Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

I Said Yes



Kekehan Dion tiba-tiba terdengar, disusul dengan kedua tangannya yang memelukku erat. "Jangan nangis dong."

Aku menarik dua lembar tisu yang ada di pangkuan untuk menghapus air mata yang mengalir deras. "Kenapa harus kayak gitu sih?" tanyaku dengan serak.

Pertanyaanku membuat kekehan Dion berubah menjadi tawa. "Ya, mana aku tahu. Emang udah jalannya gitu kali. Kamu ada-ada aja deh, nangisin film."

Meskipun sudah tahu akan ada adegan menyedihkan, aku tetap saja menonton film yang sedang diputar di layar televisi pintarku itu. Bukan bermaksud menyiksa diri sendiri, tetapi aku hanya suka dengan ceritanya hingga tidak masalah jika harus menangis.

Sebuah kecupan hangat mendarat sempurna di pelipisku. Tangan kiri Dion mengusap-usap pundakku yang tidak terlapisi kain, sedangkan tangan yang lain memegangi gelas kecil berisi minuman bening. "Menurut kamu, itu cewek tetap bisa bertahan gak ya?" tanyanya.

"Hmmm, ikatan mereka kayaknya kuat, walaupun belum lama sama-sama. Aku yakin, selama cowoknya ada, dia akan bertahan hidup."

Ia menyesap minuman itu lalu bertanya, "Jadi, menurut kamu, cowok itu kehidupannya dia? Dunianya dia?"

"Iya," jawabku singkat sambil menghapus air mata yang membasahi pipi. Aku merapatkan tubuhku pada Dion dan memeluk pinggangnya. Kedua kakiku berada di pangkuannya, sedangkan miliknya diluruskan di atas meja.

Film dengan genre romantis yang mampu membuatku menangis tersedu-sedu ini menjadi pilihan kami untuk teman menikmati minuman asal Korea. Saat filmnya telah usai dan diakhiri dengan perpisahan, aku kembali mengeluarkan air mata.

"Aku kenapa jadi cengeng gini sih? Capek ...," keluhku setelah membersihkan cairan bening yang keluar dari hidung akibat terlalu banyak menangis.

"Lagian juga cuma film. Kamu tahu itu gak nyata 'kan?" Dion mengambil remote untuk mematikan televisi, lalu membuang tisu bekas yang kupakai ke tempat sampah dekat dapur.

Aku menuang minuman beralkohol dengan aroma leci itu ke dalam gelas kecil dan meneguknya hingga habis. Rasa yang terlampau hangat memenuhi tenggorokan hingga dadaku karena efek minumannya. Aku yakin, mungkin besok atau lusa pasti aku akan terserang flu atau batuk.

"Babe, I need to tell you something," ucap Dion saat ia kembali duduk di sampingku. "Are you sober enough to listen to me?"

Aku bangkit dari sofa, lalu mendudukkan diri di pangkuan Dion dengan kedua kaki berada di sekitar tubuhnya. "Little bit tipsy, but I'm not drunk."

Dion memeluk pinggangku dan tersenyum. Dua hingga tiga detik kami habiskan untuk saling memandangi. Aku bisa saja tenggelam ke dalam kedua matanya yang berwarna seperti danau tanpa protes sedikitpun. Dion menyentuh wajahku dengan ujung jemarinya, mulai dari dahi, alis, mata, hidung, kedua pipiku, bibir, dagu, dan berakhir di leherku. Sentuhannya terasa begitu lembut, ini membuat hatiku merasakan kasih sayang yang berbeda, hingga mataku mulai berkaca-kaca kembali karenanya.

"I love you with all my heart ... you know that right?" bisiknya. Katanya keluar dari mulutnya dengan intonasi yang berbeda dari biasanya.

Aku menelan ludah dengan sudah payah. Ada apa ini? "I know ...."

Dengan masih menatapku, Dion kembali berkata, "Aku akan melakukan apa pun biar bisa sama kamu selamanya. Apa pun ...."

Aku mengernyitkan dahi, merasa tersesat di dalam kata-katanya. "Maksud kamu apa?"

Mulutnya sedikit terbuka, seperti sedang menyusun kata di dalam kepala. Jantung berdetak lebih cepat saat menunggu kalimat darinya. Beberapa saat kemudian, Dion menggenggam kedua tanganku dan memberi kecupan di keduanya. "Kamu tahu 'kan, kalau dulu papa nyuruh aku London buat belajar dan mengurus perusahaan di sana?"

"Iya. Terus kenapa?" tanyaku tak paham. Bukannya dia juga udah pernah jelasin soal ini?

"Itu artinya, dalam waktu beberapa bulan lagi, aku akan CEO di hotel itu," ungkap Dion.

Aku menunduk, menyingkirkan tangan kanan Dion dari pinggangku dan mengamati urat nadi yang berwarna biru kehijau-hijauan. Pandanganku sedikit kabur ketika melakukan itu. "Kamu jadi makin sibuk dong ...," gumamku.

"Bukan cuma sibuk, aku juga gak akan bisa ke sini lagi," ucapnya. Itu membuatku sedikit menjauh darinya hingga aku hampir terjatuh dari pangkuannya jika saja Dion tidak menahan pinggangku.

"Ma-maksud kamu apa?" tanyaku seraya bangkit dari pangkuannya. Ketika kedua kakiku menapak pada karpet, aku hampir hilang keseimbangan. Dion segera menangkapku.

"Hey, you alright? Babe, look at me!"

Dengan tangan yang bergetar, aku menangkup wajahnya dan bertanya, "Ja-jadi kamu mau ... ninggalin aku lagi?"

Keheningan yang menyapa karena Dion tak kunjung menjawab membuat hatiku sakit.

Apa semudah itu ia pergi setelah semua yang kami lewati dalam dua bulan ini?

Apa ia akan meninggalkanku begitu saja setelah aku memberikan hal yang paling berharga untuknya?

"Dengerin aku," ucapnya sambil menghapus air mataku, "aku akan melakukan apa pun supaya kita bisa sama-sama selamanya." Ia mengulangi ucapan sebelumnya.

"Terus kenapa kamu harus pergi. Aku gak paham, apa maksud kamu?"

"Aku akan beresin semua urusan yang ada di sana. Setelah itu aku akan menetap di sini ... sama kamu. Aku udah ngobrol sama papa dan Randi, mereka setuju," ungkapnya.

"Jadi kamu tukaran sama Randi? Gitu maksudnya?" tanyaku. Dion mengangguk sebagai jawaban. "Kamu yakin?"

"Aku yakin. Enggak ada yang lebih aku mau selain kamu," bisiknya.

"Aku enggak tahu harus ngomong apa ...."

Apakah begitu besar rasa cinta yang Dion miliki untukku, hingga ia rela mengorbankan karirnya yang cemerlang di London?

Apa akhir dari kisah romansa kami ini sebanding dengan pengorbanan yang Dion berikan?

Dion menuntunku untuk duduk dan menggenggam tanganku kembali sambil berkata, "Kamu cuma perlu jawab iya atau enggak kok. Kamu mau menghabiskan sisa hidup kamu sama aku? Kita berdua bisa buat cerita yang lebih menarik dari ini kedepannya. Kita akan punya dua orang yang akan meneruskan cerita kita nantinya, cowok sama cewek mungkin?"

Jangan bilang dia sekarang lagi ....

"Kamu ingat enggak pas aku ngomong pernah punya keinginan buat nikahin kamu? Itu sebenarnya bukan pernah sih, tapi sejak saat itu aku gak bisa berhenti buat bayangin semuanya," ucapnya sambil tersenyum. "Itu keinginan terbesar dalam hidup aku. Jadi, aku akan sangat menghargai kalau kamu bilang iya."

Tangisku pecah, kututup wajahku dengan tangan saat menyadari apa maksud dari perkataannya. Aku merasakan Dion merengkuhku dalam dekapannya, bisa kurasakan degup jantungnya di bawah pipiku. "I love you so much," tuturku di sela-sela isakan.

"Jadi kamu mau?" tanya Dion dengan suara serak.

Dengan masih berderai air mata, aku mendongak dan menemukan laki-laki yang amat kucintai ini juga meneteskan air mata. Ini pertama kalinya aku melihat seorang Dion Mahardika menangis, bahkan dulu saat kami berpisah pun ia sama sekali tidak mengeluarkan air mata. Kutangkup wajahnya, menatap dalam-dalam kedua mata hijaunya dan berkata dengan mantap. "Iya, aku mau."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro