Survei
Sinar matahari dengan malu-malu mengintip dari balik gorden putih pagi ini. Aku mengerang pelan ketika Dion mengusikku dari lautan mimpi. Aku sangat yakin ini masih jauh dari jam berangkatku ke kantor. Dengan suara renda dan tepukan pelan di lengan, Dion mengatakan jika ia akan turun ke basement untuk memanasi mesin mobil dan mengambil baju ganti yang ia bawa di bagasi. Karena merasa masih terlalu pagi, aku hanya mengangguk tanpa membuka mata sebagai respon.
"Bangun, Yang. Udah jam setengah enam ini," ucapnya. Sebuah tamparan ringan di pantat kudapatkan darinya. Dion tertawa pelan ketika mendengar diriku mengadu.
"Bentar lagi," balasku dengan suara yang teredam oleh bantal. Setelah itu aku tidak mendengar respon Dion lagi, mungkin ia sudah keluar dari kamarku.
Semalam Dion terlelap layaknya orang yang kehilangan kesadaran, berbeda denganku yang beberapa kali terbangun. Separuh diriku menginginkan memiliki kualitas tidur yang baik, tetapi bisikan negatif itu terus menyambangi.
Aku masih memiliki waktu setengah jam lagi untuk bangun dan membuat sarapan. Tidak akan aku biarkan waktu tidurku terganggu walaupun hanya setengah jam kali ini. Anggap saja ini sebagai hadiah setelah aku beruraian air mata semalam.
Pukul enam lebih empat puluh menit, aku terbangun dengan suasana apartemen yang sunyi. Tidak ada aktivitas apapun yang terdengar dari lantai satu. Itu membuatku bertanya-tanya di mana keberadaan Dion. Langkah kakiku terhenti di depan meja makan ketika menemukan tudung saji berada di atas meja. Dengan rasa penasaran aku membuka itu dan menemukan dua piring putih berisi panekuk dan omelette. Di bawah piring tersebut, mengintip sepucuk kertas yang aku tahu betul berasal dari salah satu buku kecil milikku. Goresan tinta berwarna hitam dengan gaya tulisan yang tidak berubah miliknya itu membuatku tersenyum.
Pagi, Yang
Maaf aku pergi duluan ya, tadi ada telepon dari kantor. Terus tadi aku pas cek mobil kamu, ternyata ban belakang sama depan bagian kiri kempes. Aku bisa aja ganti pakai ban serep tapi kamu cuma punya satu. Jadi, aku tadi telepon bengkel. Jangan khawatir, paling siang udah beres.
Sementara, kamu pakai mobil aku dulu ya. Tadi aku perginya pakai taksi online. Kunci sana STNK ada di meja sebelah tempat tidur.
And please, don't skip breakfast!!!
See you later. Luv u
DX
Ya, Tuhan. Cobaan apa lagi ini. Belum juga dua puluh empat jam aku nangis-nangis, sekarang ban mobil juga ikutan bermasalah. Aku memejamkan mata sejenak dan mengatur napas.
Tenang, Steph. Relaks. Jangan biarin emosi kamu jadi semakin ribet!
Sekarang aku paham apa yang Dion bingungkan semalam. Ada apa denganku ini? Tidak biasanya aku terbawa emosi dengan hal-hal yang terjadi di tempat kerja. Biasanya aku selalu bisa menyelesaikan apapun masalah sebelum pulang ke rumah. Belum pernah sekalipun aku menangis sampai dada terasa sesak seperti semalam di rumah hanya karena persoalan kantor.
Apa yang salah dengan diriku?
Cepat-cepat aku hilangkan pikiran negatif yang mulai lagi menghampiri. Ini hanya akan memperburuk keadaan dan membuatku tidak bersemangat seharian. Setelah itu, aku menghabiskan sarapan yang sudah Dion buat dan mengakhirinya dengan segelas teh hangat.
Sekitar pukul tujuh lebih lima puluh lima, aku sudah selesai dan bersiap-siap untuk berangkat ke Louroose. Hari ini aku memilih memakai celana berpotongan kulot warna steel blue yang senada dengan blazer yang kupunya. Kemudian untuk dalamannya, aku padukan dengan bustier warna putih tulang. Sandal dengan hak tujuh sentimeter berwarna putih pun menjadi pilihanku kali ini.
Semoga saja dengan memakai setelan biru ini, suasana hatiku menjadi lebih baik.
Ini adalah kali pertama aku datang ke kantor manajemen MRS. Terletak di sebelah barat Mahardika Resort and Spa, kantor manajemen ini mempunyai desain yang bertolak belakang dengan MRS. Jika MRS memiliki desain layaknya bangunan yang ada di pulau Dewata, dengan puluhan bunga Kamboja kuning dan pintu yang penuh ukiran nan menawan. Sementara kantor manajemen dengan tujuh lantai ini lebih mengangkat tema minimalis modern. Atap lobi yang luas ini sebagian menggunakan sunroof untuk memberikan pencahayaan yang maksimal.
Pagi ini, kantor milik Mahardika terlihat sibuk. Orang-orang dengan setelan pakaian formal wara-wiri sambil menenteng berkas pekerjaan mereka. Tidak terlihat sedikit raut muka tegang dari orang-orang tersebut, kecuali perempuan yang berdiri di hadapanku ini. Ia sebelumnya mencegahku untuk menaiki elevator dan menanyakan apa maksud kedatanganku di sini. Setelah aku mengatakan alasannya, ia berdalih jika Pak Dion tidak bisa diganggu di jam-jam sekarang ini.
"Saya tidak berani mengganggu Pak Dion, mbak. Saat ini beliau sedang ada pertemuan dengan klien dan belum bisa dipastikan sampai jam berapa," ucap seorang perempuan muda yang berdiri di balik meja lobi dengan nada profesional. Sepasang mata besar dengan eyeliner menukik itu seolah seperti berkata, 'siapa perempuan ini yang berani-beraninya memaksa bertemu dengan orang terpenting di MRS?'
"Tapi saya sudah buat janji," balasku apa adanya. Malahan Dion yang menyuruhku datang kemari.
Perempuan itu lalu beralih melihat ke layar monitor yang ada di depannya. Entah apa yang ia cari.
Lalu ia kembali melihat ke arahku. Sebuah senyuman miring di bibir tipisnya yang dipoles lipstick warna merah bata itu membuatku mengerutkan dahi. "Selain klien yang ditemui Pak dion pagi ini, saya tidak melihat ada daftar nama perempuan di sini, mbak."
Apa dia bilang? Bagaimana mungkin namaku tidak ada di dalam daftar itu? Jelas-jelas Dion sendiri yang menyuruhku datang kemari.
Untung saja aku tadi pagi sudah mengisi perutku dengan masakan Dion, kalau tidak mungkin akan sedikit berbeda caraku untuk menghadapi situasi seperti saat ini. Tetap tenang, Steph!
"Kalau begitu saya tunggu saja di sini sampai dia selesai. Tidak masalah," ucapku dengan tegas. Mana nomor punya Dion enggak bisa hubungi lagi. Sial!
Saat aku akan berjalan menuju kursi kayu besar yang ada di sebelah kanan lobi, terdengar suara dari arah belakang yang memanggil namaku. Suara berat itu berhasil menyita perhatian orang-orang yang berlalu lalang di sekitarku, tak terkecuali perempuan penjaga meja lobi tadi.
Memalukan sekali!
Baju hitam lengan panjang yang digulung hingga siku dan celana berwarna cokelat tua, membuatnya menjadi semakin terlihat mengintimidasi. Apalagi dengan jas berwarna senada yang ia tenteng di tangan kiri dan juga kacamata hitam yang membingkai wajah tegasnya.
Setiap langkah yang ia ambil ketika berjalan ke arahku, seolah menggambarkan bahwa ialah pemilik tempat ini. Ya, memang benar adanya. Namun, kepercayaan dirinya yang tinggi itu semakin menjadi setiap hari sepertinya. Sepasang netra dengan sorot tajam itu mengamatiku, lalu beralih pada perempuan yang ada di depanku.
Perempuan itu lantas berdiri dengan tegap dan sedikit membungkuk untuk menyapanya. "Selamat pagi, pak."
Tanpa ada balasan secara verbal dan hanya anggukan kecil, laki-laki yang akan menjadi iparku beberapa bulan lagi ini malah beralih bertanya kepadaku. "Kok nggak langsung masuk malah di sini, Steph? Udah ditunggu dari tadi loh."
Saat mulutku terbuka untuk membalas pertanyaannya, perempuan itu menyela dengan mengatakan hal yang sama seperti yang ia katakan padaku tadi. "Maaf, pak. Tapi Pak Dion sedang meeting dengan klien di ruangannya. Dan mbak ini tidak ada di dalam daftar jadwal pertemuan Pak Dion hari ini, Pak Randi."
Aku menangkap Randi memutar matanya sebelum berjalan mendekat ke meja resepsionis dan berkata, "Dengar ya, Indah. Dion terima kamu kerja di sini sebagai resepsionis itu karena kamu terlihat pintar. Tapi saya lihat kamu tidak begitu. Saya pikir David sudah mengajari kamu tentang cara menerima tamu di sini."
Perempuan bernama Indah itu menciut. Ia gelagapan dan sorot matanya melemah. "Ma-maksud, Pak Randi apa ya?" tanyanya dengan suara sedikit gemetaran.
Randi berdecak. "Maksud saya itu, tanya dulu siapa orangnya dari mana, apa relasinya sama yang mau ditemui, dan maksud kedatangannya apa. Kalau dia sampai cari Dion, berarti ada hal penting. Paham?"
Indah menatapku dengan rasa malu yang terlihat jelas. Meskipun Randi berbicara dengan suara yang mungkin saja tidak terdengar oleh orang lain, tapi aura yang ia tunjukkan mampu memberitahu bahwa perempuan itu sedang dalam masalah.
"Maaf, Pak. Tapi saya baru masuk kerja belum ada seminggu, jadi masih butuh belajar lagi," tutur Indah sambil menunduk.
"Di sini bukan sekolah yang bisa jadi tempat buat belajar," balas Randi datar yang mana membuat Indah makin tidak berani menatapnya.
"Saya minta maaf, pak. Saya mohon jangan pecat saya," ucap Indah dengan suara yang jauh beda dengan yang ia gunakan saat berbicara padaku sebelumnya. Lalu ia menatapku sekilas dengan mata ketakutan. "Saya minta maaf, mbak ...."
Aku sedikit terkejut dengan nada bicara Randi. Sangat berbeda dengan laki-laki yang menanyaiku beberapa menit yang lalu. Apa dia selalu tegas seperti itu dengan para karyawan di sini? Atau suasana hatinya sedang tidak baik pagi ini?
Aku menyikut lengan Randi sebagai isyarat agar dia berhenti menceramahi Indah. 'stop', ucapku tanpa bersuara. Randi menatapku dengan malas dan membalas 'oke'.
"Saya sudah tidak ada hak untuk memecat karyawan di sini. Ya sudah, jangan sampai kejadian ini terulang lagi. Lain kali kalau ada yang datang cari Dion atau siapapun, tolong kamu minimal kasih tahu yang bersangkutan kenal tidak dengan orang itu. Kamu tanya dulu, jangan mengambil keputusan sendiri. Siapa tahu itu klien penting, tapi Dion lupa buat memasukkan namanya ke daftar jadwal," jelas Randi panjang lebar.
Dengan mata yang ketakutan dan suara yang bergetar, Indah memberanikan diri untuk menatap kami berdua. "Baik, pak. Saya janji ini yang pertama dan terakhir. Sekali lagi saya mohon maaf atas ketidakprofesionalan saya, pak, mbak."
Untung saja aku tadi tidak lepas kontrol. Kasihan juga kalau dilihat, belum sampai jam makan siang sudah mendapat teguran sadis dari atasan.
"Iya, nggak masalah," balasku singkat.
"Dion meeting sama siapa ngomong-ngomong?" tanya Randi pada Indah
"Dengan Pak Nikolai, pak."
Nikolai, Nikonya Stella?
"Ayo, Steph," ajak Randi sambil menyeret tanganku untuk berjalan menuju elevator dan naik ke lantai tiga di mana bisa kutebak ruangan kerja Dion berada.
"Who hurt you?" tanyaku pada Randi sesaat setelah pintu elevator tertutup lalu berjalan naik.
Ia menatapku sekilas sebelum kembali melihat ke arah layar kecil yang menunjukkan nomor lantai. "No one."
"Gue nggak paham sama cara lo menghadapi karyawan di sini, tapi nggak perlu kaya tadi juga kali, Ran. Kasian tau," ucapku jujur.
Entah apa yang lucu dari ucapanku, tetapi itu membuat Randi terkekeh saat kami berjalan keluar dari elevator. Itu membuatku mengernyit. Meskipun kembarannya adalah calon suamiku, tapi kurasa aku tidak akan pernah bisa mengerti dengan jalan pikiran Randi.
"Jadi, kurang lebih nanti desain ruangannya akan seperti ini. Panggungnya sih kalau rencana awal sekitar tiga meter lebarnya itu ada di belakang. Sisanya nanti ada tiga turunan tangga, terus yang depan ini sejajar dengan tamu undangan. Kursinya menyamping nanti."
"Oke ...oke, cukup kok itu nanti, ya Pak David?" Dion mengangguk sambil mengamati skema desain ruangan yang kupilih.
"Bisa, pak. Kalau mau dibuat lebih luas lagi ini masih bisa, Bu. Karena kan ruangan ini termasuk yang terbesar dari yang kami punya, kapasitas sekitar 1,800. Jadi, kalau kepotong panggung dengan ukuran ini, masih lumayan ruang yang tersisa. Tapi, kalau tetap mau dengan ukuran awal, tidak masalah. Nanti, minta saja ke event organizer untuk diperbanyak dekorasinya supaya tidak terlalu terlihat kosong," jelas David, laki-laki Batak yang logatnya mulai memudar, tetapi masih bisa terdeteksi.
Aku terdiam sejenak, berpikir. Ada benarnya juga apa yang dia usulkan. "Ide yang bagus. Nanti coba saya bawa perwakilan dari event organizer untuk melihat lokasinya langsung. Mungkin besok atau lusa?" Aku menatap David dan Dion secara bergantian untuk meminta kesepakatan.
David hanya menunjukkan senyuman manisnya dan mengangguk pelan. Sementara Dionlah yang menjawab, "Terserah kamu aja. Bisanya kapan. Sebenarnya tadi kamu ke sini sama mereka juga enggak masalah sih."
"Maunya gitu. Cuma mereka masih ada klien yang harus diurus hari ini," jelasku pada Dion.
"Oke kalau gitu." Dion tersenyum padaku sebelumnya beralih ke David dan menyodorkan berkas yang kubawa. "Ini sudah cukup kan, Pak David? Tinggal tanda tangan aja, sama nanti tolong bawakan kunci ya biar Stephanie bisa lihat langsung tempatnya."
"Baik, pak," ucap David tanpa ragu-ragu. Lantas, ia mengambil pulpen berwarna biru tua dari balik saku jas hitamnya, lalu menandatangani kontrak kerja antara Mahardika Resort & Spa dan Louroose.
Setelah berjabat tangan sebagai tanda terima kasih dan kesepakatan kerjasama, David keluar dari ruangan kerja Dion untuk mengambil kunci ruangan Xavier. Sementara aku, beralih menatap ketiga pasangan mata yang sedari tadi mengamatiku.
"Udah lega kan sekarang?" Dionlah yang pertama kali bertanya. Aku hanya mengangguk dengan semangat. Aku yakin senyuman di wajahku sudah cukup menjawab pertanyaannya.
"Gue kalau jadi lo juga bakalan stres, Steph kalau ceritanya gitu. Parah banget karyawan lo," timpal Randi yang duduk di depan meja kerja Dion dengan kaki yang bertumpu serta alis yang bertaut. Ia menatapku dengan tatapan empati.
Apa aku terlihat begitu menyedihkan sekarang? Apa polesan di wajahku tidak mampu menutupi bengkak di area mata akibat semalam?
Jadi, Dion sudah bercerita pada Randi sepertinya. Bagus kalau begitu, jadi aku tidak perlu merasa tidak nyaman karena menerima tawaran Dion kali ini. Itu salah satu yang mengganggu pikiranku selama rapat di Louroose tadi.
"Tanggal berapa sih acaranya? Stella belum ada ngomong ke gue." Niko yang tadinya duduk di dekat jendela, kini duduk di seberangku ikut nimbrung.
"Lo gimana sih, jadi cowoknya tapi nggak tahu soal acara penting buat dia?" Aku melihat Niko dengan tatapan tidak percaya. Bagaimana bisa ia tidak tahu tentang acara peluncuran desain terbaru kami? Demi apapun, ia sedang menjalin hubungan dengan seorang yang seringkali tidak bisa menahan mulutnya untuk tetap bungkam.
Mendengar keluhanku, sepasang saudara kembar itu dengan bergantian melihat ke arah Niko dan aku. "Ya, maksudnya ini kan udah lama banget rencananya, bahkan dari tahun lalu. Masa Stella enggak cerita sama sekali."
"Cerita, dia cerita cuma nggak spesifik," kilah Niko. Laki-laki blasteran Lebanon itu memalingkan wajahnya seraya berdiri untuk mengambil sebuah cangkir yang entah berisikan teh atau kopi di meja dekat jendela. Bisa disimpulkan sekarang jika memang hubungan Stella dan Niko sedang tidak harmonis.
Tak lama setelah menghabiskan minumannya, Niko lantas pamit untuk pulang. Ia mengatakan jika siang ini harus terbang menuju Bali untuk mengecek salah satu restorannya yang ada di sana. Aku, Dion, dan juga Rendi segera berjalan menuju ruangan Xavier setelah Pak David kembali dengan membawa kuncinya. Ruangan ini terkesan terlalu berlebihan untuk peluncuran desain terbaru Louroose. Untuk clothing line sekelas Louroose, ini terlalu mewah. Namun, aku hanya diam saja, karena aku tahu Dion tidak akan suka jika aku mengatakannya
Lebih-lebih, aku tidak ingin kami ada kesalahpahaman lagi menjelang kepergiannya besok lusa.
Anyway, itu baju yang dipakai Steph yaa. Iseng aja aku bikinnya, biar ada gambaran:)
Note:
Aku tau udah lama banget yaa ga mengunjungi Wattpad, udah hampir satu tahun yaa. Hehe, maaf 👉👈
Banyak sih sebenernya alasan kenapa baru bisa update lagi sekarang. Tapi panjang kalau diceritain di sini. Dan part ini udah lama banget ada di draft, cuma karena terlalu lama ga update, jadi aku kaya kurang percaya diri lagi buat nulis 🥲
Semoga part kali ini bisa ngobatin kangen kalian sama Dion dan Steph yaa. Dan doain aja semoga Steph sama Dion yang di sini punya akhir cerita yang lebih mengemaskan daripada di dunia nyata wkwkw
See you later ❣️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro