Lembaran Baru
Pernikahan.
Adalah sebuah fase yang akan di alami oleh manusia. Walaupun memang tidak semuanya bisa merasakan itu. Karena ada yang lebih memilih untuk melajang, ada yang memilih menjalin hubungan tanpa ikatan, ada juga yang belum sempat mencicipi indahnya pernikahan namun sudah kembali kepada-Nya.
Takdir memang benar-benar sebuah misteri. Misteri yang kadang membuatku takut akan hal yang menanti di depan. Aku bukan tipe orang yang senang berandai-andai, bagiku terlalu menakutkan untuk sekedar berangan-angan tentang hal di masa yang akan datang. Menyusun rencana tentu boleh, tapi jika terlalu jauh hingga kita membuat skenario sendiri, mendahului Sang Maha Pengatur Segala, rasanya tidak tepat. Karena sejatinya manusia tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Yang kita yakini hanyalah satu, Sang Maha Pengatur Segala pasti akan memberikan yang terbaik untuk kita.
Seperti halnya pengantin baru yang sedang menyalami para tamu itu. Mereka mana mungkin pernah berpikiran bahwa jodoh mereka tidak lain dan tidak bukan adalah teman masa kecilnya. Iya, adik ipar sepupuku ini sama sekali tidak menyangka jika yang menjadi istrinya adalah orang yang paling dekat dengannya semasa di Medan dulu. Tuhan memang kadang 'bercanda' dengan kita, jauh-jauh dan mati-matian mencari pasangan di tempat lain, tapi nyatanya bagi sebagian orang, jodoh mereka adalah orang yang berada di sekitarnya.
Pesta yang bertemakan Jawa kental terasa sangat intim dan penuh tawa bahagia. Kami sekeluarga mengenakan baju tradisional Jogja, kebaya merah untuk saudara perempuan dan kain bercorak Lurik. Sedangkan beskap warna hitam untuk para lelaki lengkap dengan blangkon dan kain khas Jogja untuk bawahnya. Ini kali kedua aku memakai kebaya lengkap dengan sanggulnya, terakhir memakainya saat Hari Kartini di Sekolah Dasar dulu.
"Cantiknya adikku pakai kebaya gini," goda Adrian sambil merangkul pundakku.
Aku tersipu saat beberapa pasang mata milik saudara kami melihat ke arahku akibat suara Adrian yang terlalu keras. "Thanks, Mas. Cuma ini sanggulnya bikin pusing."
Jelas saja pusing, aku yang tidak biasa disanggul seperti ini sudah memakainya beserta pakaian lengkap sejak pukul enam pagi dan sekarang sudah sekitar pukul satu siang.
"Kamu berarti enggak cocok jadi keluarga Keraton," goda Adrian sambil tertawa.
Aku hanya memutar mata dan meminum segelas air lemon dan mint dingin yang menjadi salah satu sajian di resepsi ini. Sekitar delapan gubuk yang menyajikan makanan traditional maupun international berjejer di sebelah kiri dan kanan pintu masuk gedung. Walaupun kelihatannya menggugah selera, namun rasanya aku tidak tertarik untuk makan sekarang.
Ponselku bergetar di dalam tas, saat kubuka ternyata Stella mengirimkan beberapa pesan di WhatsApp.
Anjir!
Lo liat berita blm, Babe?
Ia juga mengirimkan sebuah tautan dengan judul yang membuat alis mataku berkerut. Terdapat nama Adrian di dalam headline berita tersebut yang semakin membuatku bingung.
Kekasih Adrian Ramadani Tertangkap CCTV Sedang Berusaha Membobol Apartemennya
Apartmen milik fotografer terkenal, Adrian Ramadani, semalam dilaporkan menjadi korban percobaan pembobolan oleh Sang Kekasih yang bernama Karina Mayangsari.
Model yang memulai karir lewat media sosial Instagram itu mendadak viral karena tertangkap CCTV sedang mencoba memasuki sebuah apartemen di kawasan CSBD dengan paksa. Namun aksinya gagal setelah dua orang petugas keamanan memergokinya dan mengajaknya menjauh dari sana.
Model berusia 24 tahun itu terlihat menangis tersedu-sedu saat kedua petugas keamanan mencoba berbicara dengannya. Namun sampai saat ini belum diketahui alasan di balik itu semua.
Di lansir dari petugas keamanan tersebut, Adrian Ramadani sedang tidak berada ditempat saat kejadian. Ia diketahui sedang berada di luar kota bersama adiknya, designer terkenal Stephanie Ramadani.
"Wah gila nih," gumamku.
"Kenapa?" tanya Adrian.
Dengan perasaan yang campur aduk, aku menunjukan berita tersebut beserta sebuah rekaman CCTV yang sedang viral sekarang. Disana terlihat Karina sedang berdiri di depan pintu apartemen kami, menangis sambil memukul-mukul pintu dan berusaha mendorong pintu tersebut. Sekitar beberapa detik kemudian, ada dua orang petugas keamanan yang datang menghampiri Karina dan membawanya menjauh dari sana. Rekaman yang berdurasi sekitar satu menit itu sudah ditonton lebih dari tiga ratus ribu akun di media sosial. Lebih parahnya lagi, di berita itu juga mencantumkan beberapa cuitan dari media sosial yang semua akun tersebut menandai Adrian dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Kamu enggak dapat laporan dari pihak gedung, Mas?" tanyaku.
"Hp-ku mati dari semalam, lupa belum aku charge." Rahang Adrian mengeras, ia terlihat sangat marah. "Nanti sore aku harus pulang. Aku harus ngomong sama Karina, ini enggak bisa di biarin."
"Sabar, Mas," kataku. "Jangan gegabah."
. . .
"Mantannya Adrian agresif juga ya," ucap Dion sambil terkekeh saat melihat rekaman CCTV yang sedang viral saat ini.
"Yang aku kenal sih dia orangnya kalem," timpalku seraya membalikkan halaman sebuah majalah fashion yang disediakan di suite room yang ditempati Dion.
"Kamu enggak seharusnya nilai orang cuma dari luarnya aja dong." Dion bangkit dari sofa yang ada di depan jendela lalu berjalan ke arahku yang duduk di tempat tidurnya. Ia mengambil majalah yang sedang kubaca dan meletakkannya di meja. Ia menggurungku dengan kedua lengannya dan memberiku seringgai seksinya. "Dekati, terus kenali lebih dalam lagi. Baru kamu bisa tahu sifat aslinya."
Aku bisa berada di kamar suite yang ditempati Dion sekarang ini karena Adrian sudah pulang ke Jakarta tadi dengan pesawat yang berangkat pukul 18:20. Sedangkan kedua orang tuaku menghadiri acara makan malam bersama keluarga besar. Acara kumpul-kumpul keluarga seperti itu yang selalu aku hindari, entahlah tapi aku tidak suka jika selalu dilempari pertanyaan yang bagiku tidak perlu ditanyakan.
Contohnya seperti; kapan nikah? Udah ada calon belum? Masa kalah sama adik sepupumu. Kalau buka butik gitu penghasilannya berapa sebulan?
Semuanya itu tidak ada pengaruhnya bagi mereka. Hanya saja terkadang mereka mempunyai keingintahuan yang bisa saja menyakiti hati orang lain tanpa mereka sadari.
"Oh ya?"
Dion memejamkan matanya sejenak, lalu membukanya kembali dan berkata, "damn it, Babe. I love it when you looking at me with one of your eyebrow raised."
Aku terkikih. "What's so special about it?"
"You look sexier when you do that. I called that 'Come and Get Me' look."
Aku sepontan tertawa karena kata-katanya yang konyol. "Apa semua yang keluar dari mulut kamu itu harus berbau seksual?"
"Hmm..." Dia menyeringai lalu mengecup bibirku sekilas.
Dion tersenyum dan merebahkan dirinya ke kasur lalu menarikku untuk berbaring bersamanya. "Kamu apa-apaan sih. Jangan aneh-aneh deh," kataku memperingatkannya.
Ia tertawa. "Kamu dengar sendiri kan siapa yang punya pikiran seksual sekarang," ucapnya sambil mengacak-acak rambutku.
"Hey, jangan gitu!" Aku merapikan lagi rambutku. "Abisnya kamu ambigu banget sih."
Ia menghela napas lalu mencium puncak kepalaku. "Aku cuma pengen ngobrol aja sama kamu, tapi dengan posisi yang lebih dekat."
Aku bisa merasakan ia tersenyum dari gerakan dagunya yang bersandar di puncak kepalaku. "Oh..."
"Aku udah janji sama diri sendiri kalau enggak bakal ngelakuin hal apapun tanpa persetujuan dari kamu. So, kalau kamu mau yang lebih, harus minta dulu." Dion menertawakan ucapanya sendiri yang membuatku ikut tertawa juga.
"Dasar mesum." Aku mencubit pelan pinggangnya, tapi tidak berhasil karena perutnya terlalu padat seperti tidak ada lemak di sana.
Membuatku insecure saja.
Dion mendekapku dalam pelukan hangatnya. Ia meraih tanganku dan mendaratkan kecupan di sana, lalu menaruhnya di atas dadanya. Aku bisa mendengar dan merasakan detak jantungnya yang sedikit tidak normal. Apa ini karena aku?
"Steph," panggilnya.
"Hmm?"
"I know this too soon but I just wanna say that I love you so much," katanya sambil berbisik. Aku bisa merasa setiap getaran di leher dan di bagian dadanya setiap kali ia berbicara.
Ya, Tuhan.
"Dion, aku-"
"Hush, I'm not done yet." Ia memotongku. "If you ever have a doubt about what I feel towards you, please forget that. Cause I swear to God, even though we both hadn't seen each other in seven years, I still have a feeling for you. All of your letters and other things that's from you, I still have 'em. I keep it in a box and brought it here with me."
"You've really read all of those?" tanyaku penasaran.
"Yes. I memorized every God damn word, Babe. I've written the answers to your letters , but I didn't send it to you. Cause I was so scared and confused. I... I thought if I disappeared, you would easily forget me. But I guess I was wrong, because I couldn't forget you either."
Tanganku meremas kaus yang ia pakai saat tiba-tiba detak jantungku meningkat. "Di mana surat-suratnya sekarang?"
"Ada di rumah. Kalau kamu mau baca semua balasannya, besok kalau kita udah pulang ke Jakarta aku kasih semuanya ke kamu."
"Oke." Aku mengangguk dan memeluk pinggangnya.
Kami berdua diselimuti oleh keheningan selama beberapa saat. Perpaduan antara suara detak jantungnya, dan hembusan napasnya membuatku merasa tenang.
"Rasanya ini semua kayak mimpi," bisikku.
"Hmm, kenapa gitu?" tanya Dion. Tangannya mengusap-usap punggungku.
"Dulu aku sempat kehilangan harapan buat ketemu lagi sama kamu. Rasanya enggak mungkin aja. Tapi sekarang dengan adanya kamu di sini, aku berasa lagi mimpi."
Aku mendengar Dion menarik napas dalam dan mengembuskannya pelan sebelum menjawab, "kamu enggak mimpi, Sayang. Aku di sini dan akan selalu di sini."
Kukecup rahangnya dan berbisik disana, "makasih udah pulang buat aku."
He tightening his arms around me and whispering sweet nothings in my ear.
We stay in the same position for a little longer, just getting comfortable in each other's arms before I go back to my hotel room with a warm heart and a big smile.
. . .
Emotional aku nulis part ini (・_・;)
Aku tetep nulis isi berita tentang Adrian karena kadang gambarnya ga bisa di buka hehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro