Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Keputusan

"Apaan sih, Ma." Aku langsung menyedot es jeruk yang tinggal setengah gelas untuk menghindari tatapan mencurigakan dari mamaku.

Mama tertawa akan reaksiku. "Gapapa, Steph. Udah saatnya juga kan kamu, dari pada mama repot-repot cariin kamu cowok. Kalau udah ada ya, Mama senang. Tinggal kapan aja kamu mau kenalin ke mama sama papa."

Wajahku memanas. "Udah deh, kenapa jadi bahas aku sih."

Mamaku terkekeh, namun terhenti ketika ponselnya berdering di dalam tasnya. Ia segera mengambilnya. "Papa kamu," jelasnya.

Tiba-tiba terdengar pengumuman dari pengeras suara yang memberitahukan jika ada penemuan dompet di kursi lobi rumah sakit. Beberapa orang yang ada di kantin terlihat fokus mendengarkan pemberitahuan itu.

"Halo, Sayang ... Bentar, aku enggak bisa dengar suara kamu ... " Mama mengisyaratkan untuk ijin menjauh dari pengeras suara yang ada di kantin rumah sakit ini.

Aku menyedot habis sisa es jeruk tadi dan bergegas menyusul mama keluar dari kantin. Setelah selesai berbicara dengan papa dan memberi tahunya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Karina, papa mengatakan jika akan langsung menghubungi pengacara yang mana temannya sendiri untuk mengurus kasus ini. Setidaknya kami merasa sedikit lega karena Riko sudah ditangkap polisi dan sekarang sudah ada pengacara yang mengurus.

Aku dan mama kembali ke ruangan di mana Karina dirawat, Adrian dan Reza terlihat mondar-mandir di depan pintu. Di sana juga sudah ada beberapa orang yang datang, di antaranya adalah manajernya Karina, teman Karina yang bernama Fitri, dan sisanya aku tidak mengenal siapa mereka. Mamaku menyapa mereka semua dengan ramah, mereka pun merespon dengan baik. Kemudian mama mendekati Adrian dan Reza.

"Ada apa?" tanya mama pada keduanya.

Adrian melihat ke arah mama dan mengusap wajahnya. "Tadi Karina sempat sadar, Ma. Tapi enggak lama dia mulai nangis lagi dan muntah-muntah, dia juga bilang kedinginan. Sekarang di dalam ada dokter sama suster lagi periksa keadaannya. Katanya sih karena reaksi dari traumanya."

"Ya ampun, Karina," bisik mama sambil menutup bibirnya dengan tangan. Kedua matanya kembali berkaca-kaca.

Adrian memeluk mama dan berusaha menenangkannya. Aku pun ikut mengusap-usap punggung mama yang terlihat kembali sedih mendengar keadaan Karina. Mama bisa dibilang sudah sangat dekat dengan Karina, ia bahkan lebih sering bertemu dengan mama dibandingkan aku yang anaknya sendiri. Karina tidak hanya berhasil merebut hati Adrian, tapi juga hati mama, yang membuatnya sangat sayang kepada kekasih kakakku itu. Aku tidak iri akan hal tersebut, sungguh, hanya saja itu membuat mama menjadi sangat terpukul akan kejadian yang menimpanya. Seperti ibu yang ikut merasakan penderitaan putrinya.

Sekitar pukul sebelas siang, Stella meneleponku untuk memberi kabar jika orang dari event organizer yang aku minta untuk mengurus launching tahun depan sudah berada di Louroose dan menungguku. Kalaupun aku bergegas ke sana sekarang juga, waktunya tidak akan cukup karena Louroose dan rumah sakit ini jaraknya cukup jauh. Belum lagi macet, bisa jadi aku sampai di sana, mereka sudah pergi. Jadi kuminta Stella mengurus semuanya, biar nanti aku tinggal memutuskan untuk menggunakan konsep yang mana.

Seperti biasanya, Stella pun juga sudah tahu akan peristiwa yang menimpa Karina dari media sosial. Ia sama kagetnya juga dengan yang lainnya, tidak menyangka teman Adrian bisa berbuat sekeji itu.

"Kamu kalau mau pulang, gapapa, Steph." Adrian mengambil tempat duduk di sebelahku. Kurasa ia mendengar pembicaraanku tadi dengan Stella.

"Kamu yang seharusnya butuh istirahat, Mas. Ini kaus sama muka udah kucel banget gini." Aku menarik ujung lengan kaus hitamnya.

Ia tersenyum getir. "Aku nanti bisa pulang ke rumah mama kalau ibu sama adiknya Karina udah datang. Dekat kan dari sini. Lagian masih ada baju juga kok di sana, jadi enggak masalah kalau enggak pulang ke apartemen."

"Iya sih." Benar juga, Adrian bisa pulang ke rumah mama yang jaraknya hanya 10 menit dari rumah sakit ini.

"Makanya, kalau kamu mau pulang, gapapa. Selesain dulu urusan kamu, aku tahu peluncuran baju tahun depan penting banget buat kamu. Lagian di sini juga udah banyak orang kok. Sekalian nanti minta tolong ambilin laptop aku ya. Ada beberapa foto yang harus dikirim besok," jelas Adrian.

Aku mengangguk. "Laptopnya mau aku antar lagi ke sini nanti atau besok pagi?"

"Besok pagi aja."

"Oke. Kabari aku kalau ada apa-apa ya, Mas." Aku bangkit dari kursi. "Aku mau bilang mama dulu kalau mau pulang." Lalu aku menghampiri mama yang sedang berbicara dengan manajernya Karina.

. . .

"Mereka kasih lima usulan konsep yang bisa lo pilih. Udah gue kirim kok, cek aja."

"Oke."

Kunyalakan laptop milikku dan membuka Gmail untuk melihat konsep yang Stella kirimkan. Dua bulan yang lalu, aku menghubungi sebuah event organization yang sudah penah bekerja sama denganku. Aku ingin peluncuran baju kali ini seperti pernikahan sesungguhnya, dengan tema dan konsep layaknya berada di pesta pernikahan.

"Oh iya, gimana keadaan pacarnya Adrian?" tanya Stella sambil merebahkan dirinya di kasur.

Mataku teralihkan dari gambar ruangan penuh bunga berwarna pink dan putih yang ada di layar laptop, karena pernyataannya Stella. "Masih belum stabil lah. Tapi syukurnya dia udah sadar. Adrian belum lama tadi kasih kabar ke gue kalau ibu sama adiknya Karina udah sampai Jakarta. Syok parah, ibunya sampai mau pingsan. Enggak tega gue dengarnya, jujur."

"Ya ampun, kasihan banget." Stella mengambil sebuah guling dan meletakkannya di ujung kasur, ia mengubah posisi tidurnya menjadi tengkurap supaya bisa melihatku yang duduk di kursi. "Gue enggak habis pikir ya, berengsek banget ternyata Riko. Mukanya aja alim gitu, ternyata .... "

I just shrug, cause honestly I never thought that someone like Riko could do such a horrible thing to his best friend's girlfriend. Man, the world is full of heartless bastard.

"Terus gimana proses hukumannya?" tanya Stella lagi.

"Riko masih diproses di polres sekarang. Tapi bukti-bukti juga udah jelas kok, dia enggak bakal bisa mengelak lagi. Bokap gue tadi udah sewa pengacara buat urus semuanya. Gue yakin Riko bakalan dapat hukuman yang setimpal, bisa kena pasal berlapis kan dia. Udah perkosa Karina yang enggak sadar, ada pengancaman, percobaan pembunuhan, terus dia pakai acara kirim teror lagi ke apartemen gue." Aku membuka gambar selanjutnya yang terlihat manis dengan banyak balon putih dan pita berwarna perak.

"Lah iya. Gue rasa ya, Riko fisiknya aja manusia, tapi sebenarnya setan." Stella berdecak. "Gue kalau jadi Karina enggak bakal deh maafin dia. Mau cium kaki juga tetap enggak ada maaf. Kalau bisa dikebiri itu orang. Oh iya, by the way, Adrian gimana, Babe?"

"Dia merasa bersalah banget. Gue bingung harus gimana." Aku menggigit sisi dalam pipiku.

Stella terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "mau nyesel juga udah enggak ada gunanya, Babe. Semua udah terjadi. Balik lagi, siapa juga yang nyangka kalau si berengsek Riko bisa berbuat kayak gitu kan. Reaksi Adrian kemarin juga wajar, dia lihat ceweknya sama cowok lain di hotel, marah karena hal itu wajar. Jadi sekarang perbaiki aja apa yang harus diperbaiki ... kesembuhan Karina. Kalau cuma menyesal enggak akan ada habisnya."

Aku hanya mengangguk dan berdoa dalam hati supaya masalah ini cepat terselesaikan. Berharap juga Karina diberi kekuatan hati dan mental untuk menghadapi cobaan ini. Karena sekuat apa pun mental seseorang jika dihadapkan dengan pemerkosaan dan percobaan pembunuhan, akan terguncang juga.

"Oh iya, balik lagi ke masalah tema. Gue rasa bagusan pakai bunga-bunga gitu kan ya, Babe. Soalnya tadi mereka kasih gambar yang ada banyak balonnya gitu. Kayak pesta bocah kan ya." Stella mengernyit. "Belum kalau nanti balonnya meledak gimana? Gue enggak bisa dengar suara balon meledak gitu."

"Balon itu meletus bukan meledak ya, Stella Matic." Aku tertawa oleh reaksinya ketika membicarakan tentang balon. "Gue setuju sih itu. Kalau menurut lo, misalnya kita pakai tatanan bunga yang ada di foto ketiga ini, terus dekorasi ruangannya hitam semua gimana?"

Stella membuka ponselnya dan melihat gambar yang kumaksud. "Kenapa pilih hitam?"

"Ya karena baju sama sepatu yang gue rancang warnanya cerah; putih, krem, biru pastel, merah jambu pastel, sama merah. Maksud gue kalau dekorasi ruangannya hitam, nanti warna bajunya kan bisa kelihatan jelas pas modelnya jalan. Stand out gitu."

"Oh ... hitam polos?"

"Mm, gue maunya sih hitam kayak ada strukturnya gitu di dinding. Terus ada kilauan gitu nanti dari efeknya. Gue yakin EO yang kita pilih bisa wujudin semuanya. Nanti kursinya ditata kayak pesta nikahan beneran. Di sampingnya, kanan-kiri panggung, terus bunga yang putih tadi ada di sepanjang depan kursi."

Stella tersenyum jahil. "Dari awal tahun ya, Bebe, gue rasa lo udah pengen banget deh nikah. Ya, mungkin lo enggak sadar, tapi alam bawah sadar lo kayak mengirim sinyal gitu."

Alam bawah sadar? Yang benar saja.

"Lo ngomong apa sih? Enggak jelas banget," cibirku seraya memunggunginya dan berpura-pura sibuk dengan laptopku.

"Mata lo itu berbinar pas ngomong soal konsep 'kayak nikahan beneran' tadi." Stella terkekeh. "Dion udah ada omongan kesitu?"

Pertanyaan Stella mengingatkanku jika ada hal yang harus aku konfirmasi padanya. Aku melihat ke arah sahabatku sejak TK ini, hampir tidak pernah ada rahasia diantara kita berdua dulu. Sampai akhirnya aku dan Dion berpisah, dari situ aku lebih memilih menyimpan perasaanku sendiri. Ternyata diwaktu yang bersamaan, Stella juga menyimpan rahasia dariku.

. . .

Steph ngebet nikah beneran kah?😆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro