Tertahan
Sudah direvisi.
Dion mengambil tempat yang tadinya di duduki oleh Randi, tepat di sampingku. Aroma musk dan citrus mengenai indra penciumanku. Dia masih menggunakan parfum yang sama seperti tujuh tahun yang lalu. Aku meremas kuat clutch yang ada di pangkuanku, seolah ini satu-satunya cara agar aku tidak runtuh.
Jujur, jika dibilang kami berdua dulu berpacaran, tentu saja jawabannya tidak. Karena diriku pun tidak mengerti apa artinya hubungan kami dulu baginya. Kata-kata cinta yang dia ucapkan saat berada di Bali malam itu tidak cukup kuat untuk mengartikan bahwa Dion mencintaiku. Karena pada akhirnya dia tetap pergi begitu saja. Lalu sekarang untuk apa dia kembali lagi?
"What do you want?" tanyaku dengan suara yang tercekat.
Dia mencari mataku, seperti tatapannya yang selalu ia berikan saat kami bersama dulu. Menatapku dengan tatapan teduh seolah sedang mencari sebuah jawaban.
"Don't cry, please." Dia berbisik dan hendak menyentuh wajahku, tetapi itu segera kutepis.
"Mau kamu apa?" Bibirku bergetar.
"Can't we talk?" pintanya.
"Then talk."
Dia menggelengkan kepalanya pelan. "Not here."
Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain karena ini sungguh menyiksa. Aku tersadar jika sekarang tinggal aku dan Dion yang berada di bar. Entah ke mana perginya orang-orang yang tadi duduk di beberapa kursi sambil menikmati minuman mereka dan ke mana perginya bartender yang tadi ada di balik counter. Aku melirik sekilas jam tangan Bvlgari yang melingkar di pergelangan tangan Dion, bahkan saat ini belum genap jam sembilan malam.
Aku kembali menatap Dion, apa yang aku rasakan sekarang ini sungguh membingungkan. Ada perasaan lega karena akhirnya bisa bertemu kembali dengannya, tapi di sisi lain perasaan kecewa masih terasa. Kecewa karena mengapa baru sekarang dia datang? Kenapa harus menunggu tujuh tahun?
Lalu mengapa dia muncul dalam keadaan sudah dijodohkan dengan orang lain?
Dengan perasaan jengkel, aku meraih botol whiskey yang tadinya Randi pesan, lalu meminumnya langsung dari botol. Aku sempat tersedak karena terlalu cepat menelan cairan beralkohol tersebut. Kedua mata Dion menyorotkan ketidakpercayaan melihatku bertingkah seperti ini.
"Is that necessary?" tanyanya.
Aku tertawa. "What? Calm down, I just took a sip."
"You weren't sipping it. You were chucking it down. Stop drinking, God damn it," sergahnya saat aku kembali meminum whiskey tersebut. Ia berusaha merebut botol itu dari tanganku.
"Kamu itu apa-apaan sih? Aku ini lagi bersenang-senang," protesku.
"Aku ke sini niatnya mau ngomong sama kamu." Tangan Dion menahanku untuk minum lagi. Tatapan matanya tajam dan rahangnya mengeras.
"Stop it. Can't you just let me enjoy my night for Fuck's sake," protesku. Dengan masih setengah sadar, aku melihat pupil mata Dion melebar saat menatapku.
"You know what, you being here is enough to make me nervous. So lemme drink again to cool it the fuck down," ucapku dan kembali merebut botol yang ada di tangannya. Sebelum Dion merebutnya kembali, aku sudah minum satu tegukan penuh.
"Steph, enough. Look at me!" Dion merenggut tanganku dan memaksa aku menatap matanya. "Just fucking stop. This is not you."
Aku refleks tertawa dengan ucapanya. "Terus siapa? Kamu ini baru ketemu aku tadi kan, terus kok bisa-bisanya bilang kalau ini bukan aku? Apa kita pernah kenal sebelumnya?"
"Aku tadinya mau ngomong serius sama kamu, tapi kamu malah kaya gini," gumamnya seraya menggelengkan kepala seperti seseorang yang kecewa.
"Malah kaya gini kamu bilang? Seharusnya aku yang ngomong kaya gitu. Hal apa lagi yang mau kamu bahas, huh?"
"Soal kita."
Apa dia bilang?
Aku terkekeh. "Kita? Kita yang mana? Kamu lebih baik balik aja sana, temui pacar kamu itu."
Sesaat setelah aku mengucapkan itu, air mata menetes dari sudut mataku. Tenggorokanku tercekat.
"Steph …. "
"Tinggalin aku sendiri, Dion," ucapku dengan suara bergetar. "Kamu enggak tahu gimana rasanya jadi aku. Kamu enggak akan pernah tahu gimana selalu mimpi selama tujuh tahun ini tanpa bisa melihat kamu secara langsung. Kamu enggak akan tahu gimana rasanya nunggu balasan SMS dari kamu. Kamu juga enggak akan pernah tahu gimana rasanya nunggu balasan surat setiap bulannya kayak orang goblok. Udah tahu kamu enggak akan balas masih juga ditunggu."
"Steph, I'm so sorry." Dia menarikku ke dalam pelukannya dan aku seketika menangis di sana.
"Sakit, Dion. Sakit," rintihku. "Aku berusaha melupakan semuanya tapi enggak bisa. Aku udah gila memang, nunggu kamu yang mungkin aja sama sekali enggak pernah ingat sama aku. Selama ini aku selalu menebak-nebak apa sebenarnya salahku sampai kamu pergi dan aku capek. Aku capek, Dion."
"Fuck. I'm so sorry," bisiknya sambil masih memelukku. Kedua tangannya mendekapku begitu erat dan itu membuat air mataku mengalir semakin deras.
Dadaku rasanya begitu sesak dan sakit. Jantung kami berdegup sama kencangnya dan aku tersadar jika ini bukan yang aku harapkan. Bagaimana jika Dion kembali tapi hanya untuk pergi lagi?
"Get off me." Aku mendorongnya dengan sekuat tenaga dan segera berdiri untuk meninggalkan bar ini. Tangan Dion dengan cepatnya menyambar lenganku dan aku kembali ke dalam pelukannya lagi.
"Lemme go," gertakku seraya melihat ke atas. Sorot matanya menyiratkan kepedihan.
"I know I fucked up. I'm sorry. God, I was so stupid for hurting you like that. I shouldn't have done that, I know. Steph, I swear to God I didn't mean to just leave like that. I'm an asshole, I know. But I didn't know what to do at that time. I didn't know, I'm confused. It wasn't just about me." Hangat napasnya menyapu wajahku.
"That's just bullshit." Aku mundur satu langkah darinya supaya bisa melihat matanya. "You had choices, Dion. You could've just told me why you have to leave."
"I know," bisiknya pasrah lalu menangkup wajahku di kedua telapak tangannya.
"But you didn't," gumamku. Air mataku kembali mengalir.
"I'm sorry …. "
"Buat apa lagi sekarang? Apa gunanya aku tahu semua ini, huh? Toh kamu udah dijodohkan sama orang lain." Aku menghapus air mataku dengan kasar.
"But I don't want her," tegasnya. Lalu tanpa aku sadari dia menunduk dan menyatukan bibir kami. He maintain a strong but closed-lip seal for up to 10 sultry seconds.
God, this lips. I missed it.
Hangatnya mulut Dion membuatku semakin mabuk, bukan karena whiskey yang aku minum tapi karena dia. Ya, kurasa Dion satu-satunya manusia yang bisa membuatku mabuk tanpa harus menyentuh alkohol. Tapi sayangnya aku sudah terlanjur minum. Lidahnya membelai milikku dan aku mendesah dibuatnya. Tangannya kirinya menekan tengkukku sementara tangan kanannya berada di pinggangku, mendorongku semakin mendekatkan kepadanya.
He tastes like champagne, mint, and a hint of sweet. This is overwhelming.
Rambutnya terasa begitu halus di sela-sela jemariku saat aku meremasnya, tidak tertahan akan kecupannya yang kini beralih di sekitar rahang dan belakang telingaku. My happy spot. Tangannya pun melingkar di leherku, memaksaku untuk menoleh ke kiri agar dia lebih leluasa menghujaniku dengan kecupan panasnya.
"Oh God, Steph. You fucking killing me right now. I missed you so fucking much," geramnya di sela-sela ciuman kami yang sukses membuat perutku merasakan hal yang aneh. Seperti saat melewati jalanan yang menurun tajam.
"Dion …. " Namanya keluar dari mulutku berupa erangan. Saat mata kami bertemu, aku melihat hasrat yang tertahan di sana. Dia kembali menyatukan bibir kami, sesekali Dion menggigit dengan lembut bibir bawahku yang membuatku semakin menggila.
Deru napas dan suara kecupan kami terdengar begitu erotis. Kepalaku tiba-tiba saja terasa berat, aku mendorong Dion menjauh dan pandanganku mulai kabur. Aku merasa semua benda yang ada di sekitarku berputar-putar dan telingaku berdengung. Bibir milik Dion bergerak layaknya dia sedang berbicara, tetapi yang terdengar di telingaku hanyalah suara menggema yang menyakitkan telinga.
Sedetik kemudian, bagaikan dihantam benda yang sangat besar dan kuat, aku hilang keseimbangan. Semuanya menjadi gelap dan sunyi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro