Malioboro dan Serpihan Kenangan Manis
Who cares about the past?
Who knows about tomorrow?
L'amore è adesso
And maybe this won't last
Maybe this moment's all we have
Let's find out
And though I'm still afraid
You're worth a leap of faith
-Return to Love-
(
Di puter ya lagunya. Aku pikir cocok deh buat chapter ini🙃)
Semalam aku tidak bisa tidur nyenyak. Pikiranku dipenuhi oleh curhatan Adrian yang baru putus dari Karina. Malangnya kakakku.
Berat pastinya dikhianati oleh orang yang dirasa layak menjadi pendamping hidupnya kelak. Tapi jika begini akhirnya, kurasa memang lebih baik mereka menyudahi semuanya, daripada diterpa masalah yang lebih berat setelah mereka menikahi nanti.
Setelah sarapan bersama kedua orang tuaku dan Adrian, aku memilih berdiam diri di kamar untuk menonton film. Papa dan mama sedang berkunjung ke rumah teman lama mereka yang ada di Sleman. Sedangkan Adrian pergi bersama sepupu-sepupuku.
Di pertengahan film, ponselku yang ada di nakas berbunyi nyaring.
Aku lagi bosan di kamar sendirian. Mau temenin jalan?
Aku membaca pesan itu berulang kali, mencoba memahami apa yang ia maksud.
??
Tiga menit kemudian ia membalas.
Kamu lagi sendirian juga kan?
Damn. Tidak mungkin kalau Dion juga ada di sini? What the hell!
Aku menekan tanda pause lalu dengan tangan bergetar jempolku menari di atas papan tombol untuk membalas pesannya.
Kamu di mana?
Dion sedang mengetik.
Come outside.
Dua kata itu berhasil membuatku tersedak ludah milikku sendiri. Dengan kaki yang tiba-tiba merasa lemas, aku bergegas mendekati pintu kamar hotel. Benar saja, dari lubang kecil yang berada di pintu, aku melihat Dion berdiri di sana.
Aku merutuki Stella di dalam kepalaku. Pasti dia yang bilang.
"Dion? What're you doing here?" tanyaku setelah membukakan pintu untuknya. Ia memakai jaket hitam, celana jin dan sepatu cokelat.
"What a coincidence, right?"Seringgai seksi yang membuatku panas dingin itu terukir di bibirnya.
"A coincidence?" Aku memicingkan kepadanya. Yang benar saja? Dion pasti mengikutiku.
Ia mengambil dua langkah ke depan, mendekat kepadaku. "When I said 'see you really soon', I mean it ... Angel Face."
Aroma dari Light Blue menyeruak di hidungku. Aku memejamkan mata untuk beberapa saat dan menghirup dalam-dalam aroma kesukaanku ini.
"Kamu enggak jawab pertanyaanku tadi." Aku menatap matanya.
Ia tersenyum geli. "Anggap aja takdir mempertemukan kita di sini. Biar kita bisa mengulang lagi semuanya."
Aku menelan ludah. Kata-kata itu akan terdengar seperti rayuan bagi orang lain, tapi bagiku itu adalah sebuah janji darinya.
"Udah sana ganti. Aku tunggu di luar." Ia tersenyum sambil mendorongku pelan untuk masuk kembali ke kamar.
Saat aku dan Dion berjalan keluar hotel, aku tersenyum karena cuaca hari ini sangat cerah. Hawa dingin yang sejuk, serta hangatnya sinar matahari berpadu dengan indahnya. Aku sangat suka cuaca seperti ini.
Dion membuatku terkejut dengan sebuah motor yang terparkir di depan hotel. Saat aku bertanya mengapa memilih menyewa motor klasik, ia hanya mengatakan, "Cause it's sexy." Lalu ia memberikanku sebuah helm baru dan mengisyaratkan agar aku segera naik di belakangnya.
Kedua pipiku memanas dan sudut bibirku terangkat saat Dion meraih tangan kiriku untuk memeluknya. Mata kami bertemu dari pantulan kaca spion, ia mengedipkan sebelah matanya yang membuatku hampir terjungkal dari motor.
Baiklah itu sangat berlebihan.
Kami berkendara tidak lebih dari lima menit, mengingat letak hotel tempatku menginap hanya di belakang kawasan Malioboro.
Otakku tidak henti-hentinya memutar memori lama. Ini terasa seperti mimpi. Saat memasuki kawasan Malioboro, Dion memarkirkan motor sewaannya di belakang Ramayana. Ia menggandeng tanganku saat kami berjalan menuju pintu masuk department store itu.
"Kita mulai dari sini," ucapnya. "Aku masih ingat dulu kamu pernah beliin aku sandal Polo. Masih aku simpan juga sandalnya." Ia tersenyum ke arahku.
Iya, memang benar. Aku membelikan sendal itu karena saat kami berempat berjalan di sekitar sini dulu, Dion sempat mengeluh karena sepatu yang ia pakai kurang nyaman untuk berjalan jauh. Lalu tanpa sepengetahuannya, keesokan harinya aku membelikan sandal Polo Ralph Lauren seharga 349 ribu untuk mengantikan sepatunya.
Sandal berwarna krem dengan sedikit aksen army green di bagian srampat itu, bukan sendal pertama yang kubelikan untuknya. Aku juga tidak tahu mengapa aku hobi membelikannya sandal, padahal jujur harganya kalah jauh dengan yang biasa ia pakai.
"Kamu masih simpan sandalnya? Itu udah lama banget Dion." Aku menatapnya dengan tidak percaya.
Ia hanya menaikan bahunya dan mengajakku untuk berkeliling toko. Sebagai seorang pewaris MRS, Dion tidak pernah gengsi untuk berbelanja di tempat yang mana bagi orang kalangan atas adalah tempat yang murahan. Bahkan ia dengan senang hati mencoba beberapa celana dengan harga kurang dari 400 ribu.
"Cocok enggak sih?" tanyanya saat ia keluar dari kamar ganti dengan celana jin berwarna biru muda yang ia coba.
"Kamu ajak aku kesini cuma buat nemenin belanja?" tanyaku.
Ia tertawa. "Sekalian aja. Soalnya aku lagi pengen beli celana. Jadi gimana nih? Cocok enggak?"
"Hmm, aku belum pernah lihat kamu pakai warna cerah gini. Cocok sih," kataku. Celana dengan potongan standard itu terlihat lebih menarik saat Dion yang memakainya.
"Oke, aku ambil yang ini. Ayo."
Tempat kedua yang kami datangi adalah sebuah kedai Steak and shake di daerah Pakuncen, Wirobrajan. Dion tersenyum kepadaku ketika kami memasuki pintu kedai. Aku yakin ia juga teringat kenangan tujuh tahun yang lalu. Bahkan ia memilih meja yang kami tempati dulu, meja nomor dua dari belakang, tepat di samping jendela besar.
Aku menggigit bibirku berusaha menahan haru yang menjejali dadaku. Sungguh tidak pernah kusangka jika aku bisa mengulang kembali kenangan manis ini dengan orang yang sama.
"Hmm, biar aku yang pilihin buat kamu ya," ucap Dion sesaat setelah seorang pelayan memberikan daftar menu. "Kamu yang tulis ya. Beef Steak, jangan lupa di tulis medium ya, aku enggak mau terlalu matang. Terus Chicken Steak with Black Pepper buat kamu. Hmm, terus minumnya jus alpukat buat kamu sama ... why you crying?"
"I'm not crying. It's just that my eyes get watery sometimes. It's okay." Aku cepat-cepat menghapus air mata yang dengan memalukannya jatuh begitu saja. Untung saja suasana di kedai ini tidak terlalu ramai.
"Steph," panggilnya dengan sangat lembut. Dion menjulurkan tangannya untuk menghapus air mataku, lalu meraih kedua tanganku dan memberinya sebuah kecupan di punggung tanganku. "I didn't mean to make you cry, Angel Face."
Aku terkekeh dengan bibir yang bergetar, menatap cinta pertamaku dengan pandangan kabur. "It's happy tears. I can't help it."
"My Sweet Angel," gumamnya. Lalu ia mengenggam tanganku, kedua matanya menatapku dengan intens. "You never failed to mesmerize me."
"Kamu niat banget ngikutin aku sampai Jogja. Pasti dari Stella kan tahunya." Aku meliriknya sekilas lalu kembali meminum air murni Jeruk Baby yang kubeli seharga 15 ribu di pinggiran toko, di sekitar kawasan Malioboro.
Setelah kenyang menikmati steak tadi, Dion mengajakku kembali menyusuri Malioboro di malam hari. Berbagai macam makanan khas Jogja dijajakan di sepanjang trotoar ini. Aku meminta Dion untuk menemaniku membeli Red Velvet cake di Bread Talk yang terdapat di samping pintu masuk Malioboro Mall.
Lalu sekarang kami berdiri di samping sebuah toko pakaian, dengan ditemani alunan tembang lawas yang dinyanyikan sepasang suami-istri tunanetra. Mereka terduduk di emperan toko tersebut. Tak sedikit orang yang merekam mereka berdua, tak jarang juga yang lebih memilih menikmati suara merdu itu sembari memasukan beberapa lembar uang ke dalam wadah yang sudah disediakan.
"Tanpa bantuan Stella pun aku selalu tahu kamu di mana kok," ucap Dion. Aku mendongak dan mendapatinya sedang menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.
"Bohong," balasku.
Gerimis yang tiba-tiba turun beberapa menit yang lalu membuat suasana semakin romantis. Sebagian rambutku dan baju kotak-kotak yang kupakai sedikit basah akibat berjalan di bawah rintik hujan malam ini. Semoga saja besok aku tidak sakit karena kehujanan. Sudut bibirku terangkat mengingat kembali percakapan kami saat menuju kemari.
"Wah gerimis, Steph. Tapi tenang, bentar lagi sampai kok," ucap Dion saat motor yang kami kendarai memasuki area Taman Pintar.
"Bawa jas hujan enggak nih?" tanyaku. Walaupun sebenarnya aku tidak perduli, karena mengendarai motor di bawah hujan bersama Dion lebih menarik.
"Bawa sih, tapi cuma satu," jawabnya dengan terkekeh, lalu ia sekilas menatap ke belakang. "Kamu enggak pakai jaket ya?"
"Enggak papa. Udaranya cukup hangat, lagian bajuku enggak tembus pandang kalau basah kok."
"Bagus deh."
Dion terkekeh. "Enggak percaya banget sih. Bagi minum dong." Ia menyambar cup minuman yang kupegang dan meminumnya lewat sedotan yang tadi kupakai.
Mataku teralihkan oleh pandangan yang mengetarkan hatiku. Dari arah kananku terlihat sepasang kakek dan nenek sedang berjalan berdampingan. Sang kakek mengandeng tangan istrinya, sedangkan tangan lainnya memegangi sebuah payung biru. Nenek itu tertawa saat suaminya mengatakan sesuatu hal dan dengan lembut mengusap lengannya.
"Kadang aku berpikir, apa sih yang buat suatu hubungan bisa awet kayak gitu?" kata Dion tiba-tiba yang membuatku menatapnya. "Aku sering lihat hubungan mama sama papaku masih sangat harmonis, padahal mereka udah hidup bersama lebih dari 25 tahun. Kamu tahu sendiri kan mereka bukan orang yang santai-santai di rumah. Mereka berdua orang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Tapi mereka bisa menjaga keharmonisan itu. Beberapa waktu yang lalu aku sempat tanya ke mama, apa rahasianya."
Aku terkekeh mendengar itu, walaupun tidak mengerti arah pembicaraannya. "Kamu beneran nanya itu?"
"Iya." Dion tersenyum. "Kamu tahu apa jawabnya? Mama bilang kalau saling mengerti, komunikasi yang baik, keterbukaan, dan kejujuran punya peranan penting dalam suatu hubungan. Tapi sayangnya aku terlalu menganggap remeh itu semua dulu, yang secara enggak langsung buat kamu sakit hati. Aku sadar, berat buat kamu menerima semua ini."
Jantungku berdebar sangat kencang saat ini. Kerongkonganku terasa tercekat.
"Steph, aku mohon, kasih aku kesempatan buat buktiin sama kamu kalau aku serius sekarang. Aku enggak akan lari lagi." Ia mengusap wajahku dengan lembut.
Aku menelan ludah sebelum bertanya, "boleh aku minta sesuatu dari kamu?"
Sekarang atau enggak selamanya, Steph.
"Apapun itu .... " Pupil matanya melebar.
"Tolong jangan buat aku kecewa lagi."
Salah satu kenangan tahun lalu ada di chapter ini 😌
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro