Ia menghela napas perlahan. Mau bagaimana lagi. Ia membutuhkan apartemen ini untuk tempat ia tinggal sementara. Jongin langsung membayar biaya taksinya lalu turun, setengah menyeret koper besar di sisi tubuhnya. Ketika ia berhasil mengeluarkan koper miliknya. Jongin tak lupa mengucapkan terima kasih karena sopir itu telah mau diajaknya untuk berputar-putar sepanjang sore ini.

Jongin kembali menatap keadaan gedung apartemen yang akan menjadi tempat tinggalnya sementara. Taksi itu telah melesat, menjauh pergi. Meninggalkan Jongin yang masih setengah lega dan setengah tidak percaya dengan apa yang didapatkannya.

Sialan Park Chanyeol! Kai menggurutu. Bisa-bisanya sahabatnya itu membohongi Jongin dengan mengatakan bahwa tempat tinggalnya begitu nyaman dan eklusif. Heh, eklusif darimana? Bahkan Jongin berpikir bahwa ini bukanlah gedung yang pantas untuk ditinggali. Bisa saja gedung ini roboh ketika ia sedang tidur. Sebelum sahabatnya itu pergi ke Jinhae-gu, Jongin tidak akan segan-segan untuk mencekiknya. Seratus ribu won miliknya telah melayang dengan sia-sia.

Dengan langkah tergesa, Jongin menyeret kopernya. Membawanya masuk kedalam gedung apartemen. Begitu sangat sepi, apa benar gedung ini berpenghuni? Padahal sekarang belum menjelang malam hari. Matanya berputar menatap sekeliling tiap sudut ruangan utama gedung apartemen. Bahkan tidak ada lift? Lagi-lagi Jongin harus mendesahkan napasnya kecewa. Mau tak mau, sore ini ia harus sedikit berolahraga membawa koper miliknya sendiri.

"Lantai 3 kamar 114. Uh.. benarkah ini?"

Dengan bersusah payah Jongin berhasil menarik kopernya naik kelantai tiga. Ia melihat seluruh pintu kamar dan menghitung setiap nomor yang tertera. Hingga akhirnya ia menemukan kamar yang akan ditempatinya-sebenarnya milik Chanyeol namun selama sebulan ini akan ia tempati. Jongin membutuhkan ketenangan untuk menyelesaikan tugas akhir kuliahnya. Dan ia tidak ingin diganggu oleh siapapun itu-termasuk ibunya sendiri.

Letak kamar apartemen itu berada tepat di paling ujung lantai. Sangat jauh dengan tangga utama dan Jongin harus menyiapkan dirinya dari sekarang untuk mampu naik turun tangga setinggi 3 lantai.

Jongin mengetuk pintu kamar itu tergesa. Ingin segera masuk dan mengistirahatkan tubuhnya saat ini. Namun beberapa detik ia menunggu, pintu yang ada di hadapannya sama sekali tidak terbuka. Jongin melakukannya lagi dan lagi. Bahkan hingga berulang kali tetapi tetap tidak ada tanda-tanda si pemilik akan membuka pintu apartemennya.

"Sialan, apa dia tidur heh?" Jongin menggeram. Ia menarik ponselnya keluar dari dalam saku celananya. Menekan nomor yang langsung terhubung pada sahabat paling menyebalkannya.

"Ya, Jongin? Ada apa?"

Jongin menghembushkan napasnya malas. "Buka pintumu! Aku sudah sampai."

"Sampai dimana?"

Rasanya Jongin ingin sekali melemparkan ponselnya saat ini. "Jangan bercanda! Aku telah ada di depan kamar apartemenmu, bodoh!"

"Oh Kau sudah sampai?" Teriaknya terdengar bahagia. "Ah, aku baru saja keluar dan sekarang dalam perjalanan menuju Jinhae-gu."

Jongin membulatkan matanya terkejut. Bagaimana bisa pria itu pergi begitu saja? "Hei.. kau ini? Sialan kau, sekarang bagaimana caranya aku masuk? Dan apartemen apa ini. Tua sekali." Gerutu Jongin kesal.

Suara kekehan Chanyeol terdengar di ujung panggilan. Chanyeol menertawakannya dan itu semakin membuat Jongin merasa geram.

"Diam!" ketus Jongin.

"Hey.. santai saja bung. Kau lihat pintu 113?"

Sesaat Jongin mengerutkan keningnya. Ketika ia sadar bahwa Chanyeol saat ini tengah mengatakan nomor sebuah kamar apartemen. Jongin langsung melarikan pandangannya pada pintu yang letaknya bersisian dengan kamar milik Chanyeol.

"Ya, kenapa?"

"Aku menitipkan kunci apartemenku disana. Mintalah."

Dan tanpa tahu sopan santun, Chanyeol telah lebih dulu mematikan panggilannya. Jongin sempat ingin menegurnya namun pria itu telah lebih dulu memutuskan panggilan sepihak. Sial. Kenapa ia memiliki sahabat seperti ini?

Lagi-lagi pandangannya tertuju pada apartemen yang ada di sisi kamar milik Chanyeol. Tidak ada pilihan lain. lagipula ia tidak mungkin kembali ke rumahnya. Lebih baik ia menyembunyikan dirinya sendiri disini. Dengan langkah ragu Jongin mendekat. Menatap pintu di depannya lekat-lekat. Berharap bahwa seseorang yang tinggal di dalam kamar apartemen itu bukanlah seseorang yang sama bodohnya seperti Chanyeol.

Jongin mengetuk pintunya dengan tiga kali ketukan dan Jongin terkejut ketika mendengar suara benda jatuh yang cukup keras di dalam sana. Tunggu? Ia tidak mengetuk dengan keras kan? Lalu suara apa itu? Ia menyipitkan pandangannya dan mendekatkan matanya untuk menengok dari balik kaca pintu. Sepi. Hanya itu yang bisa Jongin dapati. Merasa tak yakin Jongin kini mendekatkan telinganya dan menempelkannya pada pintu. Sekilas ia mendengar suara gerasak-gerusuk yang cukup aneh. Jongin kembali mengangkat wajahnya. Ada apa dengan kamar ini?

Jongin mengangkat tangannya untuk siap mengetuk lagi ketika samar-samar ia mendengar suara nyaring di dalam kamar itu.

"Tunggu sebentar!"

Jongin mengernyit. Oh, setidaknya masih ada penghuni di dalam kamar ini. Hampir saja ia berpikiran aneh-aneh. Bukan karena ia takut tapi lucu saja jika Chanyeol dapat bertahan hidup di gedung yang terkesan horor ini. Ia memasukkan kedua telapak tangannya pada saku depan celana jeans. Ia mengetuk-ngetuk lantai membuat iramanya menggema di seluruh lorong lantai ini. Menunggu dan menunggu hingga akhirnya pintu itu terbuka. Menampakkan seorang gadis yang telah berdiri dengan baju training norak, rambut yang terkucir berantakkan dan sapu yang ia angkat tinggi-tinggi.

Sontak Jongin memundurkan tubuhnya terkejut mendapatkan ucapan selamat datang yang tak terduga dari penghuni apartemen 113. Gadis itu mengerjap beberapa kali dan matanya membulat seketika. Saat itu juga gadis itu menjatuhkan sapunya dan bersikap sewajarnya. Seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Jongin mendengus padahal hampir saja gadis ini memukulnya.

"A..ada.. ada apa?" gadis itu tergugup dan Jongin mewajarkan hal itu. Pasti gadis itu tengah malu. Di tambah gadis itu kini tengah merapikan penampilannya yang berantakan.

Diam-diam Jongin tersenyum miring melihat sikap gadis itu. "Aku teman Park Chanyeol, aku meminta kunci yang di-"

"Oh itu, tunggu sebentar."

Bahkan Jongin belum menyelesaikan ucapannya ketika gadis itu langsung melesat pergi untuk kembali ke dalam kamar apartemennya. Jongin mendengus melihat sikap gadis itu. Sikapnya aneh sekali. Jongin melirik ke dalam ruangan apartemen gadis itu. Jongin mengangkat satu alisnya melihat keadaan kamar itu. Berantakkan dan dipenuhi kertas-kertas. Dan satu lagi, Kursi yang terjungkal. Oh, mungkin suara gedebuk keras itu berasal dari sana. Tapi kenapa bisa sampai tergeletak seperti itu, apa gadis itu jatuh sebelumnya?

Jongin kembali memposisikan tubuhnya berdiri tegap ketika gadis itu kembali dan berjalan tergesa-gesa mendekatinya. Ia memberikan kunci yang ia yakini adalah kunci apartemen milik Chanyeol. Tanpa sepatah katapun Jongin meraihnya. Gadis itu masih terdiam berdiri di ambang pintu ketika Jongin berjalan menuju pintu apartemen Chanyeol.

Sekilas ia melirik dan gadis itu masih menunduk disana. Jongin heran, kenapa dengan gadis itu? Aneh. Ternyata apartemen ini ditinggali oleh orang-orang aneh seperti Chanyeol. Jongin berharap ia tidak berubah seperti Chanyeol juga. Jongin langsung melemparkan tatapannya, kembali terfokus pada pintu di depannya. Memasukkan kunci apartemen.

'klik'

Pintu itu terbuka. Jongin langsung menarik kopernya masuk dan menutup pintu apartemennya kembali dengan rapat. Tidak tahu bahwa kini seseorang tengah memerhatikannya diam-diam di balik pintu lain. Gadis itu-Kyungsoo-ia masih terdiam di ambang pintu memerhatikan lekat pintu apartemen 114 yang telah tertutup dengan senyuman yang menyungging indah di wajahnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro