Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sebab dan Akibat

Harap membaca catatan yang ada di bawah!

Aku terbangun dari tidurku dengan kaki kiri yang terasa seperti tersentak, jantungku berdetak kencang karenanya. Hal ini acap kali terjadi setiap aku tertidur di tempat asing, tempat yang dirasa belum pernah kudatangi.

Kupaksa kedua mataku yang masih terasa berat untuk terbuka, seketika aku menangkap bayangan seseorang yang sedang berdiri memunggungiku di sisi kanan tempat tidur. Butuh beberapa saat untukku tersadar jika aku sedang berada di kamar Dion, yang ada di kediaman Mahardika.

Lalu seseorang tersebut membalikkan tubuhnya, menghadapku. Ia tersenyum dan duduk di pinggiran tempat tidur. Ia masih mengenakan baju berwarna putih tulang yang lengannya ia gulung sampai siku dan celana panjang berwarna cokelat muda.

"Hai, kamu udah bangun," ucap Dion. Tangannya mengusap pipiku dengan lembut.

"Maaf ya, aku ketiduran," ucapku setelah menguap. Aku memegangi tangannya yang ada di pipiku, supaya tangan itu lebih mendekat lagi padaku. Kurasa Dion menyukai hal yang kulakukan, karena ia tidak bisa menyembunyikan senyuman itu.

"Enggak papa, kamu pasti capek. Mau minum dulu?"

"Boleh," jawabku.

Aku melepas tangannya supaya aku bisa bangun dan ia juga bisa mengambilkan segelas air putih yang ada di nakas. Ternyata ia sudah menyiapkan itu ketika menuju kemari, karena sebelum tidur tadi gelas itu tidak ada. Aku meminum air putih itu dan menghabiskannya seperempat gelas, lalu menaruhnya kembali di atas nakas.

Ekspresi yang ada di wajah Dion mengingatkanku pada pertengkaran tadi. Ia menatap jauh ke arah tirai warna keemasan yang tertutup rapat. Aku menyentuh tangannya yang ada di pangkuannya untuk menarik perhatiannya. "Gimana tadi?"

Dion melihat ke arahku sekilas, kedua matanya terlihat letih. Dari situ aku sudah bisa menebak jika masalah antara Randi dan Farah masih belum menemukan titik terang. Aku melipat kakiku ketika Dion menjauhkan dirinya di atas tempat tidur, terlentang dengan posisi vertikal, sementara kedua kakinya masih berada di lantai.

Ia mengusap air mukanya dan mengembuskan napas panjang. "Farah hamil dua bulan. Randi pergi dari rumah .... "

Aku hanya menatap ke arah Dion, menunggunya untuk melanjutkan ceritanya. Mungkin sekitar lima menit kami berdua saling diam, hanya suara kipas angin yang tergantung di atap kamar dan samar-samar suara air terjun buatan yang terdengar.

Dion melipat tangan kanannya di balik kepala sebelum berbicara lagi. "Farah sebenarnya udah tahu kalau dia hamil, seminggu setelah dia pulang dari rumah sakit. Salahnya dia, alat tes kehamilan yang menunjukan kalau dia positif disimpan di laci kamar mandi, tapi enggak ditunjukin ke Randi.

Kemarin, Randi menemukan itu, terus pas ditanya, Farah bohong kalau itu bukan punya dia. Dari situ Randi cerita kalau pas Farah keracunan kemarin, dokter sempat menduga kalau Farah hamil. Randi minta dia buat cek, siapa tahu rezekinya. Tapi Farah nolak … mereka sempat ribut kemarin."

Kenapa Farah masih aja bohong sih, padahal udah ketahuan?

"Tadi Randi sempat bilang kalau … Farah mau, mm … bunuh bayinya?" tanyaku dengan hati-hati. Kata-kata itu terdengar sangat mengerikan di telingaku. Bahkan aku bergidik saat mengucapkannya.

"Sebenarnya salah paham aja sih. Farah simpan obat buat gugurin kandungan, apa ya namanya tadi … gastron? Gas, apa gitu, lupa aku. Enggak tahu juga dapat dari mana. Orangnya makin nangis pas mama tanya soal itu." Dion melirikku sebentar dari ujung matanya.

"Farah udah minum itu?"

"Farah enggak minum obatnya sih, dia enggak mau kehilangan bayinya, walaupun masih takut buat hamil. Aku maklum kalau Randi marah. Aku juga bakal gitu kalau istri aku punya obat buat gugurin kandungan, padahal lagi hamil."

Aku menjilat bibirku, membenarkan posisi dudukku dan mendekat pada Dion. "Kamu jangan ikutan marah sama Farah, ya. Kasihan dia. Dia belum siap hamil apa lagi melahirkan buat yang kedua kalinya, malah sekarang beneran hamil. Itu pasti udah cukup buat dia stres, ditambah lagi Randi pergi dari rumah. Kamu jangan ikutan mojokin dia."

"Ya, aku berusaha buat netral di sini .... "

"Papa sama mama kamu gimana responnya?"

"Mereka pasti kecewa pas tahu ada obat itu, tapi sekarang udah ngerti kok. Cuma tadi papa sempat emosi, terus hajar Randi pas dia bilang mendingan cerai sama Farah kalau dia tetap nekat gugurin kandungannya." Dion mengembuskan napas dan merubah posisi tidurnya menjadi miring, menghadapku. "Itu yang bikin Randi pergi dari rumah. Aku enggak tahu harus gimana."

Aku hanya terdiam karena tidak tahu harus menjawab apa. Dion pasti juga bisa merasakan apa yang saat ini Randi rasakan. Sebagai anak kembar, mereka memiliki ikatan emosional yang sangat kuat. Terkadang, tanpa diberitahu pun, mereka bisa paham isi hati dan pikiran masing-masing.

"Aku kepikiran sama Sabrina," ucap Dion. Terlihat jelas kesedihan di raut wajahnya. "Baru pertama kali ini dia lihat orang tuanya ribut sampai kayak gini."

Sabrina masih terlalu kecil untuk memahami persoalan ini, tapi aku yakin ia sudah tahu jika kedua orangnya sedang tidak baik-baik saja. Kejadian tadi pasti membuatnya sangat syok, hal itu juga akan berdampak negatif bagi kesehatan mental Sabrina.

Jika seorang anak melihat orang tuanya bertengkar, itu akan mempengaruhi psikologi mereka. Anak akan mudah stres, mimpi buruk, menjadi nakal atau tidak terkendali, menyendiri dan bahkan kepercayaan terhadap orang tuanya pun bisa saja pudar.

Karena seharusnya orang tua menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi anak-anaknya.

Aku mengusap kepala milik Dion, membuatnya memejamkan mata akan sentuhanku. "Semoga dia baik-baik aja. Sekarang udah tidur anaknya?"

"Hmm … mungkin udah. Sekarang udah hampir tengah malam. Tadi sama mbak Heni langsung dibawa ke kamarnya. Aku belum cek ke sana sih."

"Kamu ngantuk?" tanyaku sambil memperhatikanku matanya yang masih terpejam.

Ini sudah malam dan aku harus pulang.

"Mm, enggak." Ia membuka matanya perlahan. "Kamu mau aku antar pulang sekarang?"

"Iya," kataku sambil masih membelai rambutnya. "Tapi kalau kamu capek, aku bisa cari taksi online. Enggak masalah."

"Jangan. Aku antar aja," kata Dion. Ia kemudian bangun dan mengulurkan tangannya padaku. Aku menyambut itu dan berdiri dari tempat tidur. Mengambil tas kecilku yang kuletakkan di atas sofa sebelum berjalan keluar mengikuti Dion.

Kulihat om Rudy dan tante Anna masih terjaga, mereka duduk di ruang keluarga yang ada di seberang kamar Dion. Keduanya terlihat sangat lelah.

"Ma … Pa, aku antar Steph pulang dulu ya," ucap Dion pada mereka.

Tante Anna yang pertama berdiri, diikuti om Rudy. Tante Anna memegang kedua tanganku, kedua matanya terlihat sembap. "Tante pikir kamu mau menginap."

Aku tersenyum kikuk. "Enggak, Tante. Terima kasih. Lain kali saja," ucapku tanpa berpikir dua kali.

Lain kali? Ya ampun, Steph. Yang benar saja.

"Ya sudah kalau begitu." Tante Anna mengangguk paham. "Stephanie, atas nama keluarga, tante sama om minta maaf karena kamu harus lihat kejadian tadi, ya. Tante benar-benar tidak menduga akan ada kejadian seperti ini." Kedua mata tante Anna berkaca-kaca.

"Tante sama om enggak perlu minta maaf," ucapku dengan sopan. Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana lagi selain itu. "Farah sama Sabrina, gimana keadaannya, Tante?"

Tante Anna tersenyum kecil. "Mereka udah tidur sekarang. Sabrina nolak pas Farah mau meluk dia tadi. Kasihan anak itu."

"Dia pasti trauma, Ma," ucap Dion.

"Iya, papa juga takut kalau Sabrina trauma," ucap om Rudy sambil mengusap wajahnya. "Randi itu sudah tahu anaknya belum tidur, kenapa juga harus ribut di rumah, pakai lempar toples teh segala. Anak itu udah berumah tangga, tapi masih aja enggak bisa kontrol emosi."

"Honey, udahlah," sela tante Anna. "Dion, kalau udah bisa hubungi Randi, ajak dia tinggal di rumah kamu dulu ya. Mama enggak mau dia berbuat aneh-aneh di luar sana nanti."

"Oke, Ma. Ya udah, aku antar Steph dulu."

Tante Anna mengangguk. "Hati-hati di jalan ya." Lalu beliau memeluk dan mencium kedua pipiku. Setelah itu aku pamit pada om Rudy dan bergegas berjalan keluar dari kediaman Mahardika karena hari semakin malam. Aku pun rasanya ingin segera tidur kembali.

Jalanan ibukota masih sesak dengan kendaraan bermotor meskipun hari sebentar lagi akan berganti. Ingar bingar suara klakson yang bersahut-sahutan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di dalam mobil sport milik Dion. Tidak ada pembicaraan sama sekali antara aku dan dia selama kami dalam perjalanan menuju apartemenku.

Aku paham dia pasti banyak pikiran. Jadi, aku juga tidak ada niatan untuk membuka obrolan.

Ponsel Dion berdering, tanda ada panggilan masuk saat kami masih terjebak dalam kemacetan. Nama Randi terlihat di layar 7 inci yang ada di tengah dashboard mobilnya.

"Randi," ucap Dion padaku, walaupun aku sudah melihat namanya. Aku hanya mengangguk sebagai balasan. Ia segera mengangkat panggilan itu melalui tombol yang ada di setir sebelah kanan.

"Lo di mana?" tanya Dion tanpa basa-basi pada kembarannya. "Kita semua khawatir sama lo."

"Di situ ada yang lain enggak?"

Dion berdecak. "Gue lagi di jalan, antar Steph pulang. Kenapa tadi gue telepon enggak lo angkat? Di mana lo sekarang?"

"Tadi gue masih marah, makanya enggak angkat telepon kalian," balas Randi. "Gue aman kok. Lagi di tempat lo."

"Lo di rumah gue? Kok bisa masuk?"

"Gue masih pegang kunci rumah lo." Randi terkekeh. Nada bicaranya berbanding terbalik dengan yang ia gunakan beberapa jam yang lalu.

Syukurlah kalau dia udah enggak emosi lagi.

"Dasar, lo." Dion mendengkus, meski aku bisa melihat kelegaan di raut wajahnya setelah mengetahui saudara kembarannya aman karena berada di rumahnya.

Randi tertawa kecil. "Ya udah, gue cuma mau kasih tahu itu aja. Oh iya, jangan lupa beli makanan, gue lapar. Di rumah lo ga ada yang bisa dimakan."

Lalu panggilan telepon pun terputus.

Perhatian⚠️⚠️

Obat yang dimaksud Dion, namanya GASTRUL. Obat ini sebenarnya untuk mengobati tukak lambung (luka yang ada di lambung, usus 12 jari, dan kerongkongan karena infeksi bakteri atau keseringan mengkonsumi obat anti nyeri).

Namun, karena obat ini mengandung misoprostol yang dapat memicu kontraksi otot polos pada miometrium (lapisan tengah dinding rahim) dan merelaksasi mulut rahim. Itu sebabnya obat ini sangat tidak dianjurkan bagi wanita yang akan atau sedang menjalani program hamil, maupun yang sudah hamil, karena akan berakibat fatal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro