Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Meminta Izin

"Pak, maaf ... bisa tolong cari jalan lain nggak, ya?" tanyaku pada super taksi dengan seragam biru muda itu. "Saya buru-buru soalnya."

"Baik, Mbak."

Kemacetan di ibukota memang sudah menjadi pemandangan yang lumrah bagiku, tetapi kali ini hal itu seperti membuatku ingin mengumpat rasanya. Lututku tidak bisa berhenti bergerak ke atas dan bawah, kedua tanganku pun bergetar. Untung saja aku menuruti usulan Stella untuk menaiki taksi dari pada menyetir sendiri, yang bisa saja berakibat fatal karena tidak bisa konsentrasi.

Ada sedikit rasa lega karena akhirnya aku tahu keberadaan Dion, meskipun aku masih tidak mengerti mengapa ia mendatangi rumah orang tuaku tanpa memberitahuku dulu.

Ketidaksukaan yang Adrian tujukan pada Dion sangatlah besar dan tidak masuk akal. Aku tahu Dion sudah sangat keterlaluan karena meninggalkanku dulu, tetapi itu sudah lama, Dion kembali dan kami bersama sekarang.

Tidak bisakah Adrian memahami itu?

Lima belas menit berlalu dan sampailah aku di depan rumah kedua orang tuaku. Detak jantung yang berpacu lebih cepat membuat perutku mual ketika memasuki halaman depan di mana mobil sedan putih milik Dion bersanding dengan SUV milik papa. Ini belum waktunya papa pulang kantor, datangnya Dion ke rumah orang tuaku sampai-sampai membuat papa membolos kerja hari ini.

Saat aku melangkah menuju pintu depan yang terbuka, di dalam kepalaku sudah ada beberapa teori yang akan terjadi. Terutama tentang reaksi Adrian. Bayangan Adrian dan Dion bertatap muka pun rasanya sudah seperti mimpi buruk. Ketika aku sudah ada di ruang tamu, langkah kakiku membuat tiga pasang mata menatapku secara bergantian. Perasaan campur aduk itu semakin menjadi ketika laki-laki yang memakai baju putih lusuh hanya duduk terdiam di samping mama.

Mama langsung menghampiri dan memeluk pundakku. "Jangan terbawa emosi dulu ya," bisiknya dengan lembut. Apa maksudnya?

Saat aku ingin mendekati Dion, tangan Adrian menahanku. "Berapa kali aku harus bilang hal yang sama ke kamu, hah?" tanyanya dengan kemarahan yang terdengar jelas. "Ternyata kamu bohong juga. Bahkan udah sejauh ini."

"Mas, lepasin aku!" gertakku. Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, aku dan Adrian tidak saling bicara, kami pun baru bertemu lagi sekarang.

"Adrian cukup!" Mama bersuara dengan tegas, meski kedua matanya basah dengan air mata. "Biarin adik kamu duduk dulu, kita tanya baik-baik."

Aku menjauhkan diri dari Adrian dan memberinya tatapan tajam, lalu mama menuntunku untuk duduk di antara Dion dan dirinya. Betapa hancurnya hatiku ketika mendapati wajah milik Dion yang terlihat kacau. Sudut bibirnya memerah akibat luka kecil yang terbuka dan tulang pipinya pun melebam. Ini pasti ulah Adrian.

Saat aku ingin berdiri dan menghampiri Adrian, Dion mencegah dengan menahan lenganku. "Babe, just don't," bisiknya.

"Ini nggak bisa dibiarin, dia udah bikin kamu kayak gini," ucapku pada Dion. Lalu aku beralih menatap kakakku. "Kamu keterlaluan, Mas." Tak kuasa menahan emosi yang sedari tadi kurasakan, air mataku mengalir begitu saja.

"Stephanie, duduk," ucap papa. Ia yang duduk di hadapan Dion terlihat frustrasi sambil memijat keningnya.

"Tapi Pa, mas Adrian udah-"

"Sayang, duduk dulu. Dengerin papa kamu," timpal mama sambil mengelus-elus punggungku.

"Papa bilang duduk. Kita bicarakan ini dengan kepala dingin, jangan emosi. Bagaimana Bagaimanapun juga Adrian itu tetap kakak kamu." Kali ini papa berbicara dengan nada yang tidak bisa kubantah. Mau tidak mau aku kembali duduk dan menggenggam tangan Dion sambil menyentuh wajahnya yang luka.

"I'm so sorry," ucapku pada Dion di sela-sela tangisan. Ia hanya menggelengkan kepala dan meremas lembut tanganku.

Tak lama kemudian papa membuka suara dengan bertanya pada Dion, "Sekarang karena Stephanie sudah ada di sini, sekarang papa tanya sama kamu. Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau lagi dekat sama Dion? Jujur kedatangan Dion ke rumah kita secara tiba-tiba ini buat kita semua kaget."

Dion mungkin bisa merasakan ketegangan yang dalam diriku, karena ibu jarinya tidak berhenti mengelus-elus punggung tanganku. Aku membasahi bibir keringku sebelum menjawab, "Aku minta maaf sama kalian semua karena udah nggak cerita soal hubunganku sama Dion. Aku nggak bermaksud gimana-gimana, aku cuma … kemarin-kemarin aku belum siap. Terutama belum siap menghadapi mas Adrian. Aku tahu, sebagai kakak mas Adrian cuma nggak mau aku sedih lagi, tapi Dion udah mengakui kesalahannya dan dia kembali lagi ke sini buat memperbaiki semuanya. Aku udah cukup dewasa buat mengambil keputusan dan menerima konsekuensinya. Jadi, aku harap kalian mengerti."

Papa hanya mengangguk-anggukan kepalanya, sangat sulit membaca ekspresi wajahnya sekarang. Mama pun hanya terdiam, ia terus menerus mengusap-usap punggungku untuk menenangkanku.

"Baiklah. Lalu, Dion, bisa tolong katakan lagi apa maksud kedatangan kamu kemari? Om rasa Steph masih kelihatan bingung dengan situasi saat ini."

"Ada apa sebenarnya?" tanyaku pada Dion.

Namun, ia hanya menatapku sekilas sebelum menjawab pertanyaan papa. "Seperti yang sudah saya bilang ke Om dan Tante tadi. Saya datang ke sini dengan segala kerendahan hati dan niat yang baik. Saya tahu, saya pernah membuat kesalahan besar tujuh tahun yang lalu dan itu sangat menyakiti hati anak perempuan Om dan Tante. Saya minta maaf atas kebodohan saya waktu itu. Saya juga sangat paham atas reaksi yang Adrian tunjukan tadi, saya pantas mendapatkannya. Untuk itu, dua bulan yang lalu saya memutuskan kembali ke sini dengan maksud untuk memperbaiki semuanya.

"Saya bersyukur anak perempuan Om dan Tante memiliki hati yang sangat besar. Dia mau memaafkan saya, bahkan menerima saya kembali. Lalu, mengenai maksud kedatangan saya ke mari, sudah sejak lama saya membicarakan ini dengan orang tua saya dan mereka sudah setuju. Mereka juga sudah bertemu dengan Stephanie. Saya pun sudah mengutarakan niat saya ini pada Stephanie kemarin."

Apa yang Dion maksud? Apa ini tentang semalam?

Aku memejamkan mata ketika Dion akan melanjutkan pembicaraannya, jantungku berdegup sangat cepat. "Maka dari itu, hari ini saya meminta izin secara langsung untuk menjadikan Stephanie Ruby Ramadani, anak perempuan Om dan Tante sebagai pendamping hidup saya."

Ya, Tuhan … Jadi benar, semalam aku tidak halusinasi. Dion memang melamarku. Dia bahkan menyebut nama lengkapku ....

Aku menangkap Adrian yang terlihat menggigit sudut bibirnya, seperti menahan untuk tidak memaki Dion kembali. Ia pasti masih belum menerima ini semua.

Siang berganti malam terasa hanya dalam kedipan mata. Aku duduk di balkon kamarku yang ada di rumah orang tuaku, memandangi air kolam renang yang berkilau akibat pancaran lampu taman. Jika boleh memilih, aku lebih baik menyendiri di apartemen daripada di sini dan melihat kenyataan bahwa kakakku masih saja bersikap dingin. Namun, mama tidak mengizinkanku untuk pulang.

Aku bersyukur mempunyai kedua orang tua yang sangat pengertian. Papa dan mama menyerahkan jawaban atas permintaan Dion padaku. Mereka berdua tidak mempermasalahkan mengenai apa yang sudah terjadi di masa lalu, menurut mereka yang terpenting bagaimana ke depannya Dion bisa belajar dari itu.

Tentu saja itu membuat aku dan Dion lega. Dion mengusulkan agar kedua belah pihak keluarga bertemu secepatnya untuk membahas ini, yang mana sudah disetujui oleh papa dan mama.

Suara ketukan pintu membuatku tersadar dari lamunan. Saat aku tidak bersuara, pintu pun terbuka. Sesaat kemudian papa menghampiriku di balkon dengan segelas susu cokelat yang terlihat masih panas.

"Kamu tadi nggak turun buat makan, kenapa?" tanyanya seraya duduk di sampingku.

"Nggak selera," jawabku singkat. Itu memang benar, tadi saat makan siang bersama Stella perut dan kepalaku sudah terasa lebih baik. Namun, saat mengetahui Adrian memukuli Dion, rasa mual dan denyutan di kepala kembali hadir.

"Nggak selera apa mau menghindari Adrian?" goda papa dengan senyuman tipis.

Aku tidak menjawab itu. Embusan napas panjang yang kukeluarkan sudah menjadi jawabannya dan papa tahu itu.

"Yakin deh sama papa, Adrian nggak akan lama kok marahnya. Dia cuma kecewa aja. Tindakannya itu sebagai wujud sayangnya ke kamu, walaupun memang salah caranya." Seperti biasanya, papa selalu mempunyai kata-kata yang menenangkan setiap kali aku bersedih. "Kamu juga harus ngertiin ya, Sayang. Adrian 'kan juga lagi menghadapi masalahnya Karina. Dia jadi lebih sensitif sekarang."

"Kalau soal itu, aku paham, Pa," ucapku jujur seraya menyesap susu cokelat yang papa bawa untuk menyamarkan mataku yang berair. "Yang aku nggak paham itu kenapa dia kayak benci banget sama Dion. Padahal kesalahan yang dia buat itu cuma satu, itu pun udah lama. Aku yang mengalami langsung aja bisa maafin kok. Itu masalah utama kenapa aku enggak pernah cerita soal Dion ke kalian. Berat buat aku jalanin hubungan sama Dion kalau kakak kandung aku sendiri masih nggak merestui."

Papa menarikku ke dalam pelukannya. Sebuah kecupan di pelipis ia berikan untukku. "Hmmm, anak papa udah besar sekarang. Udah ada yang ngelamar, bentar lagi istri orang. Kamu udah yakin sama Dion?"

Aku menelan ludah, sebuah jawaban yang tidak akan pernah berubah sudah di ujung lidah. "Aku yakin, Pa. Dion orang yang tepat."

"Papa sendiri beneran merestui hubungan kami? Jawaban tadi siang bukan cuma buat meredam suasana 'kan?" tanyaku penasaran seraya menaruh gelas di atas meja.

Sebuah kekehan keluar dari mulut papa. "Kamu ini ada-ada aja. Buat papa siapa pun orangnya, kalau kamu udah yakin, nggak masalah buat papa. Kesalahan di masa lalu 'kan dia buat pas umurnya masih belasan tahun. Orang bisa berubah dan papa lihat Dion kayaknya baik, sopan, bertanggung jawab. Dia juga rela pindah kerja biar bisa sama kamu."

"Makasih ya, Pa." Air mataku tumpah, bukan karena sedih melainkan terharu dengan kata-kata papa.

"Udah jangan sedih lagi, ya. Soal Adrian, nanti papa coba bicara sama dia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro