Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Keinginan

Sudah direvisi.

Setelah kejadian memalukan di kamar mandi tadi, Dion membiarkanku untuk melakukan aktivitas pagiku di dalam sana. Aku menemukan beberapa sikat gigi baru di dalam laci yang ada di bawah wastafel, lalu memakai salah satunya.

Tidak bisa kupercaya sekarang aku ada di rumah milik Dion. Hal bodoh apa yang aku lakukan sampai bisa berada di sini?

Menggelengkan kepalaku, aku berkumur dan mencuci muka, lalu melihat diriku sendiri di dalam cermin. Setidaknya aku terlihat lebih hidup sekarang daripada beberapa waktu yang lalu.

Aku menyisir rambutku dengan jari dan melenggang keluar kamar mandi, tapi tidak menemukan Dion di kamarnya. Kulangkahkan kaki keluar dari kamarnya dan menemukannya di dapur. Ia sedang membuat kopi di sana dan syukurlah, ia sudah memakai pakaian lengkap.

"Hai, kamu biasanya sarapan apa?" tanya Dion.

"Enggak usah," kataku singkat. Aku masih merasa asing dengannya sekarang, dan itu membuatku ingin segera pergi dari sini.

"Gapapa. Mau apa? Roti? Telur? Nasi goreng? Kopi?" tawarnya. Senyum menawan tersungging di bibirnya.

"Serius, enggak usah. Aku takut nanti malah mual." Aku menggigit bibirku.

Dion seperti berpikir sejenak. "Hmm, kalau smoothie, mau?"

Aku menggigit bibirku dan mengutuk Dion dalam hati. Kenapa ia harus bersikap sangat manis sekarang ketika aku ingin menghindarinya?

Setelah berpikir beberapa saat, aku memutuskan untuk menerima tawarannya. "Oke."

Dia tersenyum. "Kamu tunggu di ruang tamu ya. Aku buatin sekarang."

Baru saja aku ingin melangkah pergi menuju ruang tamu miliknya, aku teringat bahwa ada pertanyaan yang mengganggu pikiranku sejak bangun tidur tadi.

"Oh iya, aku mau tanya. Yang gantiin baju aku semalam siapa?" Aku melirik dengan malu-malu ke arah Dion. Dia menghentikan aktivitasnya memotong buah naga sejenak.

"Kamu enggak ingat?" tanyanya dengan alis bertautan. Dia menjilat bibirnya.

Aku menggeleng pasrah. Otakku ini sedang tidak bekerja dengan semestinya saat ini. Tidak ada yang kuingat tentang apa yang terjadi semalam. Kalaupun ada, itu hanya seperti gambaran buram yang membuat kepalaku sakit ketika mencoba mengingatnya.

"Kamu ganti sendiri kok semalam, bukan aku." Dion menyeringai. "Tapi gantinya di depanku. Tunggu, jangan marah dulu. Aku udah mau keluar, tapi kata kamu ga boleh keluar, sambil nangis-nangis lagi."

Oh, God ....

Jadi Dion melihatku hanya dengan pakaian dalam? Demi apa pun, aku rasanya ingin menghilang saat ini.

Aku memijat pangkal hidung dan mengeluh dengan kesal. "Dion, jangan bercanda! Kenapa kamu biarin aku kayak gitu? Astaga, ini memalukan." Aku menutup wajahku dengan tangan.

Tiba-tiba suara tawanya pecah dan menggema di seluruh ruangan. "I'm just kidding. My God, look at your face."

"Apa?" tanyaku terheran-heran.

"I waited outside when you were changing. Calm down," ucapnya dengan masih terkekeh.

"Astaga. Kamu ya bisa-bisanya." Dengkusku dengan kesal lalu berjalan menuju ruang tamunya. Aku masih bisa mendengar suara tawanya yang menggema.

Stella : Anjir. Gawat, Babe. Niko ada di sini. SOS.

Stella : Kok ga di balas sih? Woy, lo di mana?

Stella : Randi bilang lo lagi sama Dion. Wah lo jahat banget sih ninggalin gue cuma gara-gara cowok.

Stella : Shit, Niko liat gue lagi. Kabur ah 😵

Stella : Mobil lo gue bawa ya, Babe. Lanjutin kangen-kangenannya sama mantan, uwwwhh😉👅

Begitulah kurang lebihnya isi pesan dari Stella yang baru masuk di ponselku pagi ini. Baterai di ponselku habis semalam, Dion yang berinisiatif mengisinya kembali pasti.

Ada juga beberapa pesan dan missed calls dari Adrian yang tidak kalahnya membuatku merasa bersalah.

Adrian : Acaranya selesai jam berapa? Kamu bawa kunci kan?

Adrian : Kamu udah otw pulang belum?

Adrian : Steph kok telponku ga diangkat?

Adrian : Kamu di mana? Stella bilang dia ga sama kamu.

Adrian : Jangan sampai aku lapor polisi ya. Kamu di mana?

Aku menyandarkan punggungku ke sofa putih milik Dion. Rumah yang ia tinggali sendiri ini cukup luas dan sangat rapi untuk ukuran laki-laki lajang yang menempatinya. Kini yang punya rumah sedang membuatkanku segelas smoothie karena aku tidak bisa minum kopi jika perutku masih kosong. Itu akan menjadi bencana besar.

"Kamu yakin enggak mau yang lain?" tanyanya saat kembali ke ruang tamu dari arah dapur. Dion menyodorkanku segelas jus buah Naga. Aku mengucapkan terima kasih dan segera meminumnya.

"Iya, ini aja udah cukup. Rasanya haus terus. Tapi kalau aku cuma minum air putih, nanti aku mual," jelasku.

"Oke." Dia mengangguk lalu menyesap kopinya yang masih berasap.

"Aku minta maaf ya semalam mabuk berat sampai merepotkan kamu." Aku menggigit bibirku.

Dion mengangkat bahunya dan tersenyum. "Not a big deal. There's a first time for everything, right. Kinda caught me off guard honestly. I didn't know you could drink hard liquor."

"Well, I drink occasionally, but not for the sake of having fun. I don't know what got into myself last night," kilahku.

"You were drinking because of me and that makes me guilty." Dion melirikku sekilas.

"Don't be so cocky. It wasn't because of you," putusku. Lagi-lagi aku berbohong.

Pagi ini dia mengenakan kaos lengan panjang berwarna putih dan celana jin hitam. Rambutnya yang dibiarkan begitu saja memberi kesan santai, ini berbanding terbalik dengan Dion yang kutemui semalam. Dion yang ini seperti Dion yang kukenal tujuh tahun yang lalu. Mata hijaunya menangkapku yang sedang memperhatikannya, ia tersenyum, aku segera mengalihkan pandanganku ke arah lain saat wajahku memanas.

Kalau boleh jujur, ingatanku soal kejadian semalam tidak begitu baik, karena apa yang aku ingat hanya sampai ketika Randi memesan minuman untukku lalu Dion muncul. Selebihnya hanya berupa gambaran tidak jelas, bahkan aku tidak ingat jika aku sempat menangis kalau saja aku tidak bercermin dan menemukan kedua mataku yang bengkak.

Setelah aku memaksanya untuk berbicara, Dion akhirnya mengatakan yang sebenarnya. Mulai dari Randi yang bercerita tentang adanya perjodohan antara Dion dan Nameera, ya itu adalah nama perempuan yang kulihat berbincang bersama Dion di pesta semalam. Lalu dia juga menceritakan tentang aku yang menangis sambil mengutarakan isi hatiku ... dan juga tentang ciuman kami.

Ciuman yang tidak hanya terjadi di bar, tapi juga berlanjut di kamarnya semalam setelah aku tersadar dari pingsan yang bagiku sangat memalukan.

Apa yang sudah aku pikirkan sampai-sampai aku mau menerima ciumannya? Dia sudah meninggalkan kamu, Steph, selama tujuh tahun pula. Logikanya dipakai dong.

Selama Dion bercerita, tidak sekalipun aku berani menatap matanya. Bagaimana bisa aku melihat Dion tanpa wajah yang memerah akibat tingkahku yang hilang kendali semalam?

"Say something," ucap Dion memecahkan keheningan.

"What am I supposed to say?"

Dion meraih tanganku yang masih menggenggam gelas jus. "Kamu pasti punya banyak pertanyaan kan. Tanya aku apa aja. Aku janji akan jawab semuanya."

"Tapi aku bingung harus mulai dari mana." Aku menarik tanganku dan berdiri menjauh darinya. "This is too much, Dion. I just can't."

"Oke, aku kasih kamu waktu untuk memikirkan semuanya," ucapnya yang masih terduduk di sofa.

"Just so you know, I came back for good. I wanna start it all over again," tambahnya. Jantungku sukses dibuat berdebar-debar oleh pernyataannya.

Apa dia sungguh-sungguh?

Aku menggelengkan kepala dan melipat lenganku di dada. "Jangan ngomong kayak gitu kalau kamu enggak tahu apa yang kamu mau, Dion."

Dion berdiri dari sofa, tangannya berada di kedua pundakku. "Aku tahu, Steph. Yang aku mau cuma kamu, bukan yang lain."

"Udahlah, Dion." Aku menggelengkan kepalaku. "Cukup. Aku mohon."

"Kenapa?" tanyanya. Dia menyentuh daguku untuk memaksaku menatap matanya. "Apa alasannya?"

"Kamu tahu apa alasannya."

"Perjodohan itu? Iya?"

"Kamu udah milik orang lain," ucapku bergetar.

"Aku bukan punya siapa-siapa. Perjodohan itu enggak akan pernah terjadi tanpa persetujuanku, Steph."

"Terus kenapa kamu enggak batalin itu semua?" tanyaku getir.

"Ada saatnya. Aku enggak mau menyakiti perasaan orang lain, aku enggak bisa memutuskan sesuatu dengan tergesa-gesa. Ini bukan hanya menyangkut kita, tapi keluargaku dan keluarga Nameera juga."

Aku tertawa dan menatapnya dengan nanar. "You don't wanna hurt her, so you hurt me instead?"

"That's not what I meant," bantahnya.

"Sudahlah, Dion. Antar aja aku pulang sekarang, Adrian pasti cariin aku. Aku enggak mau bikin dia lebih khawatir lagi," putusku.

"Alright I'll take you home. But, please, think about it, okay."

"Hmm .... "

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro