Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Mendekat

Sudah direvisi.

Majalah fesyen keluaran terbaru dan segelas jus mangga menjadi temanku pagi ini. Aku sedang berbaring di atas kursi panjang yang ada di balkon apartemenku. Cuaca hari ini sangat mendukung, dengan matahari yang bersinar cerah, walaupun langit Jakarta tertutup awan seperti biasanya. Itu adalah salah satu risiko tinggal di ibukota, melihat langit biru pun rasanya akan sangat sulit.

Aku sengaja tidak pergi ke kantor hari ini, karena Stella memintaku untuk menemui Niko. Setelah aku menegurnya karena mengadu pada Adrian soal aku menginap di rumah Dion, Stella masih bisa-bisanya menyuruhku bertemu dengan Niko. Aku bersedia membantunya, asal ia mau menyelesaikan pekerjaanku yang ada di kantor.

Fair enough.

Bukannya aku perhitungan, tapi aku harus menyiapkan diri untuk bertemu dengan Niko dan menyusun kata-kata apa saja yang akan aku ucapkan nanti. Karena seingatku, Niko bukan orang yang gampang diajak bicara. Kecuali dengan Stella, baru dia mau bertekuk lutut.

Ini hari kedua aku sendirian di apartemen, dan Adrian pun baru akan pulang lusa. Setiap malam aku tidak bisa tidur nyenyak karena suasananya sangat beda tanpa Adrian di sini. I kinda miss him right now.

Suara bel pintu mengagetkanku yang sedang fokus melihat-lihat baju koleksi terbaru dari Givenchy. Aku segera bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu. Kulihat dari layar monitor kecil yang ada di tembok dekat pintu untuk memastikan siapa yang bertamu. Betapa kagetnya aku ketika menemukan Dion berdiri di depan pintu apartemenku.

Apa yang dia lakukan di sini?

Bagaimana dia bisa tahu di mana aku tinggal sekarang?

Aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan.

Tenang, Steph. Jaga perilakumu di depannya!

"Hai." Dion tersenyum ketika aku membukakan pintu untuknya. Ia memakai kaus lengan panjang berwarna abu-abu muda yang ia tarik lengannya sampai siku dan dipadukan dengan celana khaki selutut, serta sepatu putih.

Aku memegang gagang pintu dengan kuat. "Dari mana kamu tahu aku tinggal di sini sekarang?"

"Dari Stella," jawabnya dengan memegangi tengkuknya dan tersenyum kikuk.

Aku sedikit lega bukan hanya aku yang merasa canggung sekarang. But, damn, Stella! Kenapa ia harus memberitahu Dion di mana aku tinggal? Bisakah dia bertanya kepadaku dulu sebelum menyebarkan alamatku kepada orang lain?

"Ada perlu apa?" tanyaku.

Tangan Dion menggapai lenganku. "Boleh aku masuk?

"Buat apa?" Aku mendongak untuk menatapnya.

"Buat jelasin semuanya." Mata hijaunya menghipnotisku saat dia berjalan mendekat.

"Thank you," ucap Dion saat aku menaruh segelas jus mangga untuknya di meja ruang tamu. "Kamu tinggal sendiri di sini? Sejak kapan?"

"Sama Adrian. Sekitar dua tahun yang lalu. Tapi dia lagi ke NTT sekarang." Aku menduduki single sofa yang berada di seberang Dion.

"Oh. Dia udah jadi fotografer sekarang? Aku ingat dulu dia terobsesi banget sama kamera." Dion tersenyum seperti memorinya kembali lagi ke masa SMA kami saat dia sering main ke rumah orang tuaku.

Aku membalas senyuman Dion tanpa melihat ke arahnya. "Iya. Makanya dia sekarang lagi hunting foto buat ikut kompetisi sama teman-temannya."

"Terlalu banyak waktu yang aku lewati selama enggak ada di sini," gumamnya. Nada suaranya merendah yang membuatku menatapnya.

Aku tidak tahu apa hanya aku yang merasakan hal ini atau tidak, tapi orang yang memiliki mata yang berwarna cerah seperti Dion sungguh membuatku gelisah. Pupil matanya terlihat membesar saat melihatku dan itu cukup membuat jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya.

"Kok tumben kamu diam?" tanyanya dengan menaikan alis kirinya.

Aku berdeham lalu membenarkan posisi dudukku. "Ya aku harus ngomong apa?"

"Bersikap biasa aja, Steph. Kayak sama siapa aja sih kamu," ucapnya dengan seringai khasnya. Sepertinya Dion menikmati aku yang gelisah seperti ABG lagi ini sekarang.

"Aku mau jelasin semuanya. Tapi kamu duduk sini." Dia menggeser dirinya ke tengah sofa, lalu menepuk tempat yang tadinya ia duduki.

"Kenapa harus di situ? Enggak bisa dari sini aja?" protesku.

"Ayolah, Steph. Kalau duduk berhadapan gini, kita udah kayak mau rapat."

Aku harus tahu alasan di balik kepergiannya dulu. Jadi dengan setengah terpaksa, aku bangkit dari tempat dudukku, lalu berjalan ke arahnya.

"Udah puas?" tanyaku dengan asal ketika duduk di sampingnya. Jantungku semakin berdegup sangat cepat dan bisa kurasakan di tenggorokanku.

Dion memutar badanku untuk menghadapnya, yang membuat lutut kami bersenggolan. Aku menggigit bibirku secara refleks, mata miliknya mengamati pergerakkanku.

"Kamu ingat kita pernah berencana buat masuk di kampus yang sama setelah lulus?" tanyanya.

Aku menelan ludah. Here we go. "Iya, aku ingat."

"Aku udah daftar dulu. Tapi sore itu waktu kita di Jogja, papa telepon dan minta aku buat batalin semuanya, terus berangkat ke London. Papa bilang dia butuh bantuanku buat urus bisnisnya di sana. Sebagai anak tertua, tanggung jawabku besar, Steph. Dari awal papa menolak untuk memberikan bisnisnya yang ada di London buat Randi, ya kamu tahu sendiri dulu dia gimana kan. Tapi demi apa pun, Steph, jangan pernah berpikiran kalau aku langsung menyetujui semuanya. Aku menolak, tapi papa terlanjur marah dan beliau juga bilang kalau aku akan dijodohkan dengan anak rekan bisnisnya. Sebagai trik untuk mengambil alih sisa saham yang dipegang rekan bisnisnya itu, karena dulu mereka mengambil 35% saham dari Mahardika dengan cara kotor."

"Terus gimana?" tanyaku penasaran.

Kenapa alasan di balik semua ini begitu rumit?

"Aku janji sama papa untuk mengambil apa yang menjadi hak keluarga kami. Aku kuliah di sana, belajar di sana, sampai aku paham betul situasinya."

"Kenapa dulu kamu enggak cerita ini sama aku?"

Dion menghela napas. "Karena aku enggak mau kamu tahu dan salah paham."

"Terus dengan kamu dulu pergi gitu aja enggak buat aku salah paham? Aneh kamu." Aku melihatnya nanar, memperlebar sedikit jarak di antara kami.

"Aku sangat paham kamu pasti kecewa dan aku sangat menyesal pernah pergi gitu aja dari kehidupan kamu." Dion menggenggam kedua tanganku yang ada di pangkuan, alisnya bertaut.

"Terus sekarang udah berhasil?" tanyaku.

Dia tersenyum tipis. "Sebentar lagi. Selama beberapa tahun belakangan ini, Om Daniel, ayahnya Nameera, beliau bekerja secara licik. Papa tahu itu, makanya Papa minta aku dan semua Dewan Direksi untuk mendukungnya, mengambil haknya kembali."

"Apa hubungannya bisnis sama perjodohan itu?"

"Perjodohan itu hanya trik dari papa biar bisa masuk lebih dalam lagi di keluarga om Daniel."

Apa? Jadi selama ini mereka cuma bersandiwara? Selama tujuh tahun?

"Jadi selama ini kamu enggak pernah setuju dengan perjodohan itu?"

Dion mengusap lembut pipi kananku. "Apa ciuman kita malam itu kurang membuktikan? Aku enggak pernah sedikit pun tertarik sama Nameera dan dia juga tahu itu. Dia juga menolaknya."

Napasku tercekat. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa melihat jelas alis matanya yang terbingkai rapi, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang mancung, mata hijaunya yang teduh, dan ada beberapa freckles di pipinya. Oh, tidak terlewatkan juga bibirnya yang berwarna pink alaminya itu. Parfum yang dipakai Dion kali ini masih sama dan ini membuatku ingin lebih mendekat kepadanya.

Steph, sadar!

"Ada yang mau kamu tanyain ke aku?" tanyanya.

Dion menunduk lalu memberi sebuah kecupan di lengan dan pundakku yang terbalut kaus lengan pendek berwarna oranye muda. Aku dengan spontan menutup mata karena sensasi yang menjalar tiba-tiba di seluruh tubuhku.

Aku membuka mata dan bertanya. "Kenapa tiba-tiba kamu kembali ke sini?"

Dia mendongakkan kepalanya. "Karena ada hal yang belum aku selesaikan di sini. Maaf udah buat kamu menunggu terlalu lama. Pernyataanku pas kita lagi ada di rumahku bukan cuma main-main, Steph. Aku ingin mengulang semuanya kembali. Aku mau menebus semua waktu yang aku biarin berlalu begitu aja. Aku mau kita jalani semuanya dari awal lagi."

"Kamu serius? Tunggu, mama kamu bilang kalau kamu pulang dari LA bukan London." Alisku berkerut bingung.

Dia tersenyum. "Iya, aku serius. Kalau masalah itu, aku kemarin emang pulang dari LA, ada acara pernikahan temanku di sana." Aku mengangguk paham.

"Jadi gimana? Kamu mau mengulang semuanya sama aku?" tanyanya.

Hatiku bergetar. Sungguh aku tidak pernah menyangka ini semua akan terjadi. Memang aku selalu berdoa agar mendapatkan jawabannya, tapi ini sangat di luar ekspektasiku.

"A-aku … ini terlalu mendadak," putusku. "Kita baru aja ketemu lagi, Dion."

Dion mendekatkan wajahnya dan mencium pipi kananku lalu berbisik di telingaku. "It's okay, take as much time as you want. It's now my turn to wait for you."

Aliran listrik seperti menjalar di seluruh tubuhku. Aku tahu kita sama-sama menginginkan semua ini terjadi, bersatu kembali, tapi aku belum yakin. Belum lagi Adrian yang sangat menentang jika aku berhubungan dengan Dion. Itu harus aku pikirkan.

"You smell so heavenly," gumamnya.

Aku memejamkan mata ketika merasakan bibirnya beralih turun ke pundak dan leherku. Ingin rasa menolak, tapi sensasi yang Dion ciptakan terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Tanganku memegangi lengannya yang membuat dia memberiku kecupan hangat di tulang selangkaku. Aku menggigit bibirku, menahan suara yang ingin keluar dari mulutku.

"Kamu udah mandi?" tanyanya tiba-tiba. Bibirnya masih berada di leherku.

"Apa?" tanyaku dengan bingung.

"Kamu udah mandi?" tanyanya sekali lagi. Dengan spontan aku menjauh darinya dan memicingkan mataku.

Apa aku enggak wangi? Padahal tadi pagi waktu mandi aku sempatkan untuk luluran kok.

Dion terkekeh. "Aku bukannya mau nyinggung kamu. Kamu wangi kok. Makanya aku tanya. Kalau udah, ganti baju sana. Aku mau ajak kamu jalan," putusnya dengan seringai seksi tersungging di bibirnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro