Yogyakarta dan Hati yang Terluka
Sudah direvisi.
Dejavu.
Itulah yang aku rasakan saat tiba di Jogja. Hiruk pikuk Kota Gudeg ini masih sama seperti yang aku lihat tujuh tahun yang lalu. Padatnya kendaraan yang lumrah terjadi setiap harinya menciptakan kenangan tersendiri. Kulempar pandangan ke luar jendela mobil dan tersenyum mengingat kembali bahwa aku pernah berada di kota ini bersama cinta pertamaku dulu.
Cuaca yang begitu cerah dan sedikit terasa dingin menyebabkan kegagahan Merapi dan Merbabu bisa di lihat dengan mata telanjang saat mobil rental kami melewati flyover Janti untuk menuju rumah kakek dan nenekku.
Papa dan mama sedang asik berbicara dengan Pak Yusuf, supir keluarga kakek dan nenekku. Mereka membahas soal berita apa saja yang terjadi di Jogja, sampai tempat wisata apa saja yang sedang ramai dikunjungi sekarang. Hanya aku dan Adrian yang duduk manis tanpa berbicara, kami sibuk dengan pikiran masing-masing untuk saat ini.
Sebuah senyuman tersungging di bibirku saat mengingat kembali voice note dari Dion.
Sedang apa ya dia sekarang?
Apa dia sedang berada di rumahnya?
Apa dia juga memikirkanku?
Ah ... manisnya suasana hati ketika sedang jatuh ....
Tunggu, apa aku jatuh cinta lagi?
Rumah kakek dan nenekku berjarak 30 menit dari bandara Adisucipto, terletak di sebuah desa di pinggiran Ring Road Selatan. Sudah lama sekali aku tidak berkunjung ke sini, bahkan saat hari besar pun aku selalu menolak untuk ikut mudik. Banyak yang berubah di desa ini, sawah-sawah dan kebun sudah semakin menipis, kini berubah menjadi cluster yang terlihat masih baru.
Senyumku mengembang saat membuka pintu mobil dan keluarga besar menyambut kedatangan kami berempat. Nenekku yang berusia 73 tahun memeluk anak lelaki pertamanya dengan berlinang air mata, begitu pula dengan kakekku. Papa adalah anak pertama dari empat bersaudara, satu-satunya anak laki-laki yang menetap di luar kota, karena ketiga saudaranya lebih memilih tinggal di Jogja dan merintis bisnis di sini.
Hatiku bergetar menyaksikan pemandangan mengharukan seperti ini. Mereka berdua bergantian memeluk mama dan Adrian, lalu giliranku pun tiba.
"Stephanie, cucu Simbah. Piye kabar e, Cah Ayu?" tanya nenekku saat aku memeluk tubuh mungilnya.
Aku paham bahasa Jawa. Hanya saja kurang fasih dalam pengucapannya.
"Baik, Mbah. Simbah sendiri gimana kabarnya? Sehat kan?"
"Sehat. Simbah sehat kok. Tambah ayu tenan anakmu, Van."
Jika dilihat-lihat papaku lebih mirip dengan nenek dari pada kakek. Dengan wajah oval, hidung mancung, mata berbentuk almond, bibir tipis, dan kulit kuning langsatnya. Sedangkan om dan tanteku lebih mirip dengan kakek yang berwajah bulat, kulit sawo matang, hidung yang kurang bangir, bibir agak tebal, dan lengsung pipi yang mencuri perhatian.
Nenek pernah bercerita, bahwa selain kebaikan hati dan kesabaran kakek yang berhasil membuatnya jatuh cinta, lesung pipi itulah yang membuat nenek makin tergila-gila oleh pesona kakek. Sampai sekarang pun mereka berdua masih terlihat begitu mesra, masih saling melempar pujian dan kecupan di pipi.
Papa tertawa dan melontarkan Dad's joke seperti. "Siapa dulu bapaknya?"
"Kalau cantik itu tergantung mamanya. Iya enggak, Bu?" timpal mamaku yang berdiri di samping nenek.
Suara renyah tawa terlontarkan dari nenekku. "Benar kamu, San. Kalau ganteng, ya baru turunan dari bapaknya. Kayak Adrian ini."
"Simbah bisa aja," ucap Adrian tanpa malu-malu.
Acara sapa menyapa dan berpelukan dengan saudara terus berlanjut setelah itu. Sang calon pengantin pun tidak kalah sumringahnya saat bertemu dengan keluargaku. Banyak saudara dari jauh pun menyempatkan datang untuk menjadi saksi pernikahan saudara jauhku ini. Bahkan aku sampai tidak mengingat nama dan siapa mereka bagiku.
Hanya dengan senyuman ramah dan anggukan sopan yang bisa kulakukan saat nenek memperkenalkan satu per satu orang-orang yang berada di sini.
Siang pun berganti malam. Dikarenakan rumah nenek tidak cukup besar, walaupun mempunyai 5 kamar tidur. Namun, semua kamar sudah terisi oleh saudara-saudara yang lain. Jadi kami memutuskan untuk tidur di hotel selama berada di Jogja.
"Yang benar, Mbak, enggak ada lagi kamar yang kosong?" tanya mamaku kepada resepsionis hotel. "Suite juga enggak masalah kok. Masa hotel besar gini semuanya full."
Mbak resepsionis itu tersenyum dengan sopan saat meladeni komplainan mamaku. "Kami mohon maaf, Ibu. Tapi semua kamar sudah terisi dan hanya tersisa dua kamar saja, bahkan semua kamar suite juga penuh untuk tiga hari ke depan."
Saat kami sampai di hotel dan memesan kamar, ternyata hotel yang dipilih papa ini hanya menyisakan 2 kamar saja. Padahal rencananya kami akan memesan 3 kamar; satu untuk papa dan mamaku, 1 untuk Adrian dan 1 untukku. Tapi bagaimana lagi, ini sudah larut malam, kalau mencari hotel lain juga belum tentu dapat di hari liburan seperti ini.
"Gimana?" tanya papa kepada aku dan Adrian.
"Ya udahlah, gapapa. Nanti aku bagi kamar sama Steph aja. Gapapa kan kamu?" tanya Adrian.
"Enggak masalah." Aku menaikan bahuku. Tidak ada yang terpenting sekarang kecuali tidur. Aku rasanya sangat lemas dan mataku ini sudah berat.
"Ya udah, Mbak. Kita ambil kamarnya," kata papaku.
Selesai mengisi formulir, kami mendapatkan kunci lalu menuju kamar yang berada di lantai 5.
"Pengen muntah aku saking ngantuknya," keluhku kepada Adrian sesaat kami memasuki kamar.
"Ganti baju gih, terus tidur. Untung aja nikahnya lusa, kalau besok pagi aku enggak janji deh bisa datang," ucap Adrian sambil melepas sepatunya.
Aku terkekeh. "Padahal cuma Jakarta-Jogja ya, Mas. Tapi tetap aja jetlag."
Dengan lunglai aku melepas jaket dan membongkar koperku untuk mencari pakaian tidur. Aku menemukan Nike Tempo Short warna soft pink dan kaus Mickey Mouse yang oversized. Aku menuju kamar mandi untuk cuci muka, gosok gigi dan berganti pakaian, mengingat aku sudah mandi di rumah nenek tadi.
Tidak butuh waktu lama, aku langsung menuju tempat tidur setelah selesai agar Adrian juga bisa bersih-bersih.
Malam ini rasanya terlalu malas untuk memakai skin care, jadi aku hanya memakai lip balm saja. Saat aku menaruh tas make up di atas meja, ponsel Adrian bergetar, menandakan ada pesan yang masuk. Aku melihat sekilas pesan yang masuk.
Dari Karina, kekasih Adrian.
Aku bisa jelasin semuanya. Pls jwb tlp ku, Yang.
Mereka lagi berantem?
Kulihat Adrian keluar dari kamar mandi dengan memakai celana pendek dan kaus putih polos, aku segera menjauh dari ponselnya dan pura-pura menyisir rambutku dengan jari. Adrian terduduk di pinggir tempat tidur sambil memainkan ponselnya, wajahnya menegang dan alis matanya berkerut.
Sesaat kemudian ia menghela napas dan menaruh ponselnya di meja, mematikan lampu, lalu membaringkan dirinya di kasur. Aku melirik sekilas kemudian berbaring di sampingnya sambil memeluk guling di atas perutku.
Hening menyelimuti kami berdua. Hanya suara napas kami yang terdengar di ruangan ini. Aku meraih ponselku dan mengirimkan pesan singkat untuk Stella.
Barusan sampai di hotel Melia Purosani nih. Thanks ya, udah mau handle Louroose selama gue ada di Jogja. Nanti terserah lo mau minta oleh-oleh apa.
Stella langsung membalas pesanku.
Yass. Beneran ya apa aja. Oke deh jgn ganggu gue lagi. Soalnya lagi sama Niko nih, if u know what I mean😏🤣
Astaga.
Ewww🤮
"Ngantuk belum?" tanya Adrian dalam kegelapan.
"Belum, Mas. Kenapa?" Aku meletakkan ponselku di atas nakas, lalu menoleh ke arah Adrian.
Ia melipat tangan kanannya di belakang kepalanya. "Aku sama Karina putus." Suaranya terdengar dingin.
"Apa?" Refleks, aku yang tadinya tidur terlentang kemudian merubah posisi miring menghadap Adrian. "Kenapa?"
"Aku kurang baik apa sih sebagai pacar?" tanyanya lirih.
Aku terdiam. Aku akui Adrian sangat pengertian dengan Karina, bahkan kadang aku dibuat cemburu dengan perlakuannya. Karina sering meminta Adrian untuk antar jemput kemana pun, bahkan saat ia lapar malam-malam pun Adrian siap membelikan makanan untuk diantar ke rumahnya.
Saat Karina berusaha menjadi model dulu, Adrian selalu membantu untuk mempromosikan Karina di Instagram dengan rutin mengunggah foto Karina. Dengan pengikut hampir satu juta dan kenalan banyak fotografer, Adrian dengan mudahnya menjadikan Karina model yang lumayan terkenal sekarang.
"Kamu itu terlalu sempurna, Mas."
Adrian terkekeh dengan getir. "Tapi buat dia masih kurang. Nyatanya dia cari perhatian cowok lain."
"Dia selingkuh?"
"Karina tidur sama cowok lain. Aku sendiri yang lihat mereka di hotel. Kamu tahu enggak cowoknya siapa? Riko. Temenku sendiri."
Jantungku berdebar mendengar berita itu.
"Ya ampun, Mas." Aku bergeser lebih mendekat ke Adrian agar bisa mengelus lengannya.
"Maaf ya, waktu kamu pulang pagi, aku marah banget sama kamu. Malam sebelumnya aku abis liat orang yang aku kira berharga dan layak buat dijadiin istri lagi tidur sama cowok lain. Maaf, aku luapin emosinya ke kamu."
Pantas saja Adrian sangat marah.
"Gapapa. Aku udah maafin kok." Aku masih mengusap pelan lengan dan pundaknya untuk menandakan bahwa aku selalu ada untuknya. "Aku yakin kok, Mas. Orang baik kayak kamu pasti akan dapat yang baik juga. Kalau putus sama Karina artinya Yang Maha Kuasa lagi nunjukin ke kamu siapa dia sebenarnya. Jadi aku mohon, kamu jangan pernah salahin diri kamu sendiri. Karena kamu enggak salah, Mas."
"Aku kadang heran deh. Kamu ini sebagai adik tapi kadang pikirannya melebihi umur kamu, tahu gak sih."
Aku tertawa mendengarnya. "Salah satu di antara kita harus ada yang bersikap dewasa kalau lagi kayak gini."
Adrian tertawa kecil. "Makasih ya, Sayang."
"Sama-sama, Mas. Itu kan gunanya adik, mengingatkan kakaknya kalau lagi oleng."
Gelak tawa Adrian memenuhi kamar hotel ini.
"Jadi kita sama-sama jomblo ya sekarang," katanya saat tawanya mereda.
"Nah kan. Kualat kamu, Mas, sama adiknya." Aku pun tidak bisa menahan tawa.
Pernah putus gara-gara hal tragis kayak Adrian?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro