Pesta
Sudah direvisi.
Aku yakin jika mempunyai masalah pernapasan alias asma, pasti detik ini juga aku sudah terkapar di dalam mobilku. Pendingin ruangan yang ada di mobil terlihat di angka dua biasanya kurang mempan mengusir udara panas ibukota, tapi tidak untuk malam ini.
Tanganku bergetar merasakan hawa dingin ini, roti panggang yang ku makan tadi sore pun rasanya memaksa ingin keluar.
Yes, my anxiety just kicking me really hard. Damn.
Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela dan tersadar jika sebentar lagi sampai di tempat tujuan. Lalu lintas malam ini pun tidak cukup bersahabat. Bayangkan saja, butuh waktu hampir 60 menit untuk sampai di MRS yang sebenarnya jaraknya tidak kurang dari 6 kilo meter dari apartemen yang kutempati. Namun, ada sedikit rasa lega karena aku bisa mengulur waktu untuk sampai di MRS.
"Lo kenapa udah kaya orang mau di hukum mati aja gitu?" Stella dengan santainya bertanya sambil memoles bibirnya. Kalau aku tidak salah, ini sudah yang ke-3 kalinya ia mengaplikasikan lipstick selama di perjalanan.
"Apaan, orang gue enggak kenapa-kenapa," jawabku sambil melirik traffic light yang sudah menyala hijau. Kaki kananku melepas injakan pedal kopling pelan-pelan dan mobilku melaju perlahan meninggalkan lampu merah terakhir sebelum sampai di MRS.
Suasana sudah sangat meriah, wartawan dari berbagai televisi nasional sudah siap di depan MRS maupun di depan lobi. Mereka memang tidak diizinkan untuk masuk ke dalam MRS, jadi mereka hanya meliput para tamu yang hadir dari luar tempat acara. Alunan musik pop yang dinyanyikan oleh penyanyi papan atas Indonesia terdengar saat aku dan Stella memasuki ballroom.
"Wah gila, mereka bisa ngundang Rosaline juga," ucap Stella dengan mata berbinar melihat kearah panggung dimana penyanyi idolanya sedang membawakan lagu tentang cinta.
"Gue dengar-dengar bayaran dia kan sampai 300 juta sekali nyanyi. Itu cuma dua atau tiga lagu lho, Babe, " lanjutnya.
"Segitu buat mereka gampanglah carinya," timpalku asal seraya membenarkan gaun panjangku yang menyapu lantai.
"Babe, ini ada outdoor party enggak sih?" Stella berbisik kepadaku.
"Kurang tahu gue. Emangnya kenapa?"
"Soalnya setahu gue, ada bar yang cozy di sini. Letaknya di rooftop," jelas Stella dengan senyuman miringnya.
"Please, don't get drunk. Just for tonight okay. I mean it," ucapku dengan serius.
"Okay, Mom. Jeez, chill out." Stella memutar matanya dan menyeretku lebih masuk ke dalam ballroom.
Tidak banyak orang yang kukenal di sini, rata-rata mereka mempunyai bisnis yang sama dengan keluarga Mahardika dan selebihnya ada beberapa kalangan selebriti, bahkan beberapa pejabat terlihat hadir. Mungkin hanya aku dan Stella yang datang dari kalangan biasa saja dari sekian banyak tamu yang mereka undang.
Stella mengambil dua gelas champagne dari nampan seorang wanita yang memakai celana hitam dan baju putih. "Minum dulu, biar enggak tegang."
Tanpa berpikir dua kali, aku langsung meneguk champagne itu hingga abis dalam satu tegukan. Menutup mataku untuk beberapa detik saat aku merasakan cairan minuman beralkohol itu masuk di dalam tubuhku, lalu kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Rasa manis dari buah-buahan yang di fermentasi seketika membuat kepalaku sedikit lebih tenang.
Masih belum kupercaya bahwa aku sekarang berada di acara keluarga Mahardika. Tidak pernah kubayangkan aku akan datang lagi ke acara mereka setelah kejadian tujuh tahun yang lalu. Ya, memang ini bukan salah mereka, tapi tetap saja ada perasaan yang aneh ketika mendengar berita tentang tentang keluarga ini. Ditambah lagi pertemuanku dengan Randi bulan lalu yang secara tiba-tiba.
"Wah, santai, Bu." Terdengar gelak tawa Stella yang mana aku hiraukan. "Masih sore ini."
"I didn't know you could swallow that fast," ucap seorang laki-laki dari arah belakangku.
Aku hampir saja tersedak ludahku sendiri.
Mataku terbuka dengan cepat dan aku menemukan dia … berdiri di hadapanku dengan gagahnya. Memakai kemeja berwarna putih, jas berwarna biru tua, serta celana berwarna hitam, dan dasi kupu-kupu yang menambah kesan klasiknya.
Aku tahu bahwa keputusan untuk datang ke acara ini akan ada konsekuensinya, yaitu bertemu dengan Dion. Mataku berkedip beberapa kali untuk memastikan bahwa yang kulihat ini bukan Randi. Laki-laki yang berdiri di hadapanku ini tidak memiliki mata coklat terang, melainkan sepasang mata berwarna hijau dengan pinggiran coklat terang yang memandangiku dengan sangat intense.
Ratusan pasang mata tertuju kepadaku dan laki-laki di sebelahku yang tidak sekalipun melepaskan tangannya yang melingkar pinggangku saat kami berjalan memasuki ballroom MRS. Bisa kudengar suara pembawa acara yang berdiri di samping panggung dengan lantangnya mengumumkan kedatangan anak tertua dari pasangan Rudy dan Annaliese Mahardika.
Aku melirik ke atas dan menangkap Dion sedang tersenyum ke arahku. Tangannya memelukku lebih erat saat kami hampir sampai di panggung, kedua orang tuanya dan Randi sudah berada di sana dengan senyuman yang tidak kalah semringah.
Setelah sampai di panggung, aku bergegas memberi selamat kepada ayah Dion atas ulang tahun pernikahannya. Beliau mengucapkan terima kasih dan tersenyum hangat kepadaku. Kemudian aku beralih ke Anna, ibunda Dion.
"Terima kasih sudah datang ya, Cantik, " ucap Anna dengan suaranya yang sangat lembut. Tangannya menggengam tanganku.
"Sama-sama, Tante." Aku tersenyum "Seharusnya saya yang berterima kasih sudah diundang ke acara ini."
Ibunya meremas pundakku dengan halus sebelum memelukku. Setelah itu, Rudy Mahardika memberikan sambutan dan ucapan terima kasih kepada para tamu undangan dan diakhiri dengan bersulang untuk delapan belas tahun perjalanan pernikahannya dengan Annaliese.
"May I get the honor to have a dance with you?" Dion berbisik di telingaku, hembusan hangat napasnya berhasil membuatku merinding dan memejamkan mata sesaat.
"Do I have a choice?" balasku dengan menaikan satu alis.
Dia menyeringai. "Hmm, now that you're my date for tonight, I don't think so." Aku terkekeh lalu menyambut tangannya yang sudah menungguku.
Randi dengan semangatnya tertawa dan menepuk pundak Dion. "Akhirnya kembaran gue enggak jomblo lagi."
"Kampret lo," balas Dion sambil bergumam sebelum membawaku ke lantai dansa.
"Aku udah ngomong belum kalau kamu cantik banget malam ini?" bisik Dion saat aku mengalungkan tanganku di lehernya.
"Hmm, aku enggak ingat," ucapku dengan menggigit bibirku untuk menahan senyuman yang sepertinya sangat susah untuk ditahan.
Dion tertawa pelan, pupil matanya melebar saat ia mengeratkan lengannya yang ada di pinggangku. Dia membawaku ke pelukannya dan berbisik di telingaku. "You aren't just beautiful tonight, but you're so mesmerizing."
Seketika itu aku merasakan kehangatan di dalam diriku yang belum pernah aku rasakan. Aku merasa dihargai, diapresiasi , dan dicintai oleh orang lain yang bukan sedarah denganku. Itu adalah perasaan yang tidak ternilai. Belum pernah aku merasa begitu nyaman dengan seseorang, hanya Dion yang bisa membuatku merasa seperti permata yang sangat berharga.
"Holy shit!" Kudengar Stella berbisik.
I swear to God, my hands are shaking like crazy right now. And I bet I'm not the only one who can hear the beat of heart, cause I see those smirk suddenly appear on his lips.
Those lips. That things, that stole my first kiss seven years ago. Damn.
Aku mengedipkan mataku berkali-kali untuk memastikan lagi bahwa aku tidak salah melihat dan sayangnya memang Dion sedang berdiri di hadapanku. Sialan.
"Gila, enggak nyangka gue bisa ketemu lo lagi," ucap Stella dengan nada yang terlalu bersemangat dan terkesan dibuat-buat.
"Stella Matic." Dion terkekeh. "Masih sama aja lo kayak dulu."
"Yaiyalah, gue ini orangnya konsisten," jawab Stella dengan menaikan satu alisnya. "Tapi tambah seksi kan gue?"
Dion hanya tertawa menanggapi ucapan Stella, lalu matanya beralih melihatku yang berada di belakang Stella. Dia tersenyum, memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki, lalu menatap lurus mataku.
"Steph, it's been awhile." Tangannya menyusup ke dalam saku celananya.
"Iya." Suaraku terdengar seperti orang yang habis tersedak. Sialan.
Aku tahu ini semua yang aku minta kepada Tuhan setiap harinya, agar dia mempertemukan lagi aku dan Dion. Namun, sekarang melihat dia berdiri di hadapanku malah membuatku berlari sejauh mungkin dari tempat ini. Kemana saja asalkan tidak ada Dion.
"Apa kabar?"
Stella seketika beralih menatapku dengan aneh, bahkan aku sendiri juga tidak menyangka bahwa aku bisa bertanya seperti itu.
Dion tertawa pelan, sudut matanya berkerut dan bibirnya membentuk senyuman yang sempurna. "Baik. Senang bisa balik lagi ke sini."
"Good to hear that," gumamku. Sekuat tenaga menahan air mataku agar tidak jatuh di tengah pesta dan mempermalukan diriku sendiri.
No, Steph. You won't cry in front of him, not right now, not again, not anymore. Tunjukan kalau kamu tidak lemah, tidak lagi memikirkan dia yang sudah dengan teganya meninggalkan kamu.
Seorang dengan tuksedo datang menghampiri Dion dan membisikan sesuatu di telinganya, sesaat ekspresi Dion berubah menjadi kaku. Dia mengangguk dan menyuruh laki-laki tersebut pergi.
"Excuse me ladies." Dion tersenyum dengan dibuat-buat ke arahku dan Stella. "Enjoy the party." Lalu dia pergi menuju sudut ruangan di mana disana terdapat seseorang perempuan mengenakan hijab dengan gaun panjang berwarna putih.
Dia siapa?
Dion terlihat berbicara serius dengannya dan perempuan itu beberapa kali mencoba mengandeng lengan Dion, tetapi ia tepis.
"Holy fuck!" Stella berseru mengalihkan perhatianku. "Kenapa dia tambah ganteng sih?"
Alis mataku berkerut mendengar kata-kata Stella. "Apa?"
"Lo liat kan tadi, Dion makin tua makin jadi. Ya, gue tahu dia baru 25 tahun, tapi tetap aja. Gila nggak tuh, baru tujuh tahun enggak ketemu makin mempesona aja ya itu cowok."
Baru saja aku membuka mulut untuk menceramahi Stella karena sudah bicara dengan suara yang keras, aku melihat Anna Mahardika berjalan ke arahku didampingi oleh Farah dan Randi.
Ya Tuhan.
"Ini dia anaknya," ucap tante Anna.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro