Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Undangan

Sudah direvisi.

"Baik, nanti akan saya sampaikan ... terima kasih kembali." Nadia baru saja menutup sambungan telepon saat aku berjalan melewati meja kerjanya.

"Selamat pagi, Mbak Stephanie," sapa Nadia dengan senyum kikuknya.

Aku berhenti sebentar di depan mejanya. "Pagi, Nad. Stella udah datang?"

"Sudah, Mbak."

"Oke." Aku mengangguk. "Siapa tadi yang telepon?"

Nadia menggaruk kepalanya yang sudah kuyakini tidak gatal sama sekali. Itu hanya kebiasaannya jika sedang grogi.

"Oh iya … itu tadi ada telepon dari Mahardika Resort and Spa, Mbak. Mereka menanyakan apa bajunya sudah siap apa belum."

Aku salah dengar kan ini?

"Atas nama siapa?" tanyaku untuk menyakinkan diri.

"Mahardika Resort and Spa, Mbak."

Aku menelan ludahku. "Siapa yang terima pesanan mereka?"

Aku yakin sekali Randi dan istrinya waktu itu memesan atas nama mereka, bukan MRS. Lagi pula, baju mereka pesan baru akan jadi akhir minggu ini.

"Sebentar, Mbak, saya cek." Nadia menggerakan tangannya di atas mouse komputer. "Mm, Mbak Stella yang menerima pesanannya, Mbak. Waktu itu Mbak Stephanie baru keluar dan ada orang dari MRS datang, lalu konsultasi dengan mbak Stella."

"Kok kamu enggak bilang sama saya?" tanyaku kepada Nadia.

Raut wajahnya berubah ketakutan dan itu cukup membuatku merasa bersalah. "Oke, ini bukan salah kamu. Enggak papa, nanti saya konfirmasi ke Stella dulu ya."

"B-baik, Mbak."

"Kenapa lo enggak bilang kalau MRS pesan baju ke kita?" tanyaku tanpa basa-basi setelah memasuki ruang kerjaku dan Stella. Aku menemukan dia sedang duduk bersantai sambil menikmati secangkir teh yang masih mengepul.

Seringainya mengembang dengan bangganya. "Good morning to you too, Miss Stephanie. And please chill the fuck out. It's not a big deal."

Aku menduduki salah satu sofa berwarna merah di depan meja Stella dan menatap tajam ke arahnya. "It's not a big deal? MRS minta kita buat desain baju dan lo enggak bilang ke gue."

Stella menyesap tehnya dan menaruh cangkir berwarna biru muda itu di meja. "Tenang, Babe. Pihak mereka enggak minta desain baru kok, mereka cuma minta baju yang ada di butik dan itu semua udah siap di kirim siang ini."

Masalahnya bukan terletak di desain baju baru atau mereka ambil langsung baju yang sudah ada di butik, tapi ini MRS beli baju di Louroose. Keluarga yang selama ini aku hindari tiba-tiba membeli baju di butikku. Semenjak aku bertemu Randi hampir sebulan yang lalu, rasanya semuanya tidak seperti biasanya lagi Semuanya berubah … dan aku merasa asing dengan ini.

"Oh iya, ini ada titipan paket dari Nadia." Stella menyerahkan sebuah amplop besar berwarna coklat dan setelah kubuka isinya, ini sungguh di luar ekspektasiku.

Cheers to 26th Wedding Anniversary of Rudy Johnson Mahardika & Annaliese Dewi Mahardika.

God damn it!

Tiba-tiba sakit di kepalaku kembali menyerang. Permainan apa lagi ini? Kenapa sepertinya alam sedang mengejekku sekarang.

"Gue enggak salah lihat kan ini?" Stella mencondongkan tubuhnya ke arahku untuk melihat isi dari undangan dengan desain mewah yang ternyata berasal dari keluarga Mahardika.

Pertama kalinya aku datang ke acara ulang tahun pernikahan Rudy dan Anna Mahardika, saat aku masih kelas 3 SMA. Kemewahan dan kemegahan acara itu sampai bertahan 7 hari 7 malam di acara infotainment yang ada di televisi. Aku masih ingat jelas acara malam itu, bagaimana menawannya Rudy dan Anna, dan bagaimana bahagianya aku berdansa, menghabiskan malam bersama Dion.

Dion. Dia pasti akan ada di sana. Jujur di dalam hatiku, aku sangat ingin bertemu dengannya secara langsung, bukan hanya lewat mimpi. Tapi di sisi lain, ada sedikit ketakutan yang menyelimuti hatiku.

"Gue enggak akan datang."

"Wah sakit ini orang …. " Stella menggeleng-gelengkan kepalanya seolah tidak percaya dengan pernyataanku. "Lo mau sia-siain gitu aja undangan dari keluarga Mahardika? Kalau gue enggak akan, Babe. Ini kesempatan yang bagus buat lo."

"Kesempatan apa? Mempermalukan diri sendiri di depan mereka?"

"Mempermal-" Stella memutar matanya. "Oh my God, coba sekali aja lo itu pikir pake logika dan singkirkan dulu perasaan lo."

Keningku berkerut mencoba mencerna kata-kata Stella. "Maksud lo apa sih?"

"Dear, God, please help me. Jadi gini ya Sayangku ... MRS pesan baju ke kita, yang otomatis di pakai sama Rudy dan Anna Mahardika. Terus Randi sama istrinya juga pesan ke kita, dengan undangan ini, kita secara enggak langsung bisa promosi dong di acara itu. Apalagi yang di pesan Anna Mahardika itu koleksi terbaru kita," jelas Stella panjang lebar.

"Kesempatan banget sih, lo," cibirku.

Aku tahu Stella berbicara seperti itu bukan karena dia ingin mempromosikan butik kami, tapi memang dia ingin aku datang ke acara itu. Bukannya aku sombong, tapi dua tahun terakhir ini, Louroose berkembang dengan sangat pesat. Tahun lalu kami sempat mengikuti festival fashion di Hongkong dan Swedia, berkata acara itu, bisa dikatakan cukup untuk menaikan pamor merek baru seperti Louroose ini.

Hanya saja yang terpikir olehku, apa aku siap bertemu dengannya lagi l? Walaupun berita yang beredar dia masih ada di London, tapi aku yakin dia tidak mungkin melewatkan begitu saja acara penting seperti ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya ini.

"Ayolah, Babe. Keluarga Mahardika ini secara langsung ngundang lo ke acara mereka." Stella menyambar undangan yang ada di tanganku, lalu menutup dan menunjukan namaku yang ada di bagian undangan itu. "Lihat ini, Stephanie Ramadani. Jelas nama lo ada di situ, kalau lo enggak datang ke acara sebesar itu, gue bingung kenapa bisa sahabatan sama lo."

"Sialan, lo."

Stella menghiraukan cibiranku dan kembali meminum teh hijaunya. "Kita masih ada waktu buat pilih baju kok. Tenang aja."

"Kita?"

"Iyalah, gue temani." Seringai jahil terbentuk di wajah orientalnya.

"Itu sih kesempatan lo aja," ucapku sambil memasukan undangan itu di dalam tasku, lalu menuju meja kerjaku untuk melihat jadwal pengiriman barang hari ini.

Walaupun sudah ada orang yang ada di bagian admin dan yang mengontrol pengiriman barang, tapi aku lebih suka untuk turun tangan langsung dan melihat kinerja mereka. Bukannya aku tidak percaya, tapi jika ada kesalahan setidaknya aku sudah tahu dari awal dan bisa memperbaikinya secepat mungkin.

"Kesempatan apa?" tanya Stella.

Aku melirik ke arahnya sebentar. "Kesempatan minum gratis."

"You know me so well." Dia terkekeh. "Tapi enggak lah, kalau cuma minuman sih, ya bisalah gue beli walaupun bukan yang high class banget. Gue penasaran aja, kan belum pernah gue datang ke acaranya orang sekelas Mahardika."

Aku memfokuskan pandanganku ke layar PC yang ada di depanku. "Hmm, ya, ya. Whatever."

Setelah itu, kami berdua mengerjakan tugas masing-masing. Stella memeriksa laporan iklan produk baru yang ada di website kami, sedangkan aku sibuk memeriksa laporan keuangan bulan ini. Harus kuakui, keputusan untuk ikut pameran di luar negeri tahun lalu sangat membantu menaikan pamor Louroose. Laporan keuangan dari bulan September tahun lalu hingga bulan Juli saat ini sangat stabil, persentasenya naik hingga 80% daripada tahun sebelumnya.

Aku tersenyum puas.

"Oh iya, Niko kemarin nyamperin gue di apartemen?" Suara Stella memecahkan keheningan ruang kerja kami.

Aku memalingkan pandanganku dari layar komputer. "Lemme guess, you told him to fuck himself?"

Stella tertawa sumbang. "Tahu aja lo."

"Hmm, enggak ada capeknya juga ya dia lo tolak terus, " kataku.

"Gue juga bingung, gue enggak tahu harus gimana. Niko itu beda dari yang lain, jauh dari yang dulu-dulu. Ya, walaupun tampilannya garang gitu, tapi gue nyaman sama dia." Stella memandang keluar jendela dengan tatapan sendu.

"Ya kalau lo nyaman sama dia kenapa enggak lo lanjutin?" tanyaku dengan penasaran.

Stella memandangiku dengan tatapan bosan, sebelum memutar matanya dan beralih melihat keluar jendela. "You already know my answer for that one."

Aku menghela napas. "Kenapa enggak lo coba dulu sih? Seengaknya, Niko udah nunjukin sisi romantisnya kan?"

"Babe," keluh Stella.

"Lo sendiri yang bilang kalau dia beda dari yang lain. Dia juga udah mapan, dia ganteng juga walaupun menurut gue agak dingin kesannya," ucapku.

Stella terkekeh. "Jelas ganteng lah. Kalau enggak mana mungkin gue pilih."

Giliran aku yang memutar mata sekarang. "Ya terus kenapa enggak?"

"Gue engak percaya sama diri gue sendiri, Babe. Gue enggak yakin kalau bisa jalani hubungan sama Niko lebih dari sekarang. Gue takut kalau akhirnya kita berdua sama-sama sakit. Terus apa? Gue sendiri lagi."

"Niko tahu ini semua?"

Stella menggelengkan kepalanya. "Enggak. Buat apa juga, gue capek ngomong sama dia."

"Mau gue yang ngomong ke dia?"

"Emang lo berani?" Stella menaikan alis kanannya.

"Kenapa enggak?"

"Ya, terakhir yang gue lihat, lo hampir pingsan waktu ketemu sama Niko," cibir Stella.

"Ya itu kan gara-gara dia abis berantem terus banyak darah di sana," kilahku.

Padahal memang aku hampir saja pingsan waktu itu. Aku sedang berada di apartemen Stella malam itu dan Niko tiba-tiba menelepon Stella untuk menjemputnya di salah satu bar. Stella memintaku untuk menemaninya karena dia mempunyai perasaan jika Niko pasti sedang ada masalah.

Benar saja, saat kami sampai di bar , Niko sedang menghajar seseorang yang kurasa sudah tidak bisa membalas lagi. Pelipis dan tangan Niko berdarah, tapi yang membuatku ingin pingsan, saat aku melihat keadaan lawannya. Sampai sekarang aku masih tidak habis pikir mengapa laki-laki senang menyelesaikan masalah dengan cara pukul-pukulan.

"Oke deh, kalau lo mau bantu gue. Tolong bilangin ke Niko apa yang gue omongin tadi."

"Beneran nih?"

"Ya. Nanti gue kasih nomornya."

"Oke."

Ini Dion Mahardika 🥰

Ini Stephanie Ramadani🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro