Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Pesan Suara

Sudah direvisi.

Suara lembut dari pendingin ruangan terdengar sangat keras jika kamu tiba-tiba terbangun dari mimpi yang tidak masuk akal. Aku menoleh ke arah jam yang menunjukan pukul 05:36 pagi. Mataku menatap langit-langit kamar yang polos, sedangkan otakku kembali memutar adegan dalam mimpi yang baru saja aku alami.

Dion. Aku kembali bermimpi tentangnya.

Di dalam mimpiku, aku dan Dion kembali ke masa saat kami SMA dulu.

Kami berada di ruang kelas dengan memakai seragam putih abu-abu. Aku dan Dion duduk berhadapan dengan meja sebagai pembatas, tapi tidak saling berbicara, hanya saja kami saling tersenyum.

Lalu ia mengajakku keluar kelas dan menuju tempat yang gelap, seperti basement. Ia menggandeng tanganku saat kami melewati tempat itu, tempat yang penuh dengan wajah-wajah asing, sepertinya mereka memperhatikan setiap langkah kami.

Aku menunduk, menghindari tatapan menilai mereka. Sesaat setelah itu, kami berada di tempat yang luas, seperti tanah lapang. Lalu Dion berbicara padaku, tetapi aku tidak bisa mendengar suaranya. Ia membelai wajahku dan mengusap lembut bibirku, lalu menarik tangan kananku untuk mendaratkan kecupan di sana.

Setelah itu ia pergi menjauh, berjalan menuju cahaya yang sangat terang dan menghilang di sana. Aku panik, ingin sekali menyusulnya, tetapi kakiku tertahan. Hujan mulai turun dengan derasnya, dari arah sampingku sekelompok anak balita berjalan beriringan. Mereka memakai topeng yang menyeramkan dan memakai baju tradisional lengkap dengan tombak tajam yang berukuran mini.

Salah satu di antara mereka mencoba menghampiriku dengan tombak yang menjurus ke arah dadaku. Aku berteriak memanggil nama Dion, memohon pertolongannya. Aku menutup mata dengan ketakutan yang luar biasa.

Sedetik kemudian hujan mulai berhenti dan aku sudah berada di dalam dekapan hangat seseorang yang sampai sekarang masih membuatku takjub akan pesonanya.

"Shh, ini aku."

Aku menghela napas panjang lalu mendudukkan diri di pinggir tempat tidurku. Mengusap wajahku dan pergi menuju kamar Adrian untuk membangunkannya.

Semalam sebelum aku tertidur, mama menghubungiku karena tidak bisa menelepon anak lelakinya. Mama mengingatkan bahwa pesawat yang akan mengangkut kami menuju Jogja berangkat pukul 11 siang. Barang-barang yang akan kubawa sudah siap di dalam koper.

Mengingat Adrian sangat susah bangun pagi akhir-akhir ini, aku diberi tugas untuk menyeretnya keluar dari tempat tidur.

Yang benar saja.

Aku mengetuk pintu kamar Adrian. "Mas?"

Untuk ketiga kalinya masih belum ada jawaban dari sang pemilik kamar. Aku mendorong pintunya dan melesat masuk ke dalam. Dengan hati-hati aku berjalan menuju tempat tidurnya karena Adrian memiliki kebiasaan menaruh sepatu tidak pada tempatnya, ia biarkan begitu saja berserakkan di lantai bersama beberapa pakaian kotor. Lalu ditambah lagi ia lebih memilih tidur dalam keremangan lampu kecil yang tidak lebih dari 2,5 volt.

Adrian masih terlelap di dalam selimut hitamnya tanpa menggunakan kaus, tidur dengan posisi tengkurap sambil memeluk salah satu gulingnya. Aku tersenyum jahil saat ujung telunjukku menyentuh pipi kirinya dengan sedikit tekanan, tapi ia sama sekali tidak bereaksi. Matanya tetap terpejam dan napasnya dengar teratur. Adrian bukan tipe orang yang berisik saat tidur, ia lebih mirip seperti orang mati saking sulitnya dibangunkan.

"Mas," panggilku sambil menggoyangkan pundaknya. "Bangun dong. Pesawat kita berangkat jam 11 siang nanti. Ini udah jam 9 pagi. Cepetan bangun."

Sudah aku lebihkan jamnya, tapi masih belum ada reaksi. This is useless!

Aku mendengkus pelan lalu berjalan ke arah tempat kosong di sisi lain tempat tidurnya dan menjatuhkan diriku di samping Adrian, menjadikan pinggangnya sebagai bantal. Gerakan naik turun yang dihasilkan saat ia menarik dan mengembuskan napas terasa nyaman, yang mana membuatku memejamkan mata dan kembali lagi memutar ingatan soal mimpiku.

Apa maksud dari semua itu ya?

Siapa rombongan anak kecil yang menyeramkan itu?

Mengapa mereka membawa senjata tajam?

Kuharap semua itu hanya bunga tidur yang tidak berarti apa-apa. Saat mataku mulai terasa berat dan ingin kembali tertidur, Adrian bergerak membenarkan posisi tidurnya.

"Mas?" Aku menghadap ke samping lalu menarik rambutnya pelan.

"Ergh .... "

"Bangun belum sih kamu?" tanyaku sambil menepuk pundak polosnya. Adrian mengerang dan bergumam di dalam tidurnya.

Aku memutar mata lalu bangun dari posisi tidurku. "Kalau kamu enggak bangun sekarang, kita bisa telat nanti, Mas."

"Hmm .... "

"Kita harus ke Jogja siang ini. Pesawatnya take off  jam 11 nanti."

Adrian memutar badannya menjadi posisi terlentang yang membuat selimut hitamnya sedikit tersibak dan memperlihatkan celana pendek Nike yang ia pakai.

Adrian mengusap matanya dan menatapku dengan bingung. "Apa tadi? Jogja? Emang ini hari apa?"

"Ini hari dimana kita harus bangun terus mandi biar enggak ketinggalan pesawat," jawabku asal dan mendapatkan dengkusan dari kakakku.

"Ya ampun, udah sana cepat bangun, astaga. Aku mau mandi terus bikin sarapan." Aku bergegas keluar dari kamar Adrian lalu menuju kamarku untuk bersiap-siap.

Suasana di dalam pesawat ini cukup ramai, hanya beberapa kursi kosong tak berpenghuni di deretan depan. Aku duduk bersama Adrian dan memilih untuk menempati kursi dekat jendela agar aku bisa melihat jelas pemandangan langit yang terlihat cerah.

Sedangkan mama dan papa duduk di belakang kami. Mereka masih terdengar 'berdiskusi'. Mama yang tidak henti-hentinya menyalahkan papa karena lebih memilih membawa jas cokelat tua dari pada pilihan mama yang berwarna abu-abu.

"Kamu kemarin yang minta pendapatku kan? Katanya suruh pilih mana yang cocok. Eh kok malah bawa yang itu," protes mama dengan suara pelan, tapi masih terdengar olehku dan Adrian yang duduk di depannya. Aku rasa penumpang lainnya pun juga bisa mendengar mereka.

"Ya udah, cuma masalah jas aja. Cokelat juga bagus. Kamu juga kan dulu yang pilihin pas beli," kata papa.

"Ya ampun, Evan, Sayangku. Tapi cokelat itu enggak matching sama gaun yang aku bawa. Nanti kalau di foto, kita berdua kontras."

"Honey, masalah matching atau enggak kan bisa disesuaikan. Udahlah, bisa darah tinggi kamu nanti ngomel terus." Papa terdengar santai seperti biasanya saat menghadapi istrinya yang terlalu mempermasalahkan hal kecil.

"Kamu doain aku biar sakit ya?"

"Tuh kan salah paham lagi. Adrian, kamu tadi kayaknya bawa obat tidur. Kasih ke mama kamu nih, biar diam."

Adrian dan aku spontan tertawa. Mama yang tidak terima masih ngomel, tetapi sesaat kemudian terdiam setelah papa berjanji akan mengganti cat rumah dengan warna broken white dan bukan warna putih biasa seperti sekarang.

Sebuah pesan masuk ke aplikasi WhatsApp di ponselku. Jantungku kembali berdetak dengan sedikit kencang saat mendapati pesan tersebut berasal dari Dion. Ia mengirimkan dua pesan suara.

Aku melirik Adrian yang duduk di sampingku, memastikan ia tidak mengetahui pesan dari Dion.

Aku buru-buru mengambil earphones yang kubawa di tas kecil,lalu segera menghubungkannya ke ponselku.

"Good morning, Gorgeous." Suara berat dengan logat Amerika yang kental itu terdengar bak melodi di telingaku.

"I just wanna let you know that I dreamt about you last night and it was so wonderful to be honest. I haven't stopped smiling since I woke up. You know what, Steph, somehow I knew that ever since day one you were the best thing that ever happened in my life. It was always you, Stephanie.

London made me realize how much you love me. From every word that you put into your letters, from your tears that dried in the corner from one of the letters that you sent to me. Cause there's a black stain from your mascara, I assume. I noticed that, you know. The ink faded a little bit at the word 'miss'."

Lalu kudengar tawa kecilnya. Dion memiliki suara yang khas. Suara yang terdengar seperti ia tidak terlalu membuka mulutnya ketika berbicara, tapi jika ia tertawa, kamu pasti tidak akan bisa menahan bibirmu untuk tidak membentuk senyuman.

Atau bahkan kamu juga akan ikut tertawa tanpa mengerti apa yang ia tertawakan.

Tenggorokanku tercekat. Aku hampir saja menjatuhkan air mata, tapi dengan sekuat tenaga aku menahannya. Untung saja aku memakai kacamata hitam, kalau tidak Adrian pasti curiga dengan mataku yang berair ini.

Ya Tuhan.

Dion masih menyimpan semua surat yang aku kirimkan dulu untuknya. Dia masih menyimpan dan mengingat setiap detail di dalamnya, bahkan air mataku yang mengering di sana pun ia tahu. Aku menghirup napas dalam-dalam dan membuangnya perlahan.

Dadaku terasa begitu penuh, sesak dengan kebahagiaan. Ingin rasanya berteriak untuk mengekspresikan betapa senangnya aku saat ini.

Aku mendengarkan pesan kedua ….

"I often blamed myself for what I did to you. It was so selfish, I know. And you're right, I should've told you from the start instead of being an asshole and just left. You know what, I kinda miss your kiss. It's been awhile right. Steph, I really hope that you can give me a second chance. I promise to be a better man for you this time. Well, I guess that's all I have to say for now or I'll go sentimental anytime soon if I don't shut up. See you really soon, Angel Face."

Mimpinya Stephanie benar-benar kejadian nyata yang aku mimpikan tahun lalu. Sama persis kayak gitu.

Aku tipe orang yang susah lupa ya, kadang mimpi yang udah lama aja masih ingat sampai sekarang 😆

Oh iya, chapter selanjutnya kalian akan melihat bagaimana dulunya Stephanie dan Dion saat berada di Jogja. Kalian akan kubawa ke tempat yang mereka kunjungi dulu. Stay tune 😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro