Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Stella Wiratmadja

Sudah direvisi.

Alisku berkerut ketika memperhatikan gerak-gerik Nadia yang mencurigakan saat aku baru saja sampai di Louroose pagi ini. Bahkan kedua pipinya pun bersemu merah. Nadia mengatakan jika di ruanganku sedang ada tamu. Dengan suara gugup, ia mengatakan bahwa tamu itu untuk Stella.

Aku berjalan menuju ruanganku dan langsung membukanya tanpa ragu-ragu. Mataku membulat dan mulutku sedikit terbuka saat menemukan seorang wanita dengan rambutnya yang dibiarkan begitu saja jatuh di punggungnya, ia memakai rok mini berwarna biru muda dan kaus putih. Ia sedang duduk menyamping di atas pangkuan seorang laki-laki yang memakai celana jeans hitam dan kaus berwarna senada serta jaket jin berwarna biru muda.

Tangan laki-laki itu dengan sangat percaya dirinya mengerayangi bagian paha wanita itu yang tidak terlapisi oleh kain. Meremasnya dan naik sampai menyusup di balik rok pendek wanita itu. Sepertinya ia tidak merasa keberatan, karena dengan jelas aku bisa mendengar tawa kecil keluar dari mulutnya.

Wajahku langsung memanas melihat adegan tidak pantas yang berlangsung di dalam kantorku. Aku memijit keningku sebelum berdeham dengan sedikit keras yang membuat mereka berdua kompak memalingkan wajah ke arahku. Mereka menghentikan aktivitas tak senonohnya yang berlangsung entah sudah berapa lama.

Stella sedikit kaget akan kehadiranku, tapi ia segera menutupinya dengan senyuman miring tanpa dosa. "Pagi, Babe. Udah datang aja jam segini. Tumben."

Berharap aku datang telat biar kalian bisa berbuat tidak senonoh di ruanganku?

Dia masih berada di pangkuan Niko dengan tangan yang masih melingkar di pundak laki-laki itu. Niko yang sudah menarik tangannya keluar dari balik roknya Stella pun tidak jauh beda. Ia begitu santai dan bahkan memberiku senyuman kecil, seakan-akan mereka berdua tidak baru saja tertangkap basah olehku.

Mereka benar-benar pasangan yang serasi, bukan?

"Jadi kalian udah baikan?" tanyaku seraya berjalan ke arah meja kerjaku untuk menyalakan PC yang ada di sana.

"Bisa dibilang seperti itu," jawab Niko. Suaranya terdengar sedikit serak.

"I told you I need some more time to think about all of this," ucap Stella sambil tersenyum mengoda sebelum berdiri dan merapikan roknya.

"Alright." Niko juga bangkit dari sofa dan merebut pinggang ramping Stella, lalu memeluknya. "I've to go now."

Stella hanya mengangguk dan memberi Niko sebuah kecupan panas di bibirnya. "Okay. See you later."

"Laters, Baby." Niko menyeringai saat melepaskan pelukannya dan menampar pantat Stella sebelum melesat keluar. Bahkan dia sempat memberiku sebuah lambaian tangan.

Did he just slap her ass in front of me? Dear God.

Yang baru saja mendapat sebuah tamparan sensual hanya merespon dengan tawa kecil dan wajah yang memerah.

Sarapan macam apa ini?

"Thank you for your inappropriate show. It was so epic," ucapku dengan sarkas.

Stella tertawa dan mendudukkan pantatnya yang baru saja ditampar oleh Niko di kursi kerjanya. "Sirik aja lo, Babe. By the way, thanks ya lo udah bantu gue buat ngomong ke Niko."

Aku tersenyum lega. "Anytime, Stella Matic. Apa sih yang engak buat sahabat gue."

"Tapi serius deh, gue engak tahu mau gimana lagi kalau tanpa bantuan lo. Mungkin gue udah pergi jauh entah ke mana …. "

"Lagu siapa itu?" sindirku. Stella hanya tertawa.

Stella memangku dagunya di tangannya, menatapku dengan tatapan sungguh-sungguh. "Tapi beneran deh. Gue lega rasanya. Cuma gue merasa aneh, kayak … utuh sekarang. Niko kemarin datang ke tempat gue, terus dia bilang kalau dia benar-benar serius sama hubungan ini. Gila ga tuh."

"Benar kan yang gue bilang. Enggak semua laki-laki itu berengsek."

"Iya, lo benar. Gue juga udah cerita semuanya ke Niko," ucap Stella yang membuatku memfokuskan mata kepadanya.

"Serius?"

Jadi dia tidak main-main kali ini. Syukurlah, akhirnya.

"Baru kemarin pertama kalinya gue nangis di depan Niko sambil cerita ke dia. Gue kayak yakin aja kalau Niko bisa dipercaya dan gue udah siap memulai semuanya sama dia." Senyuman penuh arti tersungging di bibirnya, mata Stella berbinar penuh harapan.

Jika kalian bertanya-tanya cerita apa yang membuat Stella trauma untuk jatuh cinta, ini dimulai saat kami duduk dibangku SMP. Tiga bulan sebelum Ujian Nasional, Stella malam-malam datang ke rumah orang tuaku dengan mata sembab dan badan yang basah kuyup karena hujan.

Saat mamaku membukakan pintu untuknya, Stella tersungkur di teras dengan badan yang menggigil, kami semua panik dan segera membawanya ke IGD. Mama dan papa berniat untuk menghubungi kedua orang tua Stella. Namun, dengan air mata yang mengalir dan suara parau, ia menolak untuk bertemu tante Jovanka dan om Gerald, tanpa menyebutkan apa alasannya.

Semalaman aku sekeluarga menemani Stella di IGD. Baru keesokan harinya ia diperbolehkan pulang karena demamnya sudah tidak terlalu tinggi. Mama dengan sabarnya meminta Stella bercerita mengapa malam-malam datang kerumah sendirian saat hujan lebat dan tanpa membawa payung pula. Ya, walaupun rumah Stella tidak begitu jauh hanya sekitar lima belas menit dari rumah orang tuaku. Meskipun begitu, tetap saja sangat bahaya untuk gadis kelas 3 SMP yang berjalan di malam hari seperti itu.

Stella bercerita jika kedua orang tuanya bertengkar dan memutuskan untuk berpisah. Tentu saja ia sangat terpukul. Ditambah lagi sekarang tante Jovanka tidak bekerja. Dulunya beliau adalah seorang karyawan di sebuah bank swasta, tapi setelah menikah, ayah Stella tidak mengijinkannya untuk bekerja lagi.

Ya, aku pernah mendengar jika tante Jovanka dilarang bekerja oleh suaminya karena menurut om Gerald, sudah tugas seorang laki-laki mencari nafkah dan istri mengurus anak-anak di rumah.

Pemahaman yang sangat tidak aku setujui.

Om Gerald bukan orang yang sabar, beliau sangat tempramental, itu salah satu alasan yang menyebabkan tante Jovanka tidak bisa lagi berkomitmen dengannya. Selama aku berteman dengan Stella, puluhan kali aku mendengar kedua orang tuanya bertengkar saat bermain ke rumah mereka. Sudah puluhan kali pula aku menjadi sandaran dikala Stella menangis menyaksikan kejadian tersebut. Saat itu Kirana, adik Stella masih duduk di kelas 6 SD, aku pun yakin jika ia sama terpukulnya dengan Stella saat mendengar bahwa kedua orang tuanya berpisah.

Beberapa bulan kemudian bertepatan dengan hari pertama masuk SMA, orang tua Stella resmi bercerai. Tante Jovanka yang sama sekali tidak bekerja pontang panting mencari nafkah untuk menghidupi kedua anaknya yang masih sekolah. Om Gerald sama sekali tidak memberi uang untuk mereka. Bahkan untuk membayar uang sekolah Stella dan Kirana pun tante Jovanka berhutang kepada mamaku.

Tapi mama tidak pernah mau menerima saat tante Jovanka mengembalikan uang tersebut. Mereka sudah cukup menderita karena om Gerald, tidak mungkin mama tega menerima uang itu. Hanya rumah peninggalan orang tua tante Jovanka yang mereka berdua punya kala itu.

Kini tante Jovanka telah sukses dengan usaha kue yang sudah berjalan sekitar lima tahun yang lalu. Itu semua berkat pinjaman bank serta uang hasil kerja keras Stella menjadi model salah satu clothing line di Jakarta sejak SMA dulu hingga ia lulus kuliah. Baru saat kami lulus kuliah, aku mengajaknya untuk bergabung membentuk Louroose.

Lalu untuk om Gerald, terakhir yang aku dengar, beliau sekarang berada di Singapura dan memiliki bisnis pariwisata di sana. Stella dan adiknya belum pernah sekalipun bertemu dengan ayah mereka lagi setelah perceraian itu.

Itulah yang membuat Stella sama sekali tidak percaya dengan cinta. Ia juga tidak ingin menjalin hubungan serius dengan laki-laki karena dia pikir, semua laki-laki akan bertingkah sama seperti ayahnya dulu. Yang melarang ibunya untuk bekerja dan menjadikannya hanya sebagai objek di rumah. Lalu setelah ditinggal pergi, ayahnya sama sekali tidak memberikan sepeser pun harta, melainkan luka yang menyakitkan hati.

Entah apa yang Niko tawarkan kepada Stella sehingga ia bisa menerima cintanya. Namun aku yakin, Niko adalah laki-laki yang tepat untuk sahabatku ini.

"Gue ikut bahagia buat kalian berdua. Terutama buat lo," kataku dengan tulus.

Mata Stella sedikit berkaca-kaca namun ia menahan semua itu. "Thanks, Babe. I don't know what I'm gonna do without you."

"Halah," cibirku. "Udah mellow-nya. Masih pagi ini."

"Okay. Anyway. Mantan lo gimana kabarnya?" Kini mata Stella berbinar dengan kejahilan.

Mantan?

Aku memutar mata saat mengecek gambar contoh sepatu yang sudah selesai dibuat melalui email. Mereka berjanji akan mengirimkan beberapa sample besok ke kantorku untuk kemudian siap dirilis tahun depan.

"Udah ketebak kalau lo yang kasih tahu Dion di mana gue tinggal sekarang. Lo juga kan yang sebarin nomor gue ke dia," kataku.

"Eh bentar ya, Bu. Gue enggak pernah kasih tahu Dion alamat apartemen lo. Bukannya dia ngantar lo pulang waktu itu?" Stella menyipitkan matanya.

Lalu dari mana Dion tahu?

"Dion enggak ngantar gue sampai apartemen ya waktu itu. Gue minta turun di depan pom bensin sebelum gedung apartemen sebelah. Tahu-tahu kemarin orangnya ada di depan pintu gue."

"Penuh kejutan ya dia. Tapi kalau soal nomor lo, itu gue yang kasih." Lalu dia tertawa. "Gimana? Udah dapat sexting belum dari doi?"

Sialan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro