Ucapan Selamat
Aku meletakan segelas air putih dan satu strip pil aspirin di atas nakas. Sambil menunggu Dion bangun, aku membuka tirai supaya sinar matahari yang masih malu-malu menerangi kamar Dion.
Sang pemilik kamar masih terlelap dalam mimpinya, setelah hampir seperempat malam ia habiskan duduk di depan toilet. Sebenarnya ini salah Dion sendiri, sudah tahu akan pergi ke The Baxter untuk minum, tetapi lupa untuk makan malam. Alhasil perutnya tidak mampu menampung alkohol dan menyebabkannya muntah serta berkeringat dingin.
Aku sempat tersulut emosi setelah mengetahuinya. Tidakkah ia tahu berbahayanya bila mengkonsumsi alkohol dalam keadaan perut kosong? Itu bisa berakibat fatal. Dion pun tidak menanggapi ocehanku, ia hanya mengerang kesakitan sambil terduduk di lantai kamar mandi dengan muka pucat pasi.
Kedatangan Nameera semalam masih belum diketahui oleh Dion. Ia menitipkan sebuah amplop putih yang masih belum kuketahui isinya. Amplop itu masih kusimpan di dalam tasku.
"Siapa yang bisa menolak pesona seorang Dion Mahardika?"
"Dion orang baik. Dia bisa membuat siapa aja merasa nyaman berada di dekatnya."
"Tenang, Steph. Kami udah sepakat kok, kalau kemarin cuma sebatas perjodohan semata. Dion enggak ada perasaan sama aku. Dia hampir setiap waktu ngomongin soal kamu. Dia laki-laki yang setia."
Pujian yang keluar dari mulut perempuan keturunan Arab itu menimbulkan gejolak kecemburuan dalam hatiku. Nameera dekat dengan Dion selama bertahun-tahun lamanya. Meski dalam sebuah keterpaksaan, tetapi dari apa yang kutangkap semalam, ia begitu mengagumi sosok putra sulung keluarga Mahardika.
Saat ini aku duduk di sebuah kursi, di depan meja yang penuh dengan dokumen perusahaan keluarganya. Tanganku menulis sesuatu di sebuah buku yang selalu ada di dalam tasku. Buku berwarna biru muda dengan gambar beruang di bagian sampul, isinya penuh dengan ungkapan rasa bahagia, marah, dan putus asa yang kurasakan sejak bertemu dengan Dion.
Jakarta, 17 Agustus 2019
Sayangku, Dion ....
Kamu adalah satu-satunya orang yang membuatku hampir gila karena tidak bisa berhenti memikirkanmu.
Kamu adalah satu-satunya orang yang dengan mudahnya membuatku jatuh cinta.
Ketahuilah, rasa cinta yang kupunya untukmu akan selalu ada. Bahkan akan terus bertambah, seiring dengan tarikan napas yang menghidupkanku.
Hari ini kamu genap berusia dua puluh lima tahun. Aku selalu berbisik pada-Nya … memohon agar kamu selalu diberi kesehatan, dilindungi dari keburukan, dan dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangimu.
Aku sangat bahagia karena tahun ini Tuhan menjawab permohonanku. Aku sadar, Ia akan memberi apa pun yang terbaik untuk umat-Nya ketika mereka sudah siap … dan aku sudah siap tahun ini untuk bertemu denganmu kembali.
Selamat ulang tahun, My Achilles Heel. Semoga semua harapan dan keinginanmu bisa terwujud.
Satu yang pasti, aku berharap kamu akan selalu menjadi Dion yang kukenal. Tetap menjadi orang baik.
I love you
S.R.
P.S : kadonya nyusul ya 🖤
Kupisahkan selembar kertas itu dari buku dan kulipat menjadi dua. Aku tersenyum kala melihat ke arah Dion lagi. Apa yang terjadi saat ini, terlepas dari Adrian yang belum memberi restu, semua ini masih terasa seperti mimpi.
Berada di rumahnya, bahkan duduk di dalam kamarnya, bagaikan hal yang sangat mustahil dulu.
Aku berjalan ke arah tempat tidurnya dan menyelipkan kertas itu di bawah gelas agar ia mudah menemukannya. Lalu aku keluar dari kamarnya untuk menuju dapur.
"Pagi, Ran," sapaku ketika menemukan Randi yang sedang duduk di dapur dengan kepala bersandar pada kitchen island. Aku berjalan mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Di depan Randi sudah tersedia secangkir kopi yang masih mengepul. Isinya masih penuh, belum tersentuh.
Mbok Nah yang baru kuketahui bekerja sebagai tukang masak di rumah Dion semalam pun asik mengolesi roti dengan mentega di sana. Entahlah, kenapa tiba-tiba banyak orang baru di rumah ini. Atau hanya aku saja yang baru bertemu dengan mereka?
"Pagi, Mbok Nah." Aku tersenyum pada wanita paruh baya yang menggunakan daster berwarna hijau tua itu.
"Selamat pagi, Mbak Stephanie," balasnya lembut. "Mau sarapan apa, Mbak?"
"Saya jus alpukat aja, Mbok," jawabku. "Oh iya, Mbok. Nanti tolong buatin sup ayam ya buat Dion sama ini … Randi. Mereka lagi enak badan soalnya.
"Baik, Mbak," sahut Mbok Nah sambil tersenyum.
"Makasih, Mbok."
"Sama-sama, Mbak."
Beralih menatap ke arah Randi yang terlihat lesu, aku bertanya, "Lo, kenapa?"
"Berisik, Steph. Kepala gue pusing," gumamnya dengan mata tertutup.
"Pusing minum obat. Lagian salah lo sendiri pergi ke sana. Pakai ngajak Dion lagi."
"Dia juga mau .... "
Aku berdecak. "Dion terpaksa pasti. Soalnya dia enggak mungkin biarin lo pergi sendiri."
Randi mendongak dan terkekeh. "Anyway. Hari ini gue sama Dion ulang tahun. Lo enggak mau kasih ucapan selamat ke gue?"
Aku tersenyum geli. Mana ada orang yang sedang berulang tahun meminta diberi selamat kalau bukan Randi? "Oke. Selamat ulang tahun, Randi. Moga tambah dewasa. Enggak kabur-kaburan lagi. Cepat pulang ke rumah. Anak sama istri lo nungguin."
Randi memutar matanya. "Thanks."
"Gue serius, Ran. Lo minum sampai koma di rumah sakit juga enggak bakal selesai itu masalah."
Randi memutar matanya dengan bosan. "Hmmm .... "
"Farah kemarin datang ke Louroose," ungkapku. "Dia kacau. Sama kayak lo sekarang."
Rahang milik Randi menegang. Sorot matanya tertuju pada cangkir putih yang masih penuh dengan cairan cokelat pekat. Bibirnya tertutup rapat, seperti enggan menanggapi pernyataanku.
"Gue enggak bermaksud buat ikut campur, Ran. Tapi gue cuma bilang, kalau Sabrina butuh lo," ucapku. Nama Sabrina berhasil menarik perhatian Randi, ia menoleh ke arahku dengan mata yang memicing. "Dia enggak mau dideketin Farah. Maunya sama nyokap lo, kalau enggak ya sama Mbak Heni."
"She'll be fine."
"I don't think so .... "
"Steph, lo tahu gue masih belum bisa-"
"Gue tahu, gue paham," potongku. "Tapi seenggaknya lo pulang demi Sabrina, Ran. Dia masih terlalu kecil, belum bisa paham. Dan dia juga butuh papanya di saat kayak gini. Gue tahu, Sabrina lebih deket sama lo daripada sama Farah."
Randi terdiam. Ia meraih cangkir putih yang berada di hadapannya, lalu meminum isinya. Sesapan demi sesapan seolah mengiringinya menyusun kata-kata di dalam kepala. Sesaat kemudian, Randi memalingkan tatapannya dari kulkas dan menatapku. "Ini pertama kalinya gue sama Farah ada masalah yang bisa dibilang … gede. Sebelumnya belum pernah, bahkan pas kita pacaran dan sempat enggak dapat restu dari ibunya Farah."
Ibunya Farah sempat gak setuju? Apa kurangnya Randi ya?
"Berarti hubungan kalian kuat dong," ucapku. Guratan kesedihan terlihat jelas di wajah Randi. Sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya ketika mendengar ucapanku.
Ia kembali terdiam untuk beberapa saat sebelum berbicara, "Iya," balasnya singkat.
"Gue yakin, lo udah tahu harus gimana."
"Thank you, Steph." Ia tersenyum, aku pun membalasnya.
Bulan lalu Dion ulang tahun, ucapan dan doa-doa itu yang kutulis untuknya. Ya, walaupun yang aku masukin ke WP udah ditambahin bumbu kebucinan 😆
Intinya, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuknya sampai kapan pun.
Selamat ulang tahun, D. Bahagia selalu! ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro