Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Reuni

Sudah direvisi.

"Ini dia anaknya," ucap tante Anna dengan senyuman di wajahnya yang masih terlihat awet muda itu.

Senyuman yang diturunkan pada anak sulungnya. Dion cenderung mirip dengan ibunya, sedangkan Randi lebih mirip ayahnya. I know they're twins but they aren't identical, they are fraternal twins.

And look at them. Mereka memakai baju rancanganku dan menjadikannya semakin terlihat elegan. I'm so proud.

"Tante," sapaku dengan sopan. Aku mengulurkan tangan hendak memberikan selamat, tetapi seperti yang sudah-sudah, tante Anna menarikku ke dalam pelukan hangatnya. Aroma parfum mahal tercium olehku.

"Selamat atas ulang tahun pernikahannya ya, Tante," ucapku saat masih ada di dalam pelukannya. Sesaat setelah itu tante Anna melepaskan pelukannya.

"Terima kasih, Cantik. Tante berterima kasih karena kamu sudah menyempatkan untuk datang ke sini ya. Tante juga suka sekali baju rancangan kamu ini, pas buat tante." Anna menarik tanganku di genggaman kedua tangannya dengan lembut.

"Sama-sama, Tante. Terima kasih banyak, sudah mempercayakan Louroose," ucapku sungguh-sungguh.

Tante Anna tersenyum. "Apa kabar? Sudah lama kamu enggak main lagi ke rumah."

Ya jelas udah nggak pernah lah main ke rumah Tante lagi, orang anaknya aja musuhin aku.

"Baik. Tante sendiri bagaimana kabarnya?"

"Tante sangat baik," jawabnya. Senyumnya mengembang. "Akhir-akhir ini sibuk, tapi ya dinikmati saja kan," guraunya.

"Oh iya, selamat ya Tante atas ulang tahun pernikahannya," ucap Stella yang berdiri di sampingku. Sedangkan aku hanya tersenyum kikuk setelah merasakan dejavu yang rasanya membuatku ingin pingsan.

"Terima kasih. Kamu namanya siapa? Sepertinya tante baru lihat pertama kali."

"Saya Stella, Tante. Sahabat sekaligus partner bisnisnya Stephanie, juga teman sekolahnya Randi sama Dion dulu," jelas Stella.

"Oh, kalian satu sekolahan."

"Iya, Ma." Randi yang berdiri di samping ibunya tersenyum kikuk ke arahku.

Aku dan Randi memang baru bertemu lagi sekarang setelah dengan seenaknya dia menuduhku berakting seolah semuanya baik-baik saja. Bahkan, saat pengambilan baju yang seharusnya dia ikut kemarin, hanya Farah yang datang. Istrinya berdalih bahwa suaminya tidak bisa datang karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Tapi aku yakin, Randi pasti tidak ingin bertemu denganku setelah kejadian satu bulan yang lalu di butikku.

"Kamu sudah bertemu dengan Dion, Stephanie?" tanya tante Anna. "Dia baru pulang 3 hari yang lalu dari LA."

Jadi Dion bukan berada di Inggris tapi ada Amerika selama ini?

"Mm, iya. Sudah, Tante." Aku mengangguk pelan sambil tersenyum getir.

Sorot mata ketiga orang yang berdiri di depanku membuatku merasa lebih gugup.

"Permisi, Bu." Seorang wanita muda dengan setelan hitam putih dengan rambut yang dicepol ala paspampres wanita, datang dari arah belakangku. Dia membungkuk singkat dengan sopan pada tante Anna.

"Ada apa, Kartika?" tanya nyonya Mahardika.

"Maaf, Bu. Saya ingin menyampaikan bahwa Ibu Menteri Pariwisata sudah datang," jelasnya dengan nada yang monotone.

Tante Anna mengangguk, lalu wanita tersebut pergi meninggalkan kami.

"Kalau begitu saya tinggal dulu ya," ucap Anna, masih dengan tersenyum.

Setelah tante Anna berjalan menjauh dari kami berempat, Stella dan Farah terlihat sangat akrab. Mereka membicarakan perihal Sabrina yang rewel. Farah mengatakan bahwa anak semata wayangnya itu tidak terlalu suka keramaian dan memilih untuk berdiam diri di kamar bersama baby sitter. Sang kakek pun sedang berusaha untuk mengajak Sabrina keluar sebentar, minimal hanya untuk berfoto keluarga. Namun, sepertinya gagal. Aku hanya mengangguk sesekali mendengarkan ceritanya.

Randi yang berdiri di samping Farah dan masih terlihat canggung tiba-tiba berdeham. "Steph, bisa kita bicara sebentar?"

Apa maunya dia sekarang?

"Soal apa?" tanyaku asal.

"Sebentar aja." Matanya mengisyaratkan agar aku menuruti kemauannya. Aku melirik sejenak ke arah Farah, dia mengangguk, tanda setuju jika aku pergi bersama suaminya.

"Oke," jawabku.

Lalu aku beralih ke Stella. "Bentar ya."

"Oke, Babe."

Randi membawaku menjauh dari ballroom, lalu kami naik ke lantai enam dan di sana terdapat sebuah bar yang lumayan sepi. Aku berhenti di ambang pintu bar, sedangkan Randi tetap berjalan menuju di mana seorang bartender sedang meracik minuman dengan lihainya. Bartender itu menyodorkan satu gelas kosong dan sebotol whiskey kepada Randi, dia menerimanya lalu beralih melihat ke arahku.

"Kenapa lo cuma berdiri di situ?" tanyanya dengan satu alis terangkat keatas setelah menuangkan whiskey ke dalam gelasnya.

"Gue kira kita cuma mau ngobrol." Aku menggigit bibir bawahku seraya berjalan mendekatinya.

"Iya, memang." Randi menyeringai lalu meneguk minumannya dengan pelan.

Aku masih belum yakin obrolan apa yang ingin dibahas saat ini, obrolan yang lebih penting dari acara kedua orang tuanya yang masih berlangsung. Aku mengambil tempat duduk di salah satu bar stool. Bisa kucium aroma wewangian yang Randi gunakan dari tempatku duduk, lemon, musk, dan aquatic menyentuh indra penciumanku.

"Gue enggak punya waktu banyak," kataku sambil melihatnya yang meneguk minuman beralkohol itu.

Randi terkekeh menanggapiku. "You need to chill out."

Lalu wajahnya berubah menjadi serius. "Gue tahu lo kaget dengan adanya kembaran gue di sini. Maksudnya bukan di acara ini, tapi menemui lo tadi."

Napasku tercekat. "Gue biasa aja."

Again. Another lie came out of my mouth. Dosaku tambah banyak kalau begini caranya.

Randi tersenyum sinis, menatap lurus ke arah berbagai macam minuman yang berjejer rapi di rak. "Sure. Let's pretend that is true."

"Maksud lo apa sih?" gertakku. "Gue sama sekali enggak paham permainan apa yang lo buat sekarang. Apa pun itu, gue enggak mau terlibat, Ran."

Dia mengabaikanku lalu berbicara kepada bartender. "A strawberry martini for her, please."

"Gue ke sini bukan buat buat minum ya, Ran."

"I know, I insist. Come on, Steph, anggap aja ini buat merayakan pertemuan kita lagi kan."

Tak lama kemudian, seorang bartender menyodorkan segelas Strawberry Martini kepadaku. Aku mengucapkan terima kasih lalu melihat ke arah Randi lagi. Kini dia menatapku dengan getir.

"Gue ngajak lo ke sini sama sekali bukan karena Dion yang suruh gue, tapi gue cuma mau kasih tahu lo yang sebenarnya." Dia meneguk minumannya kembali.

"Soal apa?" Jantungku berdebar sangat kencang mendengar mama Dion.

"Dia sama hancurnya, Steph. Kepergian dia ke London dulu itu bukan semata-mata kemauan dia sendiri, tapi bokap yang minta Dion buat ke sana. Bokap sempat mau menjodohkan dia sama anak partner bisnis keluarga kami yang mana orang itu pemegang saham terbesar di perusahaan kami yang ada di London." Randi melirik ke arahku sejenak dan aku masih belum berkutik. Terlalu banyak jawaban yang aku dapat malam ini, dan ini membuatku merasa begitu sesak.

Aku menyesap sedikit minuman yang ada di depanku, rasa asam dan manis dari stroberi mendominasi lidahku. Namun, ada rasa dari black pepper dan tentunya sedikit rasa pahit dari Gin. Aku menikmati setiap tegukan yang mengalir di tenggorokanku. It's so refreshing to be honest.

Aku menghela napas. "Terus kenapa dia enggak bilang sama gue? Gue ini teman dekatnya dia, Ran. Selama ini gue kayak orang bego yang nggak tahu ke mana dia pergi. Apa alasannya?"

Randi menyeringai seperti sedang mengejekku. "Kalau lo mau tahu alasan kenapa Dion enggak kasih tahu lo, mendingan tanya langsung sama orangnya. Gue cuma minta lo buat jujur sama diri lo sendiri karena gue capek dijadiin tempat curhatannya."

Aku tertawa sumbang. "He acts like nothing happened between us. How can I ask him about that?"

Aku rasa malam ini bukan malam yang baik untuk tubuhku mendapat suntikan alkohol, pasalnya hanya beberapa kali tegukan pun aku sudah merasa berbeda. Sekarang aku jadi merasa hypocrite karena telah melarang Stella untuk tidak minum, tapi aku sendiri menikmati minumanku saat ini.

"Jadi dia sekarang udah sama cewek itu?" tanyaku.

"Well, she's here so," jawab Randi dengan santai.

Jadi perempuan yang memakai hijab itu tadi yang dijodohkan dengan Dion?

"Then what's the point? You even called me full of bullshit and pathetic." Suaraku mulai meninggi.

"I've never said that," belanya. Alis matanya berkerut.

"Sama aja. Dengan kata lain kan." Aku meminum semua yang tersisa di gelasku dan memejamkan mata sejenak.

"Jadi apa yang gue lakukan selama ini udah benar kan, lebih baik gue diam daripada ngerusak hubungan orang," lanjutku. "Gue juga udah berhenti kirim surat ke dia. Terus apa maksud lo ngomong gini ke gue? Udah enggak ada gunanya lagi, Ran."

Mataku terasa begitu panas menahan air mata.

"You're wrong, Steph." Suara yang tiba-tiba datang dari arah belakangku bener-bener mengagetkan.

Aku berbalik arah dan hampir saja terjatuh dari kursi kalau saja Randi tidak memegangi kursi yang kududuki. Dion berdiri di sampingku dengan hanya memakai kemeja putih dan celana kain berwarna hitam, dasi dan jasnya sudah ia tanggalkan. Sebuah ikat pinggang yang simple dari merek Gucci melingkar di pinggangnya.

Aku menjilat bibir bawahku. Ya, Tuhan.

"Alright, it's my cue to leave." Randi bersuara dengan seringgai di wajahnya, dia menggapai pundakku. "Oh, I'm sorry for what I said when we were at your store. I apologize for that one."

Randi pun meninggalkanku dengan kembarannya. Hanya satu yang aku takutkan, bagaimana jika tiba-tiba aku jatuh pingsan karena jantungan sekarang? Demi apapun aku tidak siap akan hal ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro