Pancake
Aku terbangun dari tidurku pagi ini dengan kepala sedikit berdenyut di sekitar alis hingga puncak kepala. Namun ketika merasakan lengan Dion melingkar di tubuhku, rasa sakit di kepalaku tidak begitu kuhiraukan. Sebuah senyuman terbentuk begitu saja di bibirku ketika hangat napasnya menyapu pinggangku. Ya, ia memelukku dari belakang dengan kepala menempel di pinggangku serta lengan yang memeluk pahaku. Sungguh posisi yang aneh.
Karena tangan kiriku pegal, aku mengubah posisi menjadi terlentang, membuat kepala Dion tergeser dari tubuhku. Namun dengan masih terlelap, ia kembali lagi memelukku dan menjadikan perutku sebagai bantal. Aku membelai rambutnya sambil tersenyum. Dalam hati, aku menginginkan bisa seperti sekarang ini selamanya bersama Dion, menjadikannya sebagai orang terakhir yang kulihat sebelum tertidur dan orang pertama yang kulihat di pagi hari.
Is that too much to ask?
Aku mengangkat lengan Dion yang melingkar di tubuhku saat keinginan untuk buang air kecil tiba-tiba saja hadir. Gerakan yang seharusnya bisa membangunkannya itu sepertinya sama sekali tidak menganggu tidurnya, ia membalikkan tubuhnya dan sekarang tidur dalam posisi tengkurap tanpa mengeluarkan suara apapun. Aku menggelengkan kepala dan terkekeh pelan.
Isn't he so adorable?
Kemudian aku berjalan menuju kamar mandinya dan menyelesaikan aktivitasku di sana. Setelah itu, dengan napas dan wajah yang terasa lebih segar, aku keluar dari kamar mandi dan menemukan Dion sudah terbangun. Aku berjalan ke arah tempat tidur dan terduduk di sampingnya yang masih bermalas-malasan di kasur.
"Selamat pagi," sapanya sambil mengucek matanya. "Gimana tidur kamu semalam?"
Damn, what a sexy morning voice!
"Nyenyak banget," jawabanku sambil tersenyum. Aku hanya terbangun sekali semalam dan selebihnya aku tertidur pulas.
"Aku juga." Dion mengulurkan tangannya dan memintaku untuk berbaring di sampingnya.
Aku menuruti karena kurasa ini masih terlalu pagi, sekitar pukul 05:15 dan aku masih punya banyak waktu untuk berangkat ke kantor. Kami berdua berbaring berhadap-hadapan dalam diam dan senyuman menghiasi bibir kami. Entahlah, tapi aku suka ini, seperti kami sedang berbicara melalui tatapan mata.
"I haven't been sleeping well lately," tuturnya.
"Why?"
"I don't know," jawabnya.
"Is something bothering you?"
Ia tersenyum sambil membelai pipiku. "I slept well though last night, so it's doesn't matter anymore. I wish I could wake up every morning with you like this by my side."
Kata-kata membuat pipiku memanas. Hatiku pun lega rasanya mendengar Dion juga mempunyai keinginan yang sama sepertiku. Tapi bukan hidup namanya jika berjalan mulus tanpa hambatan, akan selalu ada cobaan selama kita masih bisa bernapas dan itu sudah pasti.
"Sabrina emang gapapa tidur sendiri kayak semalam gitu?" tanyaku mencoba mengganti topik pembicaraan.
"Kata Farah, dari bayi Sabrina udah pisah kamar sih. Ada monitor gitu di kamarnya jadi Randi sama Farah bisa tahu kalau Sabrina kebangun atau gimana. Jadi udah kebiasaan," jelas Dion, tangannya mengelus-elus lenganku.
Hebat juga Sabrina, aku dulu kata mamaku, waktu bayi walaupun enggak tidur satu tempat tidur sama mama-papa tapi masih satu kamar. Tidur di dalam tempat tidur bayi, setelah satu tahun itu pun masih sekamar sama mama-papa sampai umur enam tahun baru aku mempunyai kamar sendiri.
"Dia enggak kebangun gitu kalau malam?"
"Jarang sih," jawab Dion sambil memainkan rambutku. "Kenapa kamu tanyanya gitu? Takut ketahuan sama Sabrina soal semalam?" Senyuman jahil terbit di bibirnya.
Pipiku kembali memanas akan hal itu, apalagi ketika gambaran ciuman panas kami semalam berputar di dalam kepalaku. Aku masih bisa merasakan panasnya ciuman yang kami lakukan serta belaian tangan Dion yang membuatku merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Ini membuatku penasaran sekaligus takut. Entahlah ketakutan macam apa, hanya saja yang pasti aku belum siap untuk melangkah lebih jauh dari ini.
"Apaan sih?"
"Lihat tuh pipi kamu merah," goda Dion sambil tertawa puas.
"Stop! You're so annoying, stop laughing at me!" Aku membekap mulutnya, namun sepertinya hal itu malah semakin membuatnya tertawa hingga tubuhnya berguncang. Tanpa kuduga ia malah menjilat dan sedikit menggigit tanganku yang membungkam mulutnya. Dengan spontan aku mengusapkan tanganku yang penuh dengan air liurnya ke selimut yang ia gunakan. "Eww, you're so nasty."
Suara tawanya memenuhi ruangan. "We technically shared saliva last night. What's so nasty about a little lick on your palm?"
"That's... that's different," kilahku.
"You're so cute, Baby." Dion terkekeh lalu mengambil ponselnya yang tanpa kusadari bergetar di atas meja. Ia mengerutkan dahi saat matanya mengamati layar. "Oh shit, I have a presentation today. I totally forgot about it."
"Jam berapa?" tanyaku.
Beberapa detik kemudian ponselnya berbunyi. "Hang on, Babe." Lalu Dion segera mengangkatnya. Pada saat yang bersamaan, Sabrina tiba-tiba masuk ke kamar Dion dengan membawa sebuah boneka Tweety sebesar ukuran kepalanya. Dengan terlihat masih setengah mengantuk, membuatku tersenyum akan kepolosannya. Sabrina menghampiri kami berdua di tempat tidur, namun Dion hanya tersenyum dan kembali lagi berbicara di telepon, membahas tentang presentasi yang ia bicarakan tadi.
Mungkin karena merasa diabaikan, Sabrina pun merenggek kepada Dion untuk membuatkannya sarapan, namun karena Dion sedang berbicara serius entah dengan siapa di seberang sana, ia mengatakan kepada Sabrina untuk menunggu sebentar, tapi sang keponakan sepertinya tidak menerima penolakan pagi hari. Karena aku masih mempunyai empati, jadi aku menawarkan diri untuk membuatkannya sarapan. Dion mengucapkan terima kasih tanpa mengeluarkan suara.
"Sabrina, do you that I can make the best pancake in the world?" tanyaku dengan nada yang antusias untuk menaikan suasananya hati bocah itu.
"Really? Will you make me pancakes right now?" Mata cokelat terangnya itu berbinar.
"Yeah, sure. Come on, let's get cooking." Lalu aku menggandengnya keluar kamar, meninggalkan Dion yang masih berbicara di telepon. "But I need your help in the kitchen, okay. You'll be my assistant, Sweetie."
"What is that?" tanyanya saat kami memasuki dapur.
"Mm, assistant is someone who help the chef. They help preparing the ingredients and... You have to help me to cook," ucapku sambil melihat isi lemari pendingin milik Dion yang ternyata isinya sangat lengkap.
"That's sounds so cool," ucapnya dengan suara yang mengemaskan. Sambil masih menenteng boneka kuning itu, Sabrina mengamatiku yang menyiapkan bahan untuk membuat sarapan untuknya. Setelah semua bahan tersedia, aku mengambil baskom kaca dan pengaduk lalu mulai memasukan tepung terigu, gula, dan baking powder. Kata mamaku, membuat pancake itu jangan memasukan semua bahan secara bersamaan, tetapi campurkan bahan kering terlebih dahulu, baru setelah itu bahan yang basah. Yang kumaksud dengan bahan basah yaitu; telur, susu, dan butter yang sudah di lelehkan.
"Would you help me to whisk it?" tanyaku pada Sabrina. "I need to melt this butter."
"Okay," jawabnya dengan riang. Ia meletakkan bonekanya di pinggir kitchen island.
Aku menyerahkan alat pengocok telur itu pada Sabrina. "Be careful, okay." Ia mengangguk dan tidak henti-hentinya tersenyum saat mengaduk tepung yang ada di dalam mangkuk.
Kemudian aku menyalakan kompor untuk melelehkan butter dan setelah itu mencampurkannya ke dalam adonan. Lalu tiba saatnya untuk memanggang, Sabrina memintaku untuk membuat pancake dengan bentuk bintang, namun sayangnya di dapur milik Dion ini tidak ada cetakkan roti. Tak tega dengan raut wajahnya yang cemberut, setelah selesai memanggang aku mempunyai ide untuk membentuk pancake tersebut meyerupai bintang secara manual menggunakan pisau.
"Can I eat it?" tanya Sabrina sambil menunjuk pancake yang sudah kupotong menjadi bentuk bintang.
Aku mengalihkan pandanganku dari stroberi yang sedang kupotong. "Eager aren't you?" Aku tersenyum lalu mengambil piring dan menaruh dua potong pancake untuknya. "Do you want strawberries and honey on your pancake?"
"Yes, please." Ia mengangguk. Kadang aku terpukau dengan ponakan Dion ini, di usianya yang masih empat tahun, ia sudah memiliki tingkat kesopanan yang bagus. Selalu minta ijin sebelum meminta sesuatu pada orang, meminta maaf, dan mengucapkan terima kasih. Randi dan Farah mendidiknya dengan baik.
Setelah memberikan apa yang Sabrina mau, aku menyerahkan piring berisi dua pancake dengan stroberi dan madu yang mengalir di atas roti tersebut. "Is it good?" tanyaku pada Sabrina.
"This is the best," ucapnya setelah menelan pancake tersebut. Raut wajah berseri dan tanpa kuduga ia memelukku sambil berterima kasih karena sudah membuatkannya sarapan.
"You're welcome, Sweetie." Aku mengusap puncak kepalanya.
Setelah itu, aku membuat teh untukku dan kopi untuk Dion. Baru saja aku akan berjalan menuju kamar Dion, kutemukan ia sedang berdiri di tangga sambil membawa gelas kosong yang biasanya ada di kamarnya yang berisikan air putih. Ia hanya memakai bathrobe dan terlihat sehabis mandi. What a view.
"How long have you been standing there?" tanyaku sambil berjalan ke arahnya dengan membawa cangkir berisikan kopi untuknya.
"Long enough to know that you're great with my niece," jawabnya dengan senyuman. Ia mendekat dan mengecup bibirku. "I have a feeling that you're gonna be an amazing mom one day." Lengannya melingkar di pinggangku, matanya berbinar serta senyumannya mengembang ketika mengatakan itu.
Jantungku seperti melompat ke atas, ke arah tenggorokanku. Perutku rasanya kram saat mendengar Dion menyinggung soal anak. Jika saja ia tahu bahwa aku tidak pandai bersosialisai dengan anak kecil, pasti Dion tidak akan pernah mengatakan hal itu. Apalagi untuk mempunyai anak, gambaran itu masih berupa kepingan yang tak pasti. Bukannya aku tidak ingin mempunyai keturunan nantinya, hanya saja untuk saat ini hal tersebut berada di daftar ke-50 di dalam rencanaku.
Jadi, tidak banyak yang bisa kukatakan untuk menanggapi Dion. Aku hanya tertawa sumbang dan menawarinya kopi. Karena aku tidak mungkin berkata jujur padanya, ia pasti akan sangat tidak setuju dengan pendapatku soal itu. Terlebih semalam Dion mengatakan jika menikah denganku pernah terbesit di pikirannya.
Duh, kenapa pagi-pagi aku sudah memikirkan hal yang berat sih?
. . .
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro