Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kembali ke Awal

. . .

Dion menyenderkan punggungnya di kursi dengan satu kaki bertumpang di lulutnya dan tangannya bermain dengan korek api yang ada di meja. Dengan bibir yang sedikit terbuka, ia memperhatikanku sudah lebih dari lima menit tanpa berkata apapun dan itu membuatku salah tingkah.

"Kamu kenapa lihat aku kayak gitu?" Dengan wajah yang memanas aku menyelipkan anak rambut yang terlepas dari ikatan di atas kepalaku.

Dion terkekeh. Mata hijaunya berbinar di bawah pantulan cahaya lampu yang tergantung di tengah payung besar ini. "Aku cuma lagi mikir, kok bisa kamu tetap cantik padahal tadi udah panas-panasan terus kehujanan lagi?"

Kami sedang makan malam disebuah kafe di daerah Jl. Bantul. Kafe dengan model outdoor dan terdapat live music, rasanya pas sekali untuk mengakhiri hari ini. Aku memesan spaghetti carbonara dan hot green tea, sedangkan Dion memilih sup udang dan lemon tea dengan taburan daun mint.

"Bisa banget nge-gombalnya. Orang aku lecek kayak gini."

Ia tertawa. "Tetap cantik kok. Tapi romantis kan pakai motor kayak tadi? Kamu bisa peluk aku dari belakang."

Giliran aku yang tertawa sekarang. "Sejak kapan kamu jadi cringe kayak gini?"

"Sejak kamu setuju buat ada di hidupku lagi," ucapnya, lalu meneguk minumannya.

"Jangan senang dulu. Kamu masih punya hutang buat buktiin semuanya," ucapku.

"I know, Gorgeous. Thank you." Ia tersenyum. Kedua sorot matanya menyiratkan kesungguhan.

"Okay." Aku mengangguk lalu mengalihkan pandangan ke kantong belanjaanku yang di dominasi oleh-oleh untuk Stella dan beberapa untuk karyawanku di Louroose. Aku melakukan ini hanya agar aku bisa menghindar dari tatapan itu.

Aku masih belum yakin dengan semua ini. Bukan tidak mempunyai kepercayaan terhadap Dion, hanya saja perjodohan itu melibatkan nama baik perusahaan sekaligus citra keluarga Mahardika. Banyak hal yang bisa saja keluarga Nameera lakukan untuk menuntut Dion jika ia menyudahi perjanjian yang sudah disepakati. Walaupun Dion sudah memberitahuku jika kedua orang tua Nameera yang ingin mereka menikah dan Nameera menolaknya, tapi masih terdapat kekhawatiran di dalam diriku. Aku pun belum pernah bertemu dengan Nameera secara langsung, bagaimana bisa aku tahu jika ia juga benar-benar menolak perjodohan itu.

Hati manusia bisa dengan mudahnya berubah dan itu yang aku takutkan.

"Kamu pasti enggak tahu lagu ini kan?" tanyanya saat sebuah lagu terdengar dari band yang bernyanyi secara langsung di panggung kecil samping pintu masuk.

Lama ... kau pergi
Aku ... merasa takut
Bila kau lari

Dengar kataku
Kusayang ... hanya padamu
Tiada lain
Yang tinggal ... dalam hatiku

Aku terdiam sesaat, berusaha mendengarkan lagu tersebut. Namun nihil, aku tetap tidak tahu lagu siapa itu. "Hmm, emang lagu siapa ini?"

Kedua mata milik Dion menatapku dengan begitu dalam. "Koes Plus. Cinta Abadi." Lalu ia mengumamkan syair lagu tersebut mengikutiku launan nada yang penyanyi itu nyanyikan.

Entah karena tatapan milik Dion atau caranya duduk di kursi itu yang membuatku ingin sekali menarik wajahnya dan menciuminya hingga aku tidak bisa bernapas.

Ya ampun. Kenapa aku jadi mempunyai pikiran seagresif ini sih.

"...kamu ngapain aja?" pintanya seraya menopang kepala dengan tangannya dan tersenyum ke arahku.

"Apa?" tanyaku. Entah sudah berapa lama aku mencoba menelanjangi pria di depanku ini dengan tatapanku. Namun yang aku tahu, lagu milik Koes Plus tadi sudah tidak terdengar lagi.

Ia menyeringai, seperti bisa membaca dan mengetahui isi otakku. "Aku tadi minta kamu buat cerita. Apa yang kamu lakukan selama aku engak ada ada di sini?"

"Oh. Apa yang mau kamu tahu?" Aku menggigit bibirku.

"Tentang kerjaan kamu. Semuanya."

Aku terdiam sebentar, untuk memulai dari mana. Lalu aku mengambil napas dan menghembuskannya pelan. Kuceritakan tentang awal mula berdirinya Louroose, butik kebanggaanku dan Stella. Mulai dari iseng-iseng membuatkan design baju untuk teman-teman kuliah dulu, lalu mulai dijual di media sosial dan lama kelamaan aku dan Stella bisa memiliki butik seperti sekarang.

"I'm amazed. I always know you're a hard worker," puji Dion. "Terus kalau soal property, masih kamu lanjutin?"

Aku tersenyum, mengetahui Dion masih ingat dengan pekerjaan pertamaku. "Thanks. Kalau soal property, buat sementara aku off dulu. Masih sibuk buat persiapan launching Wedding Collection buat tahun depan. Aku enggak sanggup kalau harus mikirin banyak hal sekaligus. Ini sebenarnya enggak enak juga sih biarin Stella handle kantor selama beberapa hari. Mana harus bolak-balik kontrol produksi sepatu juga," jelasku.

"Dia pasti ngertilah. Oh iya, aku suka baca berita tentang kamu pas masih di London."

Bernarkah? Tapi kenapa sekalipun kamu enggak pernah balas suratku? Ingin rasanya berkata seperti itu, namun aku lebih memilih mengatakan, "Does that mean I'm famous now?" Alisku terangkat.

Suara tawa Dion membuat hatiku bergetar. Melodi indah itu tidak pernah gagal membuatku tersenyum. "Yes, you are. I've seen a lot of your clothes in international magazines next to another high-end brand. That's phenomenal."

"There's a lot of tears involved," kataku sambil memandanginya.

Seketika tawanya terhenti. Aku melihat jakun Dion bergerak seperti ia menelan ludah. Bibirnya sedikit terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu namun ia tahan.

"Kenapa?" tanyaku.

Ia menggelengkan kepala. "Udah malam. Mau pulang sekarang?" tanyanya dengan suara dingin.

What did I do wrong this time?

"Oke."

. . .

Kami sampai di hotel sekitar pukul setengah sepuluh malam dan ponselku tidak henti-hentinya begetar di dalam tas. Pasti Adrian.

"Helm-nya," pinta Dion tanpa melihat ke arahku saat kami sampai di parkiran khusus sepeda motor di basement hotel yang sunyi ini.

"What's with the attitude?" Dahiku berkerut.

Masih tidak ada jawaban darinya. Aku memutar mata sambil melepas helm yang kupakai, menaruhnya di atas jok motor dan mengambil barang belanjaanku lalu bersiap untuk pergi. Apa yang salah dengannya? Bahkan selama perjalanan pulang Dion tidak sedikit pun mengeluarkan suara tadi.

"Steph," panggilnya sambil menahan lenganku.

"Udah bisa ngomong sekarang?"

"I'm sorry."

Aku menghela napas panjang. "Kita baru aja baikkan, Dion. Aku salah apalagi sampai kamu diemin aku kayak tadi?"

Ia melangkah ke arahku dan merengkuh tubuhku ke dalam dekapan hangatnya. "Kamu enggak salah. Aku yang salah. Maafin aku," bisiknya ditelingaku. "Aku cuma enggak bisa dengar masa sulit kamu pas aku enggak ada di sini. Tadi pas kamu cerita, aku kecewa sama diriku sendiri kenapa bisa setega itu dulu."

Oh, Dion...

Hangat tubuh dan suara detak jantungnya berhasil mengalihkan pikiranku. Aku tidak akan menuruti egoku untuk bertengkar dengannya hanya karena masalah sepele seperti ini. Aku baru saja mendapatkannya kembali for God's sake.

"I'm alright. It's okay. You're here and that's all I ever wanted in life," kataku.

Aku merasakan Dion menghela napas panjang lalu melepaskan pelukannya untuk melihatku. "You're really something else. Are we good?"

Aku mengangguk sambil tersenyum."Yeah."

"Where's my kiss then?" pintanya sambil menyatukan kening kami. Wajahku kembali memanas.

"Stop provoking me. We're in a public place for God's sake," bisikku sambil melihat kanan-kiri. Takut jika ada orang disekitar kami.

"So, would you rather kissing me up in my suite?" godanya. "I love the idea of having you in my room." Ia mengusap-usapkan ujung hidungnya ke pipi dan telingaku. Bulu kudukku berdiri akan sensasi yang Dion berikan.

"Dion." Namanya keluar dari mulutku berubah desahan.

"God, Babe. I love the sound that you make." Ia mulai menciumi rahangku dan menarikku lebih mendekat kepadanya, hingga tidak ada lagi celah diantara kami.

Aku mendongak dan melihat mata Dion menggelap. Kujatuhkan belanjaanku begitu saja lalu mengalungkan kedua tanganku di lehernya. Kutarik tengkuknya dengan hati-hati mendekat agar wajahnya sejajar denganku, lalu kuremas pelan rambut sebelum mengulum bibir Dion dan menggigitnya pelan. Senyum tersungging di bibirku ketika aku berhasil membuat Dion mengeluarkan suara kenikmatan itu. Tangannya merengkuh leherku saat ia mengambil alih, memperdalam ciumannya yang membuat kepalaku berdenyut dalam euphoria.

Aku hampir saja mengeluarkan air mata karena terharu akan hal-hal yang terjadi kepadaku hari ini.

Benar kata mereka, jika hal baik pasti datang di waktu yang tepat.

. . .

"Kamu dari mana aja jam segini baru pulang?" tanya Adrian saat aku baru saja masuk kamar. Ia sedang bersantai di sofa sambil menonton acara televisi.

Bersikap biasa aja, Steph. Kamu pasti bisa.

"Hi, Mas," sapaku sambil berjalan menuju tempat tidur untuk melepas sepatu dan beberapa aksesoris yang kupakai lalu menaruh belanjaanku di kasur. "Aku abis jalan-jalan aja. Udah lama kan enggak keliling Jogja."

"Sendirian?" tanyanya lagi sambil berputar menghadapku.

Aduh. Mati deh aku kalau Adrian tahu.

"Hmm. Kan kamu sibuk, mama sama papa juga ke rumah temennya." Aku tersenyum sambil mengambil pakaian dari dalam koper yang ada di samping tempat tidur.

"Lain kali jangan gitu. Bahaya cewek jalan sendirian apalagi sampai malam gini," jelasnya.

Aku bangkit dari tempat tidur dengan membawa beberapa pakaian yang akan kupakai setelah mandi. Lalu aku menghampiri Adrian yang ada di sofa dan mengecup pipinya. "Iya, Kakakku Sayang. Makasih udah khawatir. Udah ah, aku mandi dulu."

Senyuman tidak henti-hentinya terbentuk di bibirku saat aku ada di dalam kamar mandi. Kumulai dengan membersihkan wajahku dan mengosok gigi, lalu menanggalkan semua pakaianku sebelum berjalan menuju shower. Mataku terpejam menikmati hangatnya air yang membasahi seluruh tubuhku.

Hari ini adalah hari dimana aku merasa sedikit lega. Lega karena akhirnya aku bisa bersama Dion kembali. Ya, walaupun masalah dari pihaknya belum selesai, tetapi setidaknya kini kami bersama dan mungkin saja aku bisa membantu untuk memberi semangat agar ia segera bisa menyelesaikan misinya.

Aku menuang sampo yang disediakan pihak hotel ke telapak tanganku dan memberinya air sedikit lalu mulai menyampo rambutku, memijatnya dengan lembut seraya menyenandungkan Capital Letters.

Ah, indahnya hari ini.

. . .

Kafe remang-remang gitu punya vibe yang beda 😌😌😌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro