Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Nightclub

Suara musik yang menghentak gendang telinga, menyambutku ketika memasuki The Baxter, tempat yang Randi sebutkan di telepon tadi. Kupikir The Baxter merupakan klub malam yang 'santai', karena bangunan luarnya terlihat begitu elegan. Namun, tempat ini ternyata lebih kacau dari yang kubayangkan.

Orang-orang menari dengan sisa kesadaran mereka di lantai dansa. Bercumbu dengan orang yang mungkin saja baru mereka temui tanpa rasa malu. Suara riuh teriakan bahagia dan tawa semakin membuatku tidak tenang.

Ini bukan tempatku. Jika bukan karena Dion dan kembarannya yang menyebalkan itu, aku tidak akan mungkin menginjakkan kaki di tempat seperti ini.

Aku bersusah payah menerobos lautan manusia dan mencari tempat yang lebih lenggang untuk menelepon Dion. Ini akan sulit jika aku mencari mereka sendiri.

Dalam nada tunggu ketiga, masih belum ia jawab. Lalu aku beralih untuk menghubungi nomor Randi. "Why are you calling me? I'm not your boyfriend," ucapnya kesal dengan suara yang masih kurang jelas.

Astaga ini orang!

Aku memejamkan mata, seolah itu bisa mengontrol emosiku. Namun, nyatanya tetap tidak bisa. Aku begitu kesal dengan mereka berdua. "Yang nyuruh gue datang ke sini tadi siapa, hah? Sekarang lo ada di mana? Gue udah sampai."

Ia tertawa keras, membuatku menjauhkan ponselku dari telinga. "Sweetie pie, loosen up 'lil bit. I'm just kidding. Gue sama Dion ada di ruang VIP. Lo naik, nanti di sebelah kanan situ. Gue bisa lihat lo dari sini." Ia terkekeh.

Aku melihat ke atas, di mana area terbuka di lantai dua berada. Di sebelah kanan, kulihat seseorang laki-laki sedang melambaikan tangannya. Dari tempatku berdiri tidak begitu jelas wajahnya.

Aku langsung menutup teleponnya dan berjalan menuju tempat yang Randi sebutkan. Saat aku memasuki ruang VIP, aku langsung disambut pelukan yang tak diduga. Entah dari Randi atau Dion, karena dalam ruangan yang minim cahaya ini, aku tidak bisa membedakan keduanya.

"Stephanie …. "

"Get off!" Aku mendorongnya untuk menjauh dan menangkup wajahnya. "Look at me!"

Oke, ini Dion. Karena ada tanda lahir di pelipis kanannya.

Dion memelukku kembali. "I missed you," ucapnya dengan manja di leherku. Hangat napasnya yang menyapu kulit, membuatku meremang.

"Why are you doing here with that asshole?" tanyaku menepuk-nepuk punggungnya.

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Ukurannya lumayan luas, terdapat sofa besar dengan bentuk setengah lingkaran yang sedang ditiduri  oleh Randi. Lalu meja bulat yang penuh dengan minum dan rokok. Lampu LED berwarna pink dan biru mendominasi ruangan yang gelap. Di sebelah timur, terdapat layar besar yang menempel di dinding, mungkin itu untuk karaoke.

"Dion, lepas," ucapku lagi. "Kita harus pulang. Tadi kamu ke sini pakai mobil siapa?"

"Hmmm … what?" tanyanya dengan bingung. Ia bahkan terkekeh, entah karena apa.

Astaga! Aku bisa gila lama-lama.

Aku memapah Dion dengan susah payah untuk duduk di sofa. Ia memeluk pinggangku saat aku akan berbicara pada kembarannya. "Please, don't be mad at me," ucapnya manja di perutku.

Aku memijit keningku dan menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya pelan. Kubelai rambutnya yang berantakan sambil berkata, "Maybe I'm disappointed at you, but I'm not mad, Dion."

"Hmmm, I love you so much," ucapnya pelan. Terlalu pelan, hingga aku tidak yakin jika ia mengatakan itu.

"Okay, get off. I need to talk to your twin for a sec." Lalu ia melepaskan pelukannya dan bergumam tidak jelas.

Aku beralih pada Randi. Kutepuk keras pundaknya, yang mana membuatnya mengadu sakit. "Lo jadi suami enggak ada tanggung jawabnya, ya. Gak mikir apa kalau istri sama anak lo di rumah kepikiran? Lo malah have fun di sini. Your wife's pregnant, Randi, for fuck's sake!"

"Ngomong apa sih lo, Steph. Berisik!"

Aku berdecak. "Susah ngomong sama lo. Pakai mobil siapa tadi ke sininya?"

"Kenapa?"

"Kita harus pulang. Gue enggak mau lama-lama di sini."

"Oh, oke," balasannya singkat. Ia lalu mengeluarkan kunci mobil dengan logo Range Rover dan memberikannya padaku. "Jangan dirusakin, itu mobil baru keluar dari bengkel."

"Gue lihat wujudnya aja belum," ucapku. Itu membuat Randi tertawa.

Aku menghela napas panjang dan berjalan turun untuk meminta bantuan. Tidak mungkin aku membawa mereka berdua sendiri hingga ke parkiran. Beruntung, kedua penjaga di klub itu mau membantuku.

Setelah Randi dan Dion berada di dalam mobil, aku tidak lupa mengucapkan terima kasih pada kedua penjaga klub yang telah menolongku. Setelah itu aku masuk ke dalam mobil dan baru tersadar jika Range Rover Evoque milik Randi menggunakan transmisi otomatis, bukan manual. Damn!

Ini gimana cara pakainya? Mobil orang kaya kenapa nyusahin sih?!

Okay, Steph, you got this!

Saat aku menekan tombol start yang ada di dashboard, di kanan setir, tiba-tiba dengan otomatis layar yang ada di tengah dashboard menyala. Lampu interior yang ada di sepanjang dashboard dan sisi dalam pintu, mempunyai pilihan warna.

Gila, semuanya digital. Wow!

Setelah puas mengamati mobil canggih milik Randi, aku segera menjalankan mesinnya dengan pelan-pelan untuk keluar dari tempat parkir pararel. Ini pertama kalinya aku menggunakan mobil dengan transmisi otomatis.

Semoga selamat sampai tujuan.

"Tekan tombol di layar buat tampilin kamera belakang," ucap Randi. Aku sedikit kaget, karena kupikir ia sudah terlelap seperti Dion.

"Apa?"

"Itu, buat lo mundur. Di belakang ada kameranya," ucapnya dengan setengah terpejam.

"Oh, oke." Aku menyentuh simbol kamera yang ada di layar, seketika menampilkan keadaan di belakang mobil.

Nabung, Steph!!! Biar bisa beli mobil secanggih ini.

Perjalanan menuju rumah Dion terasa sangat cepat. Jalanan hari ini tidak begitu padat dan kemacetan pun tidak terlalu panjang. Saat aku menghentikan mobil Randi di depan pintu gerbang, tiba-tiba seorang dengan seragam satpam keluar dari dalam.

Sejak kapan Dion punya satpam?

Aku menurunkan kaca jendela mobil dan orang itu mendekat. "Bapak security di sini?" tanyaku. Saat aku membaca nama yang ada di seragamnya, beliau bernama Emet.

"Iya, Mbak," jawabnya sambil melihat ke dalam mobil. "Mas Dion kenapa, Mbak? Sakit?"

"Mmm, Bapak, tolong bukain pintu gerbangnya ya. Terus tolong bantuin saya bawa masuk mereka berdua."

"Oh, iya. Baik, Mbak."

Kuparkirkan mobil Randi di garasi, lalu turun dan berniat membantu satpamnya Dion. Namun, bapak itu menolak. "Biar saya sama teman saya saja, Mbak yang bawa masuk mas Dion dan mas Randi. Oh iya, Mbak, di dalam ada temannya mas Dion. Baru saja datang."

"Siapa, Pak?"

"Namanya Nameera, Mbak."

"Maaf, aku datang malam-malam kayak gini," ucap Nameera dengan gugup. Ia tertunduk sambil memainkan ujung hijab warna pink pastel yang ia pakai.

Aku hanya tersenyum kecil. Memang benar aku sempat bertanya pada Dion, kapan aku bertemu dengan Nameera. Namun saat orangnya sudah di depan mata, aku malah tidak tahu harus berkata apa.

Randi dan Dion sudah berada di kamar masing-masing. Mereka sudah terlelap sekarang. Nameera pun tadi sempat terlihat khawatir ketika melihat Dion yang dipapah oleh Pak Emet dan Pak Kardi. Itu sedikit membuatku tak suka.

"Stephanie, aku senang akhirnya bisa ketemu sama kamu. Selama ini, aku hanya tahu dari foto kamu."

"Mmm, iya. Aku juga ...," ucapku. "Ada perlu apa kamu ke sini?"

Kedua mata yang berbentuk menyerupai almond itu menatapku dengan senyuman manis. Dia cantik banget. Apa benar Dion enggak pernah suka sama Nameera?

"Steph, kamu pasti udah tahu tentang … masalah yang membuat papa aku dipenjara. Jadi, aku ke sini, sebenarnya mau pamit sama Dion."

"Pamit?"

"Iya, aku sama mama akan menetap di London," ujar Nameera. Ia tersenyum sedih. "Mmm, kami berdua memutuskan untuk tetap mendampingi papa. Terlepas dari apa yang udah papa lakukan, itu tetap papa aku. Aku enggak mungkin tenang kalau tetap ada di Indonesia sedangkan papa di sana .... "

Aku mengangguk. "Iya aku paham."

"Stephanie," Nameera menggeser duduknya untuk lebih dekat denganku. Ia memegang kedua tanganku yang berada di atas bantal sofa yang kupangku, "aku minta maaf, atas nama papa dan juga aku pribadi. Karena keegoisan papa, Dion harus mengorbankan perasaannya. Aku benar-benar minta maaf."

"Iya, aku maafin. Lagian semuanya udah berakhir 'kan? Enggak ada lagi yang perlu dibahas. Dion udah cerita semuanya dan aku paham," ucapku. "Jadi, kamu enggak harus minta maaf sama aku sebenarnya."

"Tetap aja, itu membuatku merasa bersalah."

Pertanyaan itu kembali lagi merasuki pikiranku. Apa Dion pernah suka sama Nameera? Atau sebaliknya?

Aku menelan ludah dan menjilat bibirku sebelum berbicara, "Nameera, apa kamu … pernah suka sama Dion selama kalian dijodohkan dulu?"

Meskipun terlihat tidak menggira aku akan menanyakan hal itu, tetapi Nameera tetap tersenyum. "Siapa yang bisa nolak karisma seorang Dion Mahardika?"

Maafkan aku yang menghilangkan belakangan ini 🙏🏻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro