Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Insiden Di Louroose

Sudah direvisi.

Setelah berjuang di tengah kemacetan pagi ini, aku akhirnya sampai di Louroose dan langsung disambut oleh pak Yanto, satpam yang sudah menjaga Louroose selama 3 tahun terakhir.

"Selamat pagi, Mbak Stepani," sapanya dengan logat Jawanya yang kental saat membukakan pintu mobilku.

"Pagi, Pak. Terima kasih," balasku dengan sopan. "Oh iya, Pak, di dalam masih ada laki-laki yang rambutnya cokelat nggak Pak?"

"Oh, yang mas bule itu ya, mbak? Masih kok. Padahal datangnya sudah lama, dari tadi pagi loh, Mbak."

Masih ada disini ternyata dia. Padahal ini sudah sekitar 1 jam lebih dari Stella meneleponku tadi pagi. Apa mereka menungguku ya?

"Ya sudah, saya ke dalam dulu, Pak."

"Baik Mbak. Monggo, silahkan."

Baru saja aku membuka pintu kaca di butikku, suara gelak tawa Stella sudah terdengar nyaring dari sini. Aku menduga mereka sedang berbincang di ruangan samping kantorku - ruangan rapat. Aku berjalan dengan antisipasi dan menghentikan langkahku saat berada di depan pintu.

Just act like a normal person, Steph. You got this.

"Oh, there she is," celetuk Stella saat aku membuka pintu ruang ini. Seringai jahil terpancar nyata di wajahnya yang selalu terpoles dandanan elegan.

Aku menyapu pandangan ke dalam ruangan itu, memang benar masih ada Randi dan istrinya di sana. Oh, anak mereka juga ikut ternyata. Randi yang masih mempertahankan karismatiknya itu memakai kaos putih dan celana jeans hitam serta jaket kulit. Sedangkan istrinya memakai dress selutut warna nude dan mereka berdua memakai Converse, yang membuat mereka semakin tidak terlihat jika sudah memiliki anak yang berumur 4 tahun.

Sabrina, anak Randi dengan tenangnya duduk di salah satu kursi dan asik sendiri melihat-lihat hasil karyaku yang terpajang di tembok maupun yang bertebaran di meja.

Randi berdiri dan menghampiriku yang masih terdiam di ambang pintu. Dia menyambutku dengan pelukan hangat yang membuatku sedikit terkejut.

"Hi," sapanya.

Aku mengernyit. "Hi?"

Ia hanya terkekeh pelan. "Oh iya, kenalin, ini Farah istri gue. Kemarin belum sempat kenalan kan waktu di bank."

Aku tersenyum dan berjalan ke arah Farah. Baru saja aku akan mengulurkan tanganku untuk berkenalan dengannya, namun Farah langsung memelukku yang membuatku kaget tentunya.

Aku pribadi bukan tipe orang yang senang memeluk saat berkenalan dengan orang baru. Jadi, ini terasa sangat canggung.

"Senang akhirnya bisa ketemu langsung sama kamu, Stephanie." Ia memelukku seperti kami sudah kenal lama dan tidak bertemu selama bertahun-tahun.

"Mm, iya. Saya juga senang bisa berkenalan dengan istrinya Randi."

My God, what am I saying? Rasanya ingin sekali aku memaki diri sendiri karena sudah bertingkah aneh. Padahal aku ini ada di kantorku sendiri, seharusnya aku tidak bersikap seperti itu. Get a grip, Steph!

Farah tersenyum hangat saat melepas pelukannya. "Aku kemarin sama sekali enggak mengenali kamu waktu di bank, soalnya kamu jauh lebih cantik aslinya daripada di foto."

Okay, that's a little bit rude for my taste. Ya, aku kemarin sedikit berantakan, apalagi menunggu antrian setengah jam hanya untuk mengambil uang dan setelah itu dapat kabar jika meeting kemarin siang batal. Sungguh momen yang tidak tepat untuk bertemu kawan lama.

"Honey," ucap Randi. Nada bicaranya terdengar seperti memperingatkan.

"Di foto?" tanyaku heran dan memberikan tatapan penuh arti kepada Stella dan juga Randi.

"I can explain," sela Randi. "Jadi maksud kita kesini sebenarnya untuk fitting baju. Sebelumnya Farah pernah liat foto lo sama-"

"Oke .... " Stella memotong pembicaraan Randi diwaktu yang tepat sebelum dia menyebut nama saudara kembarnya. Melihat dan berbicara dengan Randi saja sekarang sudah membuatku gelisah apalagi membahas soal Dion.

"So, mereka datang ke sini buat fitting baju dan Ayu udah ukur mereka jadi tinggal pilih aja model yang disuka."Stella melemparkan senyuman ajaibnya yang mampu membuat orang lain mengikuti permintaanya.

"Hi, I remember you. We met yesterday, right?" Sabrina, anak Randi tiba-tiba berdiri di hadapanku dan menatapku dengan mata coklat terangnya yang bulat.

Aku sedikit berjongkok agar bisa menyamai tingginya. "Yes, we did."

"Mm, I like those sparkly things you put on your eyes," celotehnya dengan suara yang malu-malu menggemaskan.

Jika dipikir-pikir lagi, saat ia sedang tidak berbuat jahil, Sabrina ini anak yang mengemaskan ternyata.

Semuanya tertawa mendengar Sabrina yang memberikan pujian terhadap eyeshadow yang kugunakan. "Thank you, Sweetheart. These sparkle things are called eyeshadow, by the way. And you can use it when you're older."

"Really? That's so cool. I can't wait to get older, Daddy." Ia tersenyum memperlihatkan gigi renggangnya.

Oh, Honey, you have no idea what adult life feels like. It's sucks.

"Oke, kalau gitu. Bisa kita konsultasi soal model bajunya sekarang?" tanya Farah.

"Ya." Aku mengangguk dan kembali berdiri. "Mari ikut ke ruangan saya."

Kami bertiga berjalan menuju ruangan kerjaku, sedangkan Sabrina bermain dengan Stella di taman belakang butik. Aku menyodorkan beberapa koleksi terakhirku kepada Farah dan sebisa mungkin menghindari tatapan penuh tanda tanya yang Randi berikan.

Aku berdehem sebelum bicara, "Mm, kalau boleh tahu, gaunnya untuk acara apa ya? Jadi saya bisa menyesuaikan model apa yang paling cocok dipakai,"

"What's with the formality, Steph? We're old friends here," ucap Randi dengan nada menyindir.

"Kita sedang ada dikantor saya sekarang, dan saya sedang bekerja di sini. Jadi tolong kerjasamanya, Randi."

"You can feed anyone with your bullshits, but me, Steph."

"Ran, apa-apaan sih kamu," bisik Farah yang wajahnya sudah memerah karena malu.

"I'm just saying here," bantah suaminya.

Aku memijat keningku ketika rasa pusing kembali menyerangku. Ya, Tuhan. Ini masih terlalu pagi untuk berdebat dengan orang yang sudah 7 tahun tidak bertemu denganku. Aku tahu apa yang Randi maksud, tapi apa aku harus berteriak ke semua orang jika aku tidak pernah sedikitpun melupakan kembarannya.

Melihat Randi sekarang duduk di hadapanku saja rasanya campur aduk. Bagaimana tidak, Randi dan Dion memang bukan kembar identik, walaupun struktur wajah sedikit berbeda, tapi tinggi badan, warna rambut, cara berbicara, bahkan suara mereka, itu sama. Walaupun suara Dion terdengar lebih berat dan memang warna mata mereka berbeda. Jika Dion memiliki mata cokelat terang dengan warna kehijau-hijauan di sekitar pupil matanya. Sedangkan Randi hanya memiliki warna mata cokelat terang. Tapi, mereka itu bagaikan satu orang yang sama jika dilihat sekilas.

This is too much for me.

"Sayang, mending kamu tunggu di luar aja ya," ucap Farah yang membuat aku dan Randi sama-sama menoleh ke arahnya. "Biar aku yang pilih jasnya buat kamu."

"Are you kidding me?" Randi menghela napas dan dengan berat hati ia menyetujui permintaan istrinya. "My God, fine."

Begitu Randi keluar dari ruanganku dan pintu tertutup, Farah langsung meminta maaf kepadaku. Ia mengatakan jika tidak tahu apa yang membuat suaminya bisa berbicara kasar seperti itu kepada perempuan, apalagi aku sahabat lamanya.

"Tidak masalah, saya mengerti," ucapku singkat.

Ya, tentu aku sangat paham dengan sikap Randi. Aku mengenal saudara kembarnya lebih dari dua tahun, dan itu cukup untuk memahami karakter mereka berdua. Karakter yang kadang-kadang membuatku tidak habis pikir dan sakit kepala. Tapi tidak bisakah ia bersikap lebih dewasa dan tidak mengungkit-ungkit soal Dion? We're just met again for God's sake.

Farah berdehem dengan canggung. "Hmm, jadi soal acaranya ... nanti bajunya mau kita pakai buat acara anniversary pernikahan orang tuanya Randi, bulan depan."

Anniversary ke 25 tahun pernikahan Rudi dan Anna Mahardika, ya, aku tahu itu. Di ulang tahun pernikahan mereka yang ke 18, aku berada di ballroom MRS berdansa bersama Dion.

Aku buru-buru menghilangkan memori itu dari kepala. Apa gunanya diingat-ingat lagi kan?

Aku mengangguk pelan dan mengambil buku catatanku, semua schedule ada di buku ini. "Baik. Tanggal berapa mau diambilnya?" tanyaku sambil mengambil pulpen untuk mencatat.

"Acaranya tanggal 23, tapi kalau bisa aku mau ambil 2 hari sebelum itu?" tanya Farah masih dengan keraguan.

"Boleh, bisa kok," kataku sambil tersenyum.

Well at least I tried to.


Ini Farah, istrinya Randi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro