Dia Yang Kurindukan
Sudah direvisi.
"Sayang, ada telepon buat kamu di bawah."
"Astaga, Ma." Aku terperanjat dari tempat tidur karena saking kagetnya dengan suara mama yang tiba-tiba saja ada di kamarku. "Kalau anaknya jantungan gimana?"
Mama hanya tertawa mendengar mengeluh. "Masa gitu aja jantungan, kamu itu aneh. Habis kamu juga sih, dengerin musik kencang banget, sampai mama ketok-ketok pintu dari tadi nggak dijawab."
Dengan badan yang lunglai aku beranjak dari tempat tidur dan mengikat rambutku dengan asal lalu menekan tombol pause di layar ponselku untuk menghentikan John Mayer yang masih bernyanyi. "Siapa yang telepon?" tanyaku.
"Enggak tahu, kalau dari suaranya si cowok."
"Ma, kenapa enggak tanya siapa namanya? Siapa tahu dia mau cari properti kan," ucapku sedikit kesal.
"Orangnya ditanyain cuma diam aja, dia cuma bilang mau cari kamu," jelas mama.
"Ya udah deh aku cek dulu," kataku sebelum menuju lantai bawah untuk mencari tahu siapa yang meneleponku ke rumah malam-malam begini.
"Halo?"
Hanya hening yang kudengar diujung sana, walaupun sambungan masih terhubung tetapi orang yang meneleponku tidak mau berbicara.
"Halo, ini siapa ya?"
Okay, this is so creepy.
Saat masih tidak ada jawaban, dengan heran aku menutup teleponnya dan menuju ke kamarku lagi.
Masa masih ada orang yang iseng telepon malam-malam gini, buat apa coba? Kayak enggak ada kerjaan lain aja.
Jam menunjukan pukul delapan malam dan tugasku untuk menyelesaikan desain masih belum juga selesai. Hanya tinggal desain sepatu saja sebenarnya yang masih belum kuselesaikan dan lagi pula itu semua untuk edisi tahun depan, Wedding Collection.
Ya, tapi tahun depan itu tinggal enam bulan lagi.
"Ya, Tuhan." Aku menghela napas panjang.
Kadang aku suka tidak sadar berbicara sendiri, mengakibatkan adanya perdebatan antara aku dan diriku. Melakukan hal yang kita suka dan itu menghasilkan uang, memang menyenangkan. Namun, yang namanya manusia ada lelahnya juga. Bukan hanya badan yang lelah, tapi juga mental yang terkadang membuatku bingung sendiri.
Apalagi jika deadline-nya sudah mepet dan desain belum juga selesai gara-gara otak tidak mau kompromi.
It's been three days since I bumped into Randi and his cute daughter. Itu yang membuatku menjadi 'lemah' lagi. Sejak Dion meninggalkan Jogja pagi itu, aku pun dengan berat hati kembali ke Jakarta dengan membawa kekecewaan dan ratusan pertanyaan yang belum terjawab.
Bahkan aku tidak berpamitan dengan Stella maupun Randi kala itu. Stella tahu alasanku mengapa tiba-tiba pergi, setelah tiba di Jakarta dengan suara parau, aku pertama kalinya menangis saat bercerita dengan sahabatku sejak kecil itu tentang laki-laki. Untuk pertama kalinya juga, aku merasakan yang namanya patah hati.
And it was bad, really bad. Aku benar-benar berada di titik terendah dalam 18 tahun kehidupanku. Bagaimana tidak, seorang laki-laki yang merebut hatiku dengan begitu gampangnya pergi tanpa penjelasan. Waktu itu rasanya seperti mimpi buruk, seperti bediri dipantai yang indah, tetapi pasir yang dipijak adalah pasir hisap. Lalu satu-satu orang yang bisa menolongmu justru pergi begitu saja.
Setelah itu pun aku tidak lagi bertemu dengan Randi. Aku bahkan tutup mata jika ada berita dari keluarga Mahardika yang ditayangkan di TV maupun berita di koran. Terakhir yang kudengar sebelum bertemu dengannya lagi kemarin, dia kuliah di Australia dan kata Stella dia menetap di sana. But who ever thought I met him again after all this time, right.
Kualihkan pikiranku jauh-jauh dari Randi maupun Dion, setidaknya aku berusaha dan memfoskuskan perhatianku pada tablet 10 inch di depanku dengan layar masih menyala dan masih kosong.
"Come on, Steph, focus!" kataku menyemangati diriku sendiri dan mengambil stylus pen untuk mengambar di tablet itu.
Jam di notification bar menunjukan pukul 2:50 pagi dan aku sudah menyelesaikan 3 desain sepatu untuk koleksi tahun depan. Aku melepas kacamataku dan sedikit melakukan gerakan stretching karena rasanya leher dan pinggangku kaku setelah duduk berjama-jam.
"Thank God." Aku menghela napas panjang, lalu menuju tempat tidurku dan tidak membutuhkan waktu lama untuk tenggelam di lautan mimpi.
Aku terbangun dengan hentakan yang membuat kepalaku seperti dipukul dengan palu, membuatnya berdenyut dan mataku mengernyit dengan refleks. Sinar matahari yang langsung menusuk mata membuatku memejamkannya kembali untuk sesaat. Namun, sentuhan halus di kulit pundakku dan hembusan hangat napas di leherku membuatku membuka mata kembali seketika. Lautan yang berwarna hijau toska dan hamparan pasir putih yang pertama kali kulihat.
"Di mana aku?" Suaraku begitu serak dan tubuhku sangat lemas.
Usapan halus kembali terasa di tengkuk leherku yang membuatku memalingkan pandangan untuk melihat siapa yang menyentuhku. Ketika senyuman manis dan tatapan teduh matanya yang menyambutku, dada ini rasanya remuk, jantungku berdetak begitu cepat sampai aku yakin bukan hanya aku saja yang bisa mendengarnya. Karena senyuman manis itu berubah menjadi seringai yang begitu seksi, seolah dia bangga sudah membuatku panas dingin seperti ini.
"Kok bisa?" Aku mencoba berbicara lagi, tetapi suara yang terdengar malah seperti aku sedang tersedak.
Namun, dia tidak menjawab sama sekali, hanya kembali tersenyum. Kami berdua sama-sama duduk di pasir, aku memakai gaun putih tipis tanpa lengan, sedangkan ia hanya memakai celana pendek berwarna krem selutut. Kalung emas putih dengan bandul berbentuk koin dan terdapat ukiran inisial namanya tergantung di lehernya yang kokoh. Aku ingat betul ia pernah menceritakan jika kalung itu pemberian mendiang kakeknya. Tanganku menyentuh dadanya dan bisa kurasakan detak jantungnya yang tenang.
Ya Tuhan.
"Ini enggak nyata kan?" tanyaku dengan suara parau dan pandangan yang kabur akibat air mata yang tertahan.
"You look so gorgeous," bisiknya seraya mengusap pelan bibirku dengan tangan kanannya. Suara yang sangat kurindukan itu akhirnya bisa kudengar lagi.
"Oh my God, am I going mad?" tanyaku lagi dengan nada panik. "You're not … this is … what?"
"I'm here." Dia tersenyum.
Seketika itu air mataku tumpah dengan tidak kendali, isakan demi isakan keluar dari mulutku. Dia memelukku dengan erat dan tidak hentinya mencium pundakku dengan lembut. Jemarinya mengusap pelan punggung ku yang membuatku semakin menangis.
Ya, Tuhan, jika ini hanya mimpi biarkanlah aku bersama dia sebentar saja. Aku sangat merindukannya.
Dia melepas pelukannya dan menakup wajahku dengan telapak tangannya. "It breaks my heart seeing you cry like this. I ain't worth for your tears, Baby."
"You left me," ucapku dan memberanikan diri menatap matanya.
"I did, yes. And I really am sorry." Bisa kurasakan penyesalan saat dia mengatakan itu, begitu pula tatapannya saat jemarinya mengusap air mataku.
"Kenapa?"
Dia tidak menjawab pertanyaanku, tetapi ia mendekatkan wajahnya dan mendaratkan kecupan hangat di bibirku. Aku menyambutnya dengan senang hati. Ciuman kami menjadi lebih dalam, saat aku hampir kehilangan oksigen, aku berpaling dan itu membuatnya beralih menciumi leherku. Ini terasa sangat nyata, bahkan aku bisa merasakan ciuman basahnya dan dekapan erat dari kedua lengannya.
"Dion," bisikku.
"I'm sorry … I'm so sorry."
Seketika itu aku terbangun dari mimpiku saat ponselku berbunyi sangat nyaring yang menandakan seseorang berusaha menelponku.
"Ya Tuhan … " Aku mengusap wajah dengan frustrasi sebelum mengambil ponselku di nakas.
Stella Matic is calling.
"Halo …. "
"Babe, lo enggak bakalan percaya siapa yang ada di Louroose sekarang," ucap Stella sesaat aku mengangkat pangilannya. "Oh my fucking God."
"Good morning to you too," ucapku sambil menguap. "It's too early to say God's name in vain, Stella."
"Ya ampun, ini anak perawan baru bangun. Lo ngapain aja semalem sampai udah siang gini baru melek? Party di mana enggak ngajak-ngajak gue?"
"Gue bikin desain yang belum selesai semalam. Anyway, lo tadi bilang ada orang yang di Louroose, siapa emangnya?"
"Oh iya gue sampai lupa. Gue nelepon lo buat kasih tahu kalau Randi sama cewek datang ke butik kita barusan aja. Ini orangnya masih di sini sih, tapi gue suruh Nadia buat temenin mereka dulu."
"Wait, what?" Aku dengan masih lemasnya berusaha bangun dan membenarkan posisi ponselku. Karena kurasa aku salah dengar tentang ucapan Stella.
"Randi ada di Louroose sekarang, dia dateng sama cewek. Ekotis gitu sih orangnya." Stella menggulangi dengan nada yang membuatku memutar mata, seperti dia sedang berbicara dengan anak kecil saja.
"Oke …. "
"Oke, gimana sih lo? Gue kasih tahu lo ini biar cepat datang ke sini." Ia mulai mengomel. "Emang ya, lo itu kalau pagi suka lelet, heran gue."
"Screw you!"
Aku mendengar gelak tawa renyah Stella sebelum menutup sambungan telepon. Masih pagi juga ini, kenapa orang-orang bikin pusing sih kerjaannya?
Dengan langkah berat, aku menyeret kakiku menuju kamar mandi untuk melakukan rutinitas pagi dan setelah itu bergegas menuju Louroose. Pikiranku masih belum stabil setelah Dion hadir di mimpiku dan sekarang kembarannya ada di butikku.
Great.
Fingers crossed. Semoga ini bukan pertanda apa-apa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro