Pertengkaran
"Terima kasih sudah mencintai anak tante ya, Steph."
"Tante berharap kalian berdua bisa segera melanjutkan ke jenjang yang lebih serius lagi, ya. Beberapa hari yang lalu, Dion membicarakan hal itu dengan om dan tante. Kami sudah setuju."
Saat mendengar itu, jantungku terpacu cepat dan dadaku menghangat. Aku hanya bisa tersenyum dengan air mata yang mengalir bebas di pipi, terharu akan ucapan tante Anna. Curahan hati yang tulus dari seorang ibu selalu bisa membuatku terenyuh.
Dion sudah memberitahu kedua orang tuanya mengenai keinginannya untuk menikahiku, tapi keluarga sendiri bahkan belum tahu sama sekali jika Dion sudah ada di Indonesia lagi sekarang.
Semakin membuatku merasa bersalah saja.
Kata-kata tante Anna terus terngiang di dalam kepalaku, ini membuatku tidak berkonsentrasi saat acara makan malam berlangsung. Bahkan saat om Rudy menanyaiku tentang dari mana aku mendapatkan nama Louroose, beliau harus mengulang pertanyaannya karena aku baru tersadar dari lamunanku setelah Dion menyentuh pahaku.
"Maaf, Om," ucapku dengan senyuman gugup.
Lalu aku berdeham sebelum berbicara lagi, "mm, itu sebenarnya enggak sengaja, Om. Waktu itu di kelas lukis yang saya ambil pas kuliah, dosen saya menyuruh mahasiswanya untuk menggambar hewan. Saya pilih walrus … jadi pas saya cari nama buat bisnis saya, langsung kepikiran walrus itu. Semacam pelesetan mungkin ya. Ya sudah, kata itu saya jadikan merek sekaligus nama butik saya."
Memang benar begitu ceritanya. Stella pun tidak bisa berhenti tertawa ketika mendengar asal muasal nama Louroose. Namun, ia tetap menyetujuinya.
Om Rudy, tante Anna, dan Farah tergelak. Bahkan Dion pun tidak bisa menahan kekehannya. Hanya Randi dan Sabrina yang bergeming, mereka berdua sibuk menyantap makanannya. Maksudku, Sabrina yang sibuk menyantap makanannya, tetapi Randi hanya menatap seafood di hadapannya dengan bosan.
Tidak biasanya kembaran Dion tersebut bersikap seperti itu. Bahkan saat tahu aku datang, tidak ada candaan yang keluar dari mulutnya. Hanya senyuman terpaksa dan basa-basi yang membosankan.
Ada apa dengannya?
"Kamu ini lucu ya ternyata, Steph," ucap tante Anna sambil terkekeh. "Tapi dari ketidaksengajaan, hasilnya luar biasa sekarang, iya kan. Tante suka banget baju yang kamu rancang itu, yang dipakai pas anniversary om dan tante."
"Syukurlah, kalau tante suka. Terima kasih." Aku tersenyum kikuk dan mengusap alisku untuk menutupi kegugupanku.
Setelah selesai makan malam, om Rudy dan tante Anna mengajakku beserta Dion berbincang di halaman belakang, sambil meminum anggur putih yang memiliki cita rasa berkelas. Sementara Randi dan Farah mengurusi Sabrina yang tiba-tiba saja rewel. Mungkin karena mengantuk, mengingat ini sudah sekitar jam setengah sembilan malam.
Suasana pada malam hari di rumah milik keluarga Mahardika ini terasa begitu hangat. Suara gemercik yang berasal dari air terjun buatan di tembok sebelah kanan di halaman belakang, lalu banyaknya pepohonan besar menambah kesan natural di rumah ini.
Satu hal yang baru aku sadari, semua lampu di rumah ini menggunakan lampu berwarna kuning. Dari mulai lampu taman, hingga ruangan yang ada di dalam rumah. Menjadikan rumah ini terasa lebih romantis.
Rudy dan Anna Mahardika adalah tipe orang tua dengan kesibukan segudang. Meskipun begitu, sejauh yang aku tahu, mereka tetap berusaha untuk mempunyai waktu berkumpul bersama. Minimal berbincang santai sebelum tidur. Atau jika mereka sedang tidak bersama, mengirimkan pesan singkat akan menjadi gantinya. Itu yang kutahu dari Dion.
Mungkin itu juga yang membuat kehangatan keluarga ini bertahan hingga sekarang. Meski Dion tidak tinggal serumah lagi dengan mereka dan jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
"Om dengar dari Dion, kamu mau launching baju ya?" tanya om Rudy sesaat setelah menyesap anggurnya. Kedua mata birunya mengamatiku.
Aku mengangguk pelan sambil tersenyum. "Iya, Om. Kalau lancar, rencananya bulan Januari akan diselengarakan nanti."
"Persiapannya sudah sampai mana, Steph?" tanya tante Anna sambil menyandarkan kepala di pundak suaminya.
"Mm, persiapannya sudah sekitar 80%, Tante. Gedung yang mau dipakai sudah dipilih, saya dan Stella, juga sudah diskusi dengan event organizer. Semua produk sudah selesai dibuat. Kami sengaja mempersiapkannya jauh-jauh hari biar enggak kelabakan nantinya," jelasku pada mereka.
"Konsepnya apa, Steph?" Tante Anna bertanya lebih jauh lagi. Beliau mengisi kembali gelasnya dengan anggur putih. Kurasa keluarga Mahardika ini gemar minum.
"Mm, saya memilih konsep pernikahan, Tante," jawabku jujur. "Jadi nanti tamu undangan akan terasa seperti menghadiri resepsi pernikahan sungguhan. Nanti juga akan menggunakan efek 3D, Tante."
Aku merasakan tangan Dion melingkar di pinggangku. Saat aku menoleh, ia mengangkat kedua alisnya dan tersenyum menggoda.
Kenapa dia?
"Wah, kamu kayaknya udah enggak sabar ya, buat naik ke pelaminan," gurau tante Anna sebelum menyesap anggurnya.
"Cepat ambil tindakkan, Dion. Stephanie udah kasih kode juga. Kamunya enggak paham-paham," goda om Rudy yang disambut gelak tawa istrinya dan Dion. Aku pun hanya terkekeh sambil mengusap lenganku. Wajahku sudah memanas akibat meminum anggur ini dan ditambah lagi guyonan om Rudy yang semakin membuatku malu.
"Tunggu aja, Pa," jawab Dion. Ia menarikku mendekat padanya dan mengecup kepalaku.
Saat kami berempat masih bercanda gurau di halaman belakang, tiba-tiba terdengar suara pecahan benda yang menggema dari dalam rumah. Sesaat kemudian, suara tangis yang berasal dari Sabrina terdengar nyaring.
"Ada apa itu?" Om Rudy bergegas masuk ke dalam, diikuti tante Anna, Dion dan juga aku.
Keributan semakin terdengar kala kami berjalan menuju dapur. Suara Randi dan Farah yang sedang berargumen, berpadu dengan tangisan Sabrina yang semakin menjadi. Aku bertukar pandangan dengan Dion, alisnya berkerut dan bibirnya tertutup rapat. Ia mengenggam tanganku dan berjalan cepat menuju dapur, menyusul kedua orang tuanya.
Aku melihat Sabrina berdiri di ambang pintu dapur sambil menangis histeris. Om Rudy memanggil salah satu pegawai yang ada di rumah itu, mbak Heni, untuk membawa Sabrina pergi dari dapur. Aku mengintip ke arah dapur dari balik punggung Dion, pecahan kaca berwarna merah dan daun teh kering bertebaran di lantai.
Ya Tuhan ....
Randi berdiri di depan kulkas dengan kemarahan di wajahnya. Ia sama sekali tidak berpaling dari istrinya walaupun tante Anna dan om Rudy berjalan ke arahnya.
"Kalian ini kenapa malam-malam seperti ini bertengkar?" tanya tante Anna dengan suara yang tegas. Belum pernah aku mendengarnya berbicara dengan nada itu. "Lihat, Sabrina jadi takut gara-gara kalian."
Tante Anna menghampiri Farah yang berdiri di seberang Randi. Tubuhnya bergetar seiring dengan isakan yang keluar dari bibirnya. Tante Anna segera merengkuh dan mengusap punggungnya.
"Ada apa ini?" tanya om Rudy pada Randi. "Enggak malu apa, kita lagi ada tamu dan kalian malah bertengkar seperti ini?"
"Kenapa enggak tanya aja ke menantu papa itu," ucap Randi dengan dingin. Matanya mengelap, tidak ada lagi tatapan penuh cinta yang sering kali ia berikan pada Farah. "Dia punya niat bunuh bayinya sendiri."
Apa Farah benar-benar hamil sekarang?
Tubuhku bergidik mendengar kalimat yang Randi lontarkan. Dion pun sepertinya juga tidak kalah syok dengan itu, pegangannya yang ada di tanganku terasa terlalu kuat sekarang.
"Kamu ini ngomong apa?" gertak om Rudy.
"Ma, mendingan bawa Farah keluar dari sini. Biar dapurnya bisa dibersihin dulu," ucap Dion dengan nada yang tak bisa kumengerti. Tante Anna mengangguk dan memapah Farah yang masih menangis menuju ruang keluarga.
"Baby, will you go upstairs to my room and wait for me there? It's second door on your left," ucap Dion padaku. "I won't be long."
"Okay .... "
Ia mencium keningku. "I'm sorry."
Aku hanya mengangguk, paham dengan maksudnya. Ini masalah keluarga mereka, aku tidak perlu ikut campur. Setelah itu, aku segera berjalan ke atas menuju kamar Dion, sementara dirinya melesat ke ruang keluarga di mana semuanya sudah menunggu.
Kuharap semuanya bisa diselesaikan dengan bijaksana.
Di dalam kamarnya, aku mendudukkan diri di salah satu dari tiga sofa berwarna putih yang ada di seberang tempat tidur, sambil melepas high heels yang kupakai. Walaupun aku ini seorang desainer sepatu, tetapi aku sendiri tidak tahan jika harus memakainya terlalu lama. Kakiku akan terasa sangat pegal, terutama di bagian betis dan jari-jari kaki.
Ini pertama kalinya aku berada di kamar Dion yang ada di rumah orang tuanya. Dulu ketika aku masih sering main ke sini, kami hanya berbincang di taman belakang, atau hanya sekedar menonton film di ruang keluarga yang ada di seberang kamar Dion. Itu pun selalu bertiga, bersama Randi.
Aku mengedarkan pandangan ke penjuru kamar ini. Tempat tidur dengan ukuran besar yang terlapisi seprei berwarna putih tulang, lemari kayu kecil yang berada di dekat jendela, tiga sofa berwarna putih, dan juga hiasan dinding berupa lukisan abstrak dengan warna hitam-putih.
Di atas nakas terdapat foto keluarga dan juga foto Dion seorang diri. Foto itu diambil ketika mereka berempat berlibur ke Bragança dan juga Castelo Branco, Portugal. Bertepatan dengan libur sekolah, saat kelas 2 SMA.
Aku berjalan ke arah tempat tidur dengan maksud mengistirahatkan kakiku yang pegal. Namun, sesaat kemudian, mataku tidak kuasa menahan kantuk dan aku pun tertidur.
Catatan :
Bragança : Bra-gan-sa
Castelo Branco : Kash-te-lu Brang-ko
...
Rudy Mahardika alias papanya Dion sama Randi
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro